• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional (Traditional

C. Pengertian dan Pengaturan tentang Pengetahuan Tradisional

4. Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional (Traditional

Knowledge) dalam Hukum Nasional dan Internasional

Berdasarkan uraian di atas mengenai pengetahuan tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tradisional merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks. Dilihat dari pengertian dan ruang lingkupnya, pengetahuan tradisional sangat luas karena di dalamnya tidak hanya mencakup pengetahuan saja, tetapi menyangkut ekspresi budaya tradisional dan nilai-nilai dari masyarakat asli.

Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundangan terkait dengan HKI. Dari ketujuh undang-undang HKI yang ada di Indonesia, hanya terdapat 2 (dua) undang-undang yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur mengenai pengetahuan tradisional, antara lain:

a. Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002) UU No. 19 Tahun 2002 menyebutkan mengenai perlindungan suatu ciptaan yang termasuk ke dalam lingkup pengetahuan tradisional. Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 berbunyi:

(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya; (2) Negara memegag Hak Cipta atas folklor dan hasil

kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya; (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut

pada ayat (2), orang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut;

b. Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU No. 29 Tahun 2000)

Pasal 7 UU No. 29 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh Negara yang dalam hal ini

penguasaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.

Perlindungan pengetahuan tradisional di Indonesia juga

terdapat dalam peraturan perundang-undangan selain mengenai HKI, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biodiversity/UNCBD). Pasal 8j UNCBD menyebutkan bahwa pihak penandatangan konvensi wajib menghormati, melindungi, mempertahankan pengetahuan, dan inovasi-inovasi, serta praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan memajuka penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan.107

Meskipun telah ada peraturan perundangan yang mengatur dan melindungi pengetahuan tradisional, namun perlindungan tersebut belum mengakomodasi unsur pengetahuan tradisional secara keseluruhan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa selain pengetahuan tradisional sebagai warisan budaya, pengetahuan tradisional juga merupakan sumber daya dan teknologi yang

memberikan manfaat tidak hanya bagi masyarakat asli, tetapi juga dapat bermanfaat bagi masyarakat global.

Dasar hukum perlindungan pengetahuan tradisional secara internasional dapat dirujuk kepada beberapa instrumen hukum internasional. Dasar hukum tersebut dapat dikelompokkan ke dalam:108

a. Perlindungan

Pengetahuan Tradisional Atas Dasar Hak Asasi Manusia

1) Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO Conventions)

Perlindungan terhadap masyarakat asli digagas

pertama kali oleh ILO pada tahun 1957 melalui Konvensi ILO 107 tentang Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Asli dan Kesukuan (The Protection and Integration of Indigenous and Other Tribal and Semi-Tribal Population Convention). Tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan kepada

masyarakat asli untuk dapat menikmati kemanfaatan

pembangunan dengan memastikan bahwa keanekaragaman mereka dihargai dan dilindungi.109

Sesuai dengan perkembangannya, pada tahun 1969 dibentuk lagi Konvensi 169 berkenaan dengan Masyarakat Ali dan Kesukuan di Negara-Negara Merdeka (Convention

Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries). Berbeda dengan konvensi sebelumnya, ILO 169 didasarkan pada asumsi dasar bahwa masyarakat asli mempunyai hak untuk menentukan arah perkembangan

108 Ibid., hlm. 74. 109 Loc. Cit.

budaya mereka sendiri. Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah. Pertama, menjamin keikutsertaan masyarakat yang bersangkutan dalam setiap proses

pembangunan yang terkait dengan masyarakat asli. Pasal 2 ayat (1) ILO 1969 menyatakan sebagai berikut:110

“Governments shall have the responsibility for developing, with the participation of the peoples concerned, coordinated and systematic action to protect the rights of these peoples and to guarantee respect for their integrity.”111

Kedua, setiap proses pembangunan yang akan memengaruhi sifat-sifat dan karakteristik mereka yang spesifik, konvensi menjamin hak-hak masyarakat asli untuk memutuskan sendiri prioritas pembangunan tersebut dan melakukan pengawasan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri. Pasal 7 ayat (2) ILO 169 menegaskan sebagai berikut:112

“The peoples concerned shall have the right to decide their own priorities for the process of development as it affects their lives, beliefs, institutions and spiritual well-being and the lands they occupy or otherwise use, and to exercise control, to the extent possible, over their own economic, social, and cultural development.”113

Selain itu, konvensi juga mewajibkan pemerintah untuk menghormati hal-hal penting dari kebudayaan dan nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan terkait dengan tanah atau wilayah atau keduanya yang mereka tempati atau gunakan

110 Ibid., hlm. 75.

111 Pasal 2 ayat (1) ILO Convention 169. 112 Zainul Daulay, Op. Cit., hlm. 76. 113 Pasal 7 ayat (2) ILO Convention 169.

teurtama aspek kolektivitas dari hubungan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) ILO 169.114

2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(Universal Declaration of Human Rights) 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) 1966

Hukum hak asasi manusia internasional memberikan dasar yang kuat bagi pengaturan perlindungan pengetahuan tradisional. Bagi masyarakat asli, pengetahuan tradisional selain merupakan hak dasar yang harus dijamin secara adil, pengetahuan tersebut juga erat kaitannya dengan hak-hak dasar lainnya untuk menjamin kelangsungan hidup yang bersifat fisikal maupun kultural.

b. Perlindungan

Pengetahuan Tradisional sebagai Sumber Warisan Budaya dan Sumber Daya

1) Konvensi Keanekaragaman Hayati (The Convention on Biological Diversity – CBD)

2) Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Takbenda (The Convention for the Safeguarding Intangible Cultural Heritage)

Dokumen terkait