• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tesis Perlindungan TK sebagai Prior Art 1 3 17 September 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bab II Tesis Perlindungan TK sebagai Prior Art 1 3 17 September 2012"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

A. Hak Kekayaan Intelektual Pada Umumnya

1. Sejarah dan Prinsip Hak kekayaan Intekektual (HKI) a. Sejarah tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Pada akhir abad kesembilan belas, pengaturan masalah hak kekayaan intelektual mulai bersifat global. Tonggak

sejarahnya dimulai dengan dibentuknya The Paris Convention for the Protection of Industrial Property pada tahun 1883 dan The Bern Convention for The Protection of Literary and Artistic

Works.40 Pada perkembangannya Hak Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya disebut dengan HKI) kian berkembang menjadi bahan percaturan yang sangat menarik, terutama di bidang

ekonomi, khususnya bagi perkembangan industri dan

perdagangan internasional, perlindungan HKI menjadi semakin penting.

Perkembangan HKI sendiri sebetulnya dimulai setelah meredanya perang dingin. Sebab utamanya terjadinya pengalihan sebagian besar modal dan teknologi dari industri militer ke industri sipil. Pemerintah negara-negara yang tadinya menjadikan industri militer sebagai tumpuan perekonomian negara pada akhirnya sadar dan memberikan perhatian kepada industri sipil (dalam hal 40 Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Cetakan

ke-1, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, hlm. 1.

(2)

ini bidang HKI) sebagai tonggak perekonomian negara mereka. Pengalihan perhatian merupakan akibat dari terjadinya resisi ekonomi yang melanda negara-negara industri di akhir dasawarsa tujuh puluhan. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi juga menjadi pemicu yang mendorong terjadinya globalisasi HKI.

Berdasarkan uraian di atas cukup disimpulkan bahwa sejarah perkembangan HKI secara umum sangat pesat,

khususnya di bidang ekonomi. Sejarah perkembangan HKI di atas juga cukup membuktikan pentingnya upaya perlindungan HKI guna perlindungan perekonomian suatu negara.

Pada perdagangan internasional, kaitannya yang erat dengan perdagangan internasional tidak jarang telah memberi warna politik tersendiri. Baik secara langsung atau tidak langsung, keadaan tadi secara lebih banyak telah memberikan pengaruh terhadap cara pandang HKI pada tingkat nasional.41

HKI sebenarnya bukan merupakan barang baru di

Indonesia. sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang HKI yang sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.42

41 Loc. Cit.

(3)

Pada masa jajahan Belanda di Indonesia diberlakukan Auteurswet 1912 Stb. 1912 No. 600 43 yang diberlakukan untuk perlindungan atas Hak Cipta. Berikut ini adalah peraturan

perundang-undangan Belanda bidang HKI selain Auteurswet 1912 Stb. 1912 No. 600:44

1) Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912;S. 1912-545 jo. S. 1913-214); dan

2) Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910;S. 1910-33, yis S. 1911-33, S. 1922-54).

b. Prinsip tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Sistem HKI yang berkembang sekarang mencoba menyeimbangkan dua kepentingan, yaitu antara pemilik hak dengan kebutuhan masyarakat umum. Dua kepentingan ini tercermin dalam Pasal 27 The Declaration of Human Rights, yaitu:45

1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advencement and its benefits;

2) Everyone has the right to the protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.

43 Endang Purwaningsih, “Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights: Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian

Komparatif Hukum Paten”, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 1. 44 Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 1.

(4)

Untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem HKI mendasarkan diri pada prinsip – prinsip sebagai berikut:46

1) Prinsip keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik material maupun non – material seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui hasil karyanya.

2) Prinsip Ekonomi (the economic argument)

HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia. Dengan demikian HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. 3) Prinsip kebudayaan (the culture argument)

Kita mengkonsepsikan bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup,

selanjutnya dari karya itu pula akan timbul pula suatu gerakan hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian, maka pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi

(5)

peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia.

4) Prinsip sosial (the social argument)

Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia

sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, yang sama – sama terikat dalam suatu ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian pemberian hak kepada perseorangan, persekutuan atau kesatuan itu diberikan dan diakui oleh hukum, oleh karena itu, dengan diberikannya hak tersebut kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu, kepentingan seluruh manusia seluruh masyarakat akan terpenuhi.47

2. Pengertian dan Ruang Lingkup tentang Hak Kekayaan Intelektual

(HKI)

a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

(HKI)

Pada saat ini, isu perlindungan HKI sangatlah penting mengingat banyaknya pembajakan terhadap karya-karya hasil

(6)

intelektualitas manusia oleh manusia lainnya. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena tentu menyinggung sisi keadilan atau fairness serta melanggar fitrah manusia untuk diakui dan memiliki karya intelektual yang diciptakan atau ditemukannya. Namun, tidak semua karya yang dihasilkan oleh manusia mendapatkan perlindungan dalam rezim HKI. Oleh karena itu, diperlukan adanya batasan pengertian apa yang dimaksud dengan HKI itu sendiri.

HKI merupakan terjemahan istilah Intellectual Property Rights(IPR) yang terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir, seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir, Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak-hak

(wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.48

HKI mempunyai beberapa pengertian yang diungkapkan dalam beberapa literatur, baik literatur asing maupun lokal, baik dalam peraturan internasional maupun peraturan nasional. Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi dalam bukunya yang berjudul Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) : Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi,

(7)

menyatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul karena

kemampuan intelektual manusia. Kemampuan tersebut dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.49

Menurut World Intellectual Property Organization (WIPO) kekayaan intelektual merujuk pada kekayaan kreativitas pemikiran seseorang berupa penemuan (invensi), ilmu pengetahuan

(pustaka). Seni, tanda, nama, image, dan desain yang digunakan secara komersial50, sedangkan menurut World Trade Organization (WTO), HKI adalah hak yang diberikan kepada seseorang

dikarenakan telah menghasilkan kreatifitas melalui pemikirannya. Hak disini biasanya diberikan dalam bentuk hak ekslusif dalam penggunaan kreasi tersebut untuk jangka waktu tertentu.51

HKI adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk

49 Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) : Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, PT Indeks, Jakarta, 2008, hlm. 14.

50 Tanpa penulis, What is Intellectual Property?, < Http://www.wipo.int/about-ip/en/.>, tanpa tanggal dan tahun, diakses pada tahun 2008.

51 Tanpa penulis, What are Intellectual Property Rights?,

(8)

menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.52

b. Ruang Lingkup Hak Kekayaan

Intelektual (HKI)

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa HKI merupakan hasil karya yang bersumber dari kreativitas

berdasarkan kemampuan intelektual manusia. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir yang membuatnya menjadi makhluk paling sempurna. Pemahaman mengenai HKI akan dipengaruhi oleh pemahaman mengenai benda.

Sebagai suatu tatanan hukum, HKI sejak awal tidak tercatat dalam sistem hukum di Indonesia, walaupun demikian

kehadirannya telah melengkapi konsepsi mengenai hak milik dalam hukum perdata Indonesia. Keberadaan tentang hak milik yang dikenal dalam hukum perdata yang berlaku hingga saat ini pada dasarnya bergantung pada konsep kebendaan, dalam hal ini hukum kebendaan immateriil.53

Hak Kekayaan Intelektual termasuk dalam lingkup Hukum Perdata, termasuk pada bidang Harta Kekayaan, yang terletak pada Hukum Hak Immateriil, dimana terdapat peraturan-peraturan

52 Tanpa Nama, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tangerang, 2011, hlm. 1

(9)

hukum yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Sistimatika Hukum Harta Kekayaan pada Hukum Perdata meliputi dua bidang, yakni:54

1) Hukum Benda (Buku II KUHPerdata)

Secara umum, benda dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yakni benda berwujud (tangible forma) dan benda “tak” benda (intangible form). Benda “tak” benda ini lazim disebut dengan benda tidak berwujud, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 503 Burgerlijk Wetboek (BW). Benda tidak berwujud ini dalam Pasal 499 BW disebut dengan hak. Baik benda berwujud maupun benda tidak berwujud dapat menjadi objek hak, terutama apabila turut serta dimanfaatkan oleh pihak lain. Hak terhadap benda beruwujud disebut hak absolut atas suatu benda, sedangkan hak terhadap benda tidak berwujud disebut hak absolut atas suatu hak.

BENDA DAN HAK (keduanya objek hak)55 BENDA (berwujud)

Contoh: rumah, tanah, kursi,

kendaraan, komputer.

HAK (tidak berwujud) Hak absolut, Contoh: hak milik, hak sewa, hak pakai.

BENDA (berwujud) Contoh: buku, lukisan, merek, produk.

HAK (tidak berwujud) Hak absolut, contoh: hak cipta, hak merek, paten.

YANG DIALIHKAN YANG DIALIHKAN

54 Ibid., hlm. 12-16.

(10)

Hak milik,

penguasaan benda, dengan perjanjian

HKI, penggunaan HKI dengan lisensi (izin)

PERLINDUNGAN HUKUM

Oleh: Hukum Perdata

PERLINDUNGAN HUKUM

Oleh: Hukum HKI Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat bahwa HKI

merupakan hak kebendaan, sehingga HKI dapat dikatakan sebagai aset karena memiliki nilai ekonomi.

2) Hukum Perikatan (Buku III KUHPerdata)

Peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi. Hak Kekayaan Intelektual termasuk di dalam lingkup Hukum Harta Kekayaan yang diatur dalam KUHPerdata Buku Kedua

(Benda) dan Hukum Perikatan (Buku Ketiga).56

Rezim HKI merupakan rezim induk yang terdiri dari beberapa sub rezim, sehingga sub rezim ini merupakan ruang lingkup dari HKI itu sendiri. Berbagai konvensi internasional terkait HKI memberikan klasifikasi yang berbeda-beda mengenai ruang lingkup HKI, yaitu:

1) Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection on Industrial Property) berlaku untuk HKI industrial dalam

pengertian luas, termasuk paten, merek, desain industri, utility

(11)

models, nama dagang, indikasi geografis, serta pencegahan persaingan curang;57

2) Convention Establishing World Intellectual Property

Organization (WIPO) mengklasifikasikan HKI ke dalam Paten (Patent), Model dan Rancang Bangun (Utility Models), Desain Industri (Industrial Design), Merek Dagang (Trade Mark), Nama Dagang (Trade Name) dan Sumber Tanda atau Sebutan Asal (Indication of Source or Appelation of Origin);58 3) Konvensi Berne (Bern Convention) mengatur cabang kedua

HKI, yaitu Hak Cipta (Copy Rights);59

4) Persetujuan TRIPs (The Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) mengatur mengenai Hak Cipta dan Hak-Hak Terkait, Indikasi Geografis, Paten, dan Rahasia Dagang.60

Indonesia sebagai salah satu negara yang merupakan anggota dari beberapa konvensi internasional terkait HKI tersebut di atas telah mengklasifikasikan HKI ke dalam 7 (tujuh) rezim, antara lain:

1) Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta); 2) Paten (UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;

3) Merek (UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek);

4) Rahasia Dagang (UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang);

5) Desain Industri (UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri);

57 Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, Op. Cit., hlm. 27. 58 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 4.

(12)

6) Desain Tata Letak Sirkit Terpadu (UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkit Terpadu); dan

7) Perlindungan Varietas Tanaman (UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman).

Meskipun rezim HKI diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, namun secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:61

1) Hak Cipta (copyright);

2) Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:

a) Paten (Patent);

b) Desain Industri (Industrial Design); c) Merek (Trade Mark);

d) Penanggulangan Praktik Persaingan Curang

(Repression of Unfair Competition);

e) Desain Tata Letak Sirkit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit); dan

f) Rahasia Dagang (Trade Secret).

3. Hak Kekayaan Intelektual dalam Hukum Nasional dan

Internasional

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia. setelah 16 (enam belas) tahun Indonesia merdeka,

(13)

dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang Hak Cipta tahun 1982, dan Undang-Undang Paten pada tahun 1989.62

Berdasarkan uraian di atas, undang-undang HKI pertama kali lahir di Indonesia pada tahun 1961. Berikut ini akan diuraikan

perkembangan peraturan perundang-undangan tentang HKI di Indonesia hingga saat ini:

c. Undang merek pertama di Indonesia lahir

pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan Merek Perniagaan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961 yang dikenal juga dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961.63 Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Undang-undang tentang merek mengalami beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;

d. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982

tantang Hak Cipta sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997. Kemudian diperbaharui kembali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;

e. Undang-Undang paten Indonesia pertama

baru ada pada tahun 1989 sejak diundangkan dan

(14)

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 dan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;

f. Undang-undang lain di bidang HKI adalah

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000

tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Berkembangnya perdagangan internasional secara bebas sangat berpengaruh pada penggunaan atau pemanfaatan HKI. Beberapa peraturan perundangan di Indonesia terkait dengan HKI di atas tentu mendapatkan pengaruh dari konvensi-konvensi

internasional terkait dengan HKI. Konvensi internasional yang terkait dengan HKI antara lain sebagai berikut:

a. Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection on Industrial

Property)

(15)

Konvensi Paris telah beberapa kali diubah. Perubahan terakhir adalah pada 1967 di Stockholm pada tahun 1979.64

Pada intinya terdapat tiga kelompok ketentuan pokok dalam Konvensi Paris:65

1) National Treatment

Ketentuan national treatment menuntut adanya

pemberlakuan yang sama dalam kaitan dengan perlindungan kekayaan intelektual antara yang diberikan kepada warga negara sendiri dengan warga negara lain.

2) Hak Prioritas

Hak prioritas diberikan oleh negara terhadap paten, utiluty models, merek, dan desain industri. Artinya,

berdasarkan permohonan yang dilakukan di negara anggota, pemohon dalam jangka waktu tertentu, dapat mengajukan permohonan perlindungan yang sama di negara anggota lainnya.

3) Ketentuan-Ketentuan Umum

Keharusan bagi negara anggota untuk mematuhi

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Paris terdapat dalam TRIPs Agreementi. TRIPs Agreement mengharuskan negara anggota untuk mematuhi Article 1 – Article 12 serta Article 19 Konvensi Paris yang mengatur mengenai paten, utility models, merek, desain industri, persaingan yang curang, instansi HKI, dan persetujuan-persetujuan khusus.

b. Konvensi Berne (Bern Convention)

64 Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, Hak Kekayaan Intelektual : Memahami Prinsip Dasar, Cakupan, dan Undang-Undang yang Berlaku,, Cetakan Ke-1, Oase Media, 2010, hlm. 27.

(16)

Konvensi Berne diselenggarakan pada tahun 1971 yang mengatur mengenai Hak Cipta. Beberapa ketentuan pokok yang diatur dalam Konvensi Berne adalah pembentukan union,

perlindungan karya cipta, kriteria pemberian perlindungan, kriteria perlindungan untuk karya sinematografi, arsitektur, dan karya artistik tertentu, hak-hak yang diberikan, pembatasan

perlindungan atas karya tertentu dan warga negara bukan anggota union, serta jangka waktu perlindungan.

c. Konvensi Roma (Rome Convention)

Konvensi Roma dirujuk TRIPs Agreement article 14 (6)

dalam hubungan dengan pelaku (performers), produser fonogram (producers of phonograms), dan lembaga penyiaran (broadcasting organization). Dalam TRIPs

Agreement, Konvensi Roma bukanlah konvensi yang wajib diikuti oleh negara-negara yang meratifikasi Persetujuan

WTO, termasuk annex I C TRIPs. Konvensi Roma disepakati pada tahun 1961.

d. GATT 1994 (General Agreement Tariff and Trade/Persetujuan

Umum tentang Tarif dan Perdagangan

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, TRIPs

(17)

Article XXII berisi aturan tentang perlunya diambil langkah konsultasi sehubungan dengan pelaksanaan TRIPs Agreement, hal yang merupakan prinsip umum yang sudah dikenal luas dalam rangka penyelesaian sengketa. Konsultasi merupakan titik awal sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya yang dipilih para pihak. Sementara, Article XXIII mengantisipasi langkah lanjutan atas tidak dilaksanakannya atau dilanggarnya tujuan TRIPs

Agreement sebagai akibat berbagai hal, misalnya kegagalan salah satu negara anggota dalam melaksanakan kewajibannya

berdasarkan TRIPs Agreement.

e. Persetujuan TRIPs (The Agreement on Trade Related Aspect of

Intellectual Property Rights)

TRIPs Agreementi merupakan Annex IC dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), yang pada hakikatnya mengandung 4 (empat) kelompok pengaturan, yaitu:

1) Pengaturan yang mengaitkan peraturan HKI dengan

konsep perdagangan internasional;

2) Pengaturan yang mewajibkan negara-negara anggota

untuk mematuhi Konvensi Paris dan Konvensi Berne; 3) Pengaturan yang menetapkan aturan atau ketentuan

sendiri; dan

4) Pengaturan yang berkaitan dengan penegakan hukum

HKI.

f. Convention Establishing World Intellectual Property Organization

(18)

Konvensi ini mengklasifikasikan HKI ke dalam Paten (Patent), Model dan Rancang Bangun (Utility Models), Desain Industri (Industrial Design), Merek Dagang (Trade Mark), Nama Dagang (Trade Name) dan Sumber Tanda atau Sebutan Asal (Indication of Source or Appelation of Origin).

g. Konvensi Strasbourg

Pada perkembangannya sejumlah negara merasa perlu untuk menetapkan suatu sistem klasifikasi yang diterima secara internasional untuk paten, utility models, dan Sertifikat Penemuan untuk memudahkan pelaksanaan penelitian terhadap invensi yang baru. Pada tahun 1954 Dewan Eropa mengadakan konvensi mengenai klasifikasi tersebut. Klasifikasi itu telah berjalan dengan baik, tetapi Dewan Eropa tidak mempunyai sarana yang cukup untuk menjaga klasifikasi agar tetap mutakhir. Oleh karena itu, dianggap lebih baik apabila klasifikasi itu dikelola oleh WIPO.66

B. Pengertian dan Pengaturan tentang Paten Pada Umumnya 1. Sejarah Paten dan Justifikasi Pemberian Paten

Istilah Paten yang dipakai sekarang dalam peraturan hukum di Indonesia adalah untuk menggantikan istilah octrooi yang berasal dari bahasa Belanda. Istilah oktroi ini berasal dari bahasa Latin dari kata auctor/auctorizare. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya dalam hukum kita, istilah Paten yang lebih memasyarakat. Istilah Paten tersebut diserap dari bahasa Inggris, yaitu Patent. Di Perancis dan Belgia untuk menunjukkan pengertian yang sama dengan Paten

(19)

dipakai istilah “brevet de inventior”. Istilah Paten bermula dari bahasa latin dari kata auctor yang berarti dibuka. Maksudnya adalah bahwa suatu penemuan yang mendapatkan Paten menjadi terbuka untuk diketahui oleh umum.67

Paten atau oktroi ini sebetulnya telah ada sejak abad ke-14 dan ke-15, yakni di Italia dan Inggris. Sifat pemberian hak paten pada waktu itu bukan ditujukan atas temuan atau invensi (uitvinding), tetapi diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri. Maksudnya agar para ahli dari luar negeri menetap di negara-negara yang

mengundangnya, sehingga dapat mengembangkan keahliannya masing-masing di negara pengundang untuk memajukan penduduk negara yang bersangkutan. Jadi, paten atau oktroi itu berupa izin menetap. Namun, memang kehadiran sang penemu (inventor) di negeri yang baru itu didasarkan pada keahlian di bidang tertentu.68

Berdasarkan latar belakang tersebut, pada prinsipnya ada kesamaan terhadap penggunaan istilah paten pada saat ini. Perbedaannya terletak pada pemberian royalti atas penggunaan invensi. Pemberian royalti atas penggunaan paten saat ini berupa sejumlah uang yang dibayarkan kepada inventor, sedangkan royalti atas penggunaan paten pada saat itu berupa izin menetap di suatu negara. Selain izin menetap, inventor juga mendapatkan perlakuan khusus karena dianggap telah memberikan kontribusi positif untuk negara tersebut.

67 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Op. Cit., hlm. 60.

(20)

Pada abad ke-16, baru diadakan peraturan pemberian hak-hak paten atau oktroi terhadap temuan. Peraturan tersebut diterapkan oleh Venesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Australia. Seiring dengan berlalunya waktu dan kemajuan bidang teknologi, terutama pada abad ke-20, paten bukan lagi sebagai hadiah, melainkan pemberian hak atas temuan.69 Perkembangan semacam ini pada akhirnya terjadi juga di berbagai negara, termasuk negara-negara di kawasan Asia.

Perkembangan pemberlakuan peraturan perundangan

mengenai paten di Inggris memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pembentukan peraturan perundangan di banyak negara karena perkembangan paten di Inggris sangat baik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Inggris sebagai negara penjajah yang tentu juga menerapkan peraturan negaranya terhadap negara yang menjadi wilayah kolonialnya.

Pada saat ini, Indonesia juga telah memiliki peraturan

perundangan yang mengatur mengenai paten, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU No. 14 Tahun 2001) yang disahkan pada tanggal 1 Agustus 2001. UU No. 14 Tahun 2001 merupakan perubahan dari UU No. 6 Tahun 1989 yang diperbarui dengan UU No. 13 Tahun 1997. Sebelum undang-undang ini berlaku, paten diatur berdasarkan Octroiwet 1920 yang merupakan

(21)

dan Pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 29 Oktober 1953 Nomor J. G. 1/2/17 tentang Permohonan Sementara Oktroi dari Luar Negeri.

Pemberian paten dimaksudkan agar setiap penemuan dibuka untuk kepentingan umum, guna kemanfaatan bagi masyarakat dan perkembangan teknologi. Dengan terbukanya suatu penemuan yang baru, maka memberi informasi yang diperlukan bagi pengembangan teknologi selanjutnya berdasarkan penemuan tersebut dan untuk memberi petunjuk kepada mereka yang berminat dalam

mengeksploitasi penemuan itu, juga bila ada orang yang ingin melakukan penelitian Paten sendiri karena penelitian ini merupakan pengalaman yang menantang dan menyenangkan.

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Paten

Perlindungan terhadap suatu invensi teknologi merupakan solusi untuk masalah teknologi. Paten adalah bagian dari Hak HKI, yang dalam kerangka ini termasuk dalam kategori hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Right).

Secara etimologis, paten berasal dari kata patent dalam bahasa latin yang berarti terbuka, sedangkan lawan dari patent adalah latent yang berarti terselubung. Arti kata terbuka di dalam paten adalah berkaitan dengan invensi yang dimintakan paten. Semua rahasia yang berkaitan dengan invensi tersebut harus diuraikan dalam sebuah dokumen yang disebut spesifikasi paten yang dilampirkan bersamaan dengan permohonan paten.70

(22)

WIPO memberikan pengertian paten sebagai berikut:71

“A Patent is legally enforceable rights granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts to relation to describe new invention; the previlage is granted by a government authority as a matter of rights to the person who is entitled to apply for it and who fulfils the prescribed condition.”

WIPO dalam WIPO Intellectual Property Handbook- nya juga memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai paten, yakni:

“A patent is a document, issued, upon application, by a government office (or a regional office acting for several countries), which describes an invention and creates a legal situation in which the patented invention can normally only be exploited (manufactured, used, sold, imported) with the authorization of the owner of the patent. “Invention” means a solution to a specific problem in the field of technology. An invention may relate to a product or a process. The protection conferred by the patent is limited in time (generally 20 years).”72

Berdasarkan uraian yang diberikan WIPO tersebut paten tidak hanya hak yang diberikan kepada seorang inventor untuk menggunakan invensinya atau kegiatan lain yang berkaitan dengan invensinya itu. Paten juga merupakan dokumen sah yang diwujudkan dalam bentuk aplikasi yang diberikan oleh pemerintah yang menggambarkan invensi atau hasil kreasinya yang hanya bisa dieksploitasi berdasarkan

otorisasi sang pemilik hak, yakni inventor atas invensinya itu.

Pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2001 mendefinisikan paten sebagai hak eksklusif yang diberika oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan

persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

71 Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, Op. Cit., hlm. 87. 72 WIPO, WIPO Intellectual Property Handbook, Second Edition, WIPO

(23)

Pengertian atau definisi paten menurut UU No. 14 Tahun 2001 ini sesuai dengan definisi paten menurut WIPO.

Menurut UU No. 14 Tahun 2001, terdapat 2 jenis paten, yaitu paten biasa dan paten sederhana. Paten biasa adalah paten yang melalui penelitian atau pengembangan yang mendalam dengan lebih dari satu klaim. Paten sederhana adalah paten yang tidak

membutuhkan penelitian atau pengembangan yang mendalam dan hanya memuat satu klaim. Namun, UU No. 14 Tahun 2001 secara tersirat mengenalkan jenis-jenis paten yang lain, yaitu paten proses dan paten produk. Paten proses adalah paten yang diberikan terhadap proses, sedangkan paten produk adalah paten yang diberikan terhadap produk.

3. Tinjauan Umum tentang Dokumen Paten

Dokumen Paten73 merupakan salah satu bagian terpenting dari paten yang disertakan secara bersamaan dalam permohonan paten. WIPO mengatakan mengenai dokumen paten adalah sebagai berikut:

“What is less well known is that patent documents have also an important managerial and commercial content. Patent have basically an economic function, so they are inevitably a source of commercial and legal information, instrumental in managerial decision making.”

WIPO mengatakan apa yang kurang diketahui adalah bahwa dokumen paten juga memiliki isi manajemen dan komersial. Paten

73 Dokumen Paten biasa dikenal sebagai Draft Paten yang ditulis dalam bahasa nasional di negara di mana paten tersebut dimintakan

(24)

pada dasarnya memiliki suatu fungsi ekonomi, sehingga merupakan sumber informasi komersial dan hukum yang tidak dapat dihindari, merupakan alat dalam pengambilan keputusan manajemen.

Paten secara etimologis berarti terbuka. Artinya, pengertian dokumen paten berarti dokumen yang bersifat terbuka, siapapun berhak mendapatkan akses dengan mudah dan murah serta boleh membaca dokumen paten untuk mendapatkan informasi yang

terkandung di dalamnya.74 Dalam pengertian yang lain, pengungkapan invensi baru yang ada di dokumen paten harus terbuka, tidak ada sedikitpun yang ditutup-tutupi, sehingga memungkinkan setiap orang yang ahli di bidang invensi itu dapat mempraktikkan teknologi yang diungkapkan di dalam dokumen paten tersebut tanpa harus

melakukan percobaan yang tidak perlu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.75

Dokumen Paten dibuat dengan menggunakan struktur tertentu yang telah ditentukan. Secara umum, Dokumen Paten di setiap negara memiliki struktur yang sama, yakni sebagai berikut:76

a. Deskripsi

Deskripsi ini berisi penjelasan atas invensi baru yang dimintakan perlindungannya. Di luar negeri seperti Dokumen 74 Di Indonesia, dalam praktiknya akses ke dokumen paten Indonesia masih

cukup sulit dan mahal. Bagi yang memerlukan salinan dokumen paten lengkap harus mendapatkannya dari Kantor Paten, Ditjen HKI, Departemen Hukum dan HAM RI yang berlokasi di Tangerang dengan biaya Rp 5.000,- / lembar, sesuai dengan PP No. 50 Tahun 2001. Hal ini berbeda dengan beberapa negara, terutama negara maju di mana akses untuk memperoleh Dokumen Paten relatif lebih mudah karena bisa diakses secara gratis melalui jaringan internet. Misalnya Dokumen Paten di Amerika Serikat yang bisa diakses melalui www.uspto.gov.

75 Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Op. Cit., hlm. 65.

(25)

Paten di Amerika (USPTO) dan Dokumen Paten Patent

Cooperation Treaty (PCT), isi dari deskripsi Dokumen Paten tidak harus mengikuti format tertentu, sehingga ada yang memiliki sub judul, namun ada pula yang tidak memiliki sub judul sama sekali.77 Secara umum, format Deskripsi Paten terdiri atas Judul, Bidang Teknik Invensi, Latar Belakang Invensi, Ringkasan Invensi, Uraian Singkat Gambar, dan Uraian Lengkap Invensi.

b. Klaim Invensi

Klaim merupakan bagian terpenting pada Dokumen Paten karena klaim mengungkapkan hal-hal dan

pembatasan-pembatasan dari invensi yang dimintakan perlindungan.78 Klaim umumnya diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kategori, yakni klaim utama dan klaim turunan.

c. Abstrak Invensi

Abstrak merupakan bagian dari Dokumen Paten (biasanya satu alinea) yang berisi ringkasan invensi baru yang diungkapkan. Kadang-kadang isi abstrak sama dengan uraiang singkat invensi, namun umumnya lebih singkat dan hanya memuat hal-hal baru yang penting dari pengungkapan invensi baru yang dimintakan perlindungannya.79

d. Gambar Invensi

Gambar invensi ini menunjukkan gambar invensi yang akan dimintakan paten secara keseluruhan.

Dokumen Paten diperlukan untuk mengetahui dokumen pembanding (prior art) yang menjadi latar belakang invensi. Prior art 77 Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Op. Cit., hlm. 65.

(26)

ini penting untuk mengetahui apakah invensi tersebut benar-benar memenuhi unsur kebaruan atau novelty sebagaimana syarat pendaftaran paten.

C. Pengertian dan Pengaturan tentang Pengetahuan Tradisional

(Traditional Knowledge)

1. Latar Belakang dan Tujuan Perlindungan Pengetahuan

Tradisional (Traditional Knowledge)

Sejak lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, kekayaan intelektual merupakan bagian dari hak asasi manusia yang

fundamental bagi siapapun yang memilikinya. Pasal 27 UDHR menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk melindungi kepentingan moral dan materilnya yang dihasilkan dari proses ilmiah atau yang berkaitan dengan kesusastraan atau seni artistic. Sejak tahun 1948, banyak terdapat instrumen internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan dokumen yang menguatkan mengenai pentingnya kekayaan intelektual sebagai hak asasi manusia.80

Menurut Stiglitz, HKI memiliki perbedaan mendasar dengan hak

penguasaan lainnya. Jika rambu hak penguasaan lainnya adalah tidak

memonopoli, mengurangi efisiensi ekonomi, dan mengancam

kesejahteraan masyarakat, maka hak kekayaan intelektual pada

dasarnya menciptakan monopoli. Kekuatan monopoli menciptakan

(27)

persewaan monopoli (laba yang berlebih), dan labi inilah yang

seharusnya digunakan untuk melakukan penelitian. Ketidak efisienan

yang berkaitan dengan kekuatan monopoli dalam memanfaatkan

pengetahuan sangatlah penting, karena ilmu pengetahuan dalam

ekonomi disebut komoditas umum.81

Pengetahuan identik dengan kekayaan intelektual yang dimiliki oleh manusia karena keduanya bersumber dari olah pikir manusia sebagai makhluk yang berpikir. Hampir di setiap penjuru dunia, komunitas dan orang perorangan (individual) mempunyai pengetahuan yang diturunkan dari generasi ke generasi,

dikembangkan dan dilestarikan dengan cara-cara yang tradisional (traditional manner).82 Pengetahuan inilah yang kemudian dikenal sebagai pengetahuan tradisional.

Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kekayaan intelektual manusia. Artinya, pengetahuan tradisional merupakan bagian dari HKI yang tentu memerlukan perlindungan dan dilestarikan. Perlindungan dan pelestarian perlu dilakukan agar pengetahuan tradisional tidak dapat diklaim sebagai milik pribadi mengingat pengetahuan tradisional itu merupakan bagian tak terpisahkan dari indigenous peoples (masyarakat asli) yang memilikinya karena sistem kepemilikan pengetahuan tradisional menganut sistem komunal.

81 Andri Tri Kuncoro, Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Tradisional Indonesia dalam Perdagangan Bebas Dunia,

< http://newblueprint.wordpress.com/2008/06/02/perlindungan-haki-tradisional-indonesia-dalam-perdagangan-bebas-dunia/>, diposting pada tanggal 2 Juni 2008, diakses pada bulan Agustus 2012.

(28)

Artinya, berbeda dengan HKI pada umumnya yang menganut sistem kepemilikan individual, pengetahuan tradisional menganut sistem kepemilikan komunal yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat yang menemukannya.

Pertanyaan mendasar dalam perspektif keilmuan yang selalu muncul dan menantang dan meminta jawaban adalah mengapa dan untuk apa pengetahuan tradisional harus dilindungi. Ada beberapa alasan (reasons) yang dikemukakan para sarjana untuk melindungi pengetahuan tradisional, antara lain:

a. Alasan kepatutan (equity)

b. Menghindari biopiracy

c. Kekoherensian hukum internasional dan

nasional

d. Melindungi dan meningkatkan sumber

pendapatan komunitas

e. Keuntungan bagi ekonomi nasional

f. Kepentingan konservasi lingkungan

2. Pengertian dan Ruang Lingkup tentang Pengetahuan Tradisional

(Traditional Knowledge)

Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari hasil kekayaan intelektual yang sepatutnya mendapat perlindungan atas

pemanfaatannya. Prinsip utama dalam hak kekayaan intelektual, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya

(29)

Sesuai dengan asas suum cuique tribuere yang menjamin bahwa benda yang diperoleh dengan cara penciptaan adalah kepunyaan penciptanya.83

Berangkat dari prinsip tersebut, maka tepat kiranya bila

dikatakan bahwa masyarakat asli yang menciptakan produk – produk yang bermanfaat, seperti obat – obatan dan kosmetik yang berasal dari alam (terutama sumber daya genetik) dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki berhak memiliki, mengolah dan mendapat perlindungan dari pemanfaatan produk serta

pengetahuannya oleh pihak lain secara melawan hukum. Pengetahuan tersebut tidak hanya terbatas pada pengetahuan mengenai obat-obatan dan kosmetik semata, melainkan juga dapat berupa pengetahuan yang berpotensi teknologi, seperti teknik tekuk rotan dan teknik bangunan.

Pembahasan mengenai pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional, terutama pemanfaatan pengetahuan tradisional sebagai prior art dalam pengelolaan kekayaan intelektual, merupakan trending issue yang sedang berkembang, yang hingga saat ini belum

ditemukan jalan keluar yang pasti karena masih terbatasnya pemahaman mengenai pengetahuan tradisional itu sendiri.

Tidak mudah untuk menjelaskan ke dalam sebuah kalimat mengenai pengetahuan tradisional. Istilah pengetahuan tradisional adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, dan know how yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat

(30)

mengidentifikasi unit sosial.84 Pada awalnya pengetahuan tradisional adalah karya masyarakat tradisional (adat) yang bisa berupa adat budaya, karya seni, dan teknologi yang telah turun temurun digunakan sejak nenek moyang. Dewasa ini pengetahuan tradisional dipilah menjadi dua bagian, yang berbasis paten dinamakan pengetahuan tradisional, dan yang berbasis hak cipta disebut folklore.85

Pengetahuan tradisional menjadi milik bersama masyarakat adat yang dijaga dan dilestarikan, belum dilindungi secara tepat dalam hukum kekayaan intelektual.86

Istilah pengetahuan tradisional pertama kali diperkenalkan di dalam instrumen hukum internasional. Pengetahuan tradisional sebagai suatu kajian ilmiah diartikan secara beragam baik oleh para sarjana maupun oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan dan berkompeten dengan paradigma yang berbeda-beda. Zainul Daulay dalam bukunya yang berjudul “Pengetahuan Tradisional : Konsep, Dasar Hukum, dan Praktiknya” mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “paradigma” dalam konteks ini adalah kerangka pikir yang dibangun oleh seseorang atau lembaga tentang sesuatu.87

84 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Op. Cit., hlm. 26.

85 Dalam beberapa literatur, folklore merupakan bagian dari Traditional Cultural Expresssions yang cenderung dilindungi dengan rezim Hak Cipta, sebagaimana halnya yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Beberapa karya yang dikategorikan sebagai folklore antara lain cerita rakyat, puisi rakyat, lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional, tari-tarian rakyat, permainan tradisional, hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik, dan tenun tradisional (Lihat juga Penjelasan Pasal 10 ayat 2 UU No. 19 Tahun 2002).

86 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Op. Cit., hlm. 23.

(31)

Berbagai literatur yang membahas tentang pengetahuan tradisional dan masyarakat asli ditemukan beberapa istilah yang mengacu pada pengetahuan tradisional. Istilah-istilah yang digunakan oleh sebagian penulis, antara lain “pengetahuan masyarakat asli” (indigenous knowledge), “pengetahuan lokal” (local knowledge), “pengetahuan etnobotani” (ethnobotanical knowledge), “pengetahuan masyarakat kesukuan” (tribal people knowledge), “pengetahuan rakyat” (folk knowledge).88 Akan tetapi, dalam perkembangannya (dan juga dalam penelitian ini) digunakan istilah traditional knowledge.

World Intellectual Property Organization (WIPO)

Sub-Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional nowledge

and Folklore menyatakan sebagai berikut:

“Traditional Knowledge (TK) and how to preserve, protect and equitably use of it, has recently been under increasing attention in a renge of policy discussion, on matters as diverse as food and agriculture, the environment (notably the conservation of biological diversity), health (including traditional medicines), human rights and indigeous issues, cultural policy, and aspect of trade and economic development.”89

Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional, karya-karya seni, hingga apa yang dikenal sebagai indigenous

science and technology.90 Dengan demikian, pengetahuan tradisional dalam perkembangannya dapat dibagi menjadi beberapa sub bagian, yakni pengetahuan tradisional di bidang ilmu, seni, dan sastra,

88 Ibid., hlm. 17.

89 Laporan Misi Pencarian Fakta atas HaKI dan Pengetahuan Tradisional, <http://www.wipo.org>, diakses pada tanggal 3 Juli 2007.

(32)

pengetahuan tradisional di bidang industri, serta pengetahuan tradisional terkait dengan indigenous people rights.

Pada 18 Juli 2011, WIPO menerima notifikasi dari Republik Indonesia yang memberikan “advanced text” untuk traditional

knowledge“as contribution from cross-regional group of like-minded

developing countries to the text-based negotiations” dalam

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic

Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC) berusaha merumuskan definisi traditional knowledge sebagai berikut:

“Traditional knowledge is knowledge that is dynamic and evolving, which is generated in a traditional context, collectively preserved and transmitted from generation to generation and includes but is not limited to know-how, skills, innovations, practices and learning, that subsist in a codified, oral/verbal or other forms of knowledge systems. Traditional knowledge also includes knowledge that is associated with biodiversity and natural resources. Traditional

knowledge may be sacred or secretly held by beneficiaries, or widely available.91

Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet mengatakan bahwa pengetahuan tradisional merupakan informasi yang terdapat dalam suatu komunitas, berdasarkan pengalaman dan adaptasi pada budaya lokal dan lingkungan, berkembang dalam waktu, dan dilanjutkan untuk dikembangkan. Pengetahuan ini digunakan untuk meneruskan dan menopang masyarakat dan kebudayaan dan untuk memelihara sumber daya genetik yang penting untuk kelangsungan kehidupan masyarakat (indigenous people).92

91 Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge, and Folklore, Draft Report of The

(33)

Kata “tradisional” yang digunakan dalam menguraikan

pengetahuan ini tidak menyatakan bahwa pengetahuan ini “tua”, tetapi “tradition-based” atau berdasarkan tradisi. Pengetahuan ini bersifat tradisional karena pengetahuan tersebut terbentuk melalui tingkah laku yang direfleksikan sebagai tradisi suatu masyarakat. Oleh karena itu, yang dimaksud tradisional di sini bukan berkaitan secara langsung pada materi pengetahuan itu sendiri, melainkan berdasarkan pada cara bagaimana pengetahuan itu dibentuk, dilindungi, dan

dilestarikan.93

3. Pengetahuan Tradisional Hubungannya dengan Masyarakat Asli

(Indigenous Peoples)

Pembahasan mengenai pengetahuan tradisional tidak dapat dipisahkan dari masyarakat asli sebagai pihak yang berperan penting dalam pengelolaan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari kekayaan intelektual milik mereka. Masyarakat asli tersebar di seluruh penjuru dunia. Tidak peduli betapa maju dan canggihnya suatu

negara, di dalamnya pasti terdapat keberadaan masyarakat asli yang menjaga kelestarian kebudayaannya.

Masyarakat asli merupakan bagian dari masyarakat dunia yang berarti bahwa masyarakat asli merupakan bagian dari ekosistem global. masyarakat asli seringkali mendiami wilayah-wilayah yang kaya mineral dan sumber daya alam lainnya, sehingga mereka dapat

93 Loc. Cit. (Lihat juga Elements of A Sui Generis System for The Protection of Traditional Knowledge, Intellectual Property Organization,

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, 3rd Session, 2002,

(34)

memanfaatkan kekayaan mineral dan sumber daya alam tersebut untuk kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat asli kaya akan ragam budaya.

Masyarakat asli berada pada dua sisi yang paradoks. Mereka dianggap mempunyai sumber daya alam dan mempunyai budaya yang kaya dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang mempunyai andil dalam menjaga dan mempertahankan lingkungan global. Semuanya ini sangat menarik perhatian untuk kepentingan kemajuan sain, komersialisasi dan perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan atas andil yang mereka miliki.94

Pengertian atau definisi tentang masyarakat asli dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Seperti halnya dengan

pengetahuan tradisional, masyarakat asli juga sulit untuk didefinisikan. Masyarakat asli merupakan istilah yang disepakati dalam forum internasional untuk menyebutkan suatu entitas masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri karena latar belakang sejarah, ekonomi, sosial, dan budayanya.95

Istilah masyarakat asli (indigenous peoples) pertama kali digunakan oleh Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization / ILO) dengan menggunakan dua terminologi sekaligus, yakni indigenous peoples dan tribal peoples. Akan tetapi, dalam 94 Zainul Daulay, Op. Cit., hlm. 39. (Lihat juga Structural Property is

improverishment as a result of process which are out of their controland sometime irrevocable. The process could be as dispossessing their

traditional lands, restricting or prohibiting their access to natural resources, IWGIA, Indigenous Peoples-Who Are They?, <www.iwgia.org/sw 697.asp> diakses oleh Zainul Daulay pada 2 September 2006.)

(35)

perkembangannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hanya

menggunakan satu terminologi, yakni indigenous peoples. Meskipun telah digunakan dalam berbagai instrumen internasional, namun dalam penggunaannya belum disertai dengan definisi yang baku. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam memberikan penjelasan terhadap penggunaan terminologi indigenous peoples, antara lain melalui pendekatan historis, pendekatan objektif dan subjektif, pendekatan kerentanan sosial dan budaya, pendekatan budaya dan gaya hidup, pendekatan knostruktif, serta definisi implisit.:96

Pendekatan historis digunakan oleh ILO dalam Konvensi ILO 1957 yang mengatakan seseorang dianggap asli (indigenous) karena ia berasal dari keturunan penduduk yang tinggal di negara atau wilayah sebelum adanya penaklukan dan penjajahan pada masa lalu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b sebagai berikut:97

“... regarded as indigenous on account of their decent from the populations which inhabited the country or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or

colonization.”98

Pada tahun 1989, ILO telah mengadopsi Konvensi 169, yakni Konvensi tentang Penduduk Asli dan Suku Asli di Negara-Negara Merdeka (Convention Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) yang bertujuan untuk merevisi Konvensi 107. Ada kriteria yang ditambahkan oleh Konvensi ini, yakni bahwa

96 Ibid., hlm. 42-68. 97 Loc. Cit.

(36)

seseorang juga dianggap sebagai penduduk asli (indigenous) karena mereka masih mempertahankan kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka sendiri sejak dari zaman penjajahan dan pembentukan negara baru hingga saat ini, sehingga Pasal 1 ayat (1) huruf b Konvensi ILO 169 berbunyi sebagai berikut:

“Peoples in independent countries who regarded as indigenous on account of their decent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonization or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some all of their own social economic, cultural, and political institution.”99

Definisi ini mendapat kritik karena cenderung mengabaikan sejarah kebudayaan non-Eropa dan tidak mencerminkan persyaratan yang bersifat universal. Begitu pula sebaliknya, pemerintah dari negara-negara Asia cenderung tidak dapat menerima konsep masyarakat asli yang pendekatannya lebih Eropa-sentris.

Pengertian masyarakat asli juga dikembangkan melalui pendekatan objektif dan subjektif. Kriteria objektif digunakan untuk mengidentifikasi penduduk asli sebagai komunitas, sedangkan kriteria subjektif digunakan untuk menilai penduduk asli sebagai seorang individu. Kriteria objektif pun dibedakan menjadi kriteria objektif dalam konteks historis (historical context) dan kriteria objektif dalam konteks saat ini (present context).100 Adapun kriteria subjektif digunakan untuk mengidentifikasi seseorang individu, apakah termasuk masyarakat asli atau bukan. Cara yang digunakan adalah melalui identifikasi sendiri (self-identification). Ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni adanya 99 Ibid., hlm. 43. (Lihat juga Pasal 1 ayat (1) huruf b Konvensi ILO 169.)

(37)

kesadaran sebagai anggota kelompok dari suatu masyarakat asli (group consciousness) dan diakui serta diterima oleh masyarakat tersebut sebagai salah seorang anggotanya (acceptance by the group).101 Perumusan pengertian masyarakat asli dengan

menggunakan pendekatan objektif dan subjektif ini pertama kali dicetuskan oleh J.R. Martinez Cobo.

Pendekatan kerentanan sosial dan budaya untuk

mengidentifikasi masyarakat asli pertama kali digagas oleh Bank Dunia (The World Bank). Kriterianya adalah adanya kerentanan yang dialami suatu kelompok sosial dalam suatu proses pembangunan sebagai akibat dari perbedaan identitas sosial dan kultural dengan masyarakat yang dominan. Jika sekiranya perbedaan identitas sosial tertentu dengan masyarakat yang dominan membuat mereka tidak berdaya, terbelakang, dan tidak beruntung dalam proses

pembangunan, maka kelompok tersebut dikategorikan sebagai masyarakat asli (indigenous people).102

Berbeda dengan Bank Dunia, Lembaga-lembaga Swadaya Msyarakat cenderung mendefinisikan masyarakat asli dari sudut pandang budaya dan gaa hidup yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Salah satu bentuk budaya dan gaya hidup yang paling

dominan dari masyarakat asli adalah kedekatan (kohesivitas) mereka dengan lingkungan alam di wilayah di mana mereka tinggal. Alam

(38)

menjadi tumpuan kehidupan bagi kelangsungan hidup mereka. Oleh karenanya seluruh aktivitasnya menyatu dengan alam.103

Survival International104(1969) membedakan antara masyarakat asli (indigenous people) dengan suku asli (tribal peoples).menurut pandangannya suku-suku asli itu tidak sama dengan masyarakat asli. Masyarakat asli adalah seluruh penduduk asli suatu negara, sedangkan suku asli adalah bagian dari masyarakat asli yang masih hidup dalam suatu masyarakat kesukuan yang

mempunyai budaya dan gaya hidup yang berbeda dari yang lainnya.105

Pendekatan konstruktif adalah pendekatan yang menempatkan konsep internasional tentang masyarakat asli tidak sebagai sesuatu yang harus didefinisikan secara tajam dengan kriteria-kriteria yang dapat diterima secara universal. Pendekatan ini mendefinisikannya sebagai pembadanan (embodying) suatu proses yang terus-menerus, dalam hal mana klaim-klaim dan praktik-praktik dalam sejumlah kasus yang spesifik diabstraksikan ke dalam lembaga-lembaga masyarakat internasional yang lebih luas. Selanjutnya, kekhasan yang ada, direfleksikan pada saat penerapannya dalam proses politik, hukum, dan sosial dan kasus-kasus dan masyarakat tertentu.106

103 Ibid., hlm. 58.

104 Zainul Daulay dalam bukunya menyebutkan bahwa Survival International adalah salah satu LSM Internasional yang bergerak dalam pendidikan, advokasi dan kampanye perlindungan suku-suku asli secara internasional. (Artikel ini diunduh oleh Zainul Daulay melalui

<www.survival-international.org/files/aboutus/23_89survival%20faqs.pdf, diakses pada 17 November 2006.)

(39)

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam mendefinisikan masyarakat asli tersebut di atas secara garis besar menunjukkan bahwa sebetulnya tidak dapat mendefinisikan masyarakat asli ke dalam rumusan kata karena rumusan kata hanya akan menghilangkan esensi dari masyarakat asli itu sendiri. Akan tetapi, tetap dapat ditarik suatu simpulan mengenai masyarakat asli bahwa masyarakat asli merupakan suatu komunitas atau masyarakat yang di dalamnya melekat pengetahuan yang bernilai budaya, moral, bahkan bersifat religius yang berkaitan langsung denga kehidupan mereka, sehingga antara masyarakat asli dan pengetahuan yang dimilikinya itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, keduanya merupakan satu kesatuan utuh yang memiliki ikatan kuat yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, terutama oleh masyarakat modern.

Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan bahwa pengetahuan (yang tentunya bersifat tradisional) sangat melekat pada masyarakat asli karena pengetahuan itu tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman hidup yang dialami oleh masyarakat asli. Sesuai dengan perkembangannya, masyarakat asli telah mengembangkan berbagai pengetahuan, misalnya pengetahuan obat tradisional, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka di bidang kesehatan. Mereka juga memiliki kaidah-kaidah mengenai kepemilikan

(40)

4. Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional (Traditional

Knowledge) dalam Hukum Nasional dan Internasional

Berdasarkan uraian di atas mengenai pengetahuan tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tradisional merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks. Dilihat dari pengertian dan ruang lingkupnya, pengetahuan tradisional sangat luas karena di dalamnya tidak hanya mencakup pengetahuan saja, tetapi menyangkut ekspresi budaya tradisional dan nilai-nilai dari masyarakat asli.

Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundangan terkait dengan HKI. Dari ketujuh undang-undang HKI yang ada di Indonesia, hanya terdapat 2 (dua) undang-undang yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur mengenai pengetahuan tradisional, antara lain:

a. Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002) UU No. 19 Tahun 2002 menyebutkan mengenai perlindungan suatu ciptaan yang termasuk ke dalam lingkup pengetahuan tradisional. Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 berbunyi:

(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya; (2) Negara memegag Hak Cipta atas folklor dan hasil

kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya; (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut

pada ayat (2), orang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut;

b. Undang-Undang

(41)

Pasal 7 UU No. 29 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh Negara yang dalam hal ini

penguasaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.

Perlindungan pengetahuan tradisional di Indonesia juga

terdapat dalam peraturan perundang-undangan selain mengenai HKI, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biodiversity/UNCBD). Pasal 8j UNCBD menyebutkan bahwa pihak penandatangan konvensi wajib menghormati, melindungi, mempertahankan pengetahuan, dan inovasi-inovasi, serta praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan memajuka penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan.107

Meskipun telah ada peraturan perundangan yang mengatur dan melindungi pengetahuan tradisional, namun perlindungan tersebut belum mengakomodasi unsur pengetahuan tradisional secara keseluruhan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa selain pengetahuan tradisional sebagai warisan budaya, pengetahuan tradisional juga merupakan sumber daya dan teknologi yang

memberikan manfaat tidak hanya bagi masyarakat asli, tetapi juga dapat bermanfaat bagi masyarakat global.

(42)

Dasar hukum perlindungan pengetahuan tradisional secara internasional dapat dirujuk kepada beberapa instrumen hukum internasional. Dasar hukum tersebut dapat dikelompokkan ke dalam:108

a. Perlindungan

Pengetahuan Tradisional Atas Dasar Hak Asasi Manusia

1) Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO Conventions)

Perlindungan terhadap masyarakat asli digagas

pertama kali oleh ILO pada tahun 1957 melalui Konvensi ILO 107 tentang Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Asli dan Kesukuan (The Protection and Integration of Indigenous and Other Tribal and Semi-Tribal Population Convention). Tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan kepada

masyarakat asli untuk dapat menikmati kemanfaatan

pembangunan dengan memastikan bahwa keanekaragaman mereka dihargai dan dilindungi.109

Sesuai dengan perkembangannya, pada tahun 1969 dibentuk lagi Konvensi 169 berkenaan dengan Masyarakat Ali dan Kesukuan di Negara-Negara Merdeka (Convention

Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent

Countries). Berbeda dengan konvensi sebelumnya, ILO 169 didasarkan pada asumsi dasar bahwa masyarakat asli mempunyai hak untuk menentukan arah perkembangan

(43)

budaya mereka sendiri. Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah. Pertama, menjamin keikutsertaan masyarakat yang bersangkutan dalam setiap proses

pembangunan yang terkait dengan masyarakat asli. Pasal 2 ayat (1) ILO 1969 menyatakan sebagai berikut:110

“Governments shall have the responsibility for developing, with the participation of the peoples concerned, coordinated and systematic action to protect the rights of these peoples and to guarantee respect for their integrity.”111

Kedua, setiap proses pembangunan yang akan memengaruhi sifat-sifat dan karakteristik mereka yang spesifik, konvensi menjamin hak-hak masyarakat asli untuk memutuskan sendiri prioritas pembangunan tersebut dan melakukan pengawasan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri. Pasal 7 ayat (2) ILO 169 menegaskan sebagai berikut:112

“The peoples concerned shall have the right to decide their own priorities for the process of development as it affects their lives, beliefs, institutions and spiritual well-being and the lands they occupy or otherwise use, and to exercise control, to the extent possible, over their own economic, social, and cultural development.”113

Selain itu, konvensi juga mewajibkan pemerintah untuk menghormati hal-hal penting dari kebudayaan dan nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan terkait dengan tanah atau wilayah atau keduanya yang mereka tempati atau gunakan

110 Ibid., hlm. 75.

(44)

teurtama aspek kolektivitas dari hubungan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) ILO 169.114

2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(Universal Declaration of Human Rights) 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) 1966

Hukum hak asasi manusia internasional memberikan dasar yang kuat bagi pengaturan perlindungan pengetahuan tradisional. Bagi masyarakat asli, pengetahuan tradisional selain merupakan hak dasar yang harus dijamin secara adil, pengetahuan tersebut juga erat kaitannya dengan hak-hak dasar lainnya untuk menjamin kelangsungan hidup yang bersifat fisikal maupun kultural.

b. Perlindungan

Pengetahuan Tradisional sebagai Sumber Warisan Budaya dan Sumber Daya

1) Konvensi Keanekaragaman Hayati (The Convention on Biological Diversity – CBD)

2) Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Takbenda (The Convention for the Safeguarding Intangible Cultural Heritage)

Referensi

Dokumen terkait

Isikan Borang Pendaftaran Login dibawah dengan lengkap. Alamat email yang diberikan akan dijadikan login ID untuk sistem RMR ini. Pilihan negeri dan parlimen mestilah

Hasil penelitian menunjukkan baliwa pada penyuntikan PMSG dengan dosis 40 IU/kg bobot badan memberikan onset berahi tercepat (P&lt;0,05) yaitu 29,81 ± 3,20 jaln sedangkan yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman

Apa saja fungsi-fungsi Modalpartikeln (aber, denn, doch, ja, mal) dalam tiap jenis kalimat yang terdapat dalam video buku ajar Redaktion-D..

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru Malang) penelitian ini dilakukan untuk dapat

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika materi menghitung perpangkatan dengan penerapan metode Make-A Match pada siswa kelas V SDN

17 Data primer atau data utama diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan dan informan yang pernah mendapatkan kasus seperti yang dimaksud.Informan dalam

Penelitian menggunakan desain Studi Komparasi pendekatan cross sectional.Terdiri dari dua kelompok sampel yaitu yang diberikan ASI Eksklusif berjumlah 16 responden dan