Sebagaimana telah dijelaskan pada sejarah hak kekayaan intelektual, secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta di Indonesia didasarkan pada ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional di bidang hak cipta. Beberapa perjanjian tersebut adalah:60
1) Konvensi Bern 1886 Tentang Perlindungan Karya Sastra dan Seni
2) Konvensi Hak Cipta Universal 1955 atau Universal Copyright Convention 3) Konvensi Roma 1961
4) Konvensi Jenewa 1967 5) Persetujuan TRIPS 1994
Konvensi Berne tentang Karya Sastra dan Seni tahun 1971 (Berner Convention for the Protection of Literary and Artistic Works) merupakan konvensi yang melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut. Memahami jangkauan dari karya sastra dan seni (literary and artistic works) penting untuk dapat menafsirkan perjanjian karena karakteristik dari
masing-59 Ibid., hal 21.
masing karya menandai batas hak-hak minimum bagi masing-masing negara.61 Dalam Pasal 2 Konvensi Berne diatur mengenai ruang lingkup karya sastra dan seni yaitu yang termasuk semua ciptaan dalam ranah sastra, ilmiah dan seni, apapun mode dan bentuknya. Dalam karya seni ini termasuk di dalamnya buku, pamflet, dan tulisan lain; kuliah, khotbah, dan karya-karya lain dengan sifat yang sama; karya drama atau drama musikal; karya koreografis dan hiburan dalam pertunjukan bisu; komposisi musik dengan atau tanpa lirik; karya sinematografis; karya gamba, lukis, arsitektur, patung, ukiran, dan litografi; karya fotografi; karya seni terapan; ilustrasi, peta, rencana, sketsa, dan karya tiga dimensi yang berkaitan dengan geografi, topografi, arsitektur, atau ilmu pengetahuan. Dengan kata lain agar sebuah karya dapat disebut sebagai karya sastra dan seni (literary and artistic works) maka karya tersebut haruslah masuk dalam ranah sastra, ilmiah dan seni.62
Seperti yang telah disebutkan diatas, karya fotografi termasuk di dalamnya potret dilindungi dalam Konvensi Berne. Karya fotografi berupa potret masuk ke dalam karya yang dilindungi dalam Konvensi Berne karena masuk dalam ruang lingkup fotografi pada Konvensi Berne. Pada Konvensi Berne, yang dimaksud dengan fotografi dalam konvensi Berne adalah “photographic works to which are assimilated works expressed by a process analogous to photography” yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi karya fotografi yang dapat diungkapkan dengan proses yang dapat disamakan dengan fotografi. Proses yang dapat disamakan dengan fotografi bisa jadi membutuhkan penggunaan cahaya dalam memproduksi foto.63 Dengan demikian karya fotografi berupa potret, baik yang menggunakan film maupun digital, termasuk dalam karya cipta yang dilindungi dalam Konvensi Berne.
Potret perlu dilindungi karena potret merupakan ciptaan timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia, dimana ini merupakan esensi dari hak kekayaan intelektual. hak kekayaan intelektual merupakan hak kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber pada hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan manusia yang menalar.64 Otak kanan yang bekerja dapat melakukan fungsi nonverbal,
61 Sam Ricketson dan Jane C. Ginsburg, International Copyright and Neighbouring Rights, (New York: Oxford University Press, 2005), hal 400.
62 Ibid., hal 401. 63 Ibid., hal 452.
64 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal 9.
metaforik, intuitif, imajinatif, dan emosional. Sedangkan otak kiri melakukan fungsi preposisi verbal linguistis, logis, dan analitis.65
Tidak semua orang dapat mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektualitas) secara maksimal. Oleh karena itu tidak semua orang dapat menghasilkan hak kekayaan intelektual. Hanya orang yang dapat mempekerjakan otaknya adalah orang yang mendapatkan hak kekayaan intelektual. Hal itu pula yang menyebabkan hasil kerja otak yang membuahkan hak kekayaan intelektual bersifat eksklusif.66
Pada kaitannya dengan potret, ciptaan berupa potret dilindungi karena potret juga merupakan hasil intelektualitas manusia. Hal ini bersesuaian dengan definisi ciptaan dan pencipta dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta mendefinisikan pencipta sebagai seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Selanjutnya Pasal 1 butir 3 mendefinisikan ciptaan sebagai hasil setiap karya mencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
Dengan demikian, potret termasuk dalam cakupan karya yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta karena seorang fotografer (pencipta) dalam menghasilkan potret harus memiliki kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian dalam menciptakan potret. Adanya kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian dapat membuat sebuah potret menjadi bernilai. Seorang fotografer harus mempunyai imajinasi yang tinggi dalam membuat dan menyiapkan latar belakang dari objek yang dipotret, terutama apabila potret yang dibuat memiliki tema tertentu. Seorang fotografer juga memrlukan kecekatan dan keterampilan/keahlian untuk menghasilkan potret yang baik terutama yang berkaitan dengan pemotretan terhadap momen-momen tertentu yang terkadang tidak akan terjadi untuk kedua kalinya atau jarang terjadi. Selain itu keterampilan dan kemampuan pikiran fotografer juga diuji untuk menghasilkan potret yang artistik karena seorang fotografer harus memperhitungkan pencahayaan dengan menghindari bayangan tajam, memperhatikan cahaya tak langsung dari samping, dan
65 Ibid., hal 10. 66 Ibid., hal 11.
menghindari cahaya langsung.67 Dengan demikian, sebuah potret merupakan ciptaan yang dapat dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta karena seorang fotografer harus harus memiliki kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian dalam menciptakan potret. Selanjutnya, untuk mendapatkan perlindungan, potret haruslah memenuhi orisinalitas, dengan kata lain jika seorang pencipta atau pengarang, dalam kasus ini fotografer telah menerapkan tingkat pengetahuan, keahlian dan penilaian yang cukup tinggi dalam proses penciptaan karyanya (potret), maka hal ini dianggap cukup memenuhi keaslian guna memperoleh perlindungan hak cipta.68
Pengaturan lebih lanjut mengenai potret dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dapat dilihat dalam Pasal 19 dan 20. Pasal 19 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta berbunyi:
(1) Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
(2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
(3) Ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat: a. atas permintaan sendiri dari orang ya ng dipotret;
b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau c. untuk kepentingan orang yang dipotret.
Penjelasan atas Pasal 19 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta berbunyi:
Ayat (1)
Tidak selalu orang yang dipotret akan setuju bahwa potretnya diumumkan tanpa diminta persetujuannya. Oleh karena itu ditentukan bahwa harus dimintakan persetujuan yang bersangkutan atau ahli warisnya.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
67 Young Jin, op. cit., hal 92.
68 Tim Linsey, dkk., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2011), hal 106.
Di Indonesia suatu potret atau foto yang dibuat seizing dari orang yang dipotret, jika akan diperbanyak atau diumumkan oleh pembuat potret sebagai pemegang hak cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret. Atau mendapatkan izin dari ahli warisnya dalam jangka waktu 10 tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.69 Permintaan izin ini wajib dilakukan jika potret tersebut dibuat dengan permintaan pihak yang dipotret atau atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret serta tujuan pembuatan potret yang dilakukan untuk kepentingan yang dipotret. Dengan demikian permintaan izin ini berkaitan dengan potret-potret yang dibuat dengan kesadaran dan kerjasama antara pemotret dan pihak yang dipotret sebelumnya. Permintaan ini diperlukan karena berdasarkan penjelasan Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa pada dasarnya tidak semua orang yang dipotret akan setuju apabila potret dirinya dilakukan pengumuman. Terhadap hal ini, pemegang hak cipta baik pencipta maupun pihak yang telah mendapat pengalihan hak harus dapat menghargai kepentingan tersebut. Penghargaan dan penghormatan tersebut dapat dilakukan dengan cara meminta izin terlebih dahulu kepada pihak yang dipotret.
Selanjutnya Pasal 20 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta berbunyi:
Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang dibuat: a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau c. tidak untuk kepentingan yang dipotret,
apabila Pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal dunia.
Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta berbunyi:
Dalam suatu pemotretan dapat terjadi bahwa seseorang telah dipotret tanpa diketahuinya dalam keadaan yang dapat merugikan dirinya.
Sama halnya dengan pengaturan pada Pasal 19, pada Pasal 20 pemegang hak cipta juga perlu mendapatkan persetujuan dari pihak yang dipotret apabila akan melakukan pengumuman atas potret. Namun berbeda dengan Pasal 19 yang mengharuskan adanya syarat bahwa persetujuan harus dilakukan apabila potret yang dibuat adalah berdasarkan permintaan pihak yang dipotret, pada Pasal 20 ini potret tetap harus dimintakan
persetujuan ketika akan diumumkan walaupun potret dibuat tanpa permintaan pihak yang dipotret. Apabila suatu potret yang dibuat tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau tidak untuk kepentingan yang dipotret, pengumumannya tidak diperkenankan apabila pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari yang dipotret. Hal ini disebabkan karena dalam suatu pemotretan, dapat terjadi, seseorang yang dipotret tanpa sepengetahuannya berada dalam keadaan yang dapat merugikan dirinya.70 Akan tetapi pembuatan pengumuman yang bersifat komersial, potret seorang atau beberapa pelaku suatu pertunjukan umum kecuali dinyatakan lain oleh orang yang berkepentingan maka tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.71
Mengenai kepentingan yang wajar, dalam lingkup hukum hak cipta, yang dipersoalkan tidak hanya apakah tujuan pengumuman tersebut untuk komersial atau tidak, tetapi apakah merugikan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret atau tidak. Dengan demikian, walaupun dilakukan pengumuman tidak untuk mencari profit/keuntungan, akan tetapi apabila tindakan itu merugikan kepentingan (tentunya kepentingan ekonomi) yang wajar dari pihak yang dipotret, maka pengumuman tersebut melanggar hak cipta.72
70 Prof. Tim Linsey, dkk., op. cit., hal 113. 71 OK Saidin, op. cit, hal 88.
72 Brian A. Prastyo, “Arti 'Kepentingan yang Wajar' dalam UU Hak Cipta,”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f1523ec723aa/arti-kepentingan-yang-wajar-dalam-uu-hak-cipta, diunduh 3 Januari 2014.
BAB III
ANALISA KASUS TINJAUAN YURIDIS PERBANYAKAN POTRET TANPA SEIZIN