• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Pelapor

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 137-140)

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Raja Baringin Grahita Natha Hutajulu

B.1. Perlindungan Hukum Pelapor

Pengertian perlindungan berdasarkan Pasal 1 angka (6) Undang-Un dang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No mor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan, per lindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan LPSK atau lembaga lainnya. Kata-kata “yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya” mengandung makna pemberian perlindungan merupakan sebuah kewajiban yang dilaksanakan oleh tidak hanya satu institusi, melainkan termasuk lembaga-lembaga penegak hukum dan instansi terkait yang mem punyai tugas dan kewenangan dalam mewujudkan hak-hak perlindungan bagi saksi dan korban.

LPSK sendiri membagi perlindungan menjadi tiga, yaitu perlindungan isik, per lindungan hukum dan layanan pemenuhan hak prosedural saksi. Pa da kesempatan ini, penulis akan fokus pada bentuk perlindungan yaitu perlin dungan hukum.

Beberapa pengertian perlindungan hukum berdasarkan pendapat bebe rapa ahli adalah sebagai berikut:

“Perlindungan hukum merupakan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam ne gara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang ber laku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang- we nang an, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai per lin dung an atas kepentingan manusia.”1

Dari beberapa pendapat ahli tentang pengertian perlindungan hukum di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan hukum merupakan hak asasi manusia selaku subyek hukum, yang diberikan untuk menjamin harkat dan martabat serta rasa keadilan warga masyarakat.

Dalam konteks perlindungan hukum terhadap seorang pelapor, ber arti hak tersebut diberikan dalam konteks proses hukum yang sedang berja lan. Pelapor dalam konteks sebuah pro ses hukum merupakan orang yang me nyampaikan informasi kepada aparat penegak hukum yang ber- wenang tentang adanya suatu peristiwa/tindak pidana. Oleh karenanya perlindungan hukum yang diberikan kepada pelapor haruslah menjamin harkat dan martabat serta rasa keadilan seseorang atas informasi tentang suatu tindak pidana yang diberikannya kepada aparat penegak hukum.

Mengapa harkat dan martabat serta rasa keadilan bagi seorang pelapor itu penting untuk dijaga? Hal ini perlu dipahami bahwa seorang pelapor ketika dirinya mengambil langkah untuk mem berikan informasi kepada penegak hukum, dia telah mengambil risiko untuk berada dalam posisi yang berlawanan de ngan pelaku tindak pidana. Posisi berlawanan ini menimbulkan risiko ben tur an konlik kepentingan dimana pelaku atau kelompok pelaku dengan segala da ya, akan me- lakukan segala upaya untuk menghalangi langkah seorang pelapor.

Bentuk konkrit dari upaya “menghalangi” ini dalam praktik yang dapat terlihat jelas adalah upaya memberikan ancaman secara isik yang diberikan tidak hanya terhadap diri pelapor, tetapi juga terhadap keluarganya. Seringkali upaya “menghalangi” pelapor ini dilakukan secara kasat ma ta namun mempunyai efek atau dampak yang luar biasa bagi diri atau kehidupan pelapor. Hal yang

paling sering muncul dalam penanganan perlindungan terhadap seorang pelapor ada lah mun- culnya sebuah permasalahan hukum baru yang muncul tiba-tiba, namun seolah-olah meru pakan permasalahan hukum yang secara aturan normatif merupakan pelanggaran dan pada umum nya ditangani penegak hukum yang berbeda dengan penegak hukum yang menangani laporan dari pelapor tersebut.

Berpedoman pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 ten tang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlin dungan Saksi dan Korban, perlindungan hukum terhadap seorang pelapor diatur dan dijamin dengan ketentuan bahwa:

(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hu kum, baik pi- dana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberi- kannya, kecuali kesaksian atau lapor an tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pe laku, dan/atau Pelapor

atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, se dang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hing ga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Penjelasan ketentuan pasal tersebut, menyebutkan, yang dimaksud de ngan “memberikan kesaksian tidak dengan iktikad baik” antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat.

Ketentuan ini juga sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 ten- tang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whis tle blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama

(justice collaborator), yang meng atur pedoman-pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan pelapor tindak pidana (whistleblower), adalah sebagai berikut:

a. yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya;

b. apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka pe nanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Dalam aturan perundang-undangan yang mengatur tentang pena ngan an perkara tindak pidana korupsi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, keberadaan pe lapor merupakan suatu bentuk peran serta masyarakat dalam pen- ce gahan maupun pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan didasarkan pada prin sip ke- terbukaan atau kebebasan dalam negara demokratis, maka pemberian wewenang terhadap warga masyarakat yang ingin mencari tahu dan menda patkan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi harus dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko rupsi, dijelaskan bahwa:

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di wu jud kan dalam bentuk : a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya duga an telah terjadi tin-

dak pidana korupsi;

Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

masi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:

1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;

2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan se bagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, se suai dengan ketentuan peraturan per undang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sebenarnya sudah terlihat jelas tentang jaminan perlindungan hukum terhadap pelapor yang menjalankan peran sertanya sebagai masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam praktik penanganan perlindungan yang dilakukan LPSK, hal ini tidak dengan mudahnya terimplementasikan. Perlindungan hukum ini harus dilakukan dengan sebuah proses yang membutuhkan langkah-langkah bersifat advokasi.

Seperti contoh dalam penanganan perlindungan di Kendal, Jawa Te ngah, dimana LPSK me- nerima permohonan perlindungan dan memberikan per lindungan terhadap salah seorang pela- por perkara dugaan tindak pidana ko rupsi di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang proses pela- porannya dilapor kan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam perkembangannya pihak pelapor kemudian dilaporkan balik kepada pihak kepo- lisian atas sangkaan dugaan tindak pidana perbuatan mem buat pengaduan palsu atau itnah atas pelaporannya kepada KPK, yang pada perkembangannya perkara pengaduan palsu atau itnah tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kendal untuk disidangkan, walaupun pelaporan di KPK masih berjalan.

Akan tetapi kemudian dalam tahap persidangan, Majelis Hakim Peng adilan Negeri Kendal menjatuhkan putusan sela yang memutuskan bahwa proses penuntutan perkara dimaksud bersifat prematur karena proses pe nun tutan terhadap pelapor harus ditunda sampai menunggu laporannya mem peroleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga proses pemeriksaan pokok perkara harus dihentikan dan berkas perkara dikembalikan kepada jaksa penuntut umum.

Atas putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kendal tersebut, LPSK menyampaikan apresiasi kepada majelis hakim perkara yang menggunakan ketentuan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta per aturan lainnya dalam memutus perkara sehingga jaminan hak perlindungan, baik terhadap saksi, korban maupun terhadap pelapor, dapat terimplementasikan dengan baik, sehingga dapat mewujudkan proses penegakan hukum peradilan pidana yang adil.

Sudarto berpendapat, dalam menghadapi permasalahan yang sering disebut masalah krimi nalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya se bagai berikut:2

a. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu me wujudkan masyarakat adil makmur yang merata ma terial dan spiritual berdasarkan Pan- casila, sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan un tuk me- nang gulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penang gulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

rus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiri tuil) atas warga masyarakat;

c. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost- beneit principle); dan

d. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Penanganan perlindungan tersebut merupakan contoh yang dapat di ka takan berhasil wa laupun jaminan perlindungan hukum itu baru dapat diim ple mentasikan di tahap persidangan yang seharusnya dapat dipahami dan di lakukan aparat penegak hukum sejak tahap penyelidikan/ penyidikan awal. De ngan demikian hal ini dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat meng- ungkap tindak pidana dan menciptakan iklim yang kondusif dengan cara mem berikan perlindungan atau menemukan suatu hal yang dapat membantu meng ungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pada kasus tersebut di atas seharusnya tidak dilakukan proses hukum karena memberikan pe laporan kepada aparat penegak hukum bukan merupak an tindak pidana. Menurut Moeljatno, ada tiga alasan yang dapat menghapuskan pidana, yaitu:3

1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hu kumnya perbuatan pidana;

2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa (menurut Prof. Nico Keijzer adalah menghapuskan tercelanya perbuatan terdakwa);

3. Alasan penghapus penuntutan, artinya tidak memikirkan sifat perbuatan dan sifat pelakunya (tercelanya), tetapi pemerintah menganggap atas da sar utilitas atau kemanfaatannya ba- gi kepentingan masyarakat, se baiknya tidak dilakukan penuntutan, yang menjadi pertim- bangan ada lah kepentingan umum.

Dengan demikian pelapor yang mempunyai itikad baik harus diberi perlindungan hu kum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga dia tidak merasa terancam atau terinti- midasi, baik hak maupun jiwa.

Dalam dokumen Potret Perlindungan Saksi dan Korban (Halaman 137-140)