• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

B. Perlindungan Hukum Berkaitan Dengan Hak Asasi Manusia

a. Hukum Internasional

Di dunia Barat yang menganut nilai-nilai liberal, hak-hak yang lebih dahulu dikembahngkan, dilindungi, dan yang juga mendapatkan perlindungan internasional adalah hak-hak sipil dan politik, dan bukan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Konsep liberal ini telah dikembangkan para pemikir Eropa terdahulu seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesqieu, Jean Jaques Rousseau yang pada mulanya bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak individu terhadap kekuasaan raja yang absolut. Konsep ini merumuskan kebebasan-kebebasan yang dapat dimiliki oleh individu-individu dalam menghadapi negara yang begitu kuat. Dengan mendasarkan pada konsep sosialis, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya meminta campur tangan yang lebih jauh dari negara. Dalah hal ini, individu tidak lagi dianggap sebagai makhluk terpisah tetapi sebagai makhluk sosial yang merasa diri berhak menuntut sejumlah bantuan atau paling tidak pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan untuk kesejahteraan sosial

49

United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People, 2007.

50

mereka. Sepintas lalu perbedaan antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ini kelihatannya tidak sulit namun dalam pelaksanaannya tidak semudah apa yang diperkirakan.

Masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan ini bukan semata soal tumpang tindih tetapi bersifat lebih mendalam. Pelaksanaan hak-hak ekonomi,sosial, dan budaya adalah mutlak bagi terlaksananya hak-hak sipil dan politik dengan baik. Tidak mungkin hak-hak sipil dan politik dapat berkembang dengan baik sekiranya rakyat masih berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kesengsaraan. Oleh karena itu kedua ketegori hak-hak tersebut tidak dapat dipisahkan dan tidak ada prioritas dari yang satu atas yang lain seperti yang sering diingatkan oleh resolusi-resolusi Majelis Umum PBB.

Bahkan belumlama ini dilancarkan pula gagasan hak-hak generasi ketiga

atau solidaritas yang mewujudkan hubungan yang lebih erat antara hak-hak asasi dan konteks ekonomi dan sosial beserta perkembangannya, hak pembangunan, hak untuk perdamaian, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, dan lainnya. Namun perwujudan formal hak-hak tersebut dalam naskah-naskah hukum yang mengikat belum lagi berkembang secara luas walaupun sudah ada beberapa dokumen yang berisikan hak-hak tersebut seperti hak untuk pembangunan dalam pasal 22 Piagam Afrikauntuk Hak-Hak Asasi dan Rakyat tahun 1981. Hak ini dikukuhkan sebagai hak yang tidak dapat dicabut (inalienable) dalam resolusi-resolusi Majelis Umum PBB dan yang kemudian ditegaskan lagi oleh Deklarasi Rio tahun 1992.

Perbedaan pandangan antara hak-hak sipil dan politik di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak telah menimbulkan salah persepsi mengenai apa yang merupakan pelanggaran HAM. Negara-negara Barat berpandangan bahwa pelanggaran HAM hanya menyangkut pelanggaran hak sipil dan politik saja, khususnya dalam kaitannya dengan hak-hak dan kebebasan individu. Sementara pandangan negara-negara berkembang mengenai perlu

adanya prioritas untuk pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya justru ditanggapi secara dingin oleh negara-negara maju.

Perbedaan persepsi ini telah mencapai titik solusinya pada Konferensi Dunia mengenai HAM 1993 di Wina, Austria, dimana disepakati perlunya pendekatan yang berimbang dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM yang intinya sebagai berikut :

Semua kategori HAM adalah universal, saling tergantung dan terkait satu sama lain. Masyarakat internasional hendaknya memberlakukan HAM tersebut secara adil dan cara yang sama, berdasarkan persamaan derajat dan penekanan yang sama.

Pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasi-organisasi regional dan multilateral global. Tentu saja PBB dan badan-badan khusus dengan aneka ragam komisi dan komitenya yang merupakan motor dan sumber instrumen-instrumen yang menyangkut hak-hak asasi manusia telah melakukan berbagai kegiatan.

Sehubungan dengan itu PBB telah membagi kegiatan tersebut ke dalam beberapa periode sebagai berikut :

1. Periode pembentukan sistem, dari Piagam PBB ke Deklarasi Universal HAM (1945-1948).

2. Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai konvensi dan instrumen HAM internasional (1949-1966). 3. Periode pelaksanaan sistem, yang dimulai dari pengesahan

instrumen hingga Konferensi Wina (1993-1995).

4. Periode perluasan sistem, dari Konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak lanjut (1993-1995).

5. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000).51

Menurut sistem PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM dikenal tiga bidang utama yakni :

a. Upaya pembakuan standar internasional;

b. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM; c. Jasa nasehat dan kerjasama teknik.52

1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

Tidak dapat disangkal bahwa PBB mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi di seluruh dunia. Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Dapat dikatakan bahwa deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan hak-hak asasi manusia, sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa.

Deklarasi tersebut terdiri dai 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Deklarasi universal tersebut diterima oleh 49 negara, tidak ada yang menentang, 9 abstein dan berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak yang diuraikan dalam deklarasi tersebut dapat dikatakan sebagai sintesa antara konsepsi liberal Barat dan konsepsi sosialis. Dalam dekarasi universal tersebut belum ada ketentuan mengenai hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri.

Walaupun mempunyai arti historis yang penting dan nilai politik yang tinggi, namun Deklarasi tersebut dari segi hukum tidak mempunyai daya ikat

51

Boer Mauna, Hukum Internasiona,l Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Cet. 3, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 594-597.

52

seperti deklarasiā€“deklarasi lainnya yang diterima Majelis Umum PBB. Sebaliknya ketentutan-ketentuan yang terdapat dalam Deklarasi tersebut banyak yang dimasukkan oleh negara-negara ke dalam legislasi nasionalnya masing-masing dan telah dijadikan tolak ukur untuk menilai sejauh mana suatu negara melaksanakan hak-hak asasi manusia. Karena itu banyak ketentuan dalam Deklarasi itu dapat dianggap mempunyai nilai sebagai hukum kebiasaan internasional (customary international law). 53

2. Konvensi tentang Pencegahan dari Penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Ras (Convention on the Protection

and Punishment of the Crime of Genocide) 1948

Deklarasi universal telah memberikan inspirasi terhadap sekitar 80 konvensi, deklaraasi, atau dokumen lainnya mengenai hak-hak asasi manusia.

Konvensi ini merupakan jawaban terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia II dan mengategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancurkan kelompok-kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut.

3. Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All

Forms of Racial Discrimination) 1966

Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 150 negara. Konvensi ini mengutuk segala macam bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun prakteknya.54

Dan masih banyak lagi pengaturan hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia.

53

Ibid, hal. 601-602.

54

b. Hukum Nasional

Sebagai bangsa yang lahir dari penjajahan selama ratusan tahun, hak asasi manusia bukanlah merupakan hal baru bagi Indonesia. Bangsa Indonesia sangat memahami makna dan hakekat hak-hak asasi manusia. Sebagai bukti, bukankah ungkapan pertama yang tampil dalam pembukaan UUD 1945 adalah tekad untuk menghapuskan penjajahan dari permukaan bumi karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Itulah sebabnya Indonesia mempunyai komitmen untuk mewujudkan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Komitmen tersebut bersumber pada Pancasila, khususnya sila ke-2 yakni kemanusiaan yang adil dan beradab serta pasal-pasal yang relevan pada UUD 1945 yang dirumuskan sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) oleh PBB pada tahun 1948. Disamping itu, nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia juga menjadi sumber komitmen bangsa Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Indonesia untuk memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia didasarkan atas prinsip-prinsip kesatupaduan, keseimbangan, dan pengakuan atas kondisi nasional, Prinsip kesatupaduan berarti bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan dan penilaian pelaksanaan. Prinsip keseimbangan mengandung pengertian bahwa diantara hak-hak asasi manusia perorangan dan kolektif serta tanggung jawab perorangan terhadap masyarakat dan bangsa memerlukan keseimbangan dan keselarasan. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk individual dan makhluk sosial.

Komitmen Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia juga bersumber pada pasal-pasal yang relevan dalam UUD 1945, yakni persamaan hak sesama warga negara dalam hukum (pasal 27), hak berserikat dan berkumpul (pasal 28), dan lainnya. Jelaslah, bahwa pemajuan dan perlindungan

hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan amanat konstitusional bagi segenap unsur penyelenggara pemerintah.

Indonesia mengakui universalitas hak-hak asasi manusia dan pada saat yang sama juga berpendapat bahwa pelaksanaan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia dan berbagai instrumen hak asasi internasional adalah wewenang dantanggung jawab setiap pemerintah dengan memperhatikan sepenuhnya keanekaragaman tata nilai sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi serta faktor-faktor lain yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan.

Sesuai dengan rekomendasi Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993, bahwa Indonesia juga aktif terlibat dalam perumusan berbagai prinsip penting dan hasil Lokakarya Nasional HAM II 1993, PANTAP HAM telah berhasil menyusun suatu Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia yang memuat langkah-langkah nyata untuk pemajuan dan penghormatan HAM yang akan dilakukan pada tingkat nasional. Penyusunan Rencana Aksi Nasional HAM ini dilandasi kenyataan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan secara konsepsional dan menyeluruh yang mencakup aspek perbaikan instrumen hukum, penguatan institusi, dan peningkatan sumber daya manusia. Tanpa pendekatan yang menyeluruh dan berkesinambungan, pemajuan dan perlindungan HAM hanya akan bersifat parsial dan ad hoc. Rencana Aksi Nasional ini terdiri dari empat pilar program yaitu :

1. Pengesahan perangkat internasional HAM; 2. Diseminasi dan pendidikan HAM;

3. Pelaksanaan perlindungan hak yang paling mendasar (non derogable rights);

4. Pelaksanaan isi dan ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia.55

55

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia

Berisi tentang visi pemerintah Indonesia mengenai HAM. Yang terdapat dalam UU HAM tersebut adalah :

a. Definisi HAM, dikatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan, wajib dihormati, dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusis.

b. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang-Undang ini memiliki lingkup wewenang sebagai berikut :

a. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat.

b. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yangdilakukan di luar batas teritorial wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.

c. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.

d. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti yang diatur dalam undang-undang ini tidak dikenal kadaluwarsa.

Dokumen terkait