• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam catatan perjalanannya, para PKL tak lepas dari tarik ulur berbagai jenis kebijakan dari Pemerintah daerah. Sebagai warga negara, sama dengan warga lainnya, para PKL juga memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya. Penataan kota semestinya tidak boleh mengabaikan hak-hak asasi warga negara. Beberapa hak yang harus dijamin perlindungan dan pemenuhannya oleh negara, di antaranya:

1. Hak atas Pekerjaan

Secara konseptual, hak atas pekerjaan yang merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya adalah hak tiap warga negara untuk dapat mencari nafkah melakui pekerjaannya yang dipilih atau diterima secara bebas.

Hal ini ditegaskan dalam Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal Pasal 6

Kovenan Internasional Hak Ekosob, yang isinya:

Ayat (1)

“Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini.”

Ayat (2);

“Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan.”

Selama ini meskipun tidak secara teoritis mengacu pada standar pemenuhan dan perlindungan hak atas pekerjaan sebagaimana instrumen hak asasi manusia, kedua pemerintah kota (Surakarta dan Yogyakarta) secara parsial menjalankan beberapa ketentuan HAM tersebut. Pemerintah menyadari bahwa menjadi PKL adalah

“pilihan” ketika tidak ada pilihan lain yang lebih baik untuk memperoleh nafkah dalam rangka mempertahankan hidup. Pemerintah menyadari bahwa persoalan PKL adalah persoalan

“perut lapar.” Beberapa kebijakan penataan PKL ditujukan bagi tetap berlangsungnya usaha kaki lima yang digeluti oleh PKL. Beberapa diantara kebijakan pemerintah mengantarkan PKL dari pedagang yang “ilegal”

menjadi “legal” dengan dipindahkan ke pasar-pasar (relokasi/pasarisasi), meskipun hal ini masih menjadi pro-kontra mengingat hasil dari program ini, selain ada yang berhasil, ada pula yang gagal.

Menurut analisis data dari keterangan para informan, bahwa PKL itu “soul”nya tidak di pasar-pasar, melainkan di pinggir-pinggir jalan, sehingga relatif mendekati konsumennya. Jika sudah di pasar, maka “label” PKL-nya sudah hilang.

Kebertahanan PKL untuk dapat berusaha di pasar, amat bergantung pada jenis usaha yang dilakukan.

Pasar Klitikan Notoharjo di Surakarta relatif berhasil dilokalisasi dalam bentuk pasar (pasarisasi) karena jenis dagangannya adalah barang-barang tidak basi. Sementara, banyak terjadi kegagalan relokasi PKL pedagang makanan. Ini dikarenakan untuk mendapatkan konsumen kembali pasca pemindahan, tidaklah mudah.

PKL harus memiliki modal lebih untuk tetap mengisi lapaknya dengan makanan-makanan yang dijajakan.

Jika tidak habis terjual, makanan tidak dapat dijual kembali keesokan harinya.

Inilah yang kemudian menggerus modal yang dimiliki PKL. Jika tidak

tahan karena modal habis, banyak PKL yang gulung tikar, atau mengalihkan lapaknya kepada pihak lain. Tidak lama kemudian, PKL ini kembali ke jalan untuk menjadi PKL di pinggir-pinggir jalan lagi, tentu saja biasanya dengan cara kucing-kucingan dengan petugas.

2. Hak atas Standar Kehidupan yang layak

Hak Atas Standar Kehidupan adalah hak asasi manusia. Standar Kehidupan yang layak ini mencakup penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan papan.

Hal ini termaktub dalam ketentuan pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekosob;

“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah

yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.”

Upaya untuk tetap mempertahankan usaha yang digeluti PKL tidak lain dan tidak bukan ditujukan sebagai satu cara bagi PKL untuk dapat bertahan hidup. Namun meskipun hak asasi manusia memiliki standar kehidupan yang layak, dapat dikatakan sebagian besar PKL belum dapat terpenuhi standar kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya. Hal ini tak terlepas dari kondisi pemenuhan hak atas pekerjaan bagi PKL itu sendiri. Jika lingkungan hak atas pekerjaan telah cukup memadai memberikan jaminan hak-hak PKL, maka pendapatan akan berbanding lurus dengan standar kehidupan yang layak bagi PKL.

Oleh karenanya perlindungan dan pemenuhan hak-hak PKL hendaknya dilakukan oleh Pemerintah secara

simultan.

3. Hak atas Lingkungan yang Sehat

Penciptaan hak atas lingkungan yang sehat adalah juga bagian dari pemenuhan atas penikmatan hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Kesehatan fisik selain berkait dengan asupan nutrisi, tetapi juga pada kondisi lingkungan yang menunjang kesehatan fisik tercipta. Pasal 12 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebutkan:

1. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan:

a) Ketentuan-ketentuan untuk pe-ngurangan tingkat kelahiran-mati dan kekelahiran-matian anak serta perkembangan anak yang sehat;

b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;

c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;

d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Hak atas lingkungan yang sehat adalah hajat hidup masyarakat luas.

Kota memiliki ruang-ruang publik yang harusnya dapat diakses secara aman dan sehat oleh seluruh lapisan masyarakat. Selama ini yang terjadi di kedua kota, telah terdapat upaya-upaya penataan lingkungan yang sehat. Namun demikian upaya tersebut belum dapat menjangkau seluruh sudut

kota. Untuk PKL yang telah direlokasi ke pasar, umumnya telah difasilitasi pula dengan penataan ruang yang sedekat mungkin memenuhi standar lingkungan yang sehat. Namun masih banyak area PKL yang belum memenuhi standar kesehatan lingkungan, semisal sanitasi, hygiene dan lain sebagainya.

Pemerintah kota akan melakukannya secara bertahap.

Namun, sekali lagi, penataan yang dilakukan akan membuka kemungkinan ruang kontroversi.

Penataan sebagai hajat pemerintah kota dalam menjalankan mandat rakyat untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan lingkungan yang sehat bagi masyarakat luas, kerap bentrok dengan hak atas pekerjaan PKL, yang berdagang di pinggir jalan karena “tidak ada pilihan lain” dalam rangka memenuhi hajat untuk sekedar bertahan hidup. Oleh karenanya perlu kearifan dan kebijakan pembangunan yang memihak pada rakyat kecil, sehingga dapat dicarikan solusi terbaik

bagi kedua belah pihak, khususnya bagi PKL. Karena, perlindungan dan pemenuhan hak atas pekerjaan PKL adalah kewajiban Pemerintah.

4. Hak atas Rasa Aman

Hak atas rasa aman yang merupakan bagian dari hak sipil politik, juga turut menjadi bagian dari hak PKL selaku warga negara. Beberapa inti dari perlindungan dan pemenuhan hak atas rasa aman bagi PKL, diantaranya adalah:

1. Hak untuk Bebas dari Penggusuran sewenang-wenang atas hak milik;

2. Hak mendapat ganti rugi atas penangkapan dan perampasan harta benda yang tidak sah;

3. Hak tidak diusir secara paksa dan sewenang-wenang;

4. Hak untuk mendapat informasi tentang pedoman kesepakatan relokasi dan atau penempatan kembali lahan atau lapak PKL oleh Pemda;

5. Pasal 29 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (2)

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

6. Pasal 9 ayat (1) dan (5) UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak–Hak Sipil dan Politik;

7. Komentar Umum Nomor 7 Perjanjian Internasional atas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Pengusiran Paksa):

a. Perampasan barang, harta milik PKL;

b. Pengusiran dengan ancaman fisik dan psikis;

Relokasi yang menghindari pengusiran paksa dan memenuhi tahapan dan prasyarat pasal-pasal perjanjian internasional hak Ekosob.

PKL memiliki hak atas rasa aman dalam berdagang. Untuk itu pemerintah wajib menjamin hak atas rasa aman.

Harus ada perlindungan bagi PKL untuk terus dapat mempertahankan hidup melalui usaha yang dilakukannya.

Jika ada penataan, misalnya berupa relokasi, di tempat yang lama maupun yang baru harus dapat dijamin hak rasa aman para PKL ini. Bahwa terjadi penataan PKL karena ruang kota yang terbatas, adalah hal yang lazim. Namun perlu digarisbawahi bahwa penataan yang dilakukan oleh pemerintah tetap harus dapat menjamin rasa aman bagi PKL. Dalam kenyataanya di lapangan, masih ada kawasan PKL di mana PKL tidak mendapat jaminan keamanan, misalnya karena lokasinya dianggap

“ilegal” (contoh Kawasan HP Gilingan, Surakarta), sehingga para pedagang menjadi amat rentan dari pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat. Jika demikian, seharusnya pemerintah segera memberikan jalan keluar yang win-win solution bagi mereka yang berdagang di tempat tersebut.

5. Hak Berpendapat

Kebebasan berpendapat bagi PKL selayaknya dipenuhi dan dilindungi

dalam implementasi berikut ini, diantaranya:

1. Kebebasan berpendapat dan mem-peroleh ide atau informasi

Adanya kebijakan dan program yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat, memperoleh dan mene-rima informasi;

2. Bentuk-bentuk partisipasi dan saluran aspirasi

Adanya kebijakan dan program yang menjamin tersedianya bentuk-bentuk partisipasi dan saluran aspirasi dalam segenap kebijakan yang terkait dengan PKL;

3. Mekanisme penyelesaian masalah atau resolusi konflik

Adanya kebijakan dan program yang menjamin tersedianya mekanisme penyelesaian masalah atau resolusi konflik.

Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik;

Paragraf 1: Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.

Paragraf 2: Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, Paragraf 3: Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus.

Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:

a) Menghormati hak atau nama baik orang lain;

b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral.

Di kedua kota, hak berpendapat relatif mendapatkan ruang yang cukup

leluasa. Kedua pemerintah kota relatif membuka keran-keran komunikasi dengan cukup memadai. Meskipun diakui juga oleh beberapa kelompok PKL bahwa meskipun walikota mau mendengarkan tetapi banyak keinginan dari PKL yang tidak diindahkan/belum direalisasikan. Hal lain lagi, masih ada kelompok-kelompok PKL yang belum terwakili aspirasinya.

Dalam aksesibilitas kepada kebijakan publik, utamanya pada penyusunan Perda dan beberapa kebijakan pemerintah kota (semisal penataan PKL), sebagian kelompok PKL merasa dilibatkan—paling tidak dalam urun rembug aspirasi—namun masih banyak kelompok PKL yang tidak merasa dilibatkan, atau jika dilibatkan, aspirasinya hanya ditampung saja, dan tidak mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat.

6. Hak Berserikat

Hak berserikat merupakan Hak

Asasi Manusia. Tak, kurang konstitusi kita juga mengatur soal hak berserikat ini. Pada pasal 28 UUD 1945 pascaamendemen:

“Kemerdekaan berserikat dan ber-kumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”

Dalam ketentuan pasal 22 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dna Politik, disebutkan:

Paragraf 1: ”Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Paragraf 2: “Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan

keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini.

Paragraf 3: “Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan hukum sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut.”

Pasal 22 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tidak mendefinisikan hak berserikat secara ketat. Pada hakikatnya ketentuan yang

diatur di dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang ada pada Deklarasi Universal HAM, yaitu hak untuk mendirikan serikat pekerja dan mencapai tujuan yang hendak dicapai. Hak kebebasan berserikat dalam dimensi hak sipil dan politik menekankan hak individu, yaitu hak setiap orang untuk berasosiasi dan memasuki serikat. Hak berserikat memiliki prasyarat sebuah keadaan yang kondusif bagi individu dalam menikmati hak dasarnya, yaitu hak berpikir (freedom of conscience) dan kebebasan berekspresi (freedom of expression).

Hak berserikat bagi PKL salah satunya diwujudkan dengan membuat paguyuban-paguyuban atau koperasi-koperasi. Di Kota Yogyakarta dan Surakarta, paguyuban yang terbentuk telah cukup banyak, baik yang dibentuk berdasarkan lokasi maupun berdasarkan jenis dagangan yang diperjualbelikan. Pada gilirannya,

paguyuban-paguyuban yang ada ini menjadi forum komunikasi yang cukup efektif bagi PKL, baik dalam tataran horizontal (dengan sesama pedagang) maupun tataran vertikal (dengan pemerintah). Paguyuban ini selain dapat menghimpun aspirasi para PKL, di sisi lain juga dapat menjadi sarana silaturahmi antar mereka dengan kegiatan-kegiatan dan dana sosial yang dihimpun bagi kesejahteraan mereka sendiri. Ada paguyuban yang telah berbadan hukum (misalnya dalam bentuk koperasi), hal ini turut mempermudah pada saat ada bantuan pinjaman permodalan, semisal Kredit Usaha Rakyat (KUR).

7. Hak Perempuan

Ketentuan mengenai hak-hak perempuan tersebar di banyak ketentuan peraturan-perundangan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut, perempuan harus bebas dari perlakukan diskriminasi (Non-Diskriminasi), dianta-ranya dalam bentuk:

1) Adanya Kebijakan yang melindungi perempuan dari segenap praktik diskriminasi;

2) Adanya kebijakan untuk meng-hapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan pemerintahan suatu negara dan terutama, harus menjamin perempuan secara setara dengan laki-laki, hak untuk: memberikan suaranya dalam semua pemilihan umum atau referendum dan memenuhi persyaratan pemilihan untuk semua badan yang dipilih secara publik;

3) Kesetaraan atau persamaan;

adanya kebijakan dan program yang menjamin kesetaraan dan persamaan (terutama di tingkat Pemda).

Di kedua kota, pemenuhan hak perempuan PKL juga relatif tidak mendapatkan kendala yang berarti.

Pada saat terjadi penataan PKL, semisal kebijakan pemindahan, sheltirisasi,

tendanisasi, dan sebagainya umumnya PKL perempuan mendapatkan hak-hak yang sama dengan PKL laki-laki. Demikian pula pada saat terjadi penertiban. Tim menyusuri kemungkinan adanya “sexual harrasement” pada saat terjadi penertiban. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim, aparat Satpol PP selama ini relatif santun, sehingga tidak menimbulkan pelecehan-pelecehan, khususnya kepada kaum perempuan. Namun diakui bahwa berdasarkan informasi yang didapatkan para informan, bahwa di daerah-daerah lain masih terdapat penataan kota (khususnya penertiban-penertiban yang dilakukan) yang tidak melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan.

Penutup

Persoalan PKL di kota-kota besar bukanlah persoalan yang mudah untuk dipecahkan, untuk itu diperlukan perhatian ekstra dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kesuksesan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi PKL sesungguhnya adalah pula kesuksesan bangsa ini. Kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya adalah mutlak wujud dari tanggungjawab negara sebagai penerima mandat dari rakyat.

Setidaknya ada 5 (lima) catatan perbaikan bagi upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak Pedagang Kaki Lima:

1. Berangkat dari konteks

“Kewajiban Negara” dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara

Dalam hukum Hak Asasi Manusia, dikenal konsep pemangku kewajiban (duty bearer) dan pemangku hak (right holder). Negara adalah pemangku kewajiban yang oleh karenanya memiliki tanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan (obligation to conduct) dan mencapai hasil tertentu (obligation of result).

Rakyat adalah pemangku hak, yang memiliki hak-hak yang akan dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara.

Kewenangan negara untuk menye-lenggarakan pemerintahan, tak lepas dari penjelmaan mandat dari rakyat. Oleh karenanya, kewenangan pemerintah bukanlah “ruang hampa” yang steril dari kepentingan rakyat. Kepentingan rakyatlah yang menjadi fokus dari penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat mapun daerah.

Pedagang Kaki Lima sebagai sebuah entitas perdagangan sektor informal, memiliki hak-hak untuk dilindungi dan dipenuhi. Dalam perkembangannya, jumlah PKL makin banyak tersebar.

Makin menyempitnya sektor ekonomi formal, makin subur pertumbuhan PKL di tanah air. PKL adalah realitas sosial yang terdapat di seluruh daerah, utamanya di kota-kota.

Berangkat dari konsep kewajiban negara untuk melindungi dan

memenuhi hak-hak warga negara, maka negara c.q Pemerintah akan memposisikan PKL sebagai pihak yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, bukan sebaliknya, harus digusur begitu saja sebab dianggap mengganggu keindahan dan ketertiban kota.

2. Peraturan Perundangan dan Peraturan Kebijakan Nasional tentang Peme-nuhan dan Perlindungan PKL yang secara umum dapat menjadi dasar hukum dan acuan bagi seluruh daerah.

Seperti yang telah diulas di bagian sebelumnya, belum ada ketentuan dalam Peraturan Perundangan maupun Peraturan Kebijakan ditingkat na-sional, yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak PKL. Pengaturan ini penting untuk dapat menjadi panduan umum bagi seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan, utamanya dalam memberikan jaminan perlindungan

dan pemenuhan hak-hak PKL.

Ke depannya, harus ada cetak biru pemenuhan dan perlindungan hak-hak PKL. Sehingga, kebijakan tidak semata-mata bergantung pada warna dan corak Pemimpin Daerah yang sedang berkuasa di suatu daerah.

3. Basis ide bahwa PKL adalah kekuatan ekonomi rakyat

Sebagai sebuah kekuatan ekonomi rakyat, sektor informal (PKL termasuk di dalamnya) telah teruji mampu menjadi sabuk pengaman (seat-belt) pada krisis ekonomi yang terjadi di negara ini. Kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu, tak sedikit telah merontokkan bangunan perekonomian sektor formal. Solusinya, berbondong-bondonglah orang memasuki sektor informal. Sektor informal tidak hanya eksis lantaran ada pelakunya. Eksistensi sektor informal juga dipengaruhi oleh adanya “pasar” atau pembeli.

Dalam konteks Pedagang Kaki Lima

misalnya, berapa banyak “pasar”

yang telah di-create oleh PKL. Mereka membeli makanan, jajanan, atau barang dan jasa lainnya dari PKL dengan harga yang relatif murah.

Maka, lihatlah realitas PKL makanan di pinggir-pinggir jalan yang banyak dihampiri oleh orang-orang dari strata ekonomi menengah ke bawah yang merasa sangat terbantu dengan hadirnya para PKL tersebut.

Dalam skala yang lebih besar, PKL ternyata mampu menjadi sebuah kekuatan ekonomi rakyat yang mampu menopang perekonomian suatu daerah karena perputaran rupiah yang dihasilkan ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Kekuatan ini tak dapat diremehkan begitu saja.

Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta adalah contoh kecil dari betapa besar potensi ekonomi yang terkandung pada perdagangan tingkat PKL ini.

4. Penataan kota yang win-win solution bagi PKL

Ada suatu prinsip yang berlaku bagi PKL di mana pun dan kapan pun, sebuah lokasi adalah peluang untuk berusaha.16 Kegiatannya seringkali belum terwadahi, akibatnya ruang publik menjadi suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi PKL. Ketika pemerintah berupaya mengembalikan ruang publik tersebut ke fungsi semula, pada umumnya PKL akan menolak ketika lapak-lapaknya ditertibkan. Di sinilah titik kritis persinggungan antara sudut pandang PKL dengan sudut pandang Pemerintah. Penataan ruang di kota hendaknya memperhatikan kepentingan semua elemen dalam masyarakat. Jika masyarakat tidak menginginkan macet disebabkan oleh tumpahnya PKL di jalan raya, maka harus dilakukan penataan yang tidak merugikan PKL dan masyarakat. PKL tetap dapat memiliki ruang berusaha sebagai penghidupan untuk diri dan keluarganya, di sisi lain ketertiban umum dapat tetap terjaga.

16 Dayat Limbong, Penataan Usaha PK-5;

Ketertiban vs Kelangsungan Hidup, op.cit, 217.

17

17

5. Pendekatan Aspiratif dan Persuatif Karena pemerintahan adalah mandat dari rakyatnya, maka ia wajib melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang telah memberikan mandat tersebut. Telah banyak kita mendapatkan pelajaran dari seluruh dunia bahwa corak kekuasaan tak lepas dari karakter siapa yang berkuasa tersebut. Pendekatan yang aspiratif dan persuatif adalah pilihan paling logis yang dapat diambil oleh sebuah kekuasaan. Bahkan, dalam perspektif Hak Asasi Manusia, ini bukanlah lagi sebuah “pilihan” melainkan sebuah

“kewajiban” untuk dapat sebesar-besarnya berkhidmad bagi kepentingan rakyat.

Perlakuan represi pemerintah, selain telah dan akan banyak menimbulkan banyak korban, juga nyata-nyata telah melanggar hak asasi manusia.

Perlakuan represi pemerintah, selain telah dan akan banyak menimbulkan banyak korban, juga nyata-nyata telah melanggar hak asasi manusia.

Dokumen terkait