• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ SKRIPSI"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN

PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CESYLIA ANGGITA FITRI 170200097

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

Bank dalam pelaksanaan pembukaan rekening, biasanya telah menyiapkan formulir yang didalamnya terdapat ketentuan dan persyaratan yang telah ditetapkan secara sepihak. Digunakannya klausula baku dalam formulir tersebut bertujuan untuk menghemat waktu dan dengan alasan praktis, namun bank harus memperhatikan hak konsumen agar tidak ada pihak yang dirugikan mengingat posisi konsumen yang rentan. Permasalahan dalam skripsi ini membahas tentang ketentuan pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di bank berdasarkan hukum perlindungan konsumen, dampak negatif bagi konsumen dengan pencantuman klausula baku serta bentuk perlindungan hukum kepada konsumen terkait pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di bank.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak Bank XYZ.

Kesimpulannya dalam pencantuman klausula baku pada formulir pembukaan rekening di bank XYZ, terdapat klausula yang bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dampak negatif bagi konsumen dengan pencantuman klausula baku dalam formulir pembukaan rekening bank adalah konsumen rentan menjadi korban eksploitasi pelaku usaha dikarenakan posisinya yang lemah, bentuk perlindungan hukum kepada konsumen tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, perlindungan konsumen terkait pencantuman klausula baku melalui pengawasan dilakukan oleh BPSK dan Otoritas Jasa Keuangan dan dalam mekanisme penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui BPSK, OJK, dan Pengadilan.

Kata kunci: Pembukaan rekening, Klausula baku, Perlindungan konsumen

1) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan tugas akhir dan syarat bagi mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ”.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terimakasih ini penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin S.Sos, M.Si, selaku Rektor USU;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU;

3. Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU;

(6)

Hukum Perdata Fakultas Hukum USU;

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU;

8. Bapak Boy Laksamana, SH., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik penulis;

9. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini;

10. Bapak Eko Yudhistira, SH., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini;

11. Seluruh dosen dan staff fakultas hukum USU yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis selama masa perkuliahan;

12. Adik-adik penulis, Primus Raihandinata dan Nugroho Wicaksono.

Terima kasih atas doa, dukungan, semangat, serta bantuan yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini;

13. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Anggina Aprilicia Ririn, Dwi Syella, Faradisa Ramadhani, Nabila Afifah Salwa, Nurul Pratiwi, Sri Indah Haura’ Nisa, Vedra Utami Salsabilla, Wanda Anisya Putri, dan Wani

(7)

Afsari Saragih yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam penyusunan skripsi ini;

14. Serta kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung, terima kasih atas doa, dukungan, serta semangat yang diberikan kepada penulis.

Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis tujukan kepada kedua orang tua penulis, yaitu Papa, Dr. Bambang Fitrianto, SH., M.Kn. dan Mama, Lily Nasution yang selalu menjadi motivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Terima kasih atas doa, dukungan, semangat, serta kasih sayang yang tidak terhingga selama ini hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun diterima dengan tangan terbuka demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya.

Medan, Februari 2021

Cesylia Anggita Fitri

170200097

(8)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 16

F. Keaslian Penulisan ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ BERDASARKAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Tinjauan Tentang Perjanjian dan Klausula Baku ... 27

1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian ... ... 27

2. Asas-Asas Perjanjian ... 36

3. Pengertian Klausula Baku ... 41

4. Ciri-Ciri dan Bentuk Klausula Baku ... 43

B. Kedudukan Klausula Baku dalam Asas Kebebasan Berkontrak ... 46

C. Penggunaan Klausula Baku dalam Formulir Pembukaan Rekening Bank ... 49

D. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ... 51

(9)

BAB III DAMPAK NEGATIF BAGI KONSUMEN DENGAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ

A. Tinjauan Umum Tentang Bank ... 58

1. Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Bank ... 58

2. Jenis-Jenis Bank ... 61

3. Sumber-Sumber Dana Bank ... 62

B. Ketentuan Umum, Layanan, dan Prosedur dalam Pembukaan Rekening di Bank XYZ ... 65

C. Hubungan Hukum dan Kedudukan Hukum para Pihak dalam Pembukaan Rekening di Bank ... 68

D. Dampak Negatif bagi Konsumen dengan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ ... 72

1. Tunduknya Konsumen pada Klausula yang Dicantumkan Secara Sepihak dalam Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ ... 72

2. Konsumen Rentan Menjadi Korban Eksploitasi Pelaku Usaha terkait Pencantuman Klausula Baku dalam Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ ... 75

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KONSUMEN TERKAIT PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN REKENING DI BANK XYZ A. Pengertian, Asas, dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 82

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa.Keuangan ... 85

1. Hak dan Kewajiban Konsumen Jasa Keuangan ... 87

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan ... 90

C. Tersedianya Ketentuan yang Mengatur Perlindungan Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku baik oleh Pemerintah maupun Otoritas Jasa Keuangan ... 94

D. Perlindungan kepada Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku melalui Pengawasan oleh BPSK dan Otoritas Jasa Keuangan ... 98 E. Perlindungan kepada Konsumen terkait Pencantuman

Klausula Baku melalui Mekanisme Penyelesaian Sengketa

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 114 LAMPIRAN

A. Formulir Pembukaan Rekening Bank XYZ B. Surat Riset pada Bank XYZ

C. Wawancara

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, mempunyai peran yang cukup penting. Disebut demikian, karena lembaga perbankan baik bank umum maupun bank perkreditan merupakan roh dari sistem keuangan suatu negara.

Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi wadah bagi badan usaha, lembaga pemerintah, swasta maupun orang pribadi. Selain sebagai tempat menyimpan dana juga bisa sebagai sarana dalam melakukan berbagai transaksi keuangan. Lewat lembaga pengumpulan dana tersebut, bank dapat menyalurkan kembali dana yang sudah terkumpul tersebut kepada masyarakat melalui pranata hukum perkreditan. Disamping fungsi yang telah disebutkan di atas, bank juga dapat memberikan berbagai jasa perbankan yang dibutuhkan oleh nasabah maupun masyarakat pada umumnya.1

Lembaga perbankan memegang peranan penting dan strategis sebagai salah satu pilar utama bagi pembangunan ekonomi dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam peranannya tersebut lembaga perbankan nasional dituntut dan berkewajiban untuk mewujudkan tujuan perbankan nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan, serta sejalan dengan tujuan dari negara kesejahteraan.2

1 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 15

2 Zulfi Diane Zaini, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Bandung: CV Keni Media, 2012), hal. 141

(12)

Aktivitas perbankan yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah di dunia perbankan adalah kegiatan funding.

Pengertian menghimpun dana maksudnya adalah “mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat luas”. Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan cara memasang berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya dalam bentuk simpanan.3

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bentuk penghimpunan dana dilakukan melalui penerimaan simpanan dari masyarakat. “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”.4

Secara sederhana, setiap orang yang menyimpan uangnya di bank disebut dengan nasabah penyimpan. Sementara itu, secara yuridis disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan nasabah penyimpan adalah “nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.5

3 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal.

23

4 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hal. 325

5.Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, (Bandung:

(13)

3

Pada dasarnya usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan masyarakat, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian atau seluruh uangnya di bank, semata-mata dilandasi oleh prinsip kepercayaan bahwa uangnya akan aman dan tetap akan diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai pemberian imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana terhadap suatu bank telah berkurang, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rush terhadap dana yang disimpannya.6

Bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito, tabungan, giro, dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum tersebut tertuang dalam bentuk perjanjian yang dibuat oleh bank yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah bank penyimpan dana.7

Mencermati produk barang dan jasa perbankan cukup bervariasi, tidak mengherankan jika persyaratan yang dicantumkan dalam standar kontrak yang digunakan oleh bank juga bervariasi artinya tergantung dari jenis layanan jasa yang digunakan nasabah.8 Dalam praktik, umumnya bank telah membuat formulir tersendiri. Dalam formulir tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh bank. Inilah yang oleh para ahli hukum disebut sebagai

6 Ibid, hal. 83

7 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 32

8 Sentosa Sembiring, Op.cit., hal. 177

(14)

perjanjian baku artinya “perjanjian yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.”9

Menurut Munir Fuady dalam Rachmadi Usman10, “kelemahan pokok dari perjanjian baku ini karena kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam perjanjian yang bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk menjadi klausula yang berat sebelah”. Faktor-faktor penyebab sehingga sering kali perjanjian baku menjadi sangat berat sebelah tersebut:

1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi perjanjian tersebut, apalagi ada perjanjian yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil.

2. Karena penyusunan perjanjian yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli, sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak banyak kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut.11

Apabila dalam suatu perjanjian kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam

9 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 48

10 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 134

(15)

5

perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.12

Salah satu bentuk perjanjian baku yang dipergunakan di bank yaitu dalam bentuk formulir pembukaan rekening. Di dalam formulir biasanya tertera ketentuan umum dan persyaratan yang telah disiapkan secara sepihak oleh bank. Nasabah tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi, hanya ada dua pilihan yakni setuju atau tidak setuju terhadap ketentuan dan persyaratan tersebut. Apabila nasabah setuju dalam pembukaan rekening, maka nasabah atau calon nasabah wajib mengisi dan menandatangani formulir yang telah ditetapkan.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Bank XYZ sebagai lembaga perbankan, merupakan salah satu bank yang mencantumkan klausula baku di dalam formulir pembukaan rekening, hal ini dapat dilihat pada ketentuan umum dan persyaratan dalam formulir pembukaan rekening, yaitu:

“Bank berwenang melakukan koreksi mutasi dan saldo Rekening Nasabah apabila terjadi kekeliruan pembukuan oleh Bank tanpa berkewajiban memberitahukan alasannya kepada Nasabah.”

12 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 114

(16)

“Apabila terdapat perbedaan antara catatan pembukuan Bank dengan catatan yang ada pada Nasabah, maka yang berlaku adalah catatan pembukuan Bank, dan dengan ini nasabah menyatakan, mengetahui, memahami, mengakui, dan menerima bahwa catatan pembukuan Bank merupakan alat bukti yang sah dan mengikat Nasabah”

Pencantuman klausula baku tersebut berpotensi merugikan nasabah karena nasabah berhak atas informasi terkait perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak bank. Selain itu, perbedaan antara catatan pembukuan Bank dengan catatan yang ada pada Nasabah akan menimbulkan keraguan dan multitafsir. Jika memang catatan yang ada pada nasabah benar, seharusnya nasabah diberikan kesempatan untuk membuktikan terlebih dahulu agar tidak ada hak nasabah yang dirugikan. Maka pencantuman klausula baku tersebut di atas menimbulkan ketimpangan hak dan kewajiban antarpihak.

Klausula baku bila dicermati merupakan perjanjian sepihak yang sering kali merugikan konsumen dan menempatkan konsumen pada posisi tawar (bargaining position) yang lemah.13 Kemungkinan ini dapat memberikan peluang penyalahgunaan keadaan yang pada gilirannya dapat merugikan masyarakat banyak. Pihak yang berkedudukan kuat dapat sekehendaknya menetapkan syarat- syarat yang tidak wajar dan menguntungkannya, yaitu dengan cara memuat syarat- syarat pembatasan atau bahkan pembebasan tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perjanjian.14 Untuk itu pengaturan mengenai klausula baku sangat

13 M. Sadar, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Akademia, 2012), hal. 55

(17)

7

diperlukan untuk menyeimbangkan kedudukan antara pihak bank dengan nasabah sebagai konsumen.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih jauh mengenai klausula baku dan perlindungan konsumen, maka diangkatlah skripsi yang berjudul

“Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan Pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ”.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu “Perlindungan Konsumen terhadap Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ, maka akan dikemukakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi tersebut, antara lain:

1. Bagaimana Ketentuan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen?

2. Apakah Dampak Negatif bagi Konsumen Dengan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ?

3. Apakah Bentuk Perlindungan Hukum kepada Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ?

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana Ketentuan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen

b. Untuk mengetahui apa Dampak Negatif bagi Konsumen dengan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ.

c. Untuk mengetahui apa Bentuk Perlindungan Hukum kepada Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ.

2. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoretis

1) Sebagai bahan kajian untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya hukum perbankan dan hukum perlindungan konsumen.

2) Menambah kepustakaan dalam bidang hukum pada fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi para pihak terkait

(19)

9

penggunaan klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening bank, sehingga hak-hak dan kepentingan masyarakat sebagai konsumen tidak dirugikan.

2) Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu masukan bagi nasabah untuk mengenal, melindungi dan mempertahankan hak- haknya sebagai konsumen produk perbankan.

3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai penyempurnaan aturan perlindungan konsumen di badan legislatif.

D. Tinjauan Pustaka

Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.15

Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:

“Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu”.16

15 Subekti dan R.Tjitrosudiblo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), hal. 370

16 Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 47 (selanjutnya disebut Mariam Darus 2)

(20)

Menurut Man Suparman Sastrawidjaja dalam Rachmadi Usman17, “lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi, disamping alasan efisiensi dan alasan praktis. Sriwati mengatakan bahwa:

“Dari segi efisiensi waktu, biaya dan tenaga memang dapat diandalkan, terlebih lagi di dalam sistem ekonomi dan komunikasi yang serba cepat, yang membuat para pihak harus bergerak secepat mungkin dan seefisien mungkin.

Namun di sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausula-klausula di dalam perjanjian itu sebagai pihak, yang baik langsung maupun tidak sebagai pihak yang dirugikan, yakni di satu sisi ia sebagai salah satu pihak dalam perjanjian itu memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam menjalankan perjanjian tersebut, tetapi di sisi lain ia harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya”. 18

Perlindungan hukum sepihak dalam perjanjian baku dengan klausula standar menyebabkan hak dan kewajiban menjadi timpang, padahal tanggung jawab pelaku usaha dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak dan itikad baik merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan kontrak yang baik. Asas kebebasan berkontrak memberikan kesempatan para pelaku bisnis dapat saling mengikatkan diri agar kegiatan usaha dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu perjanjian baku dengan klausula standar mengurangi esensi keadilan berkontrak yang melahirkan kesadaran tanggung jawab dan itikad baik, sehingga mustahil kontrak dapat memberikan keuntungan dan keadilan bagi kedua belah pihak.19

17 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 133

18 Ibid

(21)

11

Asas kebebasan berkontrak mengandung pengertian bahwa “setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun, baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum diatur undang-undang”. Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi,

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan 4. Menentukan bentuk perjanjian; tertulis atau lisan.20

Secara sederhana, bank diartikan sebagai “lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya”. Sedangkan pengertian lembaga keuangan adalah “setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya”.21 Kegiatan penghimpunan dana ini dibagi ke dalam 3 jenis yaitu:22

1. Simpanan Giro (Demand Deposit) 2. Simpanan Tabungan (Saving Deposit) 3. Simpanan Deposito (Time Deposit)

20 Ibid, hal. 161

21 Kasmir, Op.cit., hal. 2-3

22 Ibid, hal. 65

(22)

Pada umumnya dokumen-dokumen perjanjian dalam dunia perbankan dibuat secara sepihak oleh bank berupa formulir-formulir. Pada sisi lain penyediaan formulir-formulir perbankan itu demi kebutuhan efisiensi dan efektifitas kerja, namun disisi lain telah menempatkan nasabah sebagai pihak yang dirugikan.

Sebagai salah satu pihak dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabah, maka nasabah memiliki hak untuk memperoleh kedudukan yang seimbang dan adil dalam membuat perjanjian dengan bank yang bersangkutan. Namun pada umumnya nasabah selalu menurut atau tunduk kepada formulir-formulir yang telah disodorkan oleh bank kepada nasabahnya.23

Menurut hukum, yang dimaksud klausula baku itu adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.24

Dengan demikian ternyata asas kebebasan berkontrak dalam praktiknya menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan hubungan hukum antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah), karena pihak pelaku usaha (bank) dapat merumuskan ketentuan dan syarat secara sepihak tanpa harus melakukan negosiasi dengan konsumen (nasabah).25

Ahmadi Miru berpendapat bahwa

“Kontrak baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat dalam kontrak baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak

23 Rachmadi Usman, Op.cit., hal.137

24 M. Sadar dkk, Op.cit., hal. 38

(23)

13

perancang kontrak baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausul perjanjian tersebut, kecuali jika klausul tersebut merupakan klausul yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.”26

Pasal 18 UUPK mengatakan:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila;

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

26 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 45 (selanjutnya disebut Ahmadi Miru 2)

(24)

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan larangan pencantuman klausula baku, yaitu “larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak”. Dengan demikian, berlakunya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.27

Secara ideal seharusnya penyusunan perjanjian baku bukan untuk mempertajam perbedaan dan memaksakan kehendak, tetapi untuk menciptakan kerja sama berdasarkan kesepakatan dengan mematuhi kaidah-kaidah hukum kontrak yang berlaku. Kecermatan atau kehati-hatian dan itikad baik merupakan dua hal yang secara umum seharusnya diperhatikan para pihak sebelum menandatangani klausula baku, sehingga penting tetap dibuka negosiasi untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, namun sesuai asas yang berlaku mutlak diseluruh dunia dalam hukum kontrak, yaitu adanya itikad baik sehingga tidaklah merugikan sepenuhnya untuk dapat mengambil kontrak standar sebagai sarana perwujudan kontrak. Haruslah cermat dalam membaca dan memahami klausula baku agar tidak jadi kerugian yang tidak diinginkan. Klausula baku yang bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku akan batal demi hukum sebagaimana dijelaskan dalam asas kebebasan berkontrak (yang menjadikan

(25)

15

perjanjian layaknya seperti undang-undang), hanya berlaku untuk para pihak saja, tetapi ketentuan dalam undang-undang tetap berlaku mengikat bagi para pihak. 28

Hukum Perlindungan Konsumen bertujuan untuk mengatur pola perilaku pelaku usaha untuk melindungi hak-hak konsumen serta mencegah kerugian yang diderita oleh konsumen. Hukum perlindungan konsumen hadir dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis dari peraturan-peraturan perlindungan konsumen yang lebih khusus baik dalam sektor konsumsi, barang, maupun jasa.

Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pasal 4 huruf c menyatakan bahwa

“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat”. Kemudian pasal 6 huruf a menyatakan bahwa “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan perbankan”.29 OJK menyusun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan untuk mengatur pola perilaku usaha jasa keuangan agar tidak menyimpangi hak-hak konsumen. Pasal 22 ayat (3) POJK Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan secara khusus mengatur mengenai larangan penggunaan klausula-klausula baku tertentu yang dapat menciderai hak- hak konsumen.

Nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan juga harus dilindungi guna mendukung kesetaraan (kesejajaran) hubungan hukum dengan bank sebagai

28 RH. Wiwoho, Loc.cit.,

29 Undang-Undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

(26)

pelaku usaha penyedia jasa perbankan. Oleh karena itu perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan dalam rangka menjamin hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank masih perlu ditingkatkan. Dengan demikian peningkatan perlindungan dan pemberdayaan nasabah mempunyai relevansi dengan upaya penegakan hak-hak nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan dalam melakukan hubungan hukum dengan bank sebagai pelaku usaha penyedia jasa perbankan. 30

E. Metode Penelitian

Metode diartikan “sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian”, sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai “upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran”.31 Metode penelitian merupakan “rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar, pandangan- pandangan filosofis dan ideologis, pertanyaan dan isu-isu yang dihadapi. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai tradisi penelitian (research traditions)”.32

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, yaitu “penelitian hukum mengenai norma-norma serta ketentuan-

30 Rachmadi Usman, Op.cit., hal.158

31 Mardalis, Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal), (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 24

32 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja

(27)

17

ketentuan hukum yang telah ada atau telah berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis.”33 Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, “dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lainnya bertujuan untuk memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain.”34 Yaitu dengan cara memberikan uraian berdasarkan Undang- Undang Perlindungan Konsumen terhadap pencantuman klausula baku dalam formulir pembukaan rekening bank.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer merupakan “bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas”.35 Seperti Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian

33 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), hal. 71

34 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.105

35 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 141

(28)

Sengketa Konsumen, Surat Edaran OJK Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Surat Edaran OJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, dan formulir pembukaan rekening Bank XYZ.

b. Bahan hukum sekunder, adalah “bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti buku, hasil penelitian, pendapat pakar hukum, dan lain-lain.”

c. Bahan hukum tersier, yakni “bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan sejenisnya”.36

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu:

“dengan membaca, mempelajari, dan menganalisa buku-buku, hasil penelitian dan hal lain yang berhubungan dengan skripsi ini. Penelitian perpustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan”, seperti: buku, majalah, dokumen, catatan, dan lain- lainnya37

b. Studi lapangan (field research), yaitu “melakukan wawancara dengan informan dari Bank XYZ”.

36 Soerjono Soekanto, Op.cit., hal. 13

(29)

19

Adapun alat yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah:

a. Studi dokumen, “merupakan pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, maupun elektronik”.38

b. Pedoman wawancara, yaitu “dengan menyiapkan daftar pertanyaan yang akan digunakan sebagai acuan untuk melakukan wawancara di lapangan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi secara mendalam”.

4. Metode Analisis Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul secara lengkap dan disusun secara sistematis, selanjutnya akan dianalisis. Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara kualitatif yaitu “suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna suatu aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian”39, dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu “cara berpikir dengan menggunakan analisis yang berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta- fakta yang bersifat umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus”.40

38 Nana Syaodih Sukmadinata, Op.cit., hal. 221

39 Bambang Sunggono, Op.cit., hal. 30

40 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 20

(30)

F. Keaslian Penulisan

Jika dilihat dari judul skripsi, maka akan diperoleh gambaran bidang cakupan ilmu yaitu mengenai perlindungan konsumen terhadap pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di bank XYZ.

Setelah dilakukan pemeriksaan judul skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum USU, skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen terhadap Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ” belum pernah diangkat sebelumnya sebagai suatu judul skripsi. Adapun skripsi terdahulu yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam perbankan adalah sebagai berikut:

1. Nama : Sopan Sopian

NIM : 000222147

Judul Penelitian : Tinjauan Yuridis Perlindungan Deposan terhadap Klausul-Klausul Perjanjian Baku pada Tabungan

Tahun : 2005

Rumusan Masalah

a. Bagaimana perlindungan deposan terhadap klausul-klausul perjanjian baku?

b. Bagaimana perlindungan yang dibutuhkan deposan dalam menghadapi resiko di dalam perjanjian baku pada tabungan?

(31)

21

2. Nama : Cut Aja FaizahYusra

NIM : 010222042

Judul Penelitian :iPerjanjian Nasabah Perorangan dan Asas Perlindungan Nasabah Pada PT. Bank Mandiri (Persero)

Lokasi Penelitian : PT. Bank Mandiri (Persero)

Tahun : 2005

Rumusan Masalah

a. Bagaimana gambaran secara umum tentang nasabah perorangan dengan PT. Bank Mandiri (Persero)?

b. Bagaimana mekanisme perjanjian nasabah perorangan terhadap PT.

Bank mandiri dan apa saja yang diatur dalam perjanjian tersebut?

c. Perlindungan seperti apa yang diberikan PT. Bank Mandiri (Persero) kepada nasabahnya?

d. Apa tindakan PT. Bank Mandiri (Persero) terhadap nasabah yang melakukan wanprestasi?

3. Nama : Arif Budiman

NIM : 100200340

Judul Penelitian :iPerlidungan Hukum terhadap Debitur/Nasabah dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Regional I Medan

Lokasi Penelitian :iPT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Regional I Medan

(32)

Tahun : 2015 Rumusan Masalah

a. Bagaimana proses terjadinya perjanjian kredit bank pada PT. Bank Mandiri Regional I/Sumatera I Persero Tbk., Medan?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur/nasabah dalam perjanjian kredit bank pada PT. Bank Mandiri Regional I/Sumatera I Persero Tbk., Medan?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam hubungan antara debitur/nasabah dengan bank pada PT. Bank Mandiri Regional I/Sumatera I Persero Tbk., Medan?

4. Nama : Vera Patricia Madanna Purba

NIM : 0602200278

Judul Penelitian :iPerlindungan Hukum terhadap Nasabah dalam Ketentuan Kontrak Standard Pemberian Kredit di Bank (Studi pada Bank Mandiri Cabang Utama Medan)

Lokasi Penelitian : Bank Mandiri Cabang Utama Medan

Tahun : 2009

Rumusan Masalah

a. Apakah yang menjadi tahapan-tahapan serta latar belakang pemberian kredit menurut ketentuan kontrak standard pemberian kredit di bank kepada nasabah?

(33)

23

b. Apakah ketentuan kontrak standard pemberian kredit di bank sah menurut hukum perjanjian di Indonesia dan bagaimanakah daya ikat standar kontrak tersebut ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia?

c. Bagaimana upaya perlindungan hukum oleh bank terhadap nasabah dalam ketentuan kontrak standard pemberian kredit di bank dan dampak pemberian kredit bagi bank dan debitur?

5. Nama : Reza Endara Arham

NIM : 100200009

Judul Penelitian :iPerlindungan Hukum Hak-Hak Nasabah atas Penerapan Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit dengan Bank dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada PT. Bank Sumut Medan) Lokasi Penelitian : Bank Sumut Medan

Tahun : 2015

Rumusan Masalah

a. Bagaimana kedudukan para pihak antara bank dan nasabah dalam perjanjian kredit dengan menggunakan klausula baku?

b. Bagaimana pertanggungjawaban pihak bank dalam penerapan klausula baku atas perjanjian kredit yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

(34)

c. Bagaimana upaya-upaya perlindungan hukum dari perlaksanaan perjanjian kredit terhadap klausula baku pada nasabah?

Dengan demikian dapat dikatakan penulisan skripsi ini adalah yang pertama kali dilakukan, sehingga keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan moral. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi dari buku-buku, undang-undang, serta penelitian yang berhubungan dengan perbankan, klausula baku, dan perlindungan konsumen.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen terhadap Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ” ini terdiri atas lima bab dan dibuat secara sistematis untuk memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami maknanya. Selanjutnya, sistematika penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, merupakan bab yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika dari penulisan skripsi ini.

Bab II Ketentuan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen, bab ini menguraikan tinjauan tentang perjanjian dan klausula baku, pengertian dan syarat sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian,

(35)

25

pengertian klausula baku, ciri-ciri dan bentuk klausula baku, kedudukan klausula baku dalam asas kebebasan berkontrak, penggunaan klausula baku dalam formulir pembukaan rekening bank, serta ketentuan pencantuman klausula baku dalam ketentuan umum dan persyaratan pada formulir pembukaan rekening di bank XYZ berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Bab III Dampak Negatif Bagi Konsumen dengan Pencantuman Klausula Baku dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ, bab ini menguraikan tinjauan umum tentang bank, pengertian, fungsi, dan tujuan bank, jenis-jenis bank, sumber-sumber dana bank, ketentuan umum, layanan, dan prosedur dalam pembukaan rekening di bank XYZ, hubungan hukum dan kedudukan hukum para pihak dalam pembukaan rekening di bank, tunduknya konsumen pada klausula yang dicantumkan secara sepihak dalam formulir pembukaan rekening di bank XYZ, serta konsumen rentan menjadi korban eksploitasi pelaku usaha terkait pencantuman klausula baku dalam formulir pembukaan rekening di bank XYZ.

Bab IV Bentuk Perlindungan Hukum kepada Konsumen Terkait Pencantuman Klausula Baku Dalam Ketentuan Umum dan Persyaratan Pada Formulir Pembukaan Rekening di Bank XYZ, bab ini menguraikan tentang pengertian, asas, dan tujuan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan, hak dan kewajiban konsumen jasa keuangan, hak dan kewajiban pelaku usaha jasa keuangan, tersedianya ketentuan yang mengatur

(36)

perlindungan konsumen terkait pencantuman klausula baku baik oleh pemerintah maupun Otoritas Jasa Keuangan, Perlindungan kepada Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku melalui Pengawasan oleh BPSK dan Otoritas Jasa Keuangan, serta Perlindungan kepada Konsumen terkait Pencantuman Klausula Baku melalui Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui BPSK, OJK, dan Pengadilan.

Bab V Kesimpulan dan Saran, bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penjabaran mengenai skripsi ini. Sebagai pelengkap, pada bagian terakhir disertakan daftar pustaka dan lampiran.

(37)

27 BAB II

KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN PADA FORMULIR PEMBUKAAN

REKENING DI BANK XYZ BERDASARKAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Tinjauan Tentang Perjanjian dan Klausula Baku 1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau ditulis.41

Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan definisi perjanjian sebagai berikut:

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”

Para sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa:

“Definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan tidak pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan

41 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 1

(38)

hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum itu tidak ada unsur persetujuan”.42

Jika diperhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.43

Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah:

“Suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.44

42 Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung:

Alumni, 2005, hal. 89 (selanjutnya disebut sebagai Mariam Darus 3)

43 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2014), hal. 92

44 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 4

(39)

29

Menurut Abdulkadir Muhammad, yang dimaksud dengan perjanjian adalah:

“Persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan”.45

Apabila dilihat dari rumusan perjanjian tersebut, dapat digambarkan beberapa unsur perjanjian, antara lain:

a. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian

Pihak yang dimaksud adalah subjek perjanjian, yaitu “pihak-pihak dalam perjanjian sekurang-kurangnya ada dua pihak”. Subjek perjanjian dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian harus wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang diatur dalam undang- undang.46

b. Persetujuan tetap

Persetujuan tetap yang dimaksudkan adalah “adanya kesepakatan yang bersifat final antara para pihak terhadap syarat-syarat dan objek yang diperjanjikan”. Kesepakatan tersebut bersifat mengikat para pihak dan wajib dipenuhi dengan itikad baik.

c. Objek perjanjian

Objek perjanjian, yaitu “berupa prestasi yang wajib dipenuhi pihak- pihak”. Prestasi tersebut dapat berupa benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, misalnya berupa hak-hak

45 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), hal. 290

46 Ibid, hal. 291

(40)

kebendaan. Pemenuhan prestasi tersebut dapat berupa memberikan sesuatu, misalnya menyerahkan benda; melakukan sesuatu, misalnya mengerjakan borongan bangunan; atau tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan curang.47

d. Tujuan perjanjian

Tujuan perjanjian adalah “hasil akhir yang diperoleh pihak-pihak berupa pemanfaatan, penikmatan, dan pemilikan benda atau hak kebendaan sebagai pemenuhan kebutuhan pihak-pihak”. Pemenuhan kebutuhan tidak akan tercapai jika tidak dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara pihak-pihak. Tujuan perjanjian yang akan dicapai oleh pihak- pihak itu sifatnya harus halal, artinya tidak dilarang undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat.48

e. Bentuk perjanjian

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis, maka ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-

47 Ibid, hal. 292

48 Ibid

(41)

31

mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya (bestaanwaarde) perjanjian itu.49

f. Syarat-syarat perjanjian

Perjanjian berisi syarat-syarat tertentu. Berdasar pada syarat-syarat itu perjanjian dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak-pihak, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak dan cara melaksanakannya. Syarat-syarat itu biasanya terdiri atas syarat pokok yang berupa hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai barang serta harganya, dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan lain- lain.50

Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal yang tertentu;

d. suatu sebab yang halal.

Keempat unsur tersebut, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif) dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur obyektif). Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji,

49 Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 89-90

50 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal. 293

(42)

dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa “perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya”.51

Syarat subyektif adalah “suatu syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian”. Apabila yang menyangkut pada subyek ini tidak dipenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap ataupun tidak sepakat.

Sedangkan syarat obyektif, adalah “syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian yang meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal”. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya “bahwa dari semula dianggap tidak pernah lahir suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan”.52

51 Ibid, hal. 94

52 Osgar S Matompo dan Moh Nafri Harun, Pengantar Hukum Perdata, (Malang: Setara Press, 2017), hal. 108-109

(43)

33

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan adalah “persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain”. Pengertian sesuai di sini yang pertama adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.

Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan (offerte) maupun pihak yang menerima penawaran tersebut.53 Sudikno Mertokusumo dalam Firman Floranta Adonara mengatakan ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:54

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawannya.

Mengingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela), maka KUH Perdata menyebutkan ada 3 (tiga) sebab kesepakatan tidak diberikan secara

53 Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 2014), hal. 76

54 Ibid., hal. 78

(44)

sukarela yaitu karena adanya paksaan, kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog).55

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Para pihak dalam melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam), dan ini merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.56 KUH Perdata menyebutkan ada 3 kelompok orang-orang yang tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum, orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah seperti dimaksud dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan; dan

3) Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan undang-undang, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu.

4) Suatu hal yang tertentu

Pasal 1333 KUHPerdata mengatakan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang yang tidak tentu, asal jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud hal tertentu adalah syarat objektif dari syaratnya perjanjian yaitu barang yang sudah ditentukan paling sedikit

55 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal. 61

56 Osgar S Matompo dan Moh Nafri Harun, Op.cit., hal. 111

(45)

35

jenisnya. Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah.57 c. Suatu sebab yang halal

Adanya suatu sebab (causa dalam bahasa Latin) yang halal ini berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Dengan demikian, undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadaan suatu perjanjian. Yang diperhatikan oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai.

Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab, yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.58

Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) menegaskan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya “memberikan kebebasan kepada

57 Ibid, hal.

58 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 288

(46)

para pihak (dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian”, akan tetapi selain isinya tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.59

2. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas dalam hukum perjanjian merupakan “suatu upaya untuk menciptakan keseimbangan serta memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat mengikat bagi para pihak”. Oleh sebab itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan untuk dijadikan sebagai batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat. Dengan adanya asas-asas tersebut, dapat menjadi perjanjian yang berlaku bagi para pihak, dan dalam pelaksanaan serta pemenuhannya dapat dipaksakan.60

Dalam perjanjian, pihak yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi, yaitu debitur, dapat menentukan terlebih dahulu mengenai hal, waktu, tempat, dan cara memenuhi prestasinya tersebut. Dalam pemenuhan itu didasarkan pada kemampuan untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak ataupun kewajiban yang ada pada lawan pihaknya. Hal tersebut dilakukan agar

59 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 44

60 Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hal. 243

(47)

37

tercipta keseimbangan dan untuk memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian dibuat menjadi mengikat para pihak.61

Berikut ini asas-asas umum hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata:

a. Asas personalia

Asas kepribadian (personalia) berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya secara personal dan tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa “semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.62

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:63

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya

61 Ibid

62 Dadang Sukandar, Panduan Membuat Kontrak Bisnis, (Jakarta: Visimedia, 2017), hal. 32

63 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 9

(48)

4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.64 c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”. Dari rumusan pasal tersebut jika dilihat pada kalimat “berlaku sebagai undang- undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servand. Jadi para pihak harus menaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan. Asas ini berarti siapa berjanji harus menepatinya atau siapa yang berhutang harus membayarnya.65

64 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op.cit., hal. 295

65 Osgar S Matompo dan Moh Nafri Harun, Op.cit., hal. 115

Referensi

Dokumen terkait

Key words: Arbresh; Arbër; Arbëresh; Arvanite; Elbasanishte; Peninsula of Balkan; Gegërishte; Gheg; Standard Language; Albanian Language; Comparative Language; Indo-European

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diajukan maka penulis merumuskan satu rumusan masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu bagaimanakah hubungan

Ontop-spatial, the geospatial extension of the OBDA system Ontop, is able to connect to geospatial databases and create geospatial RDF graphs on top of them using ontologies (that

Pengaruh Kualitas Layanan dan Kepuasan terhadap Loyalitas Nasabah Bank Syariah dengan Corporate Image Sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus pada Bank BRI

yang berkaitan dengan Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam. pembiasaan ibadah di SMKN 1 BANDUNG Dan SMAN

Kenaikan tertinggi terjadi pada produksi kelompok Industri Manufaktur Besar Sedang yang memproduksi Kimia dan Barang-Barang dari Kimia yaitu sebesar 20,79

Hal berbeda ditemukan apabila sebuah partikel tertentu diikuti penanda subjek secara langsung. Kaidah sintaksis dalam kalimat berbahasa Indonesia, “pergi ka’. ”,

Berdasarkan angka 1 s/d 9 di atas, kami Pokja Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya pada ULP Kabupaten Bengkulu Utara, bertempat di Sekretariat ULP mengumumkan