• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Program Peluk Asa dalam Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pengendalian Demam Berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Program Peluk Asa dalam Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pengendalian Demam Berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2012"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM PELUK ASA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TERHADAP

PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DI KECAMATAN MEDAN HELVETIA

KOTA MEDAN TAHUN 2012

T E S I S

Oleh

YUMNA SARI SIREGAR 107032143/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF PELUK ASA PROGRAM IMPLEMENTATION IN COMMUNITY EMPOWERMENT ON THE CONTROL OF DENGUE

HEMORRHAGIC FEVER IN MEDAN HELVETIA SUBDISTRICT THE CITY OF MEDAN IN 2012

T H E S I S

By

YUMNA SARI SIREGAR 107032143/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM PELUK ASA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TERHADAP

PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DI KECAMATAN MEDAN HELVETIA

KOTA MEDAN TAHUN 2012

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

YUMNA SARI SIREGAR 107032143/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM PELUK ASA DALAM PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT TERHADAP PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DI KECAMATAN

MEDAN HELVETIA KOTA MEDAN TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : Yumna Sari Siregar Nomor Induk Mahasiswa : 107032143

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H)

Ketua Anggota

(Drs. Eddy Syahrial, M.S)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(5)

Telah diuji

pada Tanggal : 01 Agustus 2012

KETUA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM PELUK ASA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TERHADAP

PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DI KECAMATAN MEDAN HELVETIA

KOTA MEDAN TAHUN 2012

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 01 Agustus 2012

(7)

ABSTRAK

Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi. Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan kejadian luar biasa. Demikian juga di Kota Medan yang terus meningkat jumlah kasus DBD sehingga memerlukan upaya-upaya pengendalian yang dilakukan oleh Dinas kesehatan kota Medan dan jajarannya.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Penelitian ini adalah penelitian survei bersifat komparatif dengan tipe explanatory research. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan yang berjumlah 7.803 orang dan sampel diambil dengan metode rapid survei. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan uji beda proporsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) berhubungan erat dengan pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Selain itu, komunikasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi pengendalian DBD di kecamatan ini.

Diperlukan upaya menduplikasi dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan Program Peluk Asa di Kelurahan Helvetia Tengah, karena telah terbukti mampu menekan angka kejadian DBD di kelurahan tersebut. Selain itu diperlukan juga dukungan penuh dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka mampu menanggulangi masalah DBD secara mandiri.

Kata Kunci : Pemberdayaan Masyarakat, Penaggulangan DBD, Peluk Asa

(8)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the community health problems in Indonesia which cannot yet be overcome. This DHF is even endemic in almost all provinces. In the past 5 (five) years, the number of cases and infected regions kept increasing and widely spread and always resulted in extraordinary events. In Medan, the case of DHF is also increasing that the management of Medan Health Service and its staff need to do their best to control it.

The purpose of this comparative explanatory study was to analyze the influence of Peluk Asa program implementation in community empowerment on the control of DHF in Medan Helvetia Subdistrict, the City of Medan. The population of this study was all of the 7,803 heads of families in Medan Helvetia Subdistrict, the City of Medan and the sample size for this study were taken through rapid survey technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and then the data obtained were analyzed through proportional difference test.

The result of this study showed that the implementation of Peluk Asa program in community empowerment (initiative, resource management, tolerance of variation, organization and communication) was closely related to the control of DHF in Medan Helvetia Subdistrict, the City of Medan. In addition to that, communication was the main factor influencing the control of DHF in this subdistrict.

A full support for the implementation of Peluk Asa program is needed and the program must be more encouraged that the community members can independently increase the DHF prevention through community empowerment program. The management of Ibu Foundation should extend the coverage area of the Peluk Asa program implementation to achieve a wider community empowerment to prevent the DHF in Medan Helvetia Subdistrict.

(9)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Program Peluk Asa dalam Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pengendalian Demam Berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2012”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Dalam menyusun tesis ini penulis mendapat bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

(10)

5. Prof. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes dan Teguh Supriyadi, S.K.M, M.Kes selaku

penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Kepala Puskesmas Helvetia Kota Medan dan jajarannya yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin sampai selesai penelitian ini.

9. Dr. Drs. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Pendamping tidak formal, yang penuh kesabaran memberikan masukan, kritik, saran dan pendapat demi penyempurnaan tesis ini.

10. Suami tercinta Letkol Ckm drg. Susanto, M.Kes, beserta anak-anak tercinta Tommy, Dwiki, Aidina dan Agil yang sangat besar peranannya dalam memberikan motivasi dan selalu memberikan dukungan moril dan doa.

(11)

12. Rekan-rekan mahasiswa S2 IKM yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu kegiatan operasional penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, 01 Agustus 2012 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Yumna Sari Siregar, lahir pada tanggal 14 Desember 1967 di Pematang Siantar, anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan ayahanda tercinta Alm H. Abdul Madjid Han Siregar dan ibunda tersayang Hj. Ramlah Hasibuan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Taman Siswa Pematang Siantar, selesai Tahun 1979, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Pematang Siantar, selesai tahun 1982, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Pematang Siantar, selesai Tahun 1985, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Medan, selesai Tahun 1991.

Penulis mulai bekerja sebagai staf di Puskesmas Raya Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, Staf di Puskesmas Helvetia Kota Medan tahun 2007 dan Pelaksana tugas Kepala Puskesmas Helvetia tahun 2010 sampai sekarang.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Peluk Asa ... 10

2.1.1. Profil Yayasan Ibu (Ibu Foundation) ... 10

2.1.2. Latar Belakang Berdirinya Peluk Asa ... 12

2.2. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kesehatan ... 20

2.2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat ... 20

2.2.2. Partisipasi Masyarakat ... 22

2.2.3. Partisipasi Masyarakat di Bidang Kesehatan ... 27

2.3. Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 28

2.3.1. Definisi DBD ... 28

2.3.2. Agent Infeksius ... 29

2.3.3. Vektor Penular ... 29

2.3.4. Mekanisme Penularan DBD ... 31

2.3.5. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD ... 32

2.3.6. Distribusi Frekuensi DBD ... 33

2.3.7. Pencegahan Primer ... 38

2.3.8. Pencegahan Sekunder ... 40

2.4. Landasan Teori ... 41

(14)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Jenis Penelitian ... 45

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 45

3.2.2. Waktu Penelitian ... 46

3.3. Populasi dan Sampel ... 46

3.3.1. Populasi ... 46

3.3.2. Sampel ... 47

3.3.3. Teknik Sampling ... 48

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 48

3.4.1. Jenis Data ... 48

3.4.2. Pengumpulan Data ... 49

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 49

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 50

3.6. Metode Pengukuran ... 53

3.7. Metode Analisis Data ... 54

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 56

4.1. Gambaran Umum Kecamatan Helvetia Medan ... 56

4.2. Karakteristik Responden ... 59

4.3. Analisis Univariat ... 60

4.4. Analisis Bivariat ... 63

BAB 5. PEMBAHASAN ... 67

5.1 Pemberdayaan Masyarakat ... 67

5.1.1 Inisiatif ... 67

5.1.2 Kelola Sumber Daya ... 69

5.1.3 Toleransi Variasi ... 71

5.1.4 Pengorganisasian ... 73

5.1.5 Komunikasi... 76

5.2 Pengendalian DBD (PSN) ... 78

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

6.1 Kesimpulan ... 83

6.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Perbandingan Kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah dan Timur Tahun 2010-2011 ... 44 3.2. Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 51 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia

Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2011 ... 56 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Medan

Helvetia Tahun 2012 ... 56 4.3. Karakteristik Responden di Kelurahan Helvetia Tengah dan Helvetia

Timur Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2012 ... 57 4.4. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian di Kelurahan Helvetia Tengah dan

Helvetia Timur Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2012 ... 59 4.5. Perbedaan Proporsi Pengendalian DBD (PSN) dan Pemberdayaan

(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

(18)

ABSTRAK

Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi. Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan kejadian luar biasa. Demikian juga di Kota Medan yang terus meningkat jumlah kasus DBD sehingga memerlukan upaya-upaya pengendalian yang dilakukan oleh Dinas kesehatan kota Medan dan jajarannya.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Penelitian ini adalah penelitian survei bersifat komparatif dengan tipe explanatory research. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan yang berjumlah 7.803 orang dan sampel diambil dengan metode rapid survei. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan uji beda proporsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) berhubungan erat dengan pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Selain itu, komunikasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi pengendalian DBD di kecamatan ini.

Diperlukan upaya menduplikasi dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan Program Peluk Asa di Kelurahan Helvetia Tengah, karena telah terbukti mampu menekan angka kejadian DBD di kelurahan tersebut. Selain itu diperlukan juga dukungan penuh dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka mampu menanggulangi masalah DBD secara mandiri.

Kata Kunci : Pemberdayaan Masyarakat, Penaggulangan DBD, Peluk Asa

(19)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the community health problems in Indonesia which cannot yet be overcome. This DHF is even endemic in almost all provinces. In the past 5 (five) years, the number of cases and infected regions kept increasing and widely spread and always resulted in extraordinary events. In Medan, the case of DHF is also increasing that the management of Medan Health Service and its staff need to do their best to control it.

The purpose of this comparative explanatory study was to analyze the influence of Peluk Asa program implementation in community empowerment on the control of DHF in Medan Helvetia Subdistrict, the City of Medan. The population of this study was all of the 7,803 heads of families in Medan Helvetia Subdistrict, the City of Medan and the sample size for this study were taken through rapid survey technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and then the data obtained were analyzed through proportional difference test.

The result of this study showed that the implementation of Peluk Asa program in community empowerment (initiative, resource management, tolerance of variation, organization and communication) was closely related to the control of DHF in Medan Helvetia Subdistrict, the City of Medan. In addition to that, communication was the main factor influencing the control of DHF in this subdistrict.

A full support for the implementation of Peluk Asa program is needed and the program must be more encouraged that the community members can independently increase the DHF prevention through community empowerment program. The management of Ibu Foundation should extend the coverage area of the Peluk Asa program implementation to achieve a wider community empowerment to prevent the DHF in Medan Helvetia Subdistrict.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat di hampir seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Menurut World Health Organization

(2002), jumlah penduduk dunia yang beresiko terinfeksi lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis.

Jumlah kasus DBD di Asia Tenggara bervariasi hingga tahun 2006 terjadi 188.684 kasus. Sejak tahun 2003, jumlah kasus DBD semakin meningkat meskipun angka kematian dapat ditekan di bawah 1%. Infeksi DBD berada di semua negara di Asia Tenggara. Hinggga tahun 2003, Thailand merupakan Negara dengan jumlah infeksi DBD terbanyak. Namun, sejak tahun 2004, posisi itu ditempati Indonesia hingga saat ini (Hadinegoro, 2005).

Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi. Penyakit DBD bahkan

(21)

menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Diperkirakan setiap tahunnya ada 3.000.000 kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, 2007).

Penyakit DBD belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang paling efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk ini adalah dengan program pemberantasan sarang nyamuk. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui upaya-upaya pencegahan yang dilakukan secara berkelanjutan, hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menelan korban jiwa. Hal ini tentu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) (Soegijanto, 2004).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah kasus DBD yaitu perubahan iklim dan kelembaban udara, lingkungan fisik dan biologik, dan perilaku penduduk. Menurut data dari Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, curah hujan bulanan di Medan pada tahun 2009 agak tinggi, terutama pada Bulan Januari, Maret, Mei, September, Oktober, Nopember dan Desember. Berdasarkan pengamatan terhadap pola penularan DBD di Indonesia, umumnya musim penularan DBD berlaku pada musim hujan (Roose, 2008).

(22)

perindukan nyamuk Aedes Aegypti cenderung menjadi banyak sehingga memperluas peluang terjadinya transmisi DBD. Pengaruh lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap transmisi DBD. Roose dalam penelitiannya pada tahun 2008 menyatakan bahwa penduduk di perumahan yang padat lebih cenderung terserang DBD (Roose, 2008).

Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Selanjutnya pada tahun 1972 ditemukan DBD di luar Jawa yaitu Sumatera Barat, Lampung, dan Riau. Sejak itu penyakit DBD tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD terus meningkat (Depkes, 2007).

KLB penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan, di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai dengan bulan November 2007, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR: 57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, 2007).

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010, terlihat bahwa pada pola penyakit terbanyak pasien rawat inap di seluruh wilayah di Indonesia, DBD masuk kedalam urutan kedua dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus dan perempuan sebanyak 28.883 kasus. Selain itu, diperoleh jumlah yang meninggal sebanyak 325 orang (CFR sebesar 0,55%) (Depkes RI, 2010).

(23)

2010 adalah 65,7 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,87%. IR DBD mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009 dengan IR sebesar 68,22 per 100.000 penduduk. Demikian pula dengan CFR yang sedikit mengalami penurunan, pada tahun 2009 CFR DBD sebesar 0,89% (Depkes RI, 2010).

Sampai saat ini upaya pemberantasan DBD yang telah dilakukan menitikberatkan pada pemberantasan nyamuk Aedes Aegypti melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan gerakan 3M (Menutup, Menguras dan Mengubur) untuk jentik nyamuk serta pengasapan untuk nyamuk dewasa. Selain itu telah diterapkan pula sistem kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB DBD (Dinkes Prov. Sumut, 2009).

Soegeng (2004) dalam kajian utama untuk memberantas DBD mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia pada umumnya relative masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD. Dalam Sosialisasi Pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD harus sering dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta dalam upaya-upaya tersebut.

(24)

Demikian juga di Kota Medan yang terus meningkat jumlah kasus DBD sehingga memerlukan upaya-upaya pengendalian yang dilakukan oleh Dinas kesehatan kota Medan dan jajarannya. Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan dalam penanggulangan DBD di Kota Medan antara lain: (1) Pertolongan pertama pada penderita DBD, (2) Penyuluhan, (3) Fogging Focus (4) Penaburan bubuk abate, dan (5) Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) (Dinkes Kota Medan, 2011).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Helvetia (per Juli 2008 s/d juni 2009), jumlah kasus DBD di kelurahan Helvetia Tengah sebanyak 72 kasus yang merupakan kelurahan dengan jumlah kasus tertinggi di Kota Medan. Tingginya angka kejadian DBD tiap tahunnya di Kecamatan Medan Helvetia dikarenakan padatnya pemukiman di kecamatan tersebut, rendahnya kesadaran masyarakat, serta jumlah penduduk yang relatif besar.

Kecamatan Medan Helvetia adalah salah satu Kecamatan di kota Medan dengan luas wilayah 11,60 km dan terdiri dari 7 Kelurahan yaitu Kelurahan Helvetia, Helvetia Tengah, Helvetia Timur, Sikambing CII, Dwikora, Cinta Damai dan Tanjung Gusta. Jumlah penduduknya sebanyak 142.187 jiwa yang terdiri dari 35.144 Kepala keluarga. Kelurahan Helvetia Tengah merupakan kelurahan yang terbanyak jumlah penduduknya yaitu 33.382 jiwa yang terdiri dari 7803 Kepala keluarga (Profil Kecamatan Medan Helvetia 2009)

(25)

sehingga ini menjadi alasan kelurahan ini dijadikan sasaran penelitian. Sejak program Peluk Asa mulai dilaksanakan tahun 2009, terjadi penurunan kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah yaitu dari 72 kasus pada tahun 2009 menjadi 37 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah 44 kasus dan kelurahan Helvetia Timur 48 kasus (Puskesmas Helvetia, 2011)

Pemberantasan DBD di kelurahan Helvetia tengah memerlukan partisipasi lembaga swadaya masyarakat. Salah satu peran serta pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan adalah melalui program Peluk Asa yang dimotori Yayasan Ibu. Program ini dilaksanakan sejak Juli 2009 sampai dengan Juli 2010. Peluk Asa adalah kependekan dari ”Perlindungan Keluarga dengan Kasih Sayang”; yang dapat mempunyai makna dan tujuan bahwa masyarakat yang intinya berbasis dari keluarga ini akan dapat menggapai harapan yang diinginkan bersama dengan jalan saling perhatian, saling melindungi, saling menyayangi, dan dilaksanakan secara bersama-sama.

(26)

Dalam pemberantasan DBD, seluruh lapisan masyarakat seharusnya ikut berperan serta aktif. Oleh karena itu, pentingnya dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan penyakit ini. Beberapa hal mengenai pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan DBD adalah:

a. Masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai DBD baik seluk beluk penyakit maupun tata cara penanggulangannya.

b. Masyarakat diberikan pembinaan oleh petugas kesehatan ataupun masyarakat lain atau kader yang telah terlebih dahulu mendapatkan pengetahuan atau pelatihan dari petugas kesehatan.

c. Masyarakat memiliki kesadaran, sehingga mau dan mampu menjalankan usaha penanggulangan DBD (Peluk ASA, 2007).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melihat pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012.

1.2 Permasalahan

(27)

pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Dinas Kesehatan Kota Medan

Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Dinas Kota Medan dalam merumuskan kebijakan program pengendalian demam berdarah di wilayah kerjanya.

1.5.2. Puskesmas Helvetia

(28)

terhadap pengendalian demam berdarah di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan.

1.5.3. Kader/relawan Yayasan Ibu

Sebagai sumber informasi bagi kader/relawan yayasan ibu tentang pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat terhadap pengendalian demam berdarah.

1.5.4. Ilmu Pengetahuan

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peluk Asa

2.1.1. Profil Yayasan Ibu (Ibu Foundation)

Yayasan Ibu merupakan lembaga nirlaba yang sudah mendapatkan pengakuan Nasional dan International.Yayasan Ibu telah melakukan aktivitas sejak tahun 2004, terutama pada area respons darurat pada wilayah bencana di Aceh, Nias, Yogya, dan Jawa Barat.Yayasan Ibu telah melaksanakan berbagai program senilai lebih dari 1,5 juta dollar dalam empat tahun terakhir di berbagai bidang, termasuk respons bencana, kesehatan dan gizi, air dan sanitasi, psikososial dan perkembangan anak, dan telah melayani lebih dari 500.000 masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya. A. Visi

Visi Yayasan Ibu adalah untuk menciptakan generasi yang sehat sebagai sumber daya pembangunan masa depan Indonesia.

B. Misi

Yayasan Ibu berdedikasi untuk memperkuat kapasitas manajemen dan program sebagai lembaga sosial masyarakat Indonesia untuk menjawab krisis kemanusiaan yang terjadi di Indonesia.

(30)

− Melalui program-program yang dijalankan, Yayasan Ibu membantu masyarakat rentan, terutama ibu dan anak dalam berbagai situasi.

− Bekerja sama dengan masyarakat dan stakeholder melalui fasilitasi dan asistensi sehingga timbul kesadaran akan peran dan kompetensi masing-masing.

− Berkomitmen untuk menegakkan hak asasi anak sesuai dengan Konvensi Hak Asasi Anak dalam semua program yang Yayasan Ibu jalankan.

C. Nilai-Nilai dan Prinsip Organisasi

Yayasan Ibu merupakan lembaga yang independen, tidak terafiliasi dengan salah satu agama maupun partai politik.Yayasan Ibu bekerja dengan semangat kesukarelaan yang profesional.Yayasan Ibu percaya kepada kemitraan dalam mencapai visi dan misinya.

D. Sejarah

Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi berskala 9 SR mengguncang wilayah barat Indonesia di Pulau Sumatera pada pukul 6:58 WIB yang meratakan gedung-gedung dan menimbulkan gelombang tsunami yang sangat dahsyat. Gempa bumi dan tsunami menimbulkan kehancuran yang luar biasa.Sekitar 250 ribu orang dilaporkan hilang dan meninggal, 5% dari penduduk Provinsi Aceh. Lebih dari 400.000 lainnya mengungsi, 40% diantaranya merupakan anak dan remaja.

(31)

bencana. Butuh setidaknya lima hari bagi tim untuk sampai di lokasi, Meulaboh, Aceh Barat. Lebih dari 115 sukarelawan telah memberikan tenaga dan pikirannya dalam upaya ini. Pada 3 Juni 2005, menjawab kebutuhan akan komitmen jangka panjang untuk menolong para korban bencana, dr Ridwan Gustiana bersama sukarelawan lainnya yang tergabung dalam upaya diatas, mendirikan Yayasan Ibu. E. Pengakuan Nasional dan International

Pada tahun 2007, dr. Ridwan Gustiana, pendiri dan ketua Yayasan Ibu mendapatkan anugerah “Architect of the Future” dari Waldzell Institute Austria

(www.waldzell.org).

Pada tahun 2008, Yayasan Ibu mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas peran aktif Yayasan Ibu dalam perannya sebagai salah satu lembaga yang memberikan pertolongan langsung pada saat tsunami Aceh dan Nias (www.ibufoundation.org).

2.1.2. Latar Belakang Berdirinya Peluk Asa

(32)

Peluk Asa adalah kependekan dari ”Perlindungan Keluarga dengan Kasih Sayang”; yang dapat mempunyai makna dan tujuan bahwa masyarakat yang intinya berbasis dari keluarga ini akan dapat menggapai harapan yang diinginkan bersama dengan jalan saling perhatian, saling melindungi, saling menyayangi, dan dilaksanakan secara bersama-sama. Peluk Asa adalah sebuah program sosial Telkomsel bernuansa kasih sayang dan kebersamaan tanpa pamrih (Hugging & Caring). Peluk Asa adalah sebuah program kepedulian sosial berbasis “Pendidikan” masyarakat yang ditujukan untuk perkembangan masyarakat Indonesia menuju hari esok yang lebih baik. Peluk Asa, mempunyai sifat terbuka karena berbasis partisipasi masyarakat luas diberbagai tingkatan dan berbagai sektor, berbagai wilayah di Indonesia. Peluk Asa, bertumpu pada kekuatan jaringan sukarelawan sosial berbasis pada pemangku kepentingan (Stakeholder) Telkomsel yang tersebar luas diseluruh pelosok Indonesia.

A. Program Kerja

(33)

secara aktif yang dapat mengurangi angka demam berdarah). Peluk Asa dalam melaksanakan program kerjanya bekerja sama dengan stakeholder di Kecamatan Medan Helvetia, yaitu Puskesmas Helvetia dalam pemberantasan DBD.

Karena alternatif solusi mengatasi DB hanya dengan cara memberantas “vector” pembawa virus dengue saja, maka diperlukan suatu cara agar masyarakat dapat berperilaku terus menerus dan bersama-sama memerangi nyamuk DB ini, sehingga menjadi kebiasaan sehari-hari. Program “community comprehensive health education” ini bertujuan membimbing, mendampingi, advokasi, serta mengaktivasi masyarakat agar dapat “Self Help” menolong diri sendiri secara “sustainable” dalam rangka mengatasi DB di daerahnya sendiri. Program ini ber-azas “Dari kita, oleh kita, dan untuk kita bersama”. Program Peluk Asa menargetkan terjadinya peningkatan cara pandang dan perubahan perilaku masyarakat dalam mengatasi DB di wilayahnya secara bersama-sama dan terus menerus. Program penanggulangan DBD yang dilakukan oleh dinas kesehatan melalui puskesmas yaitu pengaktifan juru pemantau jentik melalui kepala lingkungan, Penyelidikan Epidemiologi dan fogging

jika ditemukan kasus. Yayasan Ibu melalui Telkomsel dengan Program Peluk Asa berinisiatif mengaktifkan kader-kader dari lingkungan tempat tinggalnya sebagai kader DBD.

(34)

− Kegiatan penciptaan identitas program termasuk diantaranya penciptaan nama Program Peluk Asa, penciptaan logo Program Peluk Asa, penciptaan identitas khusus program Program Peluk Asa seperti penciptaan tema lagu khusus, slogan program, warna identitas program, icon program yang dapat berupa duta program, serta menyosialisasikannya kepada masyarakat.

− Kegiatan aktivasi sosial di lapangan di 14 daerah uji coba (pilot project area) dengan tujuan utama mencari metode paling tepat dalam mendidik masyarakat di daerah uji coba agar masyarakat dapat mengatasi wabah demam berdarah secara mandiri, yang meliputi kegiatan-kegiatan, diantaranya, penelitian awal dan pemetaan sosial daerah uji coba, perumusan rencana strategi lokal masyarakat setempat, perumusan strategi pelaksanaan beserta organisasi pelaksana lokal, kegiatan sosialisasi dan pencegahan demam berdarah kepada masyarakat, kegiatan penyiapan tanggap wabah, hingga evaluasi kegiatan untuk disempurnakan pada tahapan selanjutnya.

(35)

Selain pogram kerja di atas, secara luas program kerja Peluk Asa adalah : − Workshop persiapan tim Peluk Asa. Workshop ini bertujuan untuk membekali

tim Peluk Asa sebagai fasilitator masyarakat sebelum terjun untuk melakukan kerja-kerja pengorganisiran di 14 kota sasaran.

− Kegiatan pemilihan spesifik lokasi, pemetaan sosial dan penelitian awal

(baseline survey). Pemilihan spesifik lokasi ditentukan melalui analisis data sekunder dari angka kejadian terbanyak. Sedangkan pemetaan sosial ditujukan untuk mendapatkan gambaran atau profil dari masyarakat sasaran. Tim akan melakukan pengumpulan data yang berhubungan dengan masyarakat seperti data demografi, geografi, psikografi, pola komunikasi dan stakeholder. Beberapa data ada yang didapat melalui jalur koordinasi dengan pemerintahan dan lainnya melalui proses live in di masyarakat sasaran. Adapun untuk penelitian awal, selain untuk mendapatkan informasi mengenai data dasar masyarakat yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku; tujuan penelitian awal adalah sebagai tolak ukur keberhasilan program.

(36)

− Pengkajian partisipatif bersama kelompok sukarelawan. Kegiatan ini melibatkan kelompok sukarelawan langsung dalam proses mendapatkan gambaran dari kondisi masyarakat sasaran (mengkaji kebutuhan, mengukur kekuatan, sumberdaya dan identifikasi resiko), dan proses komunikasi perubahan perilaku. Melalui kegiatan ini, kelompok sukarelawan bersama tim Peluk Asa akan saling belajar dan memahami masyarakat sehingga dapat memberikan masukan kepada desain program dan pembuatan rencana aksi. − Sosialisasi dan penyepakatan rencana aksi dengan masyarakat. Kelompok

sukarelawan akan mengumumkan rencana aksi yang sudah mereka buat dan melakukan tinjauan menuju kesepakatan, ini juga merupakan bagian dari transparansi program kepada masyarakat luas.

− Pelaksanaan rencana aksi. Rencana aksi dilaksanakan kelompok sukarelawan bersama dengan masyarakat.

− Pendirian sistem tanggap wabah. Kegiatan ini ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat setempat dalam penanganan wabah demam berdarah, apa yang harus dilakukan apabila diketahui ada orang dilingkungan tersebut yang tekena demam berdarah.

− Penelitian akhir (Endline survey). Tim akan melakukan kegiatan penelitian akhir untuk melihat apakah tujuan dari program ini tercapai atau tidak.

(37)

Kader yang dibentuk oleh Ibu Foundation ada 40 orang di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia yang terdiri dari kader inti dan kader sukarela. Kader ini terdiri dari karakteristik yang berbeda dari segi umur, pekerjaan, pendidikan dan jenis kelamin. Usia kader yang terbanyak adalah <25 tahun dan sebagian berusia >25 tahun. Pekerjaan yang terbanyak adalah pegawai swasta, ibu rumah tangga, mahasiswa dan Pegawai Negeri Sipil. Tingkat pendidikan kader yang terbanyak adalah SLTA, SLTP, Diploma, dan Perguruan Tinggi.

C. Target Program Peluk Asa di Kelurahan Helvetia Tengah

Dalam pelaksanaan Program Peluk Asa di Kelurahan Helvetia Tengah, juga ditetapkan target-targetnya, yaitu:

a. Inisiatif : masyarakat memiliki inisiatif untuk memeriksa jentik di tempat penampungan air yang ada di sekitar rumahnya minimal seminggu sekali sebesar 90%. Selain itu 80% masyarakat mampu mengidentifikasi gejala-gejala DBD.

b. Kelola sumber daya : masyarakat mengajak keluarga terdekatnya untuk ikut serta memeriksa jentik di penampungan air yang ada di sekitar lingkungannya sebesar 90%.

c. Toleransi variasi : masyarakat mau mencari dan menerima informasi tentang DBD dari orang lain atau media sebesar 80%.

(38)

e. Komunikasi : masyarakat mampu menyebarkan informasi tentang DBD sebesar 90%. Selain itu 80% masyarakat tahu tata cara pelaporan saat adanya indikasi DBD yang diketahui dari gejala-gejalanya sehingga dapat segera ditindaklanjuti pihak terkait.

Kecamatan Medan Helvetia khususnya kelurahan Helvetia Tengah dengan jumlah kasus DBD tertinggi di kota Medan pada tahun 2009 menjadi salah satu alasan terbentuknya program peluk Asa di wilayah tersebut.

2.2. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kesehatan 2.2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya yang bukan bersifat paksaan, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu mengenali masalah, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi dan fasilitas setempat. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses gerakan sosial, dan yang dihasilkan adalah kemandirian masyarakat (Suparjan, 2003).

Pemberdayaan masyarakat adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. (visi Promosi kesehatan).

(39)

sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya (Suparjan, 2003).

Pada era tahun 70-an, sejalan dengan munculnya konsep post-modernisme (anti kemapanan), muncullah konsep pemberdayaan masyarakat. Konsep ini bertujuan untuk menemukan alternatif baru bahwa kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan tergantung pada :

a. Kekuasaan dapat berubah dan jika kekuasaan tidak berubah maka pemberdayaan tidak mungkin terjadi.

b. Kekuasaan dapat diperluas sehingga konsep pemberdayaan menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis.

Konsep pemberdayaan muncul sejak dicanangkannya strategi global WHO pada tahun 1984 dan ditindaklanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam Ottawa tahun 1986. Deklarasi itu berisi :

1. Kebijakan berwawasan kesehatan 2. Lingkungan yang mendukung

3. Reorientasi dalam pelayanan kesehatan 4. Keterampilan individu

(40)

Menurut Sumodiningrat dalam Makmur (2008), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Tujuan pemberdayaan adalah untuk membantu kelompok sasaran memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukannya yang terkait dengan diri mereka, termasuk tindak dalam mengurangi hambatan pribadi dan hambatan sosial. Syarat dalam proses pemberdayaan masyarakat (Makmur, 2008) :

a. Kesadaran, kejelasan, serta pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan. b. Pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak tentang hal-hal apa,

dimana, dan siapa yang akan diberdayakan.

c. Adanya kemauan dan ketrampilan kelompok sasaran untuk menempuh proses pemberdayaan.

Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat dalam kesehatan adalah : 1. Menumbuh-kembangkan potensi masyarakat

(41)

6. Kemitraan dengan pihak lain 7. Desentralisasi

2.2.2. Partisipasi Masyarakat

Jika kita membicarakan mengenai pemberdayaan masyarakat, maka hal ini tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Pendekatan partisipatif sebenarnya muncul sebagai upaya mengatasi kelemahan-kelemahan dari pendekatan sentralistik. Korten dan Syahrir dalam Suparjan (2003) mengidentifikasi beberapa kelemahan dan konsep pembangunan sentralistik, yaitu (a) ketergantungan pada organisasi birokrasi terpusat yang kurang tanggap terhadap keanekaragaman komunitas, (b) investasi yang kurang memadai dalam proses pengembangan komunitas untuk memecahkan masalah, (c) perhatian yang kurang dalam menangani keanekaragaman masyarakat terutama dalam hal struktur sosial yang berlapis-lapis, dan (d) tidak cukup integrasi antara komponen-komponen teknis dan sosial dalam pembangunan.

Dalam perjalanannya partisipasi sering dianggap keliru dan salah arah. Hal ini diungkapkan oleh Mubyarto dan Kartodirjo dalam Suparjan (2003). Partisipasi dianggap seakan-akan rakyat memang harus mendukung atau ikut program pemerintah secara gratis dengan alasan program tersebut nantinya akan digunakan untuk masyarakat.

(42)

masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek pembangunan; (c) partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; (d) partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial; (e) partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri; (f) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Ditinjau dari segi etimologis, kata partisipasi berasal dari kata bahasa latin yaitu “participatio”. Participatio berasal dari kata kerja participate yang berarti ikut serta terhadap adanya suatu kegiatan atau aktivitas. Kamus Bahasa Indonesia mengartikan partisipasi sebagai turut berperan serta dalam suatu kegiatan (Purwadarminta, 1982).

Hendrojuwono (1979) menjelaskan partisipasi sebagai tindakan seseorang atau tingkah laku seseorang yang mempunyai dorongan tertentu. Tingkah laku yang bermotivasi merupakan faktor dalam yang mendorong seseorang untuk melihat, berbuat, merasakan dan memikirkan sesuatu dengan cara berinteraksi didalam mengejar suatu tujuan tertentu.

(43)

Dalam partisipasi diharapkan seseorang ikut merasakan suatu kebersamaan secara bersama-sama dengan orang lain.

Tjokroamidjojo (dalam Iskandar, 2008) menjelaskan bahwa partisipasi adalah keterlibatan semua warga negara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui institusi yang mewakili kepentingannya.

Conyers dalam Suparjan (2003) menyebutkan tiga alasan penting dibutuhkannya partisipasi masyarakat yaitu:

a. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program serta proyek-proyek pembangunan akan gagal.

b. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya.

c. Partisipasi menjadi urgen karena timbul anggapan bahwa partisipasi merupakan suatu hal demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat.

Cary dalam Notoatmodjo (2005) mengatakan, bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut terpenuhi:

a. Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan anggota-anggota masyarakat untuk berpartisipasi.

(44)

c. Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam program.

Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama. Bila orang mau dan mampu tetapi tidak merdeka untuk berpartisipasi, maka orang tidak akan berpartisipasi (Notoatmodjo, 2005).

Ross dalam Notoatmodjo (2005) berpendapat ada tiga pra kondisi tumbuhnya partisipasi, yaitu:

a. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat diidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara komprehensif. b. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar

untuk mengambil keputusan.

c. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.

Secara teoritis, Erickson dalam Suparjan (2003) menyampaikan konsep partisipasi dalam dua bagian yaitu internal dan eksternal. Partisipasi secara internal berarti adanya rasa memiliki terhadap komunitas atau kelompok (sense of belonging to the lives people). Hal ini menyebabkan komunitas/kelompok terfragmentasi dalam

labelling an identity (pelabelan pada identitas diri mereka). Sementara partisipasi dalam arti eksternal terkait dengan bagaimana individu melibatkan diri dengan dengan komunitas/kelompok luar.

(45)

mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Kelompok memiliki dua ciri khas yaitu anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok (memiliki

sense of belonging) dan masing-masing anggota kelompok merasa terikat satu dengan lainnya.

2.2.3. Partisipasi Masyarakat di Bidang Kesehatan

Menurut Depkes (1991) partisipasi masyarakat adalah di mana individu, keluarga maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga ataupun kesehatan masyarakat di lingkungannya. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan bukan semata-mata karena ketidakmampuan pemerintah dalam upaya pembangunan, melainkan memang disadari bahwa masyarakat mempunyai hak dan potensi untuk mengenal dan memecahkan masalah kesehatan yang dihadapinya, mengingat sebagian besar masalah kesehatan disebabkan perilaku masyarakat itu sendiri.

Dengan kata lain partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan, berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program kesehatan masyarakat. Institusi kesehatan hanya sekedar memotivasi dan membimbingnya.

(46)

dikembangkan dalam setiap upaya kesehatan dan ini terlihat dalam upaya pengembangan peran serta masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan didasarkan kepada beberapa hal:

a. Community felt need. Apabila pelayanan itu diciptakan oleh masyarakat sendiri, berarti masyarakat itu memerlukan pelayanan tersebut, artinya pelayanan kesehatan bukanlah berdasarkan kebutuhan penguasa tapi benar-benar kebutuhan masyarakat itu.

b. Organisasi pelayanan kesehatan masyarakat yang berdasarkan partisipasi masyarakat adalah salah satu bentuk pengorganisasian masyarakat, ini berarti fasilitas pelayanan kesehatan itu timbul dari masyarakat sendiri.

c. Pelayanan kesehatan akan dikerjakan oleh masyarakat sendiri, artinya tenaga dan penyelenggaranya akan ditangani oleh anggota masyarakat itu sendiri yang didasarkan sukarela (Notoatmodjo, 2007)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa filosofil partisipasi masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat adalah terciptanya suatu pelayanan untuk masyarakat, dari masyarakat dan oleh masyarakat.

2.3. Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.3.1. Definisi DBD

(47)

ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan (Nimmannitya, 2007).

2.3.2. Agent Infeksius

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal (Nimmannitya, 2007) 2.3.3 Vektor Penular

Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk

Aedes Aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam penularan (Hadinegoro, 2005).

(48)

aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, nyamuk Aedes Aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah sehingga nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit. Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Hadinegoro, 2005).

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina Aedes Aegypti akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan pertumbuhan dari jentik ke nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. Setiap bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 2°c sampai 42°C, dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air maka telur dapat menetes lebih cepat (Depkes. RI, 2005). 2.3.4. Mekanisme Penularan DBD (Soegijanto, 2004)

Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok

(49)

Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang infeksius.

Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.

Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus

(50)

kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiplebiter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.

2.3.5. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD (Soegijanto, 2004)

Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :

a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)

b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat umum itu antara lain: i. Sekolah. Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan

kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.

ii. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.

iii. Tempat umum lainnya seperti : Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.

(51)

penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.

2.3.6. Distribusi Frekuensi DBD A. Agent DBD

Agen penyakit DBD adalah virus dengue yang tergolong dalam genus

Flavivirus, famili Flaviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus sebagai vektor penular (Ginanjar, 2008).

Penyebab penyakit adalah virus dengue. Virus ini termasuk kelompok

Arthropoda Borne Viruses (Arbovirosis). Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype

virus yaitu ;

1. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun1944. 2. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944. 3. Dengue 3 diisolasi oleh Sather

4. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.

Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan

dengue type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat.

(52)

Aegypti membiak di tempat lembab dan genangan air sementara Aedes Albopictus

membiak di lubang-lubang pohon, dalam lipatan daun dan genangan air yang lainnya (Supartha, 2008).

Secara morfologi, kedua nyamuk ini walaupun samgat mirip, namun dapat dibedakan dengan strip putih yang terdapat pada bagian skotumnya. Skotum Aedes Aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Skotum Aedes Albopictus pula berwarna hitam yang terdapat hanya satu garis putih tebal di bagian dorsal (Kowalski, 2007).

Larva nyamuk Aedes mempunyai bentuk siphon yang tidak langsing dan hanya memiliki satu pasang hair tuft serta pectin yang tumbuh tidak sempurna. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan telur kira-kira sebanyak seratus butir telur setiap kali bertelur. Pertumbuhan nyamuk ini dari telur sehingga menjadi nyamuk dewasa membutuhkan waktu sebanyak 9 hari (Soegeng, 2004; Soegijanto, 2004).

Nyamuk ini berkembangbiak pada genangan air, namun tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah (Depkes RI, 2005). Tempat pembiakannya dapat dibagikan atas beberapa kelompok yaitu:

a. Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki air, tempayan, bak air, ember dan lain-lain.

(53)

c. TPA alamiah seperti lubang pada pohon, lubang pada batu, lipatan daun, bambu yang dipotong dan lain lain.

DBD ditularkan oleh nyamuk yang pada saat itu sudah mengandung virus dalam darahnya. Virus ini memasuki tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, kemudian melakukan replikasi dengan cepat dalam tubuh manusia. Periode replikasi ini memerlukan waktu selama lebih kurang empat hari. Apabila jumlah virus sudah mencukupi, maka virus akan memasuki sirkulasi darah (Peters, 2008). Pada saat ini, manusia akan mengalami gejala panas. Disini, terjadi reaksi tubuh terhadap virus ini dimana reaksi dapat berbeda untuk setiap individu.

Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap virus adalah seperti berikut:

a. Reaksi pertama

Terjadi neutralisasi virus, dan seterusnya terjadi pengendapan bentuk neutralisasi pada pembuluh darah. Gejala yang timbul adalah ruam.

b. Reaksi kedua

Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan jumlah komponen-komponen pembekuan darah yang menimbulkan manifestasi pendarahan.

c. Reaksi ketiga

(54)

Apabila terjadi reaksi pertama dan kedua, maka orang tersebut menderita demam dengue. Jika sudah muncul reaksi ketiga, orang tersebut menderita DBD (Depkes RI, 2005).

B. Host DBD

DBD dapat menyerang semua umur, walaupun saat ini DBD banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam decade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar (Soedarmo, 2004).

Pada awal terjadinya wabah di suatu Negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa semakin meningkat. Di Indonesia penderita terbanyak terdapat pada kelompok umur 5-11 tahun, namun proporsi penderita lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984 (Soedarmo, 2004).

C. Environment (Lingkungan)

(55)

Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukannya virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit meningkat pesat. Meningkatnya jumlah kasus dan bertambah luasnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air (Soedarmo, 2004).

2.3.7. Pencegahan Primer (Soegijanto, 2004)

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

A. Surveilans Vektor

Surveilans untuk nyamuk Aedes Aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.

Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti

(56)

visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

B. Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes Aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu : a. Pengendalian Cara Kimiawi

b. Pengendalian Hayati / Biologik c. Pengendalian Lingkungan C. Surveilans Kasus

(57)

Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.

D. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk

Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu :

1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali dalam seminggu.

2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.

(58)

2.3.8. Pencegahan Sekunder (Soegijanto, 2004)

Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :

a. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.

b. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.

c. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.

2.4.Landasan Teori

(59)

individu, kelompok maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga ataupun kesehatan masyarakat dilingkungannya.

Secara teoritis, Erickson (dalam Suparjan,2003) menyampaikan konsep partisipasi menyebutkan kelompok sebagai adanya himpunan orang-orang yang memiliki kesadaran akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Kelompok memiliki dua ciri khas yaitu anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok (memiliki sense of belonging) dan masing-masing anggota kelompok merasa terikat satu dengan lainnya.

Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam pemberdayaan masyarakat yang lahir dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna dasar “pemberdayaan”, di mana “daya” bermakna kekuatan (power). Pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire (Suparjan, 2003) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif. Masyarakat yang sudah mempraktekkan pemberdayaan masyarakat memiliki beberapa kriteria, yaitu :

(60)

b. Mampu mengelola sumber daya yang ada semaksimal mungkin dan menggunakannya dengan baik untuk keperluan hidup manusia.

c. Toleransi variasi, artinya mampu menerima perubahan dari luar masyarakat kalau memang perubahan itu memang menawarkan cara yang lebih baik. d. Mampu menggerakkan kelompok lain di masyarakat sehingga bergerak ke

arah yang lebih baik.

e. Komunikasi antar sesama yang baik tetap terjaga.

(61)

2.5.Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

[image:61.612.114.516.242.506.2]

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, diketahui variabel independen dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan Program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengendalian demam berdarah di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan.

Pengendalian Demam Berdarah: PSN ( 3M + 1T) Pemberdayaan

Masyarakat: a. Inisiatif

b. Kelola sumber daya c. Toleransi variasi d. Pengorganisasian e. Komunikasi Program Peluk

Asa

Kel. Helvetia Tengah

Kel. Helvetia Timur

Tidak Ada Program Peluk

Asa

(62)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei bersifat komparatif dengan tipe

explanatory research untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan Program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012 dengan membandingkan Kelurahan Helvetia Tengah (ada program Peluk Asa) dan Kelurahan Helvetia Timur (tidak ada program Peluk Asa).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

(63)

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan berlangsung selama 6 bulan terhitung mulai bulan Februari sampai Juni 2012.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan satuan unit individu atau gejala yang dijadikan subjek penelitian oleh peneliti untuk dilihat karakteristiknya atau melihat korelasi antar gejala pada keseluruhan objek penelitian tersebut (Nazir, 2003). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Helvetia Kota Medan yang berjumlah 7.803 orang kepala keluarga (KK).

[image:63.612.113.528.611.669.2]

Dalam penelitian ini, digambarkan juga populasi di kelurahan lain di Kecamatan Medan Helvetia yang tidak ada Program Peluk Asa. Dalam hal ini di ambil Kelurahan Helvetia Timur dengan jumlah kepala keluarga 5.625 KK. Gambaran kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah dan Timur dapat kita lihat pada Tabel di bawah ini:

Tabel 3.1. Perbandingan Kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah dan Timur Tahun 2010-2011

No Kelurahan Jumlah Kasus DBD Persentase Peningkatan Kasus

Tahun 2010 Tahun 2011

1. Helvetia Tengah 37 44 18,9%

2. Helvetia Timur 27 48 77,8%

(64)

Dari Tabel 3.1 di atas, dapat kita bandingkan kedua kelurahan yang memiliki perbedaan persentase dimana kelurahan yang terdapat Program Peluk Asa lebih rendah peningkatan kasusnya. Dalam penelitian ini populasinya ditambahkan dengan populasi di Kelurahan Helvetia Timur sebagai perbandingannya.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil berdasarkan teknik tertentu dan mampu mewakili populasi atau bersifat representatif. Sampel pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan rumus pengambilan sampel dengan metode rapid survey secara simple random sampling (SRS), yaitu:

n = �����2

�2 Keterangan:

n = Besarnya sampel d = presisi (0,1) Z(0,5-α/2)

p = Proporsi pengendalian demam berdarah di Kelurahan Helvetia = nilai normalitas tabel Z = 1,96 dengan α = 0,05

Tengah =0,5 q = 1-p

Perhitungan:

n = (0,5�0,5) � (1,96�1,96)

0,1�0,1

n = 0,9604

0,01

(65)

Dalam perhitungan sampel dengan metode rapid survey, hasil perhitungan sampel minimal dikalikan 2 (

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1.  Perbandingan Kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah dan Timur Tahun 2010-2011
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen
Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia
+4

Referensi

Dokumen terkait

KESATU : Membentuk Tim Penyelenggara Ujian Nasional SMA/MA/SMK dan Pendidikan Kesetaraan Paket A, Paket B dan Paket C Tahun Pelajaran 2015/2016, dengan susunan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Panitia Hari Ulang Tahun

“Inilah Lima Kudapan Khas Orang Jepang di Musim Panas”.Japanese Station Portal Berita Jepang.10 Mei 2014.5 Juni. “Oyatsu Cemilan Sore

Tujuan dari perancangan ini adalah dapat merancang Prototype 4 Aksis Sistem Robot Cable dengan Sistem Pengendali Otomatis Untuk Menggerakan Beban 3 Kg.. Metode

Dari perangkat mana pun yang berada dalam segmen jaringan yang sama seperti data embedded system yang dikelola dapat dikirim ke embedded system tanpa

The English teacher assumed that thematic progression patterns as writing strategy could enhance students’ motivation in hortatory exposition text. It helped students

Pada penulisan ilmiah ini Penulis mencoba mengangkat masalah ini yaitu membuat suatu permainan sederhana yang dapat dimainkan oleh siapa saja Program aplikasi ini dibuat

Students’ health problem also could be the reason for students to not attend the class.. Based on the result of interview, two participants explained that health problem