• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Akad Asuransi Syariah dengan Hukum Islam

Konsep hukum dalam Islam berbeda dengan hukum lainnya. Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat (Hukum Muamalah), seperti yang diatur dalam hukum barat. Namun hukum Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT (Hukum Ibadat) yang tidak diatur dalam hukum lainnya.37

Hukum dalam Islam berdasarkan atas maslahat dunia dan kemaslahatan akhirat. Penetapan hukum muamalah dalam Islam tidak bersifat lahiriyah atau duniawi saja. Meskipun hukum muamalat mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum ini juga bersifat spiritual atau akhirat.38 Sebagai contoh jual beli. Jual beli adalah hal yang tidak dilarang dalam Islam. Secara lahiriyah, jual beli merupakan pertukaran hak milik atas suatu benda dengan harga atas benda tersebut. Secara batiniyah, jual beli dapat menjadi wajib hukumnya apabila dalam keadaan terpaksa, misalnya wali yang menjual harta anak yatim, atau kadi yang menjual harta muflis ( orang yang lebih banyak hutangnya dari pada

37

Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia ( Jakarta. Kencana, 2006) hal. 26

38

hartanya) jual beli dapat menjadi haram hukumnya apabila obyeknya adalah barang najis, seperti minuman keras, bangkai, dan babi.

Dalam Hal ini akad asuransi syariah sebagai suatu perjanjian harus sesuai kepada landasan hukum syariat yang berkaitan dengan urusan perniagaan Islam. Karena itu akad asuransi berdasarkan konsep bagi hasil mudharabah dan tabarru. Prinsip tersebut yang menjadi dasar perniagaan Islam pada asuransi syariah.

Hadits tentang perjanjian:

& '

#C

(./

0 ."

.ﺱ1

:

O V B 1B &W O X ﺵ ;Z )X1 ﺵ (." H+ . 1

[\ﻡ 6

1-39

(

Artinya: Orang-orang muslim itu terikad dengan syarat yang mereka sepakti, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (H.R Turmudzi)

Hadits diatas menjelaskan tentang prinsip umum dalam melakukan akad atau transaksi. Orang muslim dalam melakukan transaksinya bergantung oleh syarat yang mereka sepakati bersama antara kedua belah pihak, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dengan perusahaan asuransi akad atau transaksi antara anggota (nasabah) dengan pengelola asuransi harus berdasrkan syarat-syarat yang mereka tetapkan bersama. Jika syarat-syarat tersebut telah disepakati, maka kedua belah pihak (nasabah dan perusahaan) terikat dalam suatu

39

Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi al-Sulami, Jami' Shahih Sunan al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, tt, jilid 3, hal. 634, no hadis 1352.

ikatan (al-aqdu) yang harus disepakati bersama, kecuali syarat-syarat yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah.

Hubungan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 dengan Akad Asuransi Syariah.

`Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk mengangkat harkat martabat kehidupan konsumen dengan menghindari akibat negatif, selain dari pemakaian barang juga manfaat jasa. Upaya melindungi yang dilakukan melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 diharapkan mampu menegakkan norma hukum perlindungan konsumen dan sisi lain memberikan rasa tanggung jawab dunia usaha.

Dari beberapa materi muatan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, salah satunya ketentuan mengenai klausula baku didasari atas pemikiran bahwa dasar praktek bisnis, klausula baku sangat dibutuhkan keberadaanya terutama bagi pelaku usaha yang mengelola kegiatan jasa seperti; perbankan, asuransi, transportasi, dan lain-lain yang memiliki transaksi cepat, murah, efektif, dan efisien.

Dapat difahami pemberlakuan klausula bakud dalam formulir maupun dokumen perjanjian standar memberikan kemudahan kepada pelaku usaha agar tidak berulang-ulang membuat perjanjian dengan konsumen yang berbeda-beda, jumlah banyak, dan tentunya membuang tenaga, waktu dan biaya. Namun yang menjadi masalah, seringkali klusula standard ini diadakan hanya untuk memberikan legitimasi

kepada pelaku usaha untuk memberikan hak tawar (bargaining position) kepada konsumen.

Pengaturan kontrak menurut Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut: “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjan yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Dengan perkataan lain akad merupakan suatu ketentuan yang menjadi tolok ukur yang memuat hak dan kewajiban para pihak dalam suatu transaksi baik barang dan/atau jasa yang dibuat secara tertulis dan materi telah ditentukan sebelumnya secara sepihak.40

Klausula baku menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur dalam Bab V dengan judul “ketentuan pencatuman klausula baku”, yang dimuat di dalam pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4), yang pada dasarnya melarang klausula baku di dalam perjanjian standar yang memenuhi kriteria seperti yang disebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen .

Untuk menjunjung tinggi dan memberikan kepastian hukum, pengaturan klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menggunakan cara

40 Pedoman Klausula Baku Di Bidang Asuransi. Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, departemen Perindutrian dan Perdagangan, 2001. hal. 8

penyusunan daftar negatif, dengan delapan materi dilarang yaitu apabila klausula baku:41

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli oleh konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen memanfaatkan yang dibelinya.

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

41

Sebagai kelengkapan materi tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga melarang pencatuman klausula baku yang letak atau pengungkapannya mengakibatkan konsumen tidak dapat mengerti atau sulit melihat dan atau membaca secara jelas (pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tidak disebutkan klausula baku seperti apakah yang dapat dinyatakan sebagai klausula baku yang sulit terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas serta pengungkapan sulit dimengerti, padahal demi kepastian hukum perlu ada suatu kriteria atau acuan mengenai klausula baku seperti apa yang dapat dinyatakan sebagai klausula baku yang bentuknya sulit terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas serta pengungkapannya sulit dimengerti.

Pada dasarnya transaksi dalam hukum Islam bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qobul yang dilakukan oleh kedua pihak, setelah “pembuatan akad” maka transaksi tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Hanya permasalahanya, ketika transaksi muamalah itu harus sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antar individu, maka hukum Islam telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan (tadlis) transaski tersebut.42 Bahkan, hukum Islam telah menjadikan penipuan sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari penjual maupun pembeli barang.

Setiap melakukan transaksi senantiasa harus dilandasi oleh aturan hukum-hukum Islam (syariah), karena transaksi adalah manisfestasi amal manusia yang

42

Taqyudin Annabani, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya, Risalah Gusti 1996) hal. 205

bernilai ibadah dihadapan Allah SWT, sehingga dalam Islam dapat dikategorikan menjadi dua bagianYakni transaksi yang halal dan transaksi yang haram. Halal dan haramnya suatu transaksi tergantung beberapa kreteria yaitu:

a). Obyek yang dijadikan transaksi apakah obyek halal atau obyek haram. b). Cara bertransaksi apakah cara bertransaksi halal atau transaksi haram.

Disamping ketentuan diatas, Hukum Islam sebagai bagian dari muamalah harus pula memperhatikan prinsip-prinsip bidang muamalah dalam bertransaksi. Prinsip-prinsip tersebut sabagai berikut43:

f. Prinsip antaradhain (saling rela dalam akad); g. Prinsip al-I’timad ‘ al-nafs (kewirausahaan); h. Prinsip al-ta’awun ( saling tolong menolong); i. Prinsip al-mas-uliyah ( tanggung jawab );

j. Prinsip al-taysir (kemudahan), karena segala prinsip muamalah diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan

k. Prinsip al-idariyah (administrasi keuangan yang benar dan transparan); l. Prinsip al-takaful al-ijmali (tanggung jawab sosial);

m. Prinsip al-ikhtiyat (kehati-hatian).

Hukum Islam memberikan kemudahan atau kebebasan pada setiap orang untuk melakukan akad sesuai yang diinginkan, sebaliknya apabila ada unsur pemaksaan

43

Djazuli, Fikih Siyasah (Implementasi Kemaslahaan Umat Dalam Rambu-rambu Syariah ( Jakarta: Prenada Media, 2003) hal 412.

atau pemasungan kebebasan akan menyebabkan legalitas kontrak yang dihasilkan batal dan tidak sah. Ketentuan ini menggambarkan prinsip dasar muamalah yaitu kebolehan (mubah) yang mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.

Namun, kebebasan berakad tersebut memiliki batasan terhadap hal-hal yang sudah dilarang dalam syariat. Tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penganiayaan terhadap sesama manusia melalui kontrak yang dibuatnya.

Dengan demikian Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama-sama memberikan kepastian hukum kepada setiap pihak yang melakukan akad, agar masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan, khususnya para nasabah. Bila masing-masing tidak melaksanakan hak dan kewajiban, maka dapat membatalkan akad yang telah dibuat, dan mendapatkan sangsi sesuai ketentuan yang berlaku..

Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun

Dokumen terkait