• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk hambatan penyesuaian sosial (4)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bentuk hambatan penyesuaian sosial (4)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

1. tempat kedudukan manajemen; 2. cabang perusahaan;

3. kantor perwakilan; 4. gedung kantor; 5. pabrik;

6. Bengkel; 7. Gudang;

8. ruang untuk promosi dan penjualan;

9. pertambangan dan penggalian sumber alam; 10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; 12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

13. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

15. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;dan

16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

(2)

pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Contoh BUT :

adalah Perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan PLTU maka untuk membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan mengajukan penghapusan NPWP.

Dasar Hukum : Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Pengertian BUT

1. Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia

2. Untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia 3. Yang dapat berupa :

a. Tempat kedudukan manajemen; b. Cabang perusahaan;

c. Kantor perwakilan; d. Gedung kantor; e. Pabrik;

f. Bengkel;

g. Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran untuk eksplorasi pertambangan;

h. Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan;

i. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

(3)

k. Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak bebas;

l. Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Suatu BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk mesin-mesin dan peralatan, yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Jenis-Jenis Bentuk Usaha Tetap (BUT)

1.Tipe Fasilitas Fisik (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf a s/d h Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.

2.Tipe Aktivitas (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf i dan j Undang-Undang Nomor 17 Tahun2000), terdiri dari :

- Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

- Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan) dalam jangka waktu 12 bulan.

Keberadaan BUT tipe aktivitas, baik aktivitas konstruksi maupun pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya (Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)

Misalnya :

Berdasarkan kontrak pemberian jasa, PT XYZ yang berkedudukan di Amerika mengirimkan Mr. Wong, penduduk Amerika ke Indonesia dari tanggal 10 April 2000 s/d 10 Juni 2000. Namun, pada kenyataannya, Mr. Wong sudah berada di Indonesia sejak bulan Januari 2000. Dengan demikian, syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr. Wong berada di Indonesia, yaitu sejak bulan Januari 2000.

3.Tipe Keagenan (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf k Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

(4)

Keberadaan BUT tipe keagenan ditentukan oleh ada atau tidaknya dependent agent di negara sumber.

4.Tipe Asuransi (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf l Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), terdiri dari :

-Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Keberadaan BUT tipe asuransi difokuskan pada ada atau tidaknya pemungutan premi dan penanggungan resiko di negara sumber.

PENGHASILAN BUT

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).

2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT di Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.

Misalnya ;

- Sebuah bank di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap kepada perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan dengan pemberian pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap.

- Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara langsung tanpa melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini, penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penjualannya BUT di Indonesia.

3. Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pegembalian utang, royalty, sewa (imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

(5)

- Zenith Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi dengan PT Polar untuk mempergunakan merek dagang Zenith Inc. atas hak tersebut, Zenith Inc menerima royalty dari PT Polar.

- Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zenith Inc memberikan jasa manajemen kepada PT Polar melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka pemasaran produk PT Polar yang menggunakan merek Zenith Inc tersebut.

- Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polar memiliki hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan Zenith Inc yang berupa royalty tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.

Penghasilan Kena Pajak BUT ( Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 )

Penghasilan Kena Pajak BUT dihitung dengan cara mengurangkan Penghasilan Bruto BUT dengan :

- Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan BUT tesebut di atas (biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan BUT).

Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha/kegiatan BUT ( KEP -62/PJ./1995 ), yaitu :

- Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dan dalam rangka menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan.

- Maksimum sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha perusahaan di seluruh dunia.

- BUT di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi Kantor Pusat tersebut di atas wajib melampirkan dalam SPT-nya Laporan Keuangan Konsolidasi yang meliputi seluruh usaha/kegiatan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan.

(6)

Pembayaran BUT kepada Kantor Pusat yang Tidak Dapat Dibebankan Sebagai Biaya ( Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 )

- Royalty atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, patent, atau hak-hak lainnya.

- Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa-jasa lainnya.

- Bunga, kecuali berkenaan dengan usaha perbankan.

Dalam hal sebaliknya (pembayaran-pembayaran tersebut di atas diterima oleh BUT dari Kantor Pusatnya), juga bukan merupakan obyek PPh, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

PPH PASAL 26 ATAS LABA SETELAH PAJAK YANG DIPEROLEH BUT (BRANCH PROFIT TAX)

PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang Diperoleh BUT ( Branch Profit Tax ) ( Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 )

1. PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang diperoleh BUT yaitu tambahan PPh yang dikenakan atas laba setelah pajak (net income after tax) yang diperoleh BUT sebesar 20% atau sesuai tarif yang berlaku dalam Tax Treaty.

2. Tambahan PPh tersebut wajib dilunasi oleh BUT dalam waktu yang bersamaan dengan pelunasan PPh Pasal 29 (setoran akhir PPh tahunan), yaitu paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.

3. Tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT tersebut tidak dikenakan apabila laba setelah pajak BUT tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat :

a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.

(7)

tersebut.

c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman modal dilakukan berproduksi secara komersial.

4. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh yang bersifat final. (KMK Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 1 Mei 2002 sebagai pengganti KMK Nomor 602/KMK.04/1994)

5. WP BUT yang melakukan penanaman kembali laba setelah pajak, wajib melaporkan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan ke Kepala KPP tempat WP BUT terdaftar dengan dilampirkan pada SPT PPh tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

6. Yang dimaksud saat berproduksi secara komersial adalah saat perusahaan untuk pertama kalinya menghasilkan produk yang siap untuk dipasarkan, hal ini ditetapkan oleh Kepala KPP berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan perkiraan berdasarkan pemberitahuan secara tertulis.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.03/2011

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

(8)

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI

SUATU BENTUK USAHA TETAP. Pasal 1

(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

(9)

(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:

a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;

b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;

c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau

d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Pasal 2

(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan

b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan

(10)

(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan

b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.

(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:

a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat

(3) huruf d,

selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. (2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.

(11)

a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan

b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.

(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.

(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.

(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur

Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.

Pasal 5

Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.

Pasal 6

(12)

Pasal 7

Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 24 Januari 2011 MENTERI KEUANGAN, ttd.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Temuan penelitian ini yaitu meliputi: 1) Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman

Dari hasil penelitian dapat dilihat efisiensi penyerapan panas pada solar heater pelat ganda model gelombang dengan penambahan reflektor lebih tinggi dibandingkan

Pengaruh waktu reaksi diikuti dengan GC berdasarkan penurunan kadar risinoleat dan kenaikan kadar DCO yaitu campuran linoleat (LA) yang masih bergabung dengan CLA (Linoleat/CLA)

Parameter tan$art Umum Ekstrak

Tundaan lalu lintas bundaran (DTR) tudaan rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam bundaran dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :..

Judul : Pemanfaatan Tongkol Jagung dengan Starbio, Aspergilus niger dan Trichoderma viride terhadap Kecernaan Protein Kasar dan Serat Kasar pada Domba Jantan Lokal Lepas

Berdasarkan analisis risiko yang mungkin terjadi pada investasi pendirian toko offline dan konveksi ByAdimaprani, investasi masih dikatakan layak untuk dijalankan

hasil belajar dan materi yang dicakup oleh program instruksional atau pengajaran. 3) Maksud sampel hasil belajar dalam hal ini adalah perwujudan soal tes dalam bentuk