• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan yang sama berdasarkan MFN. Prinsip MFN ini diatur dalam article 1 GATT 1994 berdasarkan prinsip ini, suatu kebijakan perdagangan antara Negara-negara anggota harus dilakukan atas dasar non diskriminasi artinya semua

107

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, Pasal 18.

108

Ibid, Pasal 21. 109

Debora, Peyelesaian Sengketa, dalam http://odebhora.wordpress.com, diakses tanggal 11 Juli 2014

Negara terikat untuk memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan impor dan ekspor produk-produk termasuk biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dilakukan seketika dan tanpa syarat terhadap produk-produk yang berasal atau yang ditujukan ke semua Negara anggota.

Perlakuan yang sama berdasarkan National Treatment prinsip ini diatur dalam artikel III GATT 1994. Prinsip ini mengatur ketentuan bahwa suatu produk / barang yang diimpor dari negara lain tidak boleh diberikan perlakuan yang berbeda dengan maksud memberikan proteksi pada produk dalam negeri. Dengan kata lain, tidak diperkenankan melakukan diskriminasi antara produk impor dan produk dalam negeri.

Dalam masyarakat terdapat perbedaan pengertian mengenai tidak adanya perbedaan perlakuan terhadap penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Prinsip non-discrimination dalam Undang-Undang ini sebenarnya diambil dalam arti pengertian National Treatment sebagai prinsip dasar TRIMs/GATT. Dalam Article II of TRIMs mengenai National Treatment dan Quantitative Restrictions. Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No 25 Tahun 2007 menyatakan, dalam menetapkan kebijakan dasar penanaman modal, Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.110

TRIMs mengandung prinsip National Treatment dan General Elimination of Quantitative Restrictions. Secara panjang lebar Dr. Mahmul Siregar

110

Ipien http://wwwipien.blogspot.com/2008/11/bentuk-pemberian-perlakuan-yang-sama.html diakses tanggal 1 Mei 2014

menerangkan prinsip National Treatment dan General Elimination of Quantitative Restrictions dalam disertasinya “Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal” Pertama, prinsip National Treatment dalam TRIMs adalah, bahwa tidak ada tindakan diskriminasi bagi penanam modal di negara-negara anggota GATT. Herman Mosler, hakim pada Mahkamah Internasional menjelaskan unsur-unsur penting yang terkandung dalam prinsip National Treatment adalah :111

a. adanya kepentingan lebih dari satu negara;

b. kepentingan tersebut terletak di wilayah dan termasuk yuridiksi suatu negara; c. negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap

kepentingannya sendiri maupun terhadap kepentingan negara lain yang berada di wilayahnya; dan

d. perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara tuan rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain. Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini melarang negara-negara anggota GATT/WTO menerapkan kebijakan yang menyebabkan diskriminasi perlakuan antara produk impor dengan produk buatan sendiri.

Dengan kata lain negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produk-produk impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk yang sama buatan dalam negeri. Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku terhadap semua diskriminasi yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum yang dapat

111

Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Internasional dan Implikasinya

Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia”, www.usu.ac.id, hal 5 terakhir kali diakses tanggal 2

mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif. Dengan demikian bahwa prinsip National Treatment ini menghindari diterapkannya peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri. Tindakan yang demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi persaingan antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan mengarah kepada pengurangan terhadap kesejahteraan ekonomi.

Persaingan yang adil antara produk impor dan produk dalam negeri, mengakibatkan perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien sehingga dapat bersaing dengan produk impor, sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih baik dan harga yang lebih wajar.

Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru tindakan yang demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya, karena berkurangnya keleluasaan investor untuk mengambil keputusan bisnis yang lebih bebas.112

TRIMs pada Article II pada prinsipnya melarang semua persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan Article III GATT 1994 tentang National Treatment, namun tidak dijelaskan secara tegas bentuk-bentuk

112

persyaratan penanaman modal yang dipandang tidak konsisten dengan prinsip National Treatment. Hanya saja dalam Artice II.2 Agreement on TRIMs disebutkan bahwa persyaratan penanaman modal yang dilarang adalah tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban negara-negara peserta berdasarkan Article III.4 GATT 1994 yaitu keharusan untuk memberikan perlakuan sama terhadap produk impor. Oleh karena tidak diperolehnya suatu kesepakatan tentang bentuk yang pasti dari persyaratan penanaman modal yang dianggap tidak konsisten dengan Article III.4 GATT 1994, Dirjen GATT memberikan illustrative list yang berisi gambaran tentang tindakan persyaratan penanaman modal yang dilarang tersebut, sebagai berikut :

a. Pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal (local content requirement); atau

b. Pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor (trade balancing policy).

Dengan demikian terdapat dua ukuran untuk menyatakan apakah suatu persyaratan penanaman modal melanggar ketentuan Article III.4 GATT 1994 yaitu persyaratan penggunaan komponen buatan dalam negeri (local content requirement) dan persyaratan keseimbangan perdagangan (trade balancing requirement).

1. Local content Requirement

Larangan untuk memberlakukan local content requirement atau persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan penanaman modal tercantum dalam Paragraph 1.a Illustrative list Agreement on TRIMs. Disebutkan bahwa terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan pemberlakuan persyaratan kandungan lokal yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam Negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri atau menutp kesempatan perusahaan modal asing untuk melakukan impor secara langsung. Contoh penerapan Local content requirement dapat dilihat dari tindakan Pemerintah kanada yang memberlakukan kewajiban bagi investor asing untuk membeli atau menggunakan produk buatan dalam negeri yang merupakan syarat untuk dapat berinvestasi di wilayah Kanada. Selain itu pemerintah kanada juga mewajibkan para investor yang mempergunakan produk impor dalam kegiatan produksinya untuk membeli produk-produk impor dari importir Kanada. Panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara yang dilaporkan oleh Pemerintah Amerika Serikat ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan Pemerintah Kanada tersebut merupakan suatu pelanggaran Terhadap Pasal III.4 GATT.113

113

Dwi Martini, Prinsip National Treatment Dalam Penanaman Modal Asing Di

Indonesia (Antara Liberalisasi Dan Perlindungan Kepentingan Nasional) dalam

http://dwimaret.blogspot.com/2012/12/prinsip-national-treatment-dalam.html, diakses tanggal 5 Juli 2014

2. Trade Balancing Policy

Ketentuan mengenai Trade Balancing Policy diatur dalam Paragraph 1.(b) Agreement on TRIMs. Yang dimaksud dengan Trade Balancing Policy adalah persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat dikatakan suatu tindakan Trade Balancing Policy, suatu kebijakan harus mengandung unsur:

a. Penggunaan atau pembelian barang impor oleh perusahaan modal asing hanya dibenarkan jika perusahaan tersebut telah melakukan impor produk yang menggunakan importir negeri;

b. Jumlah barang impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan PMA terbatas sampai jumlah tertentu, pembatasan tersebut ditetapkan berdasarkan volume atau nilai produk lokal yang telah diekspor oleh perusahaan modal asing yang bersangkutan.

Dari kedua unsur diatas dapat dilihat bahwa Trade Balancing Policy merupakan hambatan bagi investor asing untuk melakukan kegiatan impor secara langsung. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya diperbolehkan membeli barang impor yang sudah berada di pasar domestik host country dan di impor oleh perusahaan domestik.114

Kedua, persyaratan penanaman modal yang bertentangan dengan Prinsip General Prohibition on Quantitative Restriction. Prinsip General Prohibition on

114 Ibid.

Quantitative Restriction diatur dalam Article XI GATT 1994. pada dasarnya prinsip ini tidak membenarkan adanya larangan atau hambatan perdagangan lainnya kecuali melalui tarif. Dapat disimpulkan bahwa maksud dari Article XI.1 ini adalah melarang penggunaan hambatan non-tarif dalam kebijakan perdagangan seperti kouta, lisensi ekspor atau impor, pembatasan ekspor secara sukarela dan bentuk-bentuk perintah pengaturan pasar lainnya.

Praktek pembatasan kuantitatif dilarang dalam Agreement on TRIMs apabila pembatasan kuantitatif tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan fasilitas penanaman modal. Paragraf 2 illustrative list dari Agreement on TRIMs dalam pelarangan quantitative restriction hanya mengacu pada Article XI.1. GATT 1994. Dalam kaitannya dengan kegiatan penanaman modal, paragraf 2 mengidentifikasi 3 bentuk kegiatan yang dipandang tidak konsisten dengan Article IX.1. GATT yakni apabila untuk memperoleh fasilitas penanaman modal dipersyaratkan hal-hal berikut :

a. Pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan;

b. Pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan; dan

c. Pembatasan ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk-produk khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau

menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan.

Dengan demikian Agreement on TRIMs menjabarkan larangan Article XI.1 GATT dalam tiga bentuk kegiatan, yakni trade balancing policies, foreign exchange restriction dan export restriction. Namun demikian, TRIMs juga memberikan pengecualian dalam penerapan ketentuan National Treatment dan General Prohibition of Quantitative Restrictions tersebut.

Tetap ada pembedaan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, seperti, bentuk badan usaha dan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan bersyarat. Pertama, untuk penanam modal dalam negeri badan usaha dapat berbentuk Badan Hukum seperti Perseroan Terbatas dan Koperasi, bukan Badan Hukum seperti Firma, CV, dan Perusahaan Perorangan. Sedangkan untuk penanam modal asing diharuskan berbentuk Perseroan Terbatas, kecuali undang-undang menentukan lain. Kedua, tidak semua bidang usaha terbuka untuk modal asing. Berbagai bidang usaha ada yang hanya untuk penanam modal dalam negeri. Ada bidang usaha, dimana modal asing harus bekerja sama dengan penanam modal dalam negeri, atau bekerjasama dengan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK).115

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak menganut aliran liberal, karena Undang-Undang ini tetap berpegang kepada Pasal 33 UUD 1945, dimana hak menguasai Negara mencakup pengertian bahwa

115

Negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat116

Daftar Negatif Investasi Pasal 12 (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Ayat (2) menyebutkan bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

.

a. Produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

b. Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

Selanjutnya ayat (3) menyatakan Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. Ayat (4) menyebutkan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. Kemudian ayat (5) menyatakan Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam,

perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Dengan demikian tidak semua bidang usaha terbuka untuk penanaman modal. Ada bidang-bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Begitu juga terdapat bidang usaha yang tertutup bagi modal asing.

Selanjutnya ada bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dengan persyaratan tertentu. Berikut ini contoh-contoh bisang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan tersebut yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal,

Pasal 1 menyatakan :

(1) Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.

(2) Daftar bidang usaha yang tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Presiden ini.

Pasal 2 menyatakan :

(1) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat

tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.

(2) Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Presiden ini.

Pasal 3 menyebutkan

Bidang usaha yang tidak tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dinyatakan terbuka tanpa persyaratan dalam rangka penanaman modal.

Pasal 4 menyatakan:

1) Penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup.

2) Dalam hal izin penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Untuk memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.

Pasal 5 menyebutkan

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku bagi penanaman modal tidak langsung atau portofolio yang transaksinya dilakukan melalui pasar modal dalam negeri.

Pasal 6 meyatakan:

Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan modal akibat penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan dalam perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidang usaha yang sama, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang menerima penggabungan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

b. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang mengambil alih adalah sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

c. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan baru hasil peleburan adalah sebagaimana ketentuan yang berlaku pada saat terbentuknya perusahaan baru hasil peleburan dimaksud.

D. Prinsip Perlakuan Sama dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

Dokumen terkait