• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Pedagang Kaki Lima: Studi di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Pedagang Kaki Lima: Studi di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta 1"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak

Pedagang Kaki Lima:

Studi di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta 1

Oleh Yeni Rosdianti2

Abstrak

Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sebuah entitas perdagangan sektor informal, perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Belum ada Undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi para PKL ini. Penjabaran asas desentralisasi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, melahirkan otonomi daerah yang telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi Pemerintah Daerah. Corak dan arah kebijakan tiap daerah bervariasi untuk satu jenis pengaturan yang sama.

Kerapkali, corak dan arah kebijakan ini amat ditentukan oleh pemimpin daerah yang terpilih. Tak heran, kebijakan soal penataan PKL, misalnya, acap bergantung pada Bupati, Walikota, atau Gubernur serta Anggota DPRD daerah yang bersangkutan.

Di satu daerah, PKL diperlakukan dengan cukup baik. Sementara di daerah yang lain, penataan PKL diterjemahkan sebagai “pembolehan” sikap represif atas nama

1 Penulisan ulang (re-write) dari Hasil Penelitian dengan judul “Penelitian Pemenuhan dan Perlindungan Hak-hak Pedagang Kaki Lima pada Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menata PKL di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta.” Komisi nasional Hak asasi Manusia, tahun 2011

2 Penulis adalah Peneliti pada Komisi nasional Hak asasi Manusia, ketua tim

“Penelitian Pemenuhan dan Perlindungan Hak-hak Pedagang Kaki Lima pada Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menata PKL di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta.” Komisi nasional Hak asasi Manusia, tahun 2011.

(2)

penertiban dan keindahan kota. Harus ada kebijakan umum yang memberikan arah bagi pengaturan dan kebijakan di seluruh Indonesia, khususnya dalam memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi para Pedagang Kaki Lima.

Abstract

The street traders, as an entity of informal sectors, should be treated properly by both central Government and Local Government. Specific national law and regulation regarding protection and fulfillment of street traders’ rights has not been exist yet. The local government has broader authority in the national laws. It is dealing with the implementation of the decentralization principles. For the time being, the policies may be varied for a similar issues and it depends on elected local government standpoints (bupati, walikota, governors, members of local house of parliament). Street traders could be treated properly in a certain province but they may be treated badly in other province. A wide ranging national policies on street traders should be formulated.

(3)

P

edagang Kaki Lima (PKL) adalah sebuah realitas sosial yang terdapat di mana-mana di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia, keberadaan PKL menjadi masalah tersendiri, khususnya di wilayah-wilayah perkotaan. Stigma PKL yang kumuh, tidak teratur, semrawut seolah menjadi ‘warna’ bagi keberadaan PKL. Kebijakan penataan PKL di seluruh Indonesia mengalami

pasang-surut bergantung pada kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah. Juga, tak lepas dari sosok pemimpin daerah yang tengah berkuasa. Tak jarang, arah kebijakan ditentukan oleh ‘corak’ pemimpin di suatu daerah. Inilah salah satu efek dari otonomi daerah sebagai terjemah atas asas desentralisasi.

Keberadaan PKL sebagai wujud dari

Pemenuhan dan

Perlindungan Hak-Hak Pedagang Kaki Lima:

Studi di Kota Surakarta

dan Kota Yogyakarta

(4)

sektor informal, tak terlepas dari potret umum sektor informal sebagai sebuah fenomena di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal itu dapat terjadi, salah satunya karena pemerintah lamban dalam menciptakan kesempatan kerja yang memadai.

Sejarah Pedagang Kaki Lima

Setidaknya ada dua asal-usul atau versi darimana kemunculan istilah

“Pedagang Kaki Lima.” Pertama, orang secara umum mengetahui Pedagang Kaki Lima karena pedagang yang dimaksud memiliki “kaki” (dalam pengertian konotatif) berjumlah lima.

Asosiasi ini tentunya akan mengarah kepada para pedagang yang berjualan dengan mendorong gerobak beroda dua. Dengan demikian, pedagang itu dianggap menjadi pedagang berkaki lima. Dua kaki adalah kaki dalam makna sebenarnya si pedagang, tiga kaki lainnya diasosiasikan pada dua roda gerobak dan satu kayu penyangganya.

Dalam pengertian yang lebih luas, gerobak-gerobak para pedagang tidak lagi terdiri dari lima kaki saja, karena ada juga yang rodanya tiga, ada yang empat, dan ada juga yang berjalan dengan tidak didorong tetapi dikayuh seperti sepeda/becak. Meskipun sudah tidak berkaki lima lagi, para pedagang yang bergerobak sering disebut pedagang kaki lima. Demikian asal usul versi pengertian pertama dan umum di masyarakat.

Asal-usul yang kedua mengenai pedagang kaki lima perlu dilakukan dengan melihat konteks di zaman penjajahan Belanda. Konon, penyebutan trotoar di zaman Belanda dulu disebut dengan istilah “5 Feet”

karena standar minimal lebar trotoar adalah sepanjang 5 kaki/1,5 meter (ukuran). Dikarenakan kebiasaan menerjemahkan sebuah kosa kata/

istilah yang terdiri dari dua suku kata asing ke dalam bahasa Indonesia dengan cara membalik arti kata, maka

(5)

istilah 5 feet tidak diterjemahkan 5 kaki tetapi Kaki Lima. Pada masa pemerintahan Belanda dulu pun, sudah banyak dan marak penggunaan trotoar yang dipakai oleh para pedagang untuk menjual barang dagangannya.

Para pedagang yang berjualan di trotoar 5 feet itulah yang kemudian disebut dengan sebutan pedagang 5 feet atau diterjemahkan oleh pribumi sebagai pedagang kaki lima. Setiap orang yang berjualan dan berdagang di trotoar pakai gerobak atau tidak disebut sebagai Pedagang Kaki Lima.

Asal-usul istilah Pedagang Kaki Lima versi kedua itu didukung oleh pengertian secara bahasa Indonesia yang bisa dilacak di dalam kamus.

Ketika kita mencari istilah “kaki lima”

di dalam Kamus Bahasa Indonesia, terbitan Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, kaki lima diartikan sebagai berikut antara lain: 1) lantai diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah; 2) serambi

muka (emper) toko di pinggir jalan (biasa dipakai tempat berjualan); 3) lantai di tepi jalan.

Pedagang kaki lima merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau menggunakan gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan jalan raya.

Bila melihat sejarah dari permulaan adanya PKL, PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda.

Pada masa penjajahan kolonial peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk para pedestrian atau pejalan kaki yang sekarang ini disebut dengan trotoar.

Lebar ruas untuk sarana bagi para pejalan kaki atau trotoar ini adalah lima kaki (satuan panjang yang umum

(6)

digunakan di Britania Raya dan Amerika Serikat. 1 kaki adalah sekitar sepertiga meter atau tepatnya 0,3048 m. Selain itu juga pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari permukiman penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air.

Dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan pikulannya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang membeli dagangannya.

Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan, minuman sekaligus beristirahat. Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial Belanda menyebut mereka sebagai

“Pedagang Lima Kaki” buah pikiran dari pedagang yang berjualan di area

pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar yang mempunyai “lebar Lima Kaki.”

Seiring perjalanan waktu, para pedagang lima kaki ini tetap ada hingga sekarang. Namun ironisnya para pedagang ini telah diangggap mengganggu para pengguna jalan karena para pedagang telah mereduksi ruas jalan dalam menggelar dagangannya. Namun bila kita menengok kembali pada masa penjajahan Belanda dahulu, antara ruas jalan raya, trotoar dengan jarak dari permukiman selalu memberikan ruang yang agak lebar sebagai taman maupun untuk resapan air. hal ini bisa kita lihat pada wilayah-wilayah yang masih bertahan dan terawat sejak pemerintahan kolonial hingga sekarang seperti di daerah Malang terutama di daerah Jalan Besar Ijen.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan sekarang, di mana antara trotoar dengan permukiman tidak

(7)

ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu untuk meresap air apabila hujan. Melihat sejarah yang ada, tidak sepantasnya menyalahkan keberadaan PKL dalam hal ketertiban dan kebersihan. Di satu sisi mereka mencari nafkah, di sisi lain mereka juga dianggap mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal ini pemerintah harus lebih bijak dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan peraturan. Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang merupakan alih profesi akibat PHK dan juga sebab-sebab lainnya.

Definisi Pedagang Kaki Lima

Terdapat sejumlah variasi pengertian/definisi “Pedagang Kaki Lima” dari beberapa ketentuan peraturan perundangan dan peraturan kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah. Dari beberapa

ketentuan yang tersebar di ketentuan baik di tingkat nasional maupun daerah, tim mencuplik beberapa definisi PKL, di antaranya:

1. SKB 3 Menteri tentang sinergi program Pengembangan Ekonomi dan Penataan Lingkungan Perkotaan melalui penguatan sektor Usaha Mikro:

Pedagang kaki lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang dan/atau jasa, yang menempati kios, los, atau lapak diatas lahan dan bangunan milik pemerintah daerah atau swasta dan memperoleh rekomendasi dari pemerintah daerah;

2. Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 5 tahun 2006 tentang Penataan Pemberdayaan Pedagang kaki lima:

Pedagang Kaki lima yang selanjutnya dapat disingkat PKL adalah pedagang yang

(8)

menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan fasilitas umum sebagai tempat usahanya;

3. Perda Kota Jambi Nomor 05 tahun 2006 tentang Pedagang kaki lima:

Pedagang kaki lima adalah penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan berusaha dalam kegiatan ekonomi yang menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum dan bersifat sementara atau tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak;

4. Perda Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005 tentang penataan dan Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki lima:

Pedagang Kaki lima adalah orang yang melakukan kegiatan berjualan yang mempunyai ciri-ciri potensial modal relatif kecil dan lokasinya tidak menetap;

5. Perda kota Pekanbaru Nomor 11 tahun 2001 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki lima:

Pedagang kaki lima adalah orang yang melakukan kegiatan usaha dagang dan atau jasa ditempat umum baik menggunakan kegiatan usaha dagang;

6. Peraturan Daerah DKI Jakarta No.

8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum: Pedagang kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat- tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan.

Dari beberapa definisi PKL yang ada, tim mendefisinikan Pedagang Kaki Lima adalah “Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha

(9)

perdagangan barang dan/atau jasa, menempati tempat-tempat prasarana kota dan/atau fasilitas umum yang memiliki hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh Pemerintah.”

Sektor Informal Sebagai Solusi Keterbatasan Lapangan Kerja

Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja.

Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun 2006-2009, pekerja sektor informal di Indonesia selalu lebih besar dibandingkan dengan sektor formal. Pada 2009, 72.693.302 orang dari 104.870.563 pekerja Indonesia atau sekitar 69,32% bekerja di sektor informal.3

3 ` Diolah dengan merujuk pada cara perhitungan yang telah ditentukan oleh BPS, bahwa jumlah pekerja kegiatan formal terdiri dari kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan, sedangkan kategori sisanya, yaitu berusaha sendiri, berusaha

Fakta seperti yang tersaji pada grafik 1.1 tersebut, justru sebaliknya tidak terjadi di Kota Surakarta dan kota Yogyakarta. Pada 2008, pekerja sektor formal lebih dominan, yaitu masing-masing berjumlah 133.049 orang (52,32%) dan 137.272 orang (58,83%). Di Kota Surakarta terdapat 118.050 pekerja sektor informal, sedangkan di Kota Yogyakarta berjumlah 96.067 orang, dari jumlah tersebut ada 43,44% atau 41.732 orang bekerja di sektor perdagangan, seperti Pedagang Kaki Lima.4

dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas pertanian dan non pertanian, serta pekerja tidak dibayar diklasifikasikan sebagai pekerja informal.

4 Istilah “Kaki Lima” Dalam Sejarah Pedagang Kaki Lima,” Mujibsite (home page on-line),;

didapat dari http://mujibsite.wordpress.

com/2009/08/14/sejarah-pedagang-kaki-lima- PKL/; Internet (diakses Februari 2011).

Grafik 1.1: Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja pada Sektor Formal dan Informal di Indonesia

(10)

Pekerja informal khususnya di perkotaan lebih terserap kedalam sektor perdagangan, di antaranya perdagangan jalanan atau kaki lima.

Kegiatannya menjadi bagian penting dalam sistem perekonomian kota karena terbukti mampu memberikan dukungan kepada masyarakat luas, terutama kelompok miskin melalui penyediaan produk-produk murah.5

International Labor Organisation (ILO), Badan Tenaga kerja PBB memberi pandangan:6

“Ekonomi informal terdiri dari unit- unit ekonomi yang termarjinalisasi dan pekerja-pekerja yang memiliki karakteristik: mengalami defisit yang parah dalam hal pekerjaan yang layak, defisit dalam hal standar perburuhan, defisit dalam hal produktivitas dan kualitas pekerjaan, defisit dalam hal perlindungan sosial

5 Didik J. Rachbini dan Abdul Hamid, Ekonomi Informal Perkotaan (Jakarta: LP3ES. 1994).

6 Tara Suprobo, et.al., eds., Sektor Informal di Indonesia dan Jaminan Sosial (Jakarta:

2007) .

dan defisit dalam hal organisasi dan hak suara. Dengan mengurangi defisit yang dimiliki oleh ekonomi informal, diharapkan akan dapat meningkatkan gerakan ke arah kegiatan-kegiatan yang diakui, terlindungi dan formal dalam kerangka perekonomian utama dan yang memenuhi peraturan.”

Meskipun tidak ada konsensus khusus mengenai definisi sektor informal, pengertian sektor informal ini sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. ILO mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut yaitu: a. Kemudahan untuk masuk;

b. Kemudahan untuk mendapatkan bahan baku; c. Sifat kepemilikan; d.

Skala kegiatan; e. Penggunaan tenaga kerja dan teknologi; f. Tuntutan keahlian;g. Deregulasi dan kompetisi pasar.7

7 “Pedagang Kaki Lima dan Informalitas Perkotaan,” Jakarta Butuh Revolusi Budaya Blog (Blog), didapat dari http://

w w w . j a k a r t a b u t u h r e v o l u s i b u d a y a . com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-

(11)

Pembahasan dikotomi sektor formal-informal tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.

Bagaimana dengan Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta?

Faktor lain juga turut mempengaruhi pertumbuhan di sektor informal pedagang kaki lima adalah para pencari kerja yang beralih profesi, dari semula bekerja di sektor lain (Formal) ke profesi pedagang kaki lima (PKL). Ada Dorongan untuk masuk berusaha ke jalur informal-PKL dikarenakan terimbas oleh tingkat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Data

informalitas-perkotaan/; internet (diakses 12 Mei 2011).

BPS tahun 2010 merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1%.

Diantara komponen-komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi salah satu diantaranya adalah sektor jasa-jasa, perhotelan, transportasi, dan perdagangan, sama dengan angka- angka yang ditunjukan BPS Yogyakarta kwartal ke-1, memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Provinsi DIY pada triwulan I tahun 2011 adalah sektor jasa-jasa yaitu sebesar 19,17%;

kemudian diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran (18,90 persen);

sektor pertanian (18,44 persen); dan sektor industri (13,40 persen).

Data pedagang kaki lima Kota Surakarta menunjukan angka statistik berkisar 74%, orang yang bekerja di sektor PKL adalah warga pendatang dari luar Kota Surakarta. Nampak jelas pekerja yang bergerak di sektor informal dalam hal ini pedagang kaki lima selain dipengaruhi oleh dampak pengangguran dan pertumbuhan

(12)

ekonomi juga disebabkan laju tingkat urbanisasi dari daerah sekitar atau daerah lainnya.

Eksistensi sektor informal seperti PKL memiliki peran penting dalam sistem ekonomi Indonesia karena pekerjaan sebagai PKL relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi.

Indikatornya, serapan tenaga kerja antara kurun waktu sebelum krisis dan ketika krisis berlangsung tidak banyak berubah. 8 Hal yang senada diutarakan Purwanugraha dalam tulisan Halomoan Tamba, pedagang kaki lima tidak terlalu mempermasalahkan kondisi krisis ekonomi, terbukti bahwa PKL di sekitar Malioboro tetap bekerja dengan waktu berjualan yang tidak berubah (88,0%), pendapatan bersih rata-rata perbulan yang diperoleh juga tidak mengalami perubahan (66,5%), dan taksiran nilai

8 Bambang Soelaksono et.al., eds., Upaya Penguatan Usaha Mikro, dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Perempuan;

Sukabumi, Bantul, Kebumen, Padang, Surabaya, Makasar (Jakarta: SMERU, 2003), 2.

barang dagangan dan peralatan juga tidak mengalami perubahan. 9 Lebih jauh lagi, usaha PKL telah berperan sebagai penyangga (buffer) dan katup pengaman (safety valve) dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menyediakan alternatif lapangan pekerjaan bagi para pekerja sektor formal yang terkena dampak krisis.

Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta sedikit banyak menginspirasi kota-kota lain di Indonesia dalam penataan PKL.

Hal itu dapat dilihat dari pilot project penataan pasar tradisional dan PKL yang akan dilakukan di kota Surakarta pada tahun 2011. Dua daerah lainnya adalah Kota Medan dan Kota Makasar.

Selain itu, direncanakan juga Kota Surakarta juga akan menjadi pilot project penataan pasar tradisional dan PKL untuk tingkat asia-pasifik.

9 Purwanugraha et.al., ed. Halomoan Tamba, “Pedagang Kaki Lima;

Entrepreneur yang Terabaikan,” Infokop No. 29 Tahun XXII (2008).

(13)

Penataan PKL vs Penataan Kota

Keberadaan PKL (street hawker atau street trader) di kota-kota besar merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil yang timbul akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan, tidak tersedianya sarana dan prasarana untuk berjualan, dan kurangnya kemampuan finansial mereka. Setiap hari mereka harus berjuang untuk menghidupi kebutuhan pokok sehari-hari diri dan/atau keluarganya. Tidak ada pilihan, tidak makan atau makan tetapi melanggar peraturan, sehingga kucing-kucingan dengan aparat pemerintah itu sudah menjadi biasa.10

Pertumbuhan kota sejalan dengan pergeseran fungsi lahan yang menjadi dilema di kota-kota besar.

Kasus yang paling mencolok dalam

10 Tripp, A. M., “Changing the Rules: The Politics of Liberalization and the Urban Informal Economy in Tanzania,” blishing.cdlib.org (home page on-line), didapat dari http://texts.

cdlib.org/xtf/view?docId=ft138nb0tj&query

=&brand=ucpress Connect; internet (diakses Maret 2011).

penyalahgunaan ruang kota saat ini adalah pemakaian fasilitas publik sebagai tempat berdagang kaki lima.

Kegiatan usaha PKL umumnya lebih didorong oleh keinginan mereka mendekatkan transaksi jual belinya sedekat mungkin dengan calon konsumen (lokasi dimana banyak orang hilir mudik), sehingga mereka cenderung kurang memperhatikan faktor-faktor lain seperti berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyeberangan, bahkan di badan jalan.

Stigma negatif tentang keberadaan PKL seakan sudah melekat pada pikiran sebagian orang, atau dengan kata lain PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem), sehingga tidak heran fenomena penertiban terhadap mereka marak terjadi terutama ketika akan dilakukan penilaian kota terbersih (Adipura). Tidak jarang pula, penertibannyapun dilakukan dengan

(14)

tindakan represif dan tanpa diberikan solusi tempat pengganti (relokasi), tanpa memperhatikan hak-hak asasi yang dimiliki oleh para PKL.

Jaminan Pemenuhan dan Perlindungan Hak-hak Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima sebagaimana warga negara lainnya harus dijamin hak-haknya. Mereka dijamin hak atas pekerjaan, hak atas standar kehidupan yang layak, hak atas lingkungan yang sehat dan hak-hak sosial politiknya, seperti; hak atas rasa aman, hak berpendapat, hak berserikat, dan hak perempuan. Sebagai hak dasar, maka pemenuhan dan perlindungannya wajib diberikan oleh negara kepada warganya dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional melalui program- program dan alokasi anggaran yang memadai.

Ketentuan tentang hak atas

pekerjaan bagi PKL telah diatur dan dijamin dalam UUD Negara 1945, salah satunya pada Pasal 27 ayat (2),

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Hak tersebut juga diatur dan dijamin dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 11, “Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.”

Pasal 38 ayat (1), “Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.”

Pasal 38 pada ayat (2), “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan hak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.”

Selain itu, pengaturannya dijamin dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f dan Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

(15)

Pasal 7 ayat (1) huruf f, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: ...f.

kesempatan berusaha.”

Pasal 13 ayat (1) huruf a;

“Aspek kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f ditujukan untuk: a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya.”

Pemenuhan kesempatan berusaha selanjutnya dijelaskan pada Nota Kesepahaman atau Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri Nomor: 500-738.4 Tahun 2010, Menteri Perdagangan Nomor:

1320.1/M-DAG/MOU/IX/2010, dan

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 12.1/MKB/M.

KUKM/IX/2010 tentang Sinergi Program Pengembangan Ekonomi dan Penataan Lingkungan Perkotaan melalui Penguatan Sektor Usaha Mikro. pada Pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa pengembangan ekonomi dilaksanakan melalui fasilitasi bantuan dana/program, sosialisasi, pembinaan, dan bimbingan teknis. 11

Dengan adanya ketentuan perundang-undangan, seharusnya pemerintah bersikap adil kepada PKL.

meskipun secara yuridis, keberadaan PKL di suatu kawasan seringkali melanggar hukum terutama terkait K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) dan tata ruang. Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah memasukan

11 Menurut Ibu Herustuti (Asisten Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi & UMKM dalam paparan Seminar Hasil Penelitian PKL pada 9 Mei 2011, sejak 2005-2010 Pemerintah telah membantu sebanyak 1.500 PKL berupa sarana usaha PKL, dimana masing- masing PKL diberikan Rp.7.000.000 (tujuh juta rupiah) lewat koperasi sebagai lembaga pembinaan dan managerial masyarakat.

(16)

pentingnya sektor informal, seperti tercantum dalam Pasal 28 huruf c;

“Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.”

Peraturan Perundangan dan Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta

Pada kenyataannya, ketersediaan ruang bagi PKL itu belum diimplementasikan oleh sebagian besar pemerintah daerah (Pemda). Sebagai bagian dari sektor informal, PKL kurang diperhitungkan sebagai aset perekonomian daerah yang strategis, kehadiran mereka dianggap sebagai penyebab terjadinya permasalahan kota. Keberadaan PKL menjadi sebuah dilema bagi pemerintah, di satu sisi

menimbulkan kesan kumuh, liar, merusak keindahan dan kenyamanan kota. Akan tetapi sisi positifnya mereka memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pemerintah dalam bentuk pajak dan retribusi.

Alasan ini diperkuat oleh hasil penelitian Zulkarnain, dimana pada 1995 potensi PKL terhadap peningkatan pajak pembangunan 1 cukup besar.

Untuk 416 PKL makanan/minuman saja yang tersebar di Kota Yogyakarta (sample penelitiannya) bisa mencapai Rp.5.066.880,- setiap malam/harinya, atau dalam satu bulan mencapai Rp.152.006.400,- dan dalam satu tahun berjumlah Rp.1.824.076.800,- (Satu Milyar Delapan Ratus Dua Puluh Empat Juta Tujuh Puluh Enam Ribu Delapan Ratus Rupiah).12 Studi kasus lainnya di Kota Surakarta, nilai pajak dan retribusi yang berasal dari pedagang pasar tradisional dan PKL bahkan menjadi penyumbang terbesar

12 Zulkarnain, Potensi Pedagang Kaki Lima terhadap Pajak Pembangunan I di Kotamadya DATI II Yogyakarta (Yogyakarta:

Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1996), 73-74.

(17)

pendapatan asli daerah. Di tahun 2010, bisa mencapai ± Rp.14,2 milyar.

Jauh lebih besar dibanding hotel ± Rp.4 milyar atau terminal yang hanya

± Rp.3 milyar.13

Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta merupakan dua kota yang dipenuhi oleh para PKL, meskipun secara riil belum dapat diketahui berapa jumlahnya. Kedua kota tersebut sedikit banyak menginspirasi kota- kota lain di Indonesia dalam hal minimnya gesekan fisik antara PKL dan aparat Pemda ketika dilakukan penertiban. Saling menghargai dan tidak melanggar hak masing-masing, memunculkan kesamaan persepsi bahwa PKL menganggap pemerintah berpihak pada mereka.

Berita “kesuksesan” Kota Surakarta dalam merelokasi PKL dari kawasan

Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo, adalah salah satu contohnya.

Penertiban yang dicetuskan Walikota Surakarta justru menggunakan komunikasi politik yang simpatik dan strategik, tidak menggunakan tindakan kekerasan. Majalah Tempo menganugerahkan penghargaan kepada Walikota Surakarta (Joko Widodo) sebagai salah satu dari 10 tokoh terbaik di tahun 2008. Tempo bahkan menjulukinya sebagai “Wali Kaki Lima.” 13

Di bawah kepemimpinan Joko Widodo, Kota Surakarta mengalami perubahan yang relatif pesat dalam penataan PKL. Sampai saat ini Pemkot Surakarta telah menata 63,79% PKL.

Ada yang direlokasi ke 23 tempat/pasar, ada yang diberi shelter, diberi gerobak, dan bantuan tenda.14 Kebijakan

13 Joko Widodo, “Walikota Kaki Lima,” (e-news), http://majalah.tempointeraktif.com/id/

arsip/2008/12/22/LU/mbm.20081222.

LU129061.id.html (diakses Maret 2011)

14 Ada sekitar 2.106 PKL yang belum ditata atau direlokasi. Mereka berjualan di trotoar jalan dan berkeliling.

14

15

14 13 Gading Mahendradata, “Mengubah Wajah Surakar-

ta,” (Blog), didapat dari (http://gadingmahendradata.

w o r d p r e s s . c o m / 2 0 1 0 / 1 1 / 0 7 / j o k o - E2%80%98jokowi%E2%80%99-widodo-ceo-

%E2%98kaki-lima%E2%80%99-mengubah-wajah- Surakarta/; Internet (diakses Maret 2011).Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1996), 73-74

15

(18)

relokasi para pedagang kaki lima yang dilakukan Pemkot Surakarta hampir tanpa gejolak, misalnya pemindahan pedagang barang bekas dari Kawasan Monumen 1945 Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo di daerah Semanggi yang diperuntukan menjual berbagai kebutuhan, mulai dari elektronik, barang bekas, alas kaki, peralatan olahraga, hingga sentra telepon genggam. Para PKL ditata ulang atau dilegalkan statusnya, diantaranya relokasi PKL ke Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, dan Pasar Malam Ngarsopura.

Kota Yogyakarta juga melakukan hal yang sama. Pemerintah kota (Pemkot) telah berhasil merelokasi 709 PKL di wilayah Jl. P. Mangkubumi, Jl. Asem Gede, dan Alun-Alun Selatan ke Pasar Klitikan Pakuncen (PKP). Tidak hanya itu, Pemkot Yogyakarta juga melakukan sebuah inovasi memadukan konsep berjualan PKL dengan konsep pasar modern yang rapi dan bersih,

seperti PKL di PKP tersebut. Di dalam pasar, para pedagang berjualan menjajakan dagangan dengan berjejer rapih, sehingga Pemkot kemudian menjadikan pasar ini sebagai daya tarik wisata. 15

Fenomena menarik juga untuk dipertimbangkan terhadap kebijakan

“zero growth” Pedagang Kaki Lima yang dicanangkan di dua Kota Yogyakarta dan Surakarta, kebijakan ini bukan saja berhadapan dengan fenomena ekonomi makro negara yang berorientasi pada ekonomi pasar global, tetapi juga dapat dipastikan akan menuai masalah terhadap pelanggaran hak–hak ekonomi sosial dan budaya (EKOSOB) warga negara.

Rambu-rambu hukum dan hak asasi manusia dimaksud sebagaimana telah diatur didalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang

15 Eko Nugroho, “Menata Pasar dengan Hati,”

(Blog), didapat dari http://pasartren.blogspot.

com/2010/10/menata-pasar-dengan-hati.

htm; Internet (diakses Maret 2011).

16

16

(19)

Kovenan Internasional tentang Hak- hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan di tingkat daerah (Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta) dalam menata PKL terkait dengan pemenuhan dan perlindungan hak PKL:

a. Di kedua kota (Yogyakarta dan Surakarta) telah ada peraturan mengenai penataan PKL. Di Kota Yogyakarta terdapat Perda Nomor 26 Tahun 2002 yang telah didelegasikan dalam beberapa ketentuan Peraturan Walikota. Adapun di Kota Surakarta telah ada Perda Nomor 3 Tahun 2008. Karena masih relatif baru, Perwalnya sedang dalam proses pembuatan. Kedua peraturan (dan delegasinya) setidaknya menjadi jaminan legal bagi hak-hak PKL dalam menjalankan roda usahanya pada sektor informal.

b. Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta

sama-sama mengatur lokasi yang diperuntukan bagi PKL, perizinan (izin ke pemerintah dan pemilik persil/toko/masyarakat sekitar), hak dan kewajiban PKL, fasilitasi/

pembinaan, pengawasan, dan ketentuan pidana/sanksi. Di Kota Yogyakarta, aturan penataannya telah diturunkan sampai dengan Peraturan Walikota dan perluasan cakupan pengaturannya, sampai dengan masalah Tendanisasi dan Hygiene Sanitasi Pengelolaan Pangan (khusus bagi PKL makanan dan minuman).

c. Sebagai jaminan legal dari penataan PKL, Perda Nomor 26 Tahun 2002 (Yogyakarta) dan Perda Nomor 3 Tahun 2008 (Surakarta) juga tak lepas dari pro-kontra. Beberapa yang dikeluhkan oleh sebagian masyarakat adalah soal sanksi (Perda 3/2008 Surakarta) yakni sanksi yang dianggap terlalu memberatkan bagi PKL/konsumen PKL yang melanggar. Hal lain adalah soal dugaan diskriminasi dalam Perda

(20)

3/2008 tersebut. Unsur diskriminasi pada Pasal 6 ayat (3) huruf a, dimana permohonan izin penempatan yang harus dimiliki PKL harus dilampiri dengan KTP Kota Surakarta yang masih berlaku. Akan tetapi dalam pelaksanannya, 74% PKL yang ada di daerahnya berasal dari luar daerah (tidak memiliki KTP Kota Surakarta) yang memperoleh izin tersebut dan mendapatkan fasilitasi bantuan modal. Sedangkan dalam aturan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, para PKL yang berjualan di Kota Yogyakarta diperbolehkan menggunakan KTP kabupaten lain di Provinsi DIY ataupun dengan menggunakan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM) Kota Yogyakarta.

d. Meskipun telah dibuat peraturan tentang penataan PKL, namun tidak semua kawasan PKL telah didukung dengan sarana dan prasarana, seperti jaringan listrik, air bersih, toilet, sampah, dan tempat parkir.

Hal ini berbeda dengan fasilitas

sarana dan prasarana di tempat relokasi PKL seperti Pasar Klitikan Notoharjo (Kota Surakarta) dan Pasar Klitikan Pakuncen (Kota Yogyakarta) yang relatif telah didukung oleh pembuatan sarana dan prasarana oleh Pemerintah Kota.

Selain peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, Tim mencatat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak PKL di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta, secara umum pemerintah kota melakukan program-program:

Relokasi yaitu menempatkan para PKL ke tempat lain baik dalam bentuk pasar (pasarisasi) maupun bentuk lain;

Tendanisasi yaitu melakukan penataan dengan merapihkan keberadaan PKL pada suatu tempat dengan cara memberikan tenda- tenda yang umumnya berwarna dan berukuran sama.

(21)

Shelterisasi yaitu membangun dan memberikan shelter-shelter pada tempat-tempat tertentu (biasanya di pinggir jalan) dengan luasan dan bentuk tertentu kepada PKL.

Pemberian gerobak dorong (knock down) yaitu memberikan gerobak dorong yang pada umumnya berbentuk, berukuran, dan berwarna yang sama. Gerobak ini mobile. Namun demikian penempatannya biasanya menetap di suatu tempat. Jika telah selesai berdagang, para pedagang berkewajiban untuk memindahkan ke suatu tempat (misalnya di gudang atau dibawa pulang).

Pada dasarnya, jenis-jenis penataan diatas amat kasuistis berdasarkan jenis barang/jasa yang ditawarkan dan tempat/lokasi di mana PKL berdagang.

Tidak tepat untuk menyamaratakan satu kebijakan/program untuk semua kasus. Pengalaman selama ini menunjukan, untuk setiap jenis kebijakan tersebut ada positif

negatifnya, ada yang berhasil ada pula yang gagal.

Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak PKL

Dalam catatan perjalanannya, para PKL tak lepas dari tarik ulur berbagai jenis kebijakan dari Pemerintah daerah. Sebagai warga negara, sama dengan warga lainnya, para PKL juga memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya. Penataan kota semestinya tidak boleh mengabaikan hak-hak asasi warga negara. Beberapa hak yang harus dijamin perlindungan dan pemenuhannya oleh negara, di antaranya:

1. Hak atas Pekerjaan

Secara konseptual, hak atas pekerjaan yang merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya adalah hak tiap warga negara untuk dapat mencari nafkah melakui pekerjaannya yang dipilih atau diterima secara bebas.

Hal ini ditegaskan dalam Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal Pasal 6

(22)

Kovenan Internasional Hak Ekosob, yang isinya:

Ayat (1)

“Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini.”

Ayat (2);

“Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serta program- program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan.”

Selama ini meskipun tidak secara teoritis mengacu pada standar pemenuhan dan perlindungan hak atas pekerjaan sebagaimana instrumen hak asasi manusia, kedua pemerintah kota (Surakarta dan Yogyakarta) secara parsial menjalankan beberapa ketentuan HAM tersebut. Pemerintah menyadari bahwa menjadi PKL adalah

“pilihan” ketika tidak ada pilihan lain yang lebih baik untuk memperoleh nafkah dalam rangka mempertahankan hidup. Pemerintah menyadari bahwa persoalan PKL adalah persoalan

“perut lapar.” Beberapa kebijakan penataan PKL ditujukan bagi tetap berlangsungnya usaha kaki lima yang digeluti oleh PKL. Beberapa diantara kebijakan pemerintah mengantarkan PKL dari pedagang yang “ilegal”

menjadi “legal” dengan dipindahkan ke pasar-pasar (relokasi/pasarisasi), meskipun hal ini masih menjadi pro- kontra mengingat hasil dari program ini, selain ada yang berhasil, ada pula yang gagal.

(23)

Menurut analisis data dari keterangan para informan, bahwa PKL itu “soul”nya tidak di pasar- pasar, melainkan di pinggir-pinggir jalan, sehingga relatif mendekati konsumennya. Jika sudah di pasar, maka “label” PKL-nya sudah hilang.

Kebertahanan PKL untuk dapat berusaha di pasar, amat bergantung pada jenis usaha yang dilakukan.

Pasar Klitikan Notoharjo di Surakarta relatif berhasil dilokalisasi dalam bentuk pasar (pasarisasi) karena jenis dagangannya adalah barang-barang tidak basi. Sementara, banyak terjadi kegagalan relokasi PKL pedagang makanan. Ini dikarenakan untuk mendapatkan konsumen kembali pasca pemindahan, tidaklah mudah.

PKL harus memiliki modal lebih untuk tetap mengisi lapaknya dengan makanan-makanan yang dijajakan.

Jika tidak habis terjual, makanan tidak dapat dijual kembali keesokan harinya.

Inilah yang kemudian menggerus modal yang dimiliki PKL. Jika tidak

tahan karena modal habis, banyak PKL yang gulung tikar, atau mengalihkan lapaknya kepada pihak lain. Tidak lama kemudian, PKL ini kembali ke jalan untuk menjadi PKL di pinggir-pinggir jalan lagi, tentu saja biasanya dengan cara kucing-kucingan dengan petugas.

2. Hak atas Standar Kehidupan yang layak

Hak Atas Standar Kehidupan adalah hak asasi manusia. Standar Kehidupan yang layak ini mencakup penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan papan.

Hal ini termaktub dalam ketentuan pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekosob;

“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah

(24)

yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.”

Upaya untuk tetap mempertahankan usaha yang digeluti PKL tidak lain dan tidak bukan ditujukan sebagai satu cara bagi PKL untuk dapat bertahan hidup. Namun meskipun hak asasi manusia memiliki standar kehidupan yang layak, dapat dikatakan sebagian besar PKL belum dapat terpenuhi standar kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya. Hal ini tak terlepas dari kondisi pemenuhan hak atas pekerjaan bagi PKL itu sendiri. Jika lingkungan hak atas pekerjaan telah cukup memadai memberikan jaminan hak-hak PKL, maka pendapatan akan berbanding lurus dengan standar kehidupan yang layak bagi PKL.

Oleh karenanya perlindungan dan pemenuhan hak-hak PKL hendaknya dilakukan oleh Pemerintah secara

simultan.

3. Hak atas Lingkungan yang Sehat

Penciptaan hak atas lingkungan yang sehat adalah juga bagian dari pemenuhan atas penikmatan hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Kesehatan fisik selain berkait dengan asupan nutrisi, tetapi juga pada kondisi lingkungan yang menunjang kesehatan fisik tercipta. Pasal 12 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebutkan:

1. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan:

(25)

a) Ketentuan-ketentuan untuk pe- ngurangan tingkat kelahiran- mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;

b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;

c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;

d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Hak atas lingkungan yang sehat adalah hajat hidup masyarakat luas.

Kota memiliki ruang-ruang publik yang harusnya dapat diakses secara aman dan sehat oleh seluruh lapisan masyarakat. Selama ini yang terjadi di kedua kota, telah terdapat upaya- upaya penataan lingkungan yang sehat. Namun demikian upaya tersebut belum dapat menjangkau seluruh sudut

kota. Untuk PKL yang telah direlokasi ke pasar, umumnya telah difasilitasi pula dengan penataan ruang yang sedekat mungkin memenuhi standar lingkungan yang sehat. Namun masih banyak area PKL yang belum memenuhi standar kesehatan lingkungan, semisal sanitasi, hygiene dan lain sebagainya.

Pemerintah kota akan melakukannya secara bertahap.

Namun, sekali lagi, penataan yang dilakukan akan membuka kemungkinan ruang kontroversi.

Penataan sebagai hajat pemerintah kota dalam menjalankan mandat rakyat untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan lingkungan yang sehat bagi masyarakat luas, kerap bentrok dengan hak atas pekerjaan PKL, yang berdagang di pinggir jalan karena “tidak ada pilihan lain” dalam rangka memenuhi hajat untuk sekedar bertahan hidup. Oleh karenanya perlu kearifan dan kebijakan pembangunan yang memihak pada rakyat kecil, sehingga dapat dicarikan solusi terbaik

(26)

bagi kedua belah pihak, khususnya bagi PKL. Karena, perlindungan dan pemenuhan hak atas pekerjaan PKL adalah kewajiban Pemerintah.

4. Hak atas Rasa Aman

Hak atas rasa aman yang merupakan bagian dari hak sipil politik, juga turut menjadi bagian dari hak PKL selaku warga negara. Beberapa inti dari perlindungan dan pemenuhan hak atas rasa aman bagi PKL, diantaranya adalah:

1. Hak untuk Bebas dari Penggusuran sewenang-wenang atas hak milik;

2. Hak mendapat ganti rugi atas penangkapan dan perampasan harta benda yang tidak sah;

3. Hak tidak diusir secara paksa dan sewenang-wenang;

4. Hak untuk mendapat informasi tentang pedoman kesepakatan relokasi dan atau penempatan kembali lahan atau lapak PKL oleh Pemda;

5. Pasal 29 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (2)

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

6. Pasal 9 ayat (1) dan (5) UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak–Hak Sipil dan Politik;

7. Komentar Umum Nomor 7 Perjanjian Internasional atas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Pengusiran Paksa):

a. Perampasan barang, harta milik PKL;

b. Pengusiran dengan ancaman fisik dan psikis;

Relokasi yang menghindari pengusiran paksa dan memenuhi tahapan dan prasyarat pasal- pasal perjanjian internasional hak Ekosob.

PKL memiliki hak atas rasa aman dalam berdagang. Untuk itu pemerintah wajib menjamin hak atas rasa aman.

Harus ada perlindungan bagi PKL untuk terus dapat mempertahankan hidup melalui usaha yang dilakukannya.

(27)

Jika ada penataan, misalnya berupa relokasi, di tempat yang lama maupun yang baru harus dapat dijamin hak rasa aman para PKL ini. Bahwa terjadi penataan PKL karena ruang kota yang terbatas, adalah hal yang lazim. Namun perlu digarisbawahi bahwa penataan yang dilakukan oleh pemerintah tetap harus dapat menjamin rasa aman bagi PKL. Dalam kenyataanya di lapangan, masih ada kawasan PKL di mana PKL tidak mendapat jaminan keamanan, misalnya karena lokasinya dianggap

“ilegal” (contoh Kawasan HP Gilingan, Surakarta), sehingga para pedagang menjadi amat rentan dari pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat. Jika demikian, seharusnya pemerintah segera memberikan jalan keluar yang win-win solution bagi mereka yang berdagang di tempat tersebut.

5. Hak Berpendapat

Kebebasan berpendapat bagi PKL selayaknya dipenuhi dan dilindungi

dalam implementasi berikut ini, diantaranya:

1. Kebebasan berpendapat dan mem- peroleh ide atau informasi

Adanya kebijakan dan program yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat, memperoleh dan mene- rima informasi;

2. Bentuk-bentuk partisipasi dan saluran aspirasi

Adanya kebijakan dan program yang menjamin tersedianya bentuk- bentuk partisipasi dan saluran aspirasi dalam segenap kebijakan yang terkait dengan PKL;

3. Mekanisme penyelesaian masalah atau resolusi konflik

Adanya kebijakan dan program yang menjamin tersedianya mekanisme penyelesaian masalah atau resolusi konflik.

Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik;

Paragraf 1: Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.

(28)

Paragraf 2: Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan- pembatasan secara lisan, tertulis, Paragraf 3: Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus.

Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:

a) Menghormati hak atau nama baik orang lain;

b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral.

Di kedua kota, hak berpendapat relatif mendapatkan ruang yang cukup

leluasa. Kedua pemerintah kota relatif membuka keran-keran komunikasi dengan cukup memadai. Meskipun diakui juga oleh beberapa kelompok PKL bahwa meskipun walikota mau mendengarkan tetapi banyak keinginan dari PKL yang tidak diindahkan/belum direalisasikan. Hal lain lagi, masih ada kelompok-kelompok PKL yang belum terwakili aspirasinya.

Dalam aksesibilitas kepada kebijakan publik, utamanya pada penyusunan Perda dan beberapa kebijakan pemerintah kota (semisal penataan PKL), sebagian kelompok PKL merasa dilibatkan—paling tidak dalam urun rembug aspirasi—namun masih banyak kelompok PKL yang tidak merasa dilibatkan, atau jika dilibatkan, aspirasinya hanya ditampung saja, dan tidak mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat.

6. Hak Berserikat

Hak berserikat merupakan Hak

(29)

Asasi Manusia. Tak, kurang konstitusi kita juga mengatur soal hak berserikat ini. Pada pasal 28 UUD 1945 pascaamendemen:

“Kemerdekaan berserikat dan ber- kumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”

Dalam ketentuan pasal 22 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dna Politik, disebutkan:

Paragraf 1: ”Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Paragraf 2: “Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan

keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini.

Paragraf 3: “Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan hukum sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut.”

Pasal 22 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005 tidak mendefinisikan hak berserikat secara ketat. Pada hakikatnya ketentuan yang

(30)

diatur di dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang ada pada Deklarasi Universal HAM, yaitu hak untuk mendirikan serikat pekerja dan mencapai tujuan yang hendak dicapai. Hak kebebasan berserikat dalam dimensi hak sipil dan politik menekankan hak individu, yaitu hak setiap orang untuk berasosiasi dan memasuki serikat. Hak berserikat memiliki prasyarat sebuah keadaan yang kondusif bagi individu dalam menikmati hak dasarnya, yaitu hak berpikir (freedom of conscience) dan kebebasan berekspresi (freedom of expression).

Hak berserikat bagi PKL salah satunya diwujudkan dengan membuat paguyuban-paguyuban atau koperasi- koperasi. Di Kota Yogyakarta dan Surakarta, paguyuban yang terbentuk telah cukup banyak, baik yang dibentuk berdasarkan lokasi maupun berdasarkan jenis dagangan yang diperjualbelikan. Pada gilirannya,

paguyuban-paguyuban yang ada ini menjadi forum komunikasi yang cukup efektif bagi PKL, baik dalam tataran horizontal (dengan sesama pedagang) maupun tataran vertikal (dengan pemerintah). Paguyuban ini selain dapat menghimpun aspirasi para PKL, di sisi lain juga dapat menjadi sarana silaturahmi antar mereka dengan kegiatan-kegiatan dan dana sosial yang dihimpun bagi kesejahteraan mereka sendiri. Ada paguyuban yang telah berbadan hukum (misalnya dalam bentuk koperasi), hal ini turut mempermudah pada saat ada bantuan pinjaman permodalan, semisal Kredit Usaha Rakyat (KUR).

7. Hak Perempuan

Ketentuan mengenai hak-hak perempuan tersebar di banyak ketentuan peraturan-perundangan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut, perempuan harus bebas dari perlakukan diskriminasi (Non-Diskriminasi), dianta- ranya dalam bentuk:

(31)

1) Adanya Kebijakan yang melindungi perempuan dari segenap praktik diskriminasi;

2) Adanya kebijakan untuk meng- hapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan pemerintahan suatu negara dan terutama, harus menjamin perempuan secara setara dengan laki-laki, hak untuk: memberikan suaranya dalam semua pemilihan umum atau referendum dan memenuhi persyaratan pemilihan untuk semua badan yang dipilih secara publik;

3) Kesetaraan atau persamaan;

adanya kebijakan dan program yang menjamin kesetaraan dan persamaan (terutama di tingkat Pemda).

Di kedua kota, pemenuhan hak perempuan PKL juga relatif tidak mendapatkan kendala yang berarti.

Pada saat terjadi penataan PKL, semisal kebijakan pemindahan, sheltirisasi,

tendanisasi, dan sebagainya umumnya PKL perempuan mendapatkan hak- hak yang sama dengan PKL laki- laki. Demikian pula pada saat terjadi penertiban. Tim menyusuri kemungkinan adanya “sexual harrasement” pada saat terjadi penertiban. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim, aparat Satpol PP selama ini relatif santun, sehingga tidak menimbulkan pelecehan-pelecehan, khususnya kepada kaum perempuan. Namun diakui bahwa berdasarkan informasi yang didapatkan para informan, bahwa di daerah-daerah lain masih terdapat penataan kota (khususnya penertiban- penertiban yang dilakukan) yang tidak melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan.

Penutup

Persoalan PKL di kota-kota besar bukanlah persoalan yang mudah untuk dipecahkan, untuk itu diperlukan perhatian ekstra dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(32)

Kesuksesan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi PKL sesungguhnya adalah pula kesuksesan bangsa ini. Kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya adalah mutlak wujud dari tanggungjawab negara sebagai penerima mandat dari rakyat.

Setidaknya ada 5 (lima) catatan perbaikan bagi upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak Pedagang Kaki Lima:

1. Berangkat dari konteks

“Kewajiban Negara” dalam melindungi dan memenuhi hak- hak warga negara

Dalam hukum Hak Asasi Manusia, dikenal konsep pemangku kewajiban (duty bearer) dan pemangku hak (right holder). Negara adalah pemangku kewajiban yang oleh karenanya memiliki tanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan (obligation to conduct) dan mencapai hasil tertentu (obligation of result).

Rakyat adalah pemangku hak, yang memiliki hak-hak yang akan dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara.

Kewenangan negara untuk menye- lenggarakan pemerintahan, tak lepas dari penjelmaan mandat dari rakyat. Oleh karenanya, kewenangan pemerintah bukanlah “ruang hampa” yang steril dari kepentingan rakyat. Kepentingan rakyatlah yang menjadi fokus dari penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat mapun daerah.

Pedagang Kaki Lima sebagai sebuah entitas perdagangan sektor informal, memiliki hak-hak untuk dilindungi dan dipenuhi. Dalam perkembangannya, jumlah PKL makin banyak tersebar.

Makin menyempitnya sektor ekonomi formal, makin subur pertumbuhan PKL di tanah air. PKL adalah realitas sosial yang terdapat di seluruh daerah, utamanya di kota-kota.

Berangkat dari konsep kewajiban negara untuk melindungi dan

(33)

memenuhi hak-hak warga negara, maka negara c.q Pemerintah akan memposisikan PKL sebagai pihak yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, bukan sebaliknya, harus digusur begitu saja sebab dianggap mengganggu keindahan dan ketertiban kota.

2. Peraturan Perundangan dan Peraturan Kebijakan Nasional tentang Peme- nuhan dan Perlindungan PKL yang secara umum dapat menjadi dasar hukum dan acuan bagi seluruh daerah.

Seperti yang telah diulas di bagian sebelumnya, belum ada ketentuan dalam Peraturan Perundangan maupun Peraturan Kebijakan ditingkat na- sional, yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak- hak PKL. Pengaturan ini penting untuk dapat menjadi panduan umum bagi seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan, utamanya dalam memberikan jaminan perlindungan

dan pemenuhan hak-hak PKL.

Ke depannya, harus ada cetak biru pemenuhan dan perlindungan hak- hak PKL. Sehingga, kebijakan tidak semata-mata bergantung pada warna dan corak Pemimpin Daerah yang sedang berkuasa di suatu daerah.

3. Basis ide bahwa PKL adalah kekuatan ekonomi rakyat

Sebagai sebuah kekuatan ekonomi rakyat, sektor informal (PKL termasuk di dalamnya) telah teruji mampu menjadi sabuk pengaman (seat-belt) pada krisis ekonomi yang terjadi di negara ini. Kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu, tak sedikit telah merontokkan bangunan perekonomian sektor formal. Solusinya, berbondong- bondonglah orang memasuki sektor informal. Sektor informal tidak hanya eksis lantaran ada pelakunya. Eksistensi sektor informal juga dipengaruhi oleh adanya “pasar” atau pembeli.

Dalam konteks Pedagang Kaki Lima

(34)

misalnya, berapa banyak “pasar”

yang telah di-create oleh PKL. Mereka membeli makanan, jajanan, atau barang dan jasa lainnya dari PKL dengan harga yang relatif murah.

Maka, lihatlah realitas PKL makanan di pinggir-pinggir jalan yang banyak dihampiri oleh orang-orang dari strata ekonomi menengah ke bawah yang merasa sangat terbantu dengan hadirnya para PKL tersebut.

Dalam skala yang lebih besar, PKL ternyata mampu menjadi sebuah kekuatan ekonomi rakyat yang mampu menopang perekonomian suatu daerah karena perputaran rupiah yang dihasilkan ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Kekuatan ini tak dapat diremehkan begitu saja.

Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta adalah contoh kecil dari betapa besar potensi ekonomi yang terkandung pada perdagangan tingkat PKL ini.

4. Penataan kota yang win-win solution bagi PKL

Ada suatu prinsip yang berlaku bagi PKL di mana pun dan kapan pun, sebuah lokasi adalah peluang untuk berusaha.16 Kegiatannya seringkali belum terwadahi, akibatnya ruang publik menjadi suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi PKL. Ketika pemerintah berupaya mengembalikan ruang publik tersebut ke fungsi semula, pada umumnya PKL akan menolak ketika lapak-lapaknya ditertibkan. Di sinilah titik kritis persinggungan antara sudut pandang PKL dengan sudut pandang Pemerintah. Penataan ruang di kota hendaknya memperhatikan kepentingan semua elemen dalam masyarakat. Jika masyarakat tidak menginginkan macet disebabkan oleh tumpahnya PKL di jalan raya, maka harus dilakukan penataan yang tidak merugikan PKL dan masyarakat. PKL tetap dapat memiliki ruang berusaha sebagai penghidupan untuk diri dan keluarganya, di sisi lain ketertiban umum dapat tetap terjaga.

16 Dayat Limbong, Penataan Usaha PK-5;

Ketertiban vs Kelangsungan Hidup, op.cit, 217.

17

17

(35)

5. Pendekatan Aspiratif dan Persuatif Karena pemerintahan adalah mandat dari rakyatnya, maka ia wajib melindungi dan memenuhi hak- hak rakyat yang telah memberikan mandat tersebut. Telah banyak kita mendapatkan pelajaran dari seluruh dunia bahwa corak kekuasaan tak lepas dari karakter siapa yang berkuasa tersebut. Pendekatan yang aspiratif dan persuatif adalah pilihan paling logis yang dapat diambil oleh sebuah kekuasaan. Bahkan, dalam perspektif Hak Asasi Manusia, ini bukanlah lagi sebuah “pilihan” melainkan sebuah

“kewajiban” untuk dapat sebesar- besarnya berkhidmad bagi kepentingan rakyat.

Perlakuan represi pemerintah, selain telah dan akan banyak menimbulkan banyak korban, juga nyata-nyata telah melanggar hak asasi manusia.

Khususnya hak sipil dan politik. Dan semakin banyak menggaungkan aspirasi rakyat, maka makin besar pula “legitimasi” pemerintahan itu. Tentunya, pemerintahan yang

legitimate tersebut akan berbuah stabilitas ekonomi dan politik di daerah tersebut.

Terkait dengan Pedagang Kaki Lima, dengan sebanyak mungkin melibatkan mereka dalam penyusunan peraturan dan kebijakan tentang PKL, akan membuat hak-hak mereka terakomodasi. Selain itu, baik pula jika digunakan pendekatan nguwongke- uwong (memanusiakan manusia) sebagai penghargaan kepada sesama manusia hingga tercipta saling pengertian yang baik dalam membuat satu pengaturan yang saling menguntungkan dan memberikan hak-hak warga negara seoptimal mungkin. Atau untuk dapat belajar ke Kota Surakarta dan Yogyakarta, dikenal filosofi “dipangku mati” (artinya: orang jika diperlakukan dengan baik-baik dan dihormati, feed back-nya akan baik pula). Perlakuan dan pendekatan yang baik dan manusiawi akan menciptakan harmoni di setiap lini. Hal ini adalah bagian dari implementasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara.

(36)

Biodata Penulis Yeni Rosdianti

Perempuan kelahiran Jakarta, 15 Maret 1975 ini menyelesaikan pendidikan Studi S1 di Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UI tahun 1999) dan Jurusan S2 Hukum Tata Negara Universitas Indonesia tahun 2008.

Bekerja sebagai peneliti pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sejak tahun 2004. Pernah membantu kerja-kerja penelitian lapangan di beberapa lembaga, seperti: Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (PSJ-UI), Laboratorium Sosiologi UI, Laboratorium Ilmu Politik UI, Laboratorium Ilmu Komunikasi UI, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Almanak Politik Indonesia (API), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)-USAID, dan beberapa lembaga lainnya.

Gambar

Grafik 1.1: Penduduk 15 Tahun ke Atas yang  Bekerja pada Sektor Formal dan Informal di  Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Selain mempunyai hak asasi, setiap manusia juga mempunyai kewajiban asasi. Kewajiban asasi manusia adalah menghormati, menjamin dan melindungi hak asasi manusia lainnya. Hak

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Penelitian ini dilakukan di kelurahan Sisir, kecamatan Batu, kota Batu, tepatnya di Pasar Sore Kota Batu untuk melihat moral ekonomi pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Sore Kota Batu,

Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan

c. Mewujudkan PKL yang memahami dan melaksanakan peraturan yang berlaku. Mewujudkan perubahan perilaku PKL yang paham dan peduli lingkungannya. Bagaimana usaha PKL

Jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

Keberadaan PKL menjadi hal yang paling penting bagi pemerintah untuk segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran terhadap keberadaan PKL menuntut

Hasil dari penelitian deskriptif kualitatif ini menunjukkan upaya pedagang kaki lima di Kelurahan VIM Kota Jayapura untuk tetap mempertahankan usahanya pada masa pandemi Covid-19