• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA

D. Perlindungan kepada Konsumen terkait Pencantuman

Tugas Lembaga pengawasan adalah mengawasi perusahaan dalam menjalankan usaha, apakah berjalan sesuai aturan yang ada atau tidak. Karenanya tugas lembaga pengawasan sangat penting dan menjadi bagian dari organisasi dalam bisnis”.181

Pengawasan atas keberlakuan perjanjian baku dan klausula baku dapat dilakukan oleh BPSK yang didasarkan pada Keputusan Menteri Perindustrian dan

179 Nizla Rohaya, “Pelarangan Penggunaan Klausula Baku yang Mengandung Klausula Eksonerasi dalam Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum Replik, Vol. 6 No. 1 Maret 2018 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang, hal. 40

180 Lihat Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013

181 Waldi Nopriansyah, Op.cit., hal 219

99

Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, “BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen”.182 Salah satu tugas dan wewenang yang dimiliki oleh BPSK disebutkan dalam Pasal 3 huruf c yakni “melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku”.183

Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa:

1. Pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan atau tanpa pengaduan dari konsumen.

2. Hasil pengawasan pencantuman klausula baku sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan pencantuman klausula baku di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, diberitahukan secara tertulis kepada pelaku usaha sebagai peringatan.

3. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu untuk masing-masing peringatan 1 (satu) bulan.

4. Bilamana pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka BPSK melaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Konsumen untuk dilakukan

182 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 1 ayat (1)

183 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 3 huruf c

penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.184

Selain BPSK, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku juga dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan:

“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.185

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola

184 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 9

185 Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 ayat (1)

101

yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness).186

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan tugas pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

Pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan berlaku terhadap:187 1. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

3. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya

Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:188

1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

4. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

5. melakukan penunjukan pengelola statuter;

6. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

7. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

186 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014), hal. 200

187 Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 6

188 Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 9

8. memberikan dan/atau mencabut:

a. izin usaha;

b. izin orang perseorangan;

c. efektifnya pernyataan pendaftaran;

d. surat tanda terdaftar;

e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;

f. pengesahan;

g. persetujuan atau penetapan pembubaran;

h. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.

Pengaturan tentang pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan dapat dilihat dalam POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 51 ayat (1) yang menyatakan “Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan pelaku usaha jasa keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan konsumen”.189 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.190

Pasal 52 ayat (1) POJK menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan perlindungan Konsumen.”191

Untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah menyeimbangkan kedudukan konsumen jasa keuangan dengan pelaku usaha jasa

189 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal 51 ayat (1)

190 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal 51 ayat (2)

191 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal 52 ayat (1)

103

keuangan melalui POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, namun dalam praktiknya bank tetap menerapkan klausula ini. Pengawasan aktif oleh OJK terhadap bank-bank yang masih menerapkan hal ini harus tetap dilakukan dan pemberian sanksi yang telah diatur dalam POJK tersebut harus dijalankan yakni sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:

1. Peringatan tertulis;

2. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;

3. Pembatasan kegiatan usaha;

4. Pembekuan kegiatan usaha; dan 5. Pencabutan izin kegiatan usaha.”192

E. Perlindungan Kepada Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku melalui Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui BPSK, OJK, dan Pengadilan

Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) “setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang di mata hukum.193

192.Ahmad Jahri, “Perlindungan Nasabah Debitur terhadap Perjanjian Baku yang

Mengandung Klausula Eksonerasi pada Bank Umum di BandarLampung” Volume 10 Issue 1, (Faculty of Law, Lampung University, 2016) hal. 144

193 Happy Susanto, Op.cit., hal. 75

Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan adalah melalui BPSK. Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (12), BPSK adalah “badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”.194 Tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian terdapat 2 fungsi strategis dari BPSK, yaitu:195

1. BPSK berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase

2. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided standard form contract) oleh pelaku usaha (Pasal 52 butir c UUPK).

3. Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakakan keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. Jadi, tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan usaha perusahaan-perusahaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan milik negara.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

194 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat (12)

195 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 83

105

Penyelesaian Sengketa Konsumen, cara penyelesaian sengketa oleh BPSK antara lain:

1. Konsiliasi

Berdasarkan Pasal 1 angka 9, konsiliasi adalah “proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan penyelesaian diserahkan kepada para pihak”.

2. Mediasi

Berdasarkan Pasal 1 angka 10, mediasi adalah “proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

3. Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 angka 11, arbitrase adalah “proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK”.

Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.196 Permohonan tersebut juga bisa diajukan oleh ahli waris dan kuasanya jika ternyata konsumen yang bersangkutan telah meninggal dunia, sedang sakit, telah lanjut usia, belum dewasa, atau orang yang berkewarganegaraan asing. Permohonan yang dibuat secara tertulis akan diberikan bukti tanda terima oleh sekretariat BPSK, sedangkan permohonan yang dibuat secara lisan akan dicatatkan dalam suatu format yang telah disediakan dengan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol konsumen yang bersangkutan atau yang mewakilinya. Berkas permohonan yang telah dicatatkan oleh sekretariat BPSK kemudian ditulis tanggal dan nomor registrasi.197

196 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 15 ayat (1)

197 Happy Susanto, Op.cit., hal. 82

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:

1. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

2. nama dan alamat lengkap pelaku usaha;

3. barang atau jasa yang diadukan;

4. bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen bukti lain);

5. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut;

6. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

7. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan (jika ada)198

Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.199 Majelis wajib menyelesaikan sengketa konsumen selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.200

Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, dikuatkan dengan keputusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis.201 Pasal 37 ayat (4) mengatakan bahwa “hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis”202 Keputusan

198 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 16

199 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 42 ayat (1)

200 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 38

201 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 37 ayat (2)

202 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 37 ayat (4)

107

majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat memuat sanksi administratif.203

Selain itu, penyelesaian sengketa konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan

“Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan”.204 Kemudian “penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa”.205

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang:

1. mempunyai layanan penyelesaian sengketa paling kurang berupa;

a. mediasi;

b. ajudikasi; dan c. arbitrase.

2. mempunyai peraturan yang meliputi:

a. layanan penyelesaian sengketa;

b. prosedur penyelesaian sengketa;

c. biaya penyelesaian sengketa;

d. jangka waktu penyelesaian sengketa;

e. ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi mediator, ajudikator, dan arbiter; dan

f. kode etik bagi mediator, ajudikator, dan arbiter;

3. menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan efektivitas setiap peraturannya;

203 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 37 ayat (5)

204iPeraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Jasa Keuangan, Pasal 39 ayat (1)

205iPeraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Jasa Keuangan, Pasal 39 ayat (2)

4. mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan penyelesaian sengketa; dan

5. didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization.206

Selain penyelesaian sengketa konsumen melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Surat Edaran OJK Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan juga diatur mengenai penyelesaian pengaduan berupa pernyataan maaf atau menawarkan ganti rugi (redress/remedy) kepada konsumen. Adapun mekanisme pengajuan ganti rugi harus memenuhi sebagai berikut:

1. mengajukan permohonan ganti rugi dengan disertai kronologis kejadian bahwa penjelasan mengenai produk dan/atau pemanfaatan layanan yang tidak sesuai yang disertai dengan bukti-bukti;

2. permohonan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya produk dan/atau layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian;

3. permohonan diajukan dengan surat permohonan dan dapat diwakilkan dengan melampirkan surat kuasa;

4. ganti kerugian hanya yang berdampak langsung terhadap Konsumen dan paling banyak sebesar nilai kerugian yang dialami oleh Konsumen.207

Apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil mencapai kata sepakat, maka para pihak dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Dengan memperhatikan Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Jadi dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata

206 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, Pasal 4

207 SE OJK Nomor 2/SEOJK.07/2014, butir III, nomor 3

109

biasa, dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen.208

Pasal 23 UUPK mengatakan bahwa “Gugatan perdata ini diajukan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan kosumen. Dengan berlakunya UUPK, maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 HIR, tetapi diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai penggugat.209

Dengan berlakunya UUPK, ketentuan Pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK ini merupakan lex specialis terhadap HIR/RBg. Sesuai dengan adagium “lex specialis derogat lex generalis” yang berarti ketentuan khusus menyimpangkan ketentuan umum, maka ketentuan Pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang harus ditetapkan dalam rangka pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, dapat diajukan banding dan kemudian kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa.210

Sanksi terhadap pelanggaran UUPK dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif tertuang dalam Pasal 60 yang berbunyi:

208 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 127

209 Ibid

210 Ibid

1. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.

2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan211 Adapun ketentuan mengenai sanksi pidana diatur dalam Pasal 61 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi

“Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/ atau pengurusnya.”212 Lebih lanjut pengaturan sanksi pidana terdapat dalam Pasal 62 UUPK, yaitu:

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17, ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.213

211 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 60

212 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 61

213 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62

111 BAB V Kesimpulan A. Kesimpulan

1. Terhadap pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di bank XYZ, terdapat klausula yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Salah satunya adalah apabila terdapat perbedaan antara catatan pembukuan Bank dengan catatan yang ada pada Nasabah, maka yang berlaku adalah catatan pembukuan Bank, catatan pembukuan Bank merupakan alat bukti yang sah dan mengikat Nasabah. Klausula ini menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha dan melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

2. Dampak negatif bagi konsumen dengan pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di Bank XYZ adalah konsumen rentan menjadi korban ekspoitasi pelaku usaha dikarenakan posisinya yang lemah. Namun, secara umum bank telah memberikan penjelasan yang cukup mengenai karakteristik produk/fasilitas/jasa bank serta nasabah telah membaca,

mengetahui, dan memahami isi ketentuan umum dan persyaratan pembukaan rekening dibuktikan dengan menandatangani formulir pernyataan dan persetujuan nasabah dalam formulir pembukaan rekening.

3. Bentuk perlindungan hukum kepada konsumen terkait pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di Bank XYZ tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK serta Pasal 22 ayat (1) POJK No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Selain itu, bentuk perlindungan konsumen terkait pencantuman klausula baku melalui pengawasan dilakukan oleh BPSK dan Otoritas Jasa Keuangan dan dalam mekanisme penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui BPSK, OJK, dan Pengadilan.

B. Saran

1. Masih ditemukannya klausula eksonerasi dalam praktiknya disebabkan oleh masih lemahnya pengawasan yang dilakukan terhadap pencantuman klausula baku. Salah satunya ialah pengawasan yang dilakukan oleh BPSK, yaitu pengawasannya hanya dalam bentuk aduan. Untuk itu diperlukan pengaturan dan tindakan yang lebih tegas agar pengawasan terhadap pencantuman klausula baku tersebut dapat berjalan dengan lebih efektif.

113

2. Dalam perjanjian yang mencantumkan klausula baku, konsumen sering menjadi rentan karena kedudukannya yang lemah, maka sebelum menandatangani formulir pembukaan rekening hendaknya nasabah benar-benar membaca serta memahami ketentuan dan persyaratan yang tertera dalam formulir pembukaan rekening, terutama mengenai hak dan kewajiban serta risiko terhadap produk bank yang akan dibuka untuk menghindarkan konsumen dari kerugian.

3. Dalam praktiknya, tidak jarang ditemui konsumen yang belum mengetahui bagaimana cara memperoleh hak-haknya dalam perlindungan konsumen, maka diperlukan penyuluhan yang intensif kepada konsumen mengenai BPSK dan OJK sebagai peradilan non litigasi untuk menyelesaikan sengketa terkait kerugian yang dialami dalam pencantuman klausula baku.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Adonara, Firman Floranta, 2014, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung

Ali, H, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Assegaf, Ahmad Fikri, 2014, Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta

Asyhadie, Zaeni, 2014, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung _______________________, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung _______________________, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung

Dokumen terkait