• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan hukum dalam suatu perjanjian merupakan unsur yang sangat penting yang harus ada. Perlindungan hukum disini terkait dengan masalah perlindungan hak bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Apabila ada salah satu pihak dalam perjanjian dirugikan oleh pihak lain dalam suatu perjanjian, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut haknya agar tetap dipenuhi. 1. Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Kontrak

Perlindungan hukum bagi pemberi kontrak di dalam perjanjian ini sudah cukup baik mengingat pada dasarnya pemberi kontrak merupakan pihak yang berada dalam posisi yang kuat. Pemberi kontrak juga memperoleh perlindungan hukum yang sebagaimana terdapat di dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001

Tentang Merek. Pasal 46 dinyatakan bahwa “penggunaan merek terdaftar di Indonesia oleh penerima lisensi dianggap sama dengan penggunaan merek tersebut di Indonesia oleh pemilik merek”. Dengan adanya ketentuan ini, PT. Pertamina (Persero) sebagai pemberi kontrak merupakan perusahaan yang kepemilikan saham dimiliki oleh negara, sehingga segala keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan akan dikembalikan/dibagikan keuntungan berupa deviden kepada negara.

2. Perlindungan Hukum Bagi Penerima Kontrak

Di dalam Pasal 1 perjanjian kerjasama jasa pengelolaan mobil tangki antara PT. Pertamina (Persero) dengan PT. Pertamina Patra Niaga disebutkan “Pemberi kontrak menyerahkan mobil tangki beserta kelengkapan dokumen, perlengkapan dan peralatan mobil tangki sebagaimana tercantum dalam berita acara serah terima mobil tangki kepada penerima kontrak. Selain itu disebutkan pula bahwa pemberi kontrak memberikan jaminan kepada penerima kontrak perihal ketersediaan produk Bahan Bakar Khusus (Pertamina Dex) dan mutu dari produk dengan dilampirkansertificate quality”.

Klausula ini merupakan suatu jaminan yang dinyatakan secara tegas oleh pemberi kontrak. Hal ini lain yang berkaitan dengan pendistribusian dalam hal pemesanan produk dari pelanggan untuk penembusan/pembelian produk milik pemberi kontrak tidak sesuai dengan ketersediaan dari kapasitas mobil tangki dikarenakan tidak adanya pengaturan lebih lanjut mengenai batas minimal pemesanan dari pelanggan yang secara langsung menjadi permasalah sehingga penerima kontrak merasa kesulitan dalam hal pendisribusian Bahan Bakar Khusus (Pertamina Dex) dan mengakibatkan adanya pelanggaran dalam perjanjian ini.

Dilain sisi pendistribusian Bahan Bakar Khusus (Pertamina Dex) kepada pelanggan pemberi kontrak menjadi tidak sesuai jadwal yang telah direncanakan. Disamping itu jumlah unit dari mobil tangki menjadi permasalahan tersendiri dikarenakan permintaan dari pelanggan pemberi kontrak belum ada kenaikan signifikan. Permintaan dari pelanggan pemberi kontrak yang belum menunjukan kenaikan signifikan yang menyebabkan armada mobil tangki yang dikelola oleh PT. Pertamina Patra Niaga belum ditambah, yang hanya 1 (satu) unit. Di dalam Pasal ini dapat terlihat bahwa perlindungan yang diberikan oleh pemberi kontrak kepada penerima kontrak merupakan suatu perlindungan yang tidak sungguh-sungguh. Hal ini dikarenakan tidak ada batas minimal dalam pemesanan/pemberian Bahan Bakar Khusus (Pertamina Dex) dari pelanggan pemberi kontrak yang akan diterima oleh penerima kontrak dalam pendistribusian Bahan Bakar Khusus (Pertamina Dex) melanggar kalusula perjanjian ini. Perlindungan Hukum para pihak dalam hal pembatalan perjanjian. Pada prinsipnya terdapat beberapa cara untuk pembatalan perjanjian sesuai Pasal 22128 yang berisi pengakhiran perjanjian, yaitu:

a. Pemberi kontrak sepakat untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata sepanjang mengenai persyaratan adanya putusan pengadilan untuk pengakhiran dan pemutusan perjanjian.

b. Pemberi kontrak dapat mengakhiri perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak kedua 14 (empat belas) hari kelender sebelum perjanjian berakhir, apabila penerima kontrak tidak melaksanakan pekerjaan sesuai isi perjanjian ini.

128

c. Para pihak dapat bersepakat untuk mengakhiri perjanjian ini apabila terjadi keadaan kahar melebihi waktu 30 (tiga puluh) hari kelender berturut-turut sebagaimana diatur dalam perjanjian ini.

Pembatalan perjanjian yang sebagaimana diatur dalam Pasal 22, memberikan kewajiban penerima kontrak untuk menuaikan kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 23, yaitu :

1). Penerima kontrak wajib mengembalikan seluruh mobil tangki dalam keadaan baik kepada pemberi kontrak dengan dibuktikan berita acara penyerahan mobil tangki.

2). Penerima kontrak wajib menyampaikan kepada penerima kontrak perihal kewajiban pembayaran seperti pajak, pungutan, hutang dan lain-lain terkait dengan pengelolaan dan pengoperasian mobil tangki telah terselesaikan.

Dengan adanya klausula tersebut dapat terlihat bahwa para pihak memiliki maksud untuk mengikatkan diri dengan adanya perjanjian tersebut. Lebih lanjut lagi, para pihak tidak diperbolehkan untuk menarik diri dari perjanjian yang telah disepakati. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yakni : suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang diyatakan cakap untuk itu.Perlindungan Hukum pihak penerima kontrak dalam hal keadaan memaksa (force majeure). Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, masalah keadaan memaksa ini di atur dalam ketentuan Pasal 1244 dan 1245, di mana dalam kedua Pasal tersebut terdapat bagian yang mengatur tentang ganti rugi. Pasal 1244 KUHPerdata, “Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal

itu tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya”.

Bila terjadi keadaan kahar maka bisa diselesaikan dengan penyelesaian sengketa yaitu pihak yang mengalami keadaan kahar (force majeure) harus segera memberitahukan pihak lainnya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kelender setelah terjadinya keadaan kahar (force majeure) tersebut, dan wajib disertai dengan bukti atau keterangan resmi dari instansi berwenang dan upaya-upaya yang telah dilakukannya dalam rangka mengatasi keadaan tersebut yang berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan perjanjian ini.129

Pihak yang diberitahu dapat menolak atau menyetujui keadaan kahar (force majeure) berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kelender setelah diterimanya pemberitahuan. Apabila keadaan kahar (force majeure) ditolak oleh pihak lainnya, maka para pihak akan meneruskan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian ini. Apabila keadaan kahar (force majeure) tersebut disetujui oleh para pihak, maka para pihak akan merundingkan kembali kelanjutan pelaksanaanya. Perjanjian ini termasuk antara lain menetapkan kembali hal-hal yang dianggap penting oleh para pihak dalam pelaksanaan perjanjian ini selanjutnya, apabila keadaaan kahar berlangsung lebih dari 30 (tiga puluh) hari kelender, maka para pihak dapat bersepakat untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian ini.130

129

Loc. Cit, hal. 16

130

Dalam hal ini yang dimaksud keadaan kahar (force majeure) adalah pelaksanaan Undang-Undang, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tindakan pengadilan atau pemerintah/instansi yang berwenang seperti kebakaran, ledakan, banjir, tanah longsor, gempa bumi, bencana alam, topan/badai, perang saudara, huru-hara, kerusuhan, blokade, perselisihan perburuhan, pemogokan, dan wabah penyakit yang kesemuanya itu secara langsung berhubungan dan pelaksanaan perjanjian ini.131

131

95

Dokumen terkait