• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT KEKERASAN SEKSUAL

D. Bentuk perlindungan hukum hak reproduksi perempuan

3. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Pemerkosaan

Dari uraian di atas, nampak bahwa sangat selektif sekali apa yang dikatakan sebagai tindak pidana/ delik perkosaan. Sehingga banyak pandangan yang keliru yang mengaburkan pengertian antara perkosaan dan persetubuhan lain yang bermasalah atau diancam pidana.

Tegasnya, tindak pidana/ delik perkosaan yang modus operandinya antara lain menempatkan korban dalam posisi tidak berdaya sudah cukup sering tidak bisa terjaring dengan suatu pasal yang mengandung sanksi hukum yang memadai, akibat pasal-pasal yang tersedia dalam KUHP kurang meberi peluang untuk menjaring secara tegas. Sempitnya makna perkosaan yang dikandung dalam KUHP tersebut, sebenarnya telah disadari oleh para perumus Rancangan KUHP, sehingga mereka membuat perumusan tentang tindak pidana/ delik perkosaan (Pasal 389 konsep KUHP) yang lebih memadai dengan unsur-unsur sebagai berikut ; (a) seorang laki-laki dan perempuan, (2) bersetubuh, (3) bertentangan dengan kehendaknya, (4) tanpa persetujuan (tidak ada consent), (5) atau dengan persetujuan yang dicapai melalui ancaman atau ia percaya bahwa pelaku itu adalah suaminya atau usia perempuan dibawah 14 tahun, (6) termasuk memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut perempuan atau, (7) memasukkan benda bukan pada bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.

Dengan demikian, ada perubahan yang mendasar di dalam konsep KUHP yang mencakup :

1. Perbuatan/ tindak pidana. Adanya persetujuan persetubuhan dari pihak perempuan bukan keran kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi disebabkan tipu daya atau perbuatan yang menyesatkan korban, sehingga korban menduga bahwa pelaku adalah suaminya.

2. Usia korban yang relatif masih muda (dibawah usia 14 tahun) yang menurut ratio belum dapat menentukan kehendaknya/ belum dapat dipertanggung jawabkan.

3. Modus operandi/ bentuk perbuatan tersebut tidak dibatasi pada persetubuhan dalam arti konkrit, tetapi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak dijangkau oleh pasal-pasal KUHP, missal: memasukkan alat kelamin pria ke dalam anus/ mulut perempuan dan memasukkan benda-benda lain ke dalam anus/ vagina perempuan.

4. Orang/ subyek tindak pidana, bahwa tindak pidana perkosaan tidak hanya dibatasi oleh orang yang berada diluar perkawinan, tetapi juga termasuk perkosaan yang dilakukan oleh mereka yang berada dibawah lembaga perkawinan yang sah/ atau perkosaan yang dialakukan oleh suami terhadap istrinya (material rape).

5. Sanksi. Adanya batasan minimum untuk pemidanaan terhadap tindak pidana/ delik pemerkosaan, yang di dalam KUHP tidak ditentukan secara tegas yaitu 3 tahun. Dengan perumusan batasan minimum tersebut, diharapkan pelaku tindak pidana tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Adanya pemidanaan secara kumulatif yaitu pidana penjara dan denda. Ketentuan di dalam pasal 98 KUHP sebetulnya ada, namun pengenaan pidana denda tersebut dirasa kurang memadai, apabila dibandingkan dengan kerugian dan penderitaan yang dialami korban.

Di lain pihak, apabila kita perhatikan substansi dari konsep KUHP tersebut di atas, mengandung makna dan dampak yang lebih luas di dalam sistem pembuktian yang akan diterapkan dalam proses peradilan. Perbedaan yang fundamental antara pasal 285 KUHP dengan konsep pasal 389 KUHP terletak pada system pembuktian dan alat-alat bukti yang menentukan.

Selama ini, dalam praktek pembuktian pasal 285 KUHP, alat bukti yang menentukan adalah keterangan ahli (dokter forensic) selain harus adanya keyakinan dari hakim yang memeriksa perkara tersebut. Sedangkan di dalam konsep pasal 389 KUHP alat bukti yang sangat menentukan yaitu keterangan saksi korban mengenai segala sesuatu yang mendukung adanya perkosaan tersebut bahwa korban tidak menghendakinya, korban tidak menyetujuinya, atau korban menyetujui karena adanya ancaman, atau korban menyetujui karena pelaku adalah suaminya atau orang yang ia percayai, atau korban berada di bawah umur 14 tahun . Keterangan inilah, apabila tidak sejak awal diperhatikan secara hati-hati merupakan kendala yang serius bagi korban.16

Di samping itu, dalam pelaksanaan hukum acaranya harus benar-benar dapat memberikan perlindungan bagi korban, dalam arti pelaksanaanya harus benar-benar dilakukan dalam sidang yang tertutup sesuai dengan asas yang ada dalam hukum acara pidana. Apabila asas ini tidak diterapkan, justru akan menimbulkan stigmatisasi dan viktimisasi bagi korban. Stigmatisasi yang terjadi adalah sebagai akibat adanya cap atau label masyarakat dan lingkungan terdekat (korban) terhadap korban perkosaan. Sedangkan viktimisasi terjadi karena ketentuan pasal 389 konsep KUHP justru di dalam penerapannya nanti semakin jauh dari tercapainya tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seorang wanita yang menjadi korban perkosaan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk tindak pidana/ delik perkosaan yang ada dalam pasal 389 konsep KUHP, meliputi :

1) Persetubuhan dengan tipu daya (deceitful rape)

16 Briliyan Erna Wati, Perlindungan Hukum Terhadap Kekerasan Perempuan (semarang), h. 6.

2) Persetubuhan dengan anak dibawah umur (statutory rape)

3) Persetubuhan dengan paksaan oleh suami terhadap istri (matrial rape) Dari paparan diatas, Nampak bahwa konsep merupakan langkah maju/ sudah ada perlindungan hukum dibandingkan dengan keberadaan rumusan dalam pasal-pasal KUHP yang kurang mengakomodasi perkembangan kejahatan yang semakin meningkat modus operandinya. Sehingga tercapai cita-cita hukum untuk melindungi hak asasi kaum wanita yang selama ini dipandang kaum lemah dan tersisihkan dari perlakuan semena-mena pihak laki-laki.

Namun demikian, apabila dibandingkan dengan hukum Islam, khususnya tentang penerapan sanksinya belum begitu memadai untuk dapat memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan. Di dalam hukum Islam memungkinkan diterapkannya pidana mati terhadap pelaku tindak pidana/ delik perkosaan yang menyebabkan luka-luka atau bahkan mati. Sebab, di samping kasus tersebut termasuk pemaksaan berbuat zina, juga mengakibatkan kematian. Jika jenis hukuman terberatnya saja yang diambil dan diterapkan, maka kejahatan itu harus diterapkan sanksi hukuman mati. Artinya dalam rancangan KUHP yang ada, khususnya terhadap tindak pidana/ delik perkosaan yang berkategori pemberatan masih belum diikuti dengan sanksi maksimal yang berkategori pemberatan pula. Sehingga merupakan suatu keniscayaan adanya kontribusi hukum Islam ke dalam hukum pidana Indonesia yang mayoritas masyaraktnya beragama Islam.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992, melalui Pasal 75, 76, dan Pasal 77 memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran kandungan.

Berikut adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut:

Pasal 75:

1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang menancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bagi bayi tersebut hidup diluar kandungan; atau

b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan

3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

b) Oleh tenaga kesehatan yang memeliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang diterapkan oleh menteri.

c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan. d) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan, dan

e) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.

Pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi