• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA

KECAMATAN MEDAN KOTA

Oleh : MARIANTO

080100112

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA

KECAMATAN MEDAN KOTA

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh : MARIANTO

080100112

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota

Nama : Marianto

NIM : 080100112

Pembimbing Penguji I

( dr. Lambok Siahaan, MKT ) ( dr. Dedi Ardinata, M.Kes ) NIP. 19711005 200112 1 001 NIP. 19681227 199802 2 002

Penguji II

( dr. Rina Amelia, MARS ) NIP. 19760420 200312 2 002

Medan, 23 Desember 2011 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul ”Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penuliis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Lambok Siahaan, MKT, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak dr. Muhammad Rusda, Sp.OG(K), selaku Dosen Penasehat Akademis yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran USU.

4. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Suhedy Hanapi dan Marialin, yang telah membesarkan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

(5)

7. Seluruh pedagang daging pada Kecamatan Medan Kota yang berpartisipasi dalam proses pengumpulan data penelitian ini.

8. Teman-teman seperjuangan penulis, William M Simanjuntak, Inayah Natasya, Yeri Holo S. Kakak senior, Margaret Minaria, serta teman-teman selama masa perkuliahan, Citra Aryanti, Yoser Thamtono, Winny, dan teman-teman lainnya, yang selalu mendukung dan membantu dalam penulisan karya tulis serta berbagi suka dan duka di masa perkuliahan. 9. Standing Committee on Research Exchange Pemerintahan Mahasiswa

(SCORE-PEMA) FK USU, atas ilmu dan pengalaman yang berharga dalam bidang penelitian.

Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat beberapa kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Desember 2011 Penulis

(6)

ABSTRAK

Tingkat konsumsi daging di Indonesia masih terbilang rendah sampai beberapa tahun yang lalu. Adanya peningkatan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging secara nasional meningkat sejak tahun 2005, terutama daging sapi dan babi. Peningkatan konsumsi ini tentunya memberikan manfaat-manfaat. Namun, resiko penyakit akibat memakan daging juga meningkat. Salah satunya adalah infeksi cacing pita (taeniasis dan sistiserkosis). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kontaminasi cacing pita pada daging karena peningkatan konsumsi daging yang terjadi secara global.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain

cross-sectional. Sampel penelitian merupakan organ predileksi utama infeksi sistiserkus pada babi dan sapi (hati, lidah, jantung, dan otot masseter) yang didapat dari pedagang di pasar tradisional pada Kecamatan Medan Kota. Pengumpulan sampel penelitian dilakukan dengan metode cluster sampling dalam kurun waktu September hingga November 2011. Sampel kemudian diperiksa di laboratorium dengan metode inspeksi dan insisi daging seperti yang dideskripsikan Gracey et

al. (1999) dan metode kompresi otot.

Dari 56 sampel yang terdiri dari 32 sampel hewan sapi dan 24 sampel hewan babi, diidentifikasi adanya 1 sampel dengan sistiserkus yang positif (1,8%) pada pemeriksaan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ditemukannya sistiserkus ini pada hati babi. Asal hewan babi ditemukannya sistiserkus adalah Pasar Ramai dengan asal peternakan adalah Peternakan Dolok Galunggung.

Ditemukannya sistiserkus pada hati babi ini menunjukkan bahwa peternakan Dolok Galunggung kemungkinan belum terkelola dengan baik. Hal ini menunjukkan masih adanya kontaminasi Taenia sp pada daging di Kecamatan Medan Kota sehingga diperlukannya tindak lanjut preventif untuk menghentikan infeksi Taenia sp terhadap manusia.

(7)

ABSTRACT

Meat consumption in Indonesia is still relatively low until a few years ago. However, since 2005, growing population, changing of consumption pattern, and society’s preferences have raised the demand of national meat consumption, especially beef and pork. Increased meat consumption certainly have some beneficial effects in health community. However, the risk of suffering a disease from increasing meat consumption also will be increased. One of the most severe tropical parasitic disease is tapeworm infection (taeniasis and cysticercosis). It is necessary to study the contamination tapeworm on meat because of increasing meat consumption in the society which occurs worldwide.

This research is a descriptive study using cross-sectional design method. Samples were the main predilection sites of cysticercus infection in pigs and cows (liver, tongue, heart, and masseter muscle) which were obtained from the butchers at the traditional markets in Medan Kota District. Sample collection was carried out by using cluster sampling method from September until November 2011. The samples were then examined in the laboratory using meat inspection and incision method described by Gracey et al. (1999) and muscle compression method.

Out of 56 samples consisted of 32 samples of bovine and 24 samples of porcine, one cysticercus (1.8%) was identified when the meat was examined in Parasitology Laboratory at Medical Faculty of Universitas Sumatera Utara. The cyst was found in pig liver. The pig’s liver was obtained from Pasar Ramai, Farm Dolok Galunggung.

Cysticercus found in pig’s liver shows that the farm may not be well managed. The finding indicates there is still the persistence of Taenia sp contamination on meat in the Medan Kota District and the further prevention strategy is needed to stop Taenia sp infection to human.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. ... 5

2.2. Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Sapi ... 7

2.3. Biologi dan Morfologi Taenia sp. ... 9

2.3.1.Biologi dan Morfologi Taenia solium ... 9

2.3.2.Biologi dan Morfologi Taenia saginata ... 10

2.3.3.Biologi dan Morfologi Sistiserkus ... 11

2.4. Siklus Hidup Taenia sp. ... 12

2.4.1.Siklus Hidup Taenia solium ... 12

2.4.2.Siklus Hidup Taenia saginata ... 13

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis ... 14

2.6. Gejala Klinik Taeniasis sp. ... 14

2.6.1.Gejala Klinik Taeniasis solium ... 14

2.6.2.Gejala Klinik Taeniasis saginata ... 15

2.6.3.Gejala Klinik Sistiserkosis ... 16

2.7. Diagnosa Taeniasis sp. ... 18

2.7.1.Diagnosa Taeniasis solium ... 18

2.7.2.Diagnosa Taeniasis saginata ... 19

2.7.3.Diagnosa Sistiserkosis ... 20

2.8. Pencegahan Taeniasis sp. ... 21

2.9. Daging ... 22

(9)

2.9.2.Ciri-ciri Daging Sapi ... 23

2.9.3.Kandungan Daging Babi dan Sapi ... 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 25

3.1. Kerangka Konsep ... 25

3.2. Definisi Operasional ... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 29

4.1. Jenis Penelitian ... 29

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

4.3. Populasi dan Sampel ... 29

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 30

BAB 5 HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Hasil Penelitian ... 31

5.1.1. Lokasi Penelitian ... 31

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 31

5.1.3. Hasil Analisa Data ... 36

5.2. Pembahasan ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1. Kesimpulan ... 39

6.2. Saran ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Angka Temuan C. bovis pada Penelitian di Negara Lain ... 8

Tabel 2.2 Angka Temuan Cysticercus cellulosae di Negara Lain ... 8

Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp. ... 18

Tabel 2.4 Perbandingan Jenis Kesegaran Daging dari Segi Warna, Terangnya Warna secara Kuantitatif, Kemampuan Menampung Air pada Daging (Dihitung dengan Jumlah Cairan yang Hilang), dan pH Akhir ... 23

Tabel 2.5 Perbandingan Stadium Kesegaran Daging Sapi berdasarkan Penampakan Luar Daging ... 24

Tabel 2.6 Perkiraan Kandungan Air, Protein, Lemak, Mineral (dalam %), dan Kalori (dalam kilojoule) dalam Daging per 100 gram ... 24

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel ... 31

Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Warna Sampel Daging dan Hati Babi ... 32

Tabel 5.3 Distribusi Karakteristik Warna Sampel Daging dan Hati Sapi ... 32

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Daging Sapi dan Babi pada Pasar di Kecamatan Medan Kota ... 33

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Warna Daging dan Hati Babi Berdasarkan Pasar di Kecamatan Medan Kota ... 34

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Warna Daging dan Hati Sapi Berdasarkan Pasar di Kecamatan Medan Kota ... 35

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 3.1 Tingkatan Warna Daging Babi ... 27 Gambar 3.2 Tingkatan Warna Daging Sapi sesuai Kualitas Daging

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Data Induk

LAMPIRAN 3 Hasil Analisis Data SPSS LAMPIRAN 4 Persetujuan Komisi Etik

(13)

ABSTRAK

Tingkat konsumsi daging di Indonesia masih terbilang rendah sampai beberapa tahun yang lalu. Adanya peningkatan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging secara nasional meningkat sejak tahun 2005, terutama daging sapi dan babi. Peningkatan konsumsi ini tentunya memberikan manfaat-manfaat. Namun, resiko penyakit akibat memakan daging juga meningkat. Salah satunya adalah infeksi cacing pita (taeniasis dan sistiserkosis). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kontaminasi cacing pita pada daging karena peningkatan konsumsi daging yang terjadi secara global.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain

cross-sectional. Sampel penelitian merupakan organ predileksi utama infeksi sistiserkus pada babi dan sapi (hati, lidah, jantung, dan otot masseter) yang didapat dari pedagang di pasar tradisional pada Kecamatan Medan Kota. Pengumpulan sampel penelitian dilakukan dengan metode cluster sampling dalam kurun waktu September hingga November 2011. Sampel kemudian diperiksa di laboratorium dengan metode inspeksi dan insisi daging seperti yang dideskripsikan Gracey et

al. (1999) dan metode kompresi otot.

Dari 56 sampel yang terdiri dari 32 sampel hewan sapi dan 24 sampel hewan babi, diidentifikasi adanya 1 sampel dengan sistiserkus yang positif (1,8%) pada pemeriksaan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ditemukannya sistiserkus ini pada hati babi. Asal hewan babi ditemukannya sistiserkus adalah Pasar Ramai dengan asal peternakan adalah Peternakan Dolok Galunggung.

Ditemukannya sistiserkus pada hati babi ini menunjukkan bahwa peternakan Dolok Galunggung kemungkinan belum terkelola dengan baik. Hal ini menunjukkan masih adanya kontaminasi Taenia sp pada daging di Kecamatan Medan Kota sehingga diperlukannya tindak lanjut preventif untuk menghentikan infeksi Taenia sp terhadap manusia.

(14)

ABSTRACT

Meat consumption in Indonesia is still relatively low until a few years ago. However, since 2005, growing population, changing of consumption pattern, and society’s preferences have raised the demand of national meat consumption, especially beef and pork. Increased meat consumption certainly have some beneficial effects in health community. However, the risk of suffering a disease from increasing meat consumption also will be increased. One of the most severe tropical parasitic disease is tapeworm infection (taeniasis and cysticercosis). It is necessary to study the contamination tapeworm on meat because of increasing meat consumption in the society which occurs worldwide.

This research is a descriptive study using cross-sectional design method. Samples were the main predilection sites of cysticercus infection in pigs and cows (liver, tongue, heart, and masseter muscle) which were obtained from the butchers at the traditional markets in Medan Kota District. Sample collection was carried out by using cluster sampling method from September until November 2011. The samples were then examined in the laboratory using meat inspection and incision method described by Gracey et al. (1999) and muscle compression method.

Out of 56 samples consisted of 32 samples of bovine and 24 samples of porcine, one cysticercus (1.8%) was identified when the meat was examined in Parasitology Laboratory at Medical Faculty of Universitas Sumatera Utara. The cyst was found in pig liver. The pig’s liver was obtained from Pasar Ramai, Farm Dolok Galunggung.

Cysticercus found in pig’s liver shows that the farm may not be well managed. The finding indicates there is still the persistence of Taenia sp contamination on meat in the Medan Kota District and the further prevention strategy is needed to stop Taenia sp infection to human.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Protein adalah bagian dari setiap sel, jaringan, dan organ di tubuh kita. Setiap hari, sebagian dari protein-protein ini akan didegradasi dan diganti. Untuk mengganti protein-protein yang telah hilang, tubuh dapat melakukan daur ulang terhadap protein tersebut sehingga dapat digunakan kembali. Namun, ada asam amino esensial yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh sehingga setiap hari dianjurkan untuk mengkonsumsi protein hingga 35% dari kalori makanan yang kita makan (Centers for Disease Control and Prevention, 2011). Daging merupakan salah satu makanan yang paling sering dimakan sebagai sumber protein. Terdapat banyak jenis daging dari hewan yang paling umum (seperti hewan ternak dan unggas) sampai hewan hanya dimakan di daerah tertentu (seperti unta, kuda, burung unta, dan binatang liar lainnya). Bahkan pada beberapa daerah, daging juga didapatkan dari hewan seperti buaya, ular, dan kadal (Food

and Agricultural Organization of the United Nations, 2009a).

Daging merupakan salah satu makanan yang paling sering dimakan sebagai sumber protein. Terdapat banyak jenis daging dari hewan yang paling umum (seperti hewan ternak dan unggas) sampai hewan hanya dimakan di daerah tertentu (seperti unta, kuda, burung unta, dan binatang liar lainnya). Bahkan pada beberapa daerah, daging juga didapatkan dari hewan seperti buaya, ular, dan kadal (FAO, 2009a).

Daging babi, sebagai salah satu produk daging, merupakan daging yang paling banyak dimakan oleh masyarakat seluruh dunia yaitu sekitar 36% dari daging di seluruh dunia (FAO, 2009a). Menurut American Meat Institute (2011), daging babi dikonsumsi karena rasanya nikmat dan kandungannya tinggi akan protein, seng, besi, dan vitamin B.

(16)

merupakan daging sapi (FAO, 2009a). Kandungan dalam daging sapi juga hampir menyerupai daging babi. Pada pemakan daging sapi sekitar 11% kebutuhan proteinnya lebih terpenuhi daripada yang tidak memakan daging sapi. Demikian pula kandungan seng, besi, dan vitamin B12 yang masing-masing mempunyai nilai

perbedaan 26%, 13%, dan 24% antara pemakan daging sapi dan yang bukan pemakan daging sapi (National Cattlement’s Beef Association, 2005).

Menurut Subagyo (2009), tingkat konsumsi daging Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, namun dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, adanya perubahan pola konsumsi, dan selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging secara nasional meningkat (Kariyasa, 2005). Peningkatan tingkat konsumsi daging yang terjadi di Indonesia tampaknya dapat menimbulkan banyak hal yang merugikan. Menurut Trachtman (2007), di dalam daging yang kita makan terdapat berbagai mikroorganisme patogen seperti Campylobacter jejuni, E. coli O157:H7, L. monocytogenes, dan

Salmonella typhi. Selain itu, dapat juga ditemukan bermacam-macam parasit seperti sistiserkus, sarkosistis, trikinela, onkoserka, dan parafilaria (Turton, 2006). Salah satu infeksi parasit yang menjadi sorotan di Indonesia adalah taeniasis.

Banyak spesies dari Taenia sp., namun yang dapat ditemukan di Indonesia hanya Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica (Ito et al., 2003). Adapun infeksi Taenia sp. pada manusia disebut sebagai taeniasis sedangkan sistiserkosis adalah infeksi parasit pada jaringan yang disebabkan oleh kista dari cacing pita (CDC, 2010). Taeniasis dan sistiserkosis telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia terutama di negara berkembang dengan kebersihan yang rendah (World Health Organization, 2009). Menurut Center for Food

Security and Public Health (2005), sekitar 50 juta orang mengidap taeniasis di seluruh dunia, sekitar 50.000 orang setiap tahunnya meninggal akibat infeksi cacing pita.

(17)

(Suroso et al., 2005) dengan prevalensi tertinggi berada di Papua yaitu sekitar 42,7% (Purba et al., 2003). Sebuah penelitian epidemiologi oleh Wandra menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sekitar 3,4% masyarakat Sumatera Utara menderita taeniasis dan pada tahun 2005 angka taeniasis di Sumatera Utara adalah 2,2% (Wandra et al., 2007).

Sumatera Utara, sebagai salah satu daerah endemis dari empat provinsi utama ditemukannya kasus taeniasis dan sistiserkosis, memiliki kasus taeniasis dan sistiserkosis yang tidak lagi sebanyak dahulu. Hal ini disebabkan telah adanya kebiasaan masyarakat dalam menjaga babi di dalam kandang tanpa kontak langsung dengan feses manusia (Ito et al., 2003). Namun, masih dapat ditemukan masyarakat yang mencoba mengkonsumsi organ viseral, misalnya hati, ketika memotong daging menjadi potongan-potongan kecil pada saat menyajikan daging (sang-sang) pada rumah, rumah makan, dan perayaan tertentu. Hal ini merupakan faktor risiko utama taeniasis atau sistiserkosis (Wandra et al., 2007) sehingga pengendalian kasus sistiserkosis dan taeniasis di Medan tidak akan cukup hanya dengan mengobati penderita saja. Pengendalian taeniasis dan sistiserkosis sebaiknya diikuti dengan pemberantasan sistiserkus pada daging mengingat adanya sistiserkus pada daging merupakan faktor resiko dalam taeniasis. Atas dasar ini, penulis merasa perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat kontaminasi sistiserkus pada daging yang dijual di pasar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah kontaminasi sistiserkus pada daging dan hati sapi dan babi yang dijual di pasar tradisional pada Kecamatan Medan Kota?

1.3. Tujuan Penelitian

(18)

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kontaminasi sistiserkus pada daging dan hati sapi dan babi di pasar tradisional pada Kecamatan Medan Kota.

1.3.2. Tujuan Khusus Penelitian

Adapun beberapa tujuan spesifik dalam penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui kontaminasi sistiserkus pada daging dan hati sapi dan babi yang dijual di pasar tradisional.

2. Mengetahui kontaminasi sistiserkus pada bagian tubuh hewan yang menjadi predileksi sistiserkus.

3. Mengetahui kontaminasi sistiserkus yang terjadi apakah masih hidup atau telah terjadi kalsifikasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Memberikan gambaran terhadap masyarakat kota Medan tentang

gambaran adanya sistiserkus pada daging dan hati sehingga masyarakat dapat lebih waspada dalam pengolahan daging dan hati sebelum dimakan. b. Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk

penelitian lebih lanjut mengenai adanya sistiserkus pada daging atau pun penelitian lain yang berhubungan dengan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit taeniasis.

c. Sebagai suatu masukan kepada pemerintah kota Medan bahwa masih adanya tingkat kontaminasi daging akibat Taenia sp. yang menunjukkan bahwa adanya probabilitas tingkat pengawasan pemberian makan pada peternakan daging yang masih kurang.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Taeniasis sp.

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp. akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Menurut Tolan (2011), semua usia rentan terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana konsumsi daging mentah dimulai adalah faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis solium dilaporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001).

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang terinfeksi Taenia saginata, dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari

Taenia solium (CFSPH, 2005).

Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010), Thailand (Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et

al., 2009), Eropa Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003; WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari populasi umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah satu negara dengan prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America Latin (sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara dengan tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Yanez, 2001).

(20)

daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b).

Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan penghentian transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).

Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium, infeksi tertinggi Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi 0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand, India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1% penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).

Epidemiologi sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari

Taenia sp.. Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50 juta orang menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar 50.000 ribu orang meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak (CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling sering terjadi di Amerika Latin, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Sub Sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999; WHO, 2009). Pada orang dewasa yang menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya merupakan penderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa ditemukan juga di Afrika, India, dan China bahwa sebagian besar penyakit parasit otak disebabkan oleh neurosistiserkosis (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999). Telah diketahui bahwa prevalensi neurosistiserkosis di antara penderita kejang pada daerah endemis lebih dari 29% (WHO, 2009).

(21)

1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan, 2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005). Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga karena peningkatan jumlah imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut (White, 1997).

Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan beberapa bagian di Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO, 2009). Daerah Korea dan Myanmar diduga juga merupakan daerah endemik, namun tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis pada Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-66,7% (Subahar et

al., 2005) sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis sejak tahun 1972-2000 dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29% (Simanjuntak dan Widarso, 2004). Pada penelitian epidemiologi yang diadakan tahun 2003 sampai 2006 oleh Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif terinfeksi Taenia asiatica. Pada tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58 orang (3,4%), sedangkan pada tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif (2,2%) (Wandra et al., 2007).

2.2. Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Sapi

(22)

Tabel 2.1 Angka Temuan C. bovis pada Penelitian di Negara Lain

Negara/Lokasi % Metode Sumber

Gambia 0,75

19,2

Inspeksi daging ELISA

Unger et al., 2008 Ethiopia

7,5

Inspeksi

dan Insisi daging

Kebede et al., 2009 Ethiopia 4,4 Inspeksi daging Megersa et al., 2010.

Kenya 2,5

16,7

Inspeksi daging ELISA

Asaava et al., 2010

Nigeria (Makurdi) 9,2 Inspeksi daging Ofukwu et al., 2009 Jerman 15,6 ELISA Abuseir et al., 2006

Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3, dan 32,5% (Rajshekhar et al., 2003). Pada penelitian Vazquez-Florez et al. (2001) memeriksa 53 babi dengan metode palpasi lidah dan serologis dengan hasil penelitian tidak ditemukan adanya sistiserkus (0%). Penelitian oleh Gweba et al. (2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan inspeksi daging. Dari penelitian tersebut, didapatkan angka temuan sistiserkus sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-masing pemeriksaan. Penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian lainnya seperti penelitian Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis pada babi sebanyak 0,15%. Pada tabel berikut dapat dilihat angka kejadian sistiserkus pada babi pada penelitian lain.

Tabel 2.2 Angka Temuan C. cellulosae pada Penelitian di Negara Lain

Negara/Lokasi % Metode Sumber

India 22,5

4,41

Serologis

(Indirect Hemmaglutinnin test) Inspeksi daging

Selvam et al., 2004

Brazil 23,5 EITB Sakai et al., 2001

Zambia 56,6

20,6

ELISA

Inspeksi daging

Phiri et al., 2003

(23)

2.3. Biologi dan Morfologi Taenia sp. 2.3.1. Biologi dan Morfologi Taenia solium

Taksonomi dari Taenia solium (Keas, 1999; CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007):

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes Kelas : Cestoidea Ordo : Cyclophyllidea Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : solium

Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes perantara (CFSPH, 2005), sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b).

Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002). Bentuk dari cacing dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid (Ideham dan Pusarawati, 2007). Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang berjumlah kurang dari 1000 buah (Soedarto, 2008).

Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah (Handojo dan Margono, 2008b).

Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter (Soedarto, 2008). Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan

(24)

proglotid matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007) dan berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008).

Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6 segmen setiap kali dilepaskan (Soedarto, 2008).

2.3.2. Biologi dan Morfologi Taenia saginata

Taksonomi dari Taenia saginata (Keas, 1999, Ideham dan Pusarawati, 2007):

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes Kelas : Cestoidea Ordo : Cyclophyllidea Famili : Taeniidae Genus : Taenia Spesies : saginata

Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya (Soedarto, 2008). Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih (CFSPH, 2005).

(25)

milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo dan Margono, 2008a).

Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15–30 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen

gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005).

2.3.3. Biologi dan Morfologi Sistiserkus

Sistiserkus adalah fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam tubuh hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002).

Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus, yaitu larva atau fase metacestoda cacing pita. Sistiserkus atau larva Taenia solium biasanya ditemukan pada ternak babi (Cysticercus cellulosae), sapi (Cysticercus

bovis) dan kadang-kadang ditemukan pada manusia (C. cellulosae). Sistiserkosis ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes. Sistiserkosis juga dapat terjadi pada sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (CFSPH, 2005).

Kista Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Kista paling sering dijumpai pada otot masseter, jantung, dan pillar dari diafragma, walaupun mungkin pada hewan yang berat terinfeksi mungkin ditemukan pada otot skeletal (Soedarto, 2008).

(26)

sesuai jaringan sekitarnya. Kista ini biasanya ditemukan pada otot lidah, punggung, dan pundak babi (Handojo dan Margono, 2008b). Di otak, kista berbentuk bundar dengan diameter 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan ketebalan bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di SSP (Sistem Saraf Pusat) dan mata kurang tebal (Wiria, 2008). Dinding kantong terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (lapisan glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung longgar, dan jaringan kanalikuli (Wiria, 2008).

2.4. Siklus Hidup Taenia sp. 2.4.1. Siklus Hidup Taenia solium

Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita (Wandra et al., 2007; Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Pearson, 2009a; Handojo dan Margono, 2008b). Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak (Ideham dan Pusarawati, 2007; Handojo dan Margono, 2008b; Tolan, 2011). Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius (Soedarto, 2008; Tolan, 2011).

(27)

50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et

al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007).

Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007).

Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis) (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi (Tolan, 2011). Namun, teori ini belum dibuktikan (CFSPH, 2005). Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007). Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus (CFSPH, 2005) sehingga setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus (Pearson, 2009a; Ideham dan Pusarawati, 2007). Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi sistiserkus (Tolan, 2011). Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005).

2.4.2. Siklus Hidup Taenia saginata

(28)

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis

Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008).

Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein (CFSPH, 2005; White, 1997).

Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).

2.6. Gejala Klinik Taeniasis sp 2.6.1. Gejala Klinik Taeniasis solium

(29)

Penderita taeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011; Handojo dan Margono, 2008b) atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise, anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit ketika lapar (hunger pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan Pusarawati, 2007). Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia (Handojo dan Margono, 2008b).

Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan, dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005).

Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.6.2. Gejala Klinik Taeniasis saginata

Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir serupa dengan infeksi Taeniasis solium (Pearson, 2009b). Pada taeniasis saginata terjadi inflamasi sub-akut pada mukosa usus (Ideham dan Pusarawati, 2007)

(30)

Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas. Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual, muntah, dan diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing (Handojo dan Margono, 2008a).

2.6.3. Gejala Klinik Sistiserkosis

Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi jaringan (Pearson, 2009a). Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik (CFSPH, 2005). Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen (Pearson, 2009a). Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata (Pearson, 2009a).

Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi (Wiria, 2008).

(31)

neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual, muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer, 2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus ini jarang (CFSPH, 2005).

Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 (Wiria, 2008):

a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya (kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang, psikosis.

b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis sistiserkal.

c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis ventrikular.

d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular, dan lain-lain.

Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat, sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis (CFSPH, 2005).

(32)

2.7. Diagnosa Taeniasis sp 2.7.1. Diagnosa Taeniasis solium

Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum. Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk dikumpulkan pada hari yang berbeda (CDC, 2010). Telur cacing yang ditemukan tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005), penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang atau gravid dengan menghitung percabangan uterus (CDC, 2010; Ideham dan Pusarawati, 2007).

[image:32.595.116.522.470.731.2]

Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH, 2005).

Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp.

(Sumber: Ito et al., 2003)

Karakteristik Taenia solium Taenia asiatica Taenia saginata

Sistiserkus

Hospes perantara Babi, manusia, anjing, babi hutan

Babi, hewan ternak, kambing, monyet, babi hutan

Hewan ternak, rusa.

Lokalisasi Otot, otak, kulit,

mata, lidah

Organ viseral, terutama hati

Otot, organ viseral, otak

Ukuran (mm) 5-8 x 3-6 2 x 2 7-10 x 4-6

Skoleks Rostelum dengan

kait

Rostelum dengan kait yang belum sempurna

Tidak ada rostelum dan kait

Cacing dewasa

Skoleks Rostelum dengan

kait

Rostelum tanpa kait Tanpa rostelum,

tanpa kait Jumlah cabang

uterus pada proglottid gravid

7-12 16-21 18-32

Ekspulsi dari manusia

Terutama dalam kelompok, secara pasif

(33)

Adapun pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan ini belum tersedia pada luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya tersedia pada lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan PCR, dapat dibedakan spesies dari Taenia (CFSPH, 2005).

2.7.2. Diagnosa Taeniasis saginata

Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham). Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium (Garcia et al., 2003). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik dari taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita. Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99% (Garcia et al., 2003; WHO, 2009).

2.7.3. Diagnosa Sistiserkosis

Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria, 2008). Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis dapat dipakai CT scan dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan (Wiria, 2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus (Pearson, 2009a).

(34)

Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh, termasuk otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat dilakukan untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi (CFSPH, 2005).

Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu (White, 1997). Pada manusia ada beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked

immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan hemaglutinasi (CFSPH, 2005). Antibodi mungkin ditemukan pada serum atau cairan serebrospinal (CFSPH, 2005). Namun, immunoblot assay CDC, yang menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih dari 2 lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista) (Pearson, 2009a). Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis untuk diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan spesifik ELISA (Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003).

(35)

Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan beberapa kriteria, antara lain (Wiria, 2008):

Kriteria Mayor:

a. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan sistiserkus berukuran 0,5–2 cm.

b. Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB. Kriteria Minor:

a. Kejang.

b. Peningkatan tekanan intrakranial. c. Kalsifikasi intraserebral pungtata.

d. Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit. Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan (White, 1997).

2.8. Pencegahan Taeniasis sp

Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005):

a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto, 2008).

b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring semua kasus yang sangat ringan (Garcia et al., 2003; Soedarto, 2008; Ideham dan Pusarawati, 2007). c. Memasak daging sampai di atas 50oC selama 30 menit, untuk membunuh

kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008).

d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat (Ideham dan Pusarawati, 2007; WHO, 2009).

(36)

f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008).

g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan (Garcia et al., 2003).

h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan kemoterapi (WHO, 2009).

i. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan, mempersiapkan makanan, dan sebagainya) (WHO, 2009).

2.9. Daging

Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air, sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan komponen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007).

2.9.1. Ciri-ciri Daging Babi

Kualitas daging bergantung pada perubahan fisik dan kimia yang terjadi pada daging sebelum, ketika, dan setelah hewan dipotong. Konversi glikogen menjadi asam laktat yang terjadi setelah hewan dipotong menjadi satu hal yang penting dalam kualitas daging karena asam laktat akan mengakibatkan penurunan pH daging sehingga akan mempengaruhi warna daging yang menjadi salah satu penilaian kualitas daging (Prieto, 2007).

(37)

memberi warna yang berbeda juga, ungu (deoksimioglobin), merah (oksimioglobin), dan coklat (metmioglobin) (Hunt dan Zenger, 1998) .

[image:37.595.110.517.394.530.2]

Ciri-ciri daging babi segar bervariasi dengan berwarna merah muda keabuan sampai merah (Singhal et al., 1997). Menurut Buege (1998), terdapat 4 jenis daging babi berdasarkan warna, tekstur, dan basahnya daging, antara lain PSE (pucat, lembut, dan eksudatif), DFD (gelap, keras, dan agak kering), RFN (merah, keras, tidak mengeluarkan eksudat), dan RSE (merah, lembut, dan eksudatif). Kemudian, menurut RFN merupakan daging babi yang kualitas baik, sedangkan PSE merupakan daging dengan kualitas yang sangat buruk. DFD dan RSE merupakan daging yang kurang baik. Insidens daging DFD dan PSE adalah 6% dan 5% (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

Tabel 2.4 Perbandingan Jenis Kesegaran Daging dari Segi Warna, Terangnya Warna secara Kuantitatif, Kemampuan Menampung Air pada Daging (Dihitung dengan Jumlah Cairan yang Hilang), dan pH Akhir

Kualitas Warna Nilai L Tetesan % pH

DFD Gelap <52 <5.0 Tinggi pada

akhir (> 6.0)

RFN Merah 52 – 58 <5.0 Normal

PFN Pucat >58 <5.0

RSE Merah 52 – 58 >5.0

PSE Pucat >58 >5.0 Penurunan pH

cepat Sumber: Lindhal, 2005

2.9.2. Ciri-ciri Daging Sapi

(38)
[image:38.595.112.512.148.365.2]

Tabel 2.5 Perbandingan Stadium Kesegaran Daging Sapi berdasarkan Penampakan Luar Daging

(Sumber: Canadian Beef Export Federation, 2009) 2.9.3. Kandungan Daging Babi dan Sapi

Adapun kandungan daging sapi dan babi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.6 Perkiraan Kandungan Air, Protein, Lemak, Mineral (dalam %),

dan Kalori (dalam kilojoule) dalam Daging per 100 gram

Produk Air Protein Lemak Mineral Kalori

Daging sapi (kurus) 75,0 22,3 1,8 1,2 116

Daging sapi 54,7 16,5 28,0 0,8 323

Daging sapi berlemak (subkutan)

4,0 1,5 94,0 0,1 854

Daging babi (kurus) 75,1 22,8 1,2 1,0 112

Daging babi 41,1 11,2 47,0 0,6 472

Daging babi berlemak (lemak pada punggung)

7,7 2,9 88,7 0,7 812

[image:38.595.112.512.464.598.2]
(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

Daging dan hati sapi dan babi yang dijual di pasar adalah daging dan hati mentah dari sapi dan babi yang siap untuk dijual oleh pedagang pada pasar-pasar tradisional.

Daging yang dipilih adalah daging yang menjadi dominasi predileksi dari sistiserkus Taenia sp. antara lain, otot jantung, otot lidah, otot masseter, dan hati (Canadian Food Inspection Agency, 2010; CFSPH, 2005; Kebede et al., 2009).

Pasar tradisional adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli secara

langsung dimana dapat terjadi proses tawar-menawar pada saat terjadi transaksi

antara keduanya. Pasar tradisional terdiri dari kios-kios atau gerai yang dibuka oleh

para pedagang yang umumnya menjual kebutuhan sehari-hari.

Pada daging sapi dan babi yang positif mengandung sistiserkus, sistiserkus

Taenia sp. akan terlihat berwarna putih, atau putih mutiara, dan semi transparan. Ukuran dari diameter sistiserkus pada daging sapi berukuran 2-3 mm, kista pada daging babi berukuran sekitar 1 cm (Turton, 2000).

Ada tidaknya sistiserkus, diketahui dengan pemeriksaan makroskopis yang dilakukan di laboratorium. Pemeriksaan makroskopis yang dilakukan berupa metode inspeksi daging dan dilanjutkan dengan insisi daging dan hati secara seksama di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Adapun langkah-langkah prosedur inspeksi dan insisi organ yang akan dilakukan sebagai berikut (Gracey et al., 1999):

Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional

(40)

1. Otot Masseter

Dimulai dengan observasi otot masseter dan insisi berbentuk garis yang sejajar dengan mandibula. Insisi juga meliputi otot pterigoid internal (otot masseter internal) (Megersa et al., 2010; Gracey et al., 1999). Insisi yang dilakukan minimal 3 sampai 4 untuk setiap otot (Rabi’u dan Jegede et al., 2010; Gracey et al., 1999).

2. Lidah

Lidah dipalpasi untuk diperiksa apakah terdapat nodul sistiserkosis pada lidah (Vázquez-Flores et al., 2001; Rabi’u dan Jegede et al., 2010). Dilanjutkan dengan 3 insisi pada lidah secara paralel yang dibuat di bawah basis lidah, dari puncak lidah sampai kepada pangkal lidah dan memotong bagian dorsal lidah (Unger et al., 2008; Rabi’u dan Jegede et al., 2010). 3. Jantung

Organ jantung diinsisi dari basis jantung sampai apeks untuk membuka perikardium, kemudian dipotong bagian septum intraventrikular untuk memeriksa septum lalu dilanjutkan dengan insisi mendalam pada otot jantung untuk pemeriksaan secara rinci (Gracey et al., 1999; Megersa et

al., 2010).

4. Pada hati, juga akan dilakukan insisi minimal sebanyak 3 sampai 4 kali untuk melihat apakah terdapat sistiserkus.

Dari daging dan hati tersebut, dilanjutkan insisi dengan ketebalan sekitar 5 mm (Minozzo et al., 2002). Apabila didapatkan temuan yang dicurigai sistiserkus, akan dilakukan insisi sistiserkus dengan daging di sekitarnya dan dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis yang akan dilakukan adalah metode kompresi otot. Adapun langkah-langkah dari metode kompresi otot sebagai berikut (Malemna, 2005):

1. Daging diiris dengan tebal kurang lebih 2 mm. 2. Irisan daging diletakkan di atas kaca objek.

(41)
[image:41.595.114.507.114.219.2]

Gambar 3.1 Tingkatan Warna Kualitas Daging Babi

Selain itu, daging babi yang ditemukan dapat diklasifikasikan sesuai dengan tingkatan warna pada Gambar 3.1. Namun, tingkatan warna kualitas daging babi hanya menunjukkan warna otot saja. Sesuai dengan Gracey et al. (1999) semua hati, termasuk hati babi dan sapi, mempunyai karakteristik yang sama yaitu berwarna merah coklat.

Warna daging babi yang pucat merah muda keabuan sampai putih dan merah muda keabuan merupakan ciri-ciri daging yang kurang baik. Warna daging merah keunguan dan merah keunguan gelap adalah daging yang memiliki kualitas sedang. Sedangkan daging berwarna merah muda kemerahan dan merah muda kemerahan gelap adalah daging yang baik (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

Gambar 3.2 Tingkatan Warna Daging Sapi sesuai Kualitas Daging menurut Japanese Beef Grading (Busboom et al., 2008)

Standar tingkatan warna yang dipakai untuk menilai daging babi dan daging sapi berbeda. Berdasarkan Gambar 3.2, dilakukan telaah visual dan diklasifikasikan daging sapi yang ditemukan berdasarkan nomor warna Gambar 3.2.

[image:41.595.114.513.476.602.2]
(42)
(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan bentuk studi cross

sectional (potong lintang) di mana pengambilan data yang dilakukan hanya satu kali pada satu saat (Ghazali et al., 2007).

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada pasar-pasar tradisional yang tersebar di sekitar Kecamatan Medan Kota. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan September hingga November 2011, pukul 07.30 sampai 12.00 mempertimbangkan bahwa kebanyakan pasar mulai berjualan dari pagi hingga siang hari.

Alasan Kecamatan Medan Kota dipilih karena:

1. Pada kecamatan tersebut, paling banyak ditemukan penjual daging di Kota Medan.

2. Belum pernah dilakukan penelitian pada daerah tersebut.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi target adalah daging mentah yang belum dimasak dan sudah siap untuk dijual. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah daging sapi dan babi yang terdapat pada 6 pasar tradisional di Kecamatan Medan Kota.

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel didapat dengan metode cluster sampling.

(44)

Kriteria inklusi: a. Daging sapi mentah. b. Daging babi mentah.

Kriteria eksklusi:

Daging yang berasal dari hewan dengan usia hidup kurang dari 6 minggu.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa data yang diambil langsung dari sampel penelitian berupa ada tidaknya sistiserkus pada daging yang akan diperiksa secara makroskopis. Data sekunder berasal dari laboratorium, jurnal-jurnal atau pun referensi lain yang berhubungan dan relevan dengan penelitian.

Daging dan hati didapatkan dengan membeli dari penjual daging. Daging yang telah diambil akan disimpan dalam wadah atau plastik. Spesimen kemudian akan dibawa ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk diperiksa lebih lanjut.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical

(45)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 6 pasar tradisional yang terletak di Kecamatan Medan Kota. Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Medan Kota, Kecamatan Medan Kota berukuran 603 hektar, dengan jumlah penduduk mencapai 95.307 orang. Adapun batas atas Kecamatan Medan Kota merupakan Kecamatan Medan Timur, batas kanan adalah Kecamatan Medan Area, batas kiri adalah Kecamatan Medan Maimun, dan batas bawah adalah Kecamatan Medan Amplas.

Proses pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai November 2011. Sampel penelitian adalah jantung, lidah, otot masseter, dan hati sapi dan babi sebanyak 56 sampel yang didapat dari 14 pedagang daging sapi dan babi di Kecamatan Medan Kota dengan metode cluster

sampling.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

[image:45.595.112.512.573.663.2]

Dari 8 pedagang daging sapi dan 6 pedagang daging babi diambil masing-masing 4 sampel. Distribusi frekuensi sampel dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel

Jenis Daging dan Hati n %

Daging Sapi 24 43

Hati Sapi 8 14

Daging Babi 18 32

Hati Babi 6 11

Total 56 100

(46)
[image:46.595.116.511.299.414.2]

Warna daging merupakan salah satu komponen dalam menentukan kualitas daging babi. Dengan telaah visual, dapat diklasifikasikan daging babi yang ditemukan sesuai dengan beberapa tingkatan warna sesuai dengan Gambar 3.1. Tingkatan warna kualitas daging babi hanya menunjukkan warna otot saja. Sesuai dengan Gracey et al. (1999) semua hati, termasuk hati babi dan sapi, mempunyai karakteristik yang sama yaitu berwarna merah coklat. Tabel berikut merupakan distribusi kualitas daging babi dari telaah visual yang telah dilakukan.

Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Warna Sampel Daging dan Hati Babi

Warna Daging n %

Pucat merah muda keabuan/putih 0 0

Merah muda keabuan 1 4,2

Merah muda kemerahan 5 20,8

Merah muda kemerahan gelap 5 20,8

Merah keunguan 2 8,3

Merah keunguan gelap 5 20,9

Merah coklat (hati) 6 25

Dari Tabel 5.2, terdapat 1 sampel (4,2%) yang kurang baik, dan sekitar 7 sampel (29,2%) berkualitas sedang. 10 sampel daging yang ditemukan berkualitas baik (41,6%). Sisanya, 6 sampel, merupakan sampel hati babi yang berwarna merah coklat (25%).

Standar tingkatan warna yang dipakai untuk menilai daging babi dan daging sapi berbeda. Dari hasil telaah visual dan observasi dari peneliti, dapat diklasifikasikan warna daging sapi yang ditemukan berdasarkan Gambar 3.2 sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 5.3 Distribusi Karakteristik Warna Sampel Daging dan Hati Sapi

Nomor Warna Daging n %

1 0 0

2 1 3,1

3 6 18,8

4 4 12,5

5 11 34,3

6 2 6,3

7 0 0

[image:46.595.113.510.629.757.2]
(47)

Dari Tabel 5.3, diketahui bahwa daging terbanyak merupakan daging dengan kualitas sangat baik (nomor 3, 4, dan 5) yaitu 21 sampel (65,8%). Sedangkan sisanya, yaitu sekitar 9 sampel berkualitas baik.

[image:47.595.115.513.327.461.2]

Sumber daging yang dijual diketahui melalui wawancara kepada pedagang. Pengambilan sampel untuk daging babi sama dengan pengambilan sampel untuk daging sapi. Namun, tidak semua pasar menjual daging babi. Pada tabel berikut dapat dilihat distribusi frekuensi sampel daging sapi dan babi pada masing-masing pasar.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Daging Sapi dan Babi pada Pasar di Kecamatan Medan Kota

Nama Pasar Sampel n %

Sapi Babi

Pusat Pasar (Pasar Sentral)

20 4 24

42,9

Pasar Mahkamah 4 0 4 7,1

Pasar Halat 4 0 4 7,1

Pasar Ramai 0 12 12 21,4

Pasar Beruang 0 4 4 7,1

Pasar Sambas 4 4 8 14,3

Dari Tabel 5.4, diketahui bahwa sampel paling banyak berasal dari Pusat Pasar (42,9%). Tempat pengambilan sampel yang juga cukup banyak yaitu sekitar 12 sampel (21,4%) pada Pasar Ramai. Pada Pasar Sambas diambil 8 sampel (14,3%), sedangkan Pasar Mahkamah, Pasar Halat, dan Pasar Beruang masing-masing diambil 4 sampel (7,1%).

(48)
[image:48.595.105.515.140.367.2]

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Warna Daging Babi Berdasarkan Pasar di Kecamatan Medan Kota

Warna Daging dan Hati Babi

Nama Pasar

n % Pusat Pasar Pasar Ramai Pasar Beruang Pasar Sambas

f % f % f % f %

Pucat merah muda keabuan/putih

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Merah muda keabuan

0 0 0 0 1 4,2 0 0 1 4,2

Merah muda kemerahan

1 4,2 1 4,2 1 4,2 2 8,4 5 20,8 Merah muda

kemerahan gelap

1 4,2 4 16,6 0 0 0 0 5 20,8

Merah keunguan 0 0 2 8,3 0 0 0 0 2 8,3

Merah keunguan gelap

1 4,2 2 8,4 1 4,2 1 4,2 5 20,8

Merah coklat (hati) 1 4,2 3 12,4 1 4,2 1 4,2 6 25

Warna daging yang dijual oleh pedagang berbeda-beda. Dari Tabel 5.5, dapat terlihat bahwa 1 sampel (4,2%) yang didapat pada Pasar Beruang ditemukan berkualitas tidak baik (berwarna merah muda keabuan). Sedangkan pada Pusat Pasar, Pasar Beruang, dan Pasar Sambas dapat ditemukan masing-masing sekitar 1 sampel (4,2%) yang berkualitas sedang dan pada Pasar Ramai dapat ditemukan 2 sampel (8,4%) yang berkualitas sedang.

(49)

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Warna Daging Sapi Berdasarkan Pasar di Kecamatan Medan Kota

Nomor Warna Daging dan Hati Sapi Nama Pasar

n %

Pusat Pasar Pasar Mahkamah Pasar Halat Pasar Sambas

f % f % f % f %

1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 1 3,1 0 0 0 0 0 0 1 3,1

3 4 12,5 0 0 1 3,2 1 3,1 6 18,8

4 2 6,3 1 3,1 1 3,1 0 0 4 12,5

5 8 25 0 0 1 3,1 2 6,2 11 34,3

6 0 0 2 6,3 0 0 0 0 2 6,3

7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Merah coklat (hati)

5 15,5 1 3,1 1 3,1 1 3,1 8 25

Dapat terlihat pada Tabel 5.6, mayoritas daging yang dijual berkualitas sangat baik. Sementara pada Pasar Mahkamah, ditemukan daging yang berkualitas sedang (6,3%).

[image:49.595.107.518.140.353.2]

Asal daging yang dijual berasal dari rumah potong hewan dan peternakan-peternakan yang ada di sekitar Sumatera Utara.. Berikut merupakan tabel distribusi frekuensi sampel berdasarkan sumber daging.

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Sampel sesuai dengan Sumber Daging

Sumber Daging Sampel n %

Sapi Babi

Rumah Potong Hewan Mabar 16 16 32 57,1

Peternakan Seribudolok 4 0 4 7,1

Peternakan Bukit Lawang 4 0 4 7,1

Peternakan Brastagi 4 0 4 7,1

Peternakan Tanah Karo 4 0 4 7,1

Peternakan Dolok Galunggung 0 4 4 7,1

Peternakan Belalang 0 4 4 7,1

[image:49.595.111.513.537.666.2]
(50)

Bukit Lawang, Peternakan Brastagi, Peternakan Tanah Karo, Peternakan Dolok Galunggung, dan Peternakan Belalang diambil masing-masing 4 sampel (7,1%).

5.1.3. Hasil Analisa Data

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, didapatkan sebuah sistiserkus dari 56 sampel yang diperiksa (1,8%). Hasil pemeriksaan daging menunjukkan bahwa sebuah sistiserkus ditemukan di hati. Pasar tempat ditemukannya sistiserkus tersebut adalah Pasar Ramai dengan sumber daging berasal dari peternakan Dolok Galunggung.

5.2. Pembahasan

Sistiserkus yang ditemukan pada saat pemeriksaan berbentuk oval berisi cairan bening transparan. Larva sistiserkus juga memiliki satu buah titik putih yang merupakan skoleks dari Taenia sp. Sistiserkus yang ditemukan berdiameter sekitar 5 mm, teksturnya juga lunak. Temuan ini sesuai dengan yang digambarkan Gracey et al. (1999) walaupun dapat ditemukan juga sistiserkus yang berwarna kuning kehijauan dan terkalsifikasi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al. (2008) dengan menggunakan metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan sistiserkus dari Taenia saginata mencapai 0.75% dari 1.595 ternak yang diperiksa. Sementara penelitian Kebede et al. (2009) dengan sampel sebanyak 11.227 ternak menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia saginata.

(51)

sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian lainnya seperti penelitian Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis pada babi sebanyak 0,15%.

Dari paparan di atas, terdapat perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian lainnya. Lebih tingginya angka temuan sistiserkus pada penelitian lain dibandingkan dengan penelitian ini mungkin disebabkan karena beberapa faktor seperti pemeriksaan inspeksi daging yang memiliki sensitivitas yang rendah dibandingkan dengan ELISA (Unger et al., 2008). Ini dapat terlihat dari penelitian Unger et al. (2008), yang mendapatkan prevalensi sistiserkus Taenia saginata dengan menggunakan inspeksi daging (0,75%) dan ELISA (21,3%). Namun, menurut Van Kerckhoven et al. (1998) metode pemeriksaan antigen dengan ELISA juga memiliki sensitivitas yang sangat rendah apabila hewan tersebut terinfeksi kurang dari 50 kista.

Tingginya angka temuan sistiserkus pada babi di Papua yang mencapai 77,1% dari 35 ekor babi yang diperiksa disebabkan oleh karena masyarakat yang memelihara babi, membiarkan babi hidup bebas pada siang hari. Pada beberapa lokasi sudut pasar, juga dapat dijumpai feses manusia sehingga ini menyebabkan kasus taeniasis dan sistiserkosis tinggi. Bahkan, pada hasil yang didapatkan dengan kuesioner, didapatkan bahwa 68% penduduk masih buang air besar di kebun (Maintindom, 2008).

Terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, pengirisan daging secara seksama dan keseluruhan tidak dapat dilakukan di pasar tradisional karena akan sangat menurunkan nilai jual sehingga tidak diizinkan oleh pedagang. Se

Gambar

Tabel 2.2  Angka Temuan C. cellulosae pada Penelitian di Negara Lain
Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp.
Tabel 2.4 Perbandingan Jenis Kesegaran Daging dari Segi Warna,
Tabel 2.6 Perkiraan Kandungan Air, Protein, Lemak, Mineral (dalam %), dan Kalori (dalam kilojoule) dalam Daging per 100 gram
+7

Referensi

Dokumen terkait

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA JUAL DAGING SAPI DI PASAR TRADISIONAL KOTA

Apakah ada peningkatan harga jual daging sapi di pasar tradisional Kota. Medan selama lima

Penelitian ini akan mengkaji berapa besar keuntungan yang diperoleh pedagang pengecer daging sapi di pasar tradisional Kota Manado akibat korbanan modal dalam

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segalapernyataan dalam skripsi ”Cemaran Bakteri Escherichia coli pada Daging Sapi di Pasar Tradisional Kota

Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa daging dada dan hati ayam broiler yang dijual di pasar tradisional kota Semarang, mengandung beberapa logam

Hasil penelitian ini merupakan laporan yang pertama kali di Bali tentang perbandingan predileksi dan jumlah sista pada organ jantung dan diafragma babi yang terinfeksi

Cooking Loss atau susut masak daging sapi sampel yang diambil dari pedagang penjual daging sapi segar, menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata (p&lt;0,05)..

PADA DAGING SAPI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL SURABAYA BARAT SKRIPSI Oleh: FREDERIKA KARINA YUBILIA FITUS NPM: 19820074 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS WIJAYA