• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA (1)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) (Studi di Kota Bandar Lampung)

Oleh:

Andreas Tri Wibowo (0816041015) Dian Kumala Sari (0816041025) Andrika Ferryawan (0856041005) Merlianawatii (0856041023) Nurul Qhalifah (0856041029) Rendi Haidir (0856041035)

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang ……… 1

b. Rumusan masalah ……… 4

c. Tujuan ...………. ….. 4

d. Kegunaan Penelitian ……….. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA a. Tinjauan tentang Kebijakan Publik ……… 6

III. METODE PENELITIAN a. Tipe Penelitian ………. 12

b. Focus penelitian……… 12

c. Lokasi Penelitian ………. 13

d. Jenis Data ………. 14

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN a. Gambaran umum Pasar Bambu Kuning ……….. 16

b. Gambaran umum Dinas dan Instansi yang berhubungan dengan penataan PKL ………. 16

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 19

VI. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan ………. 34

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan

bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.

Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para pedagang kaki lima.

Pembangunan adalah suatu proses perubahan tanpa henti yang merupakan kemampuab dan perbaikan kea rah tujuan yang ingin dicapai. Pembangunan juga merupakan salah satu cirri khas pada Negara yang berkembang. Pembangunan yang kini sedang berkembang dan terus menerus dilaksanakan di berbagai sector, kesemuanya ini telah menjadi program pemerintah dalam menuju pembangunan nasional, sebagaimana hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia yang seutuhnya, yang diartikan untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa strategi pembangunan ditekankan kepada perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia agar lebih merata dan sekaligus ditunjukkan pula untuk mencapai tingkat pertumbuhan sosial ekonomi yang memadai. Salah satu sector yang penting dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah pembangunan di sector informal.

Sector informal merupakan pekerjaan alternative yang dipilih oleh migrant di perkotaan demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pada umumnya merupakan jenis pekerjaan yang padat karya. Dalam artian bahwa tidak diperlukan pendidikan yang tinggi, tidak diperlukan keterlampilan khusus dan modal yang besar, karena tidak adanya kepastian hasil yang diperoleh dan kepastian keberlangsungan yang diperoleh, serta pendapatan yang diperoleh relative kecil,

Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus besikap arif dalam menentukan kebijakan.

(4)

berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar barang dagangannya dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian jika ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima sehingga timbullah julukan pedagang kaki lima. Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai PKL sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5feet ) dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang memaknai PKL dengan orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian.

Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya tidak merugikan konsumen.

Sebenarnya sudah sejak lama pihak pemerintah berusaha menertibkan PKL, tetapi persoalan yang ada belum juga terselesaikan. Para PKL tetap ngotot untuk berjualan di temapt-tempat keramaian. Walaupun sudah ada peraturan dan kesepakatan antara pihak peamerintah dan para PKL, akan tetapi hal tersebut kurang diindahkan sehingga jumlah PKL terus meningkat. Upaya tegas dan sejumlah kebijakan baru perlu diberlakukan agar penertiban PKL dapat diwujudkan.

Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama di kota-kota besar menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah kota. Pedagang kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota. Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh PKL adalah seringnya PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil maupun kerugian non materil.

Keberadaan PKL menjadi hal yang paling penting bagi pemerintah untuk segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran terhadap keberadaan PKL menuntut pemerintah untuk segera mencarikan tempat atau alternatif lokasi bagi para PKL untuk menjalankan usahanya. Jika pemerintah tidak mampu untuk mencarikan solusi tentang keberadaan PKL tersebut, artinya pemerintah secara tidak langsung menelantarkan masyarakatnya serta mematikan usaha dari masyarakat untuk bagaimana mempertahankan hidupnya. Pemerintah harus segera menyelamatkan keberadaan PKL tersebut.

(5)

menyelamatkan keberadaan dari PKL tersebut. Permasalahan PKL menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Namun, mengingat bahwa kontribusi PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu.

Implementasi kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi, relokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah.

Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain:

1) Pedagang kaki lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios

2) Kios-kios tersebut disediakan secara gratis 3) Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi

4) Bagi pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL. Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini.

(6)

1) Dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan.

Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikuts ertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerinyah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi serta Dinas Pengelolaan pasar

2) Adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang masalah antara pemerintah dengan PKL tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka yang manjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan dan menganalisisi Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini secara komprehensif berfungsi sebagai filter dalam memformulasikan produk keilmuan baik dalam tataran teoritis, akademis, maupun praktis. Oleh karena itu kegunaan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan Ilmu administrasi Negara khususnya dalam studi implementasi kebijakan publik.

(7)

Administrasi Negara dalam melakukan penelitian dengan tema atau masalah yang serupa.

3. Sasaran Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau referensi tambahan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya melakukan pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan penataan pedagang kaki lima.

(8)

A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik

Terdapat banyak literature ilmiah yang telah menyajikan definisi tentang kebijakan public (public plicy). Masing-masing ahli memberikan penekanan yang berbeda-beda dalam mendefinisikan makna kebijakan public tersebut. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pada penggunaan pendekatan dan model kebijakan public itu sendiri sehingga akhirnya menemukan juga bagaimana kebijakan publik tersebut didefinisikan.

Namun demikian, beberapa ada pula yang memiliki kesamaan pendapat dengan Thomas R. dye (1978). Dye mendefinisikan kebijakan public sebagai whatever government choose to do or not to do (apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijaksanaan Negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijaksanaan Negara. Sebab hal tersebut akan mempunyai pengaruh atau dampak yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah (Thoha, 1997:60).

Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah, yang menurut Edward III dan Sharkansky dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Kebijaksanaa Negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (Islamy, 2001:19).

Menurut David Easton dalam Nugroho (2009:47) mendefinisikan kebijakan sebagai akibat aktifitas pemerintah (the impact of government activity). Menurut Carl I. Friedrich dalam Nugroho (2009:48) mendefinisikannya sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan public adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya dengan menggunakan instrumen tertentu.

Sifat umum Kebijakan public:

 Mencakup wawasan yang luas

(9)

 Mengandung resiko yang besar  Melibatkan banyak pihak

Jadi, kebijakan public disebut pula serangkaian keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan oleh institusi public (instansi atau badan-badan pemerintah) bersama-sama dengan aktor-aktor politik dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan public demi kepentingan seluruh mayarakat.

Kebijakan otonomi daerah menyebabkan isu-isu kebijakan juga berkembang pada level local, seperti:

 Persoalan penertiban PKL  Penyediaan air bersih  Penambangan liar  Retribusi parkir

 Penggunaan lahan/tata ruang wilayah  Dan lain-lain.

Kebijakan public dipandang sebagai fenomena yang kompleks, karena:  Terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat

 umlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu dan organisasi  Sering menjadi konsekuensi dari kebijakan sebelumnya dan

 Seringkali dihubung-hubungkan erat dengan keputusan-keputusan lainnya.

Ciri-ciri kebijakan public, yaitu

 Setiap kebijakan public pasti ada tujuannya

 Suatu kebijakan public tidak berdiri sendiri/terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakkan hukum

 Kebijakan public merupakan apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau akan dilakukan pemerintah

 Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya.

Unsur-unsur dalam kebijakan public, yaitu  Tujuan

 Masalah  Tuntutan  Dampak  Instrumen.

Sarana (instrumen) kebijakan meliputi: - Kekuasaan

- Insentif

(10)

Berbagai isu penting menyangkut kebijakan public: 1. Siapa stakeholders yang terlibat

2. Bagaimana proses perumusan kebijakan dilakukan 3. Bagaimana implementasi dilakukan

4. Apa hasil-hasil kebijakan

5. Apakah hasil-hasil kebijakan mampu mencapai tujuan kebijakan, termasuk di dalamnya memuaskan nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Secara umum, ada 3 penyebab kegagalan kebijakan (Policy Failure):  Bad Policy: sejak awal kebijakan itu jelek.

- Dirumuskan secara sembrono

- Tidak didukung oleh informasi yang memadai

- Alasan yang keliru atau asumsi-asumsi dan harapan-harapan yang tidak realistis

Bad Execution: kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara efektif

Bad Luck: kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi efektivitas implementasi sehingga tidak seorangpun perlu disalahkan.

Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses imlementasi:  Kejelasan dan konsistensi tujuan

 Adanya teori kausal yang memadai ketepatan alokasi sumber daya  Keterpaduan hierarki dalam dan antar lembaga pelaksana

 Aturan-aturan keputusan  Rekruitmen pejabat pelaksana  Akses formal pihak luar.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Implementasi kebijakan Publik:  Perilaku dari lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan

yang bertanggungjawab atas suatu program berikut pelaksanaanya terhadap kelompok-kelompok sasaran

 Berbagai jaringan kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku berbagai pihak yang terlibat dalam program

 Dampak (yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan) terhadap program tersebut.

Menurut George C. Edward III, implementasi meliputi: 1) Perencanaan

(11)

4) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai 5) Negosiasi dan lainnya.

Untuk mendefinisikan tentang masalah kebijakan kita harus merujuk pada definisi dari kebijakan publik itu sendiri seperti yang telah dijelaskan di atas. Masalah kebijakan merupakan sebuah kesenjangan dari implementasi sebuah kebijakan di dalam masyarakat. Terjadinya ketidakserasian antara isi dari kebijakan terhadap apa yang terjadi di lapangan merupakan masalah dari kebijakan tersebut.

Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya tidak merugikan konsumen.

Masalah kemacetan, sejatinya bukanlah permasalahan sektoral lagi, melainkan menjadi bagian dari beragam permasalahan kota yang saling terkait satu dengan lainnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya kemacetan di Bandar Lampung.

Beberapa faktor penyebab kemacetan di Bandar Lampung, di antaranya pertama daya tampung ruas jalan yang overload dengan jumlah kendaraan yang lewat. Beberapa jalan di Bandar Lampung sebenarnya tidak mampu lagi menampung aktivitas kendaraan pada jam-jam puncak.

Selain daya tampung ruas jalan, beberapa traffic light yang sudah tidak akurat lagi (kurang berfungsi) turut menjadi penyebab meningkatnya angka kemacetan di Bandar Lampung. Faktor lainnya yang menyumbang angka kemacetan terbesar yaitu pedagang kaki lima (PKL). Tak bisa dielakkan aktivitas PKL, khususnya yang ada di sekitar Jalan Kartini dan Raden Intan (jalan-jalan di pusat kota) yang menggunakan badan jalan ikut menyumbang kemacetan. Kemacetan terjadi di Jalan Kartini, Jalan Bukit Tinggi, Jalan Batu Sangkar, dan Jalan Imam Bonjol. Keempat jalan itu dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), pejalan kaki, becak, dan sepeda motor. Kemacetan tersebut disebabkan banyaknya kendaraan pribadi yang menuju ke pasar tradisional paling populer di Bandar Lampung tersebut secara bersamaan.

(12)

melakukan aktivitas usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup yang sejahtera, baik dari segi sosial maupun ekonomi.

Tata ruang kota yang menjadi acuan untuk pembangunan sistem tranportasi perkotaan jarang dijadikan sebagai bahan rujukan bersama. Penyusunan rencana kota cenderung tak banyak melibatkan masyarakat atau kurang aspiratif sehingga kota kehilangan visi pengembangannya. Kota Bandar Lampung dibangun cenderung bagaimana kepentingan kepala daerahnya, baik Wali kotanya maupun gubernurnya. Akibatnya, kota sangat rentan terhadap tekanan kepentingan modal (kapital). Faktor lain yang harus dibenahi adalah lemahnya kesiapan kelembagaan dan tumpang tindihnya kepentingan masing-masing instansi. Selain itu, kepemimpinan dalam pengelolaan sistem transportasi perkotaan menajdi sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Biaya pembangunan transportasi perkotaan yang di korupsi sudah “jamak” dilakukan di negeri ini sehingga kualitas dan kuantitasnya sangat jauh dari yang diharapkan.

Kata kunci untuk membangun sistem transportasi perkotaan yang baik sehingga tidak menimbulkan masalah kemacetan adalah apakah pembangunannya akan membantu memecahkan persoalan sosial ekonomi masyarakat hingga masalah hak asasi manusianya, atau hanya menambah beban baru dengan cara meminggirkan mereka. Harapan kita bersama semoga kelemahan-kelamahan tersebut tidak menjadi celah untuk memunculkan pola tindak pragmatis guna kepentingan sekelompok orang atau atas nama kepentingan umum.

Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami oleh pemerintah di kota-kota besar. Sejak terjadinya krisis ekonomi, pembangunan perekonomian daerah dan pengembangan wilayah sebagai upaya peningkatan pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan antar daerah mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam, ketersediaan modal, kemitraan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.

Seiring dengan perkembangan Daerah Perkotaan dan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kurangnya ketersediaan lapangan kerja dan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak, sehingga banyak masyarakat bawah mengambil alternatif untuk berprofesi sebagai PKL. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya usaha–usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur.

(13)

negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat dan berkumpul. Jadi yang terkena dampak dari adanya PKL yaitu para masyarakat pengguna jalan dan mengurangi keindahan tatanan jalan perkotaan maupun di desa.

Menurut Wirisardjono bahwa PKL adalah kegiatan sector marginal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimanya.

b. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikatakan”liar”)

c. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitung harian

d. Pendapatan mereka rendah dan tak menentu

e. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan keterkaitan dengan usaha-usaha yang lain

f. Umumnya dilakukan untuk dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Selain itu menurut Suherman bahwa ciri-ciri PKL sebagai berikut: a. Kegiatan usaha tidak terorganisir

b. Tidak memiliki Surat Izin Usaha c. Tidak teratur dalam kegiatan usaha.

Pemkot sendiri mengaku telah melakukan pendataan, penataan, pemberian modal bergulir hingga pelatihan kerja melalui Dinas Koperasi dan Sektor Informal.

Melihat kenyataan di lapangan, upaya Pemkot dalam penataan PKL ternyata diangggap beberapa kalangan masih terkesan setengah-setengah. Akibatnya, upaya penertiban seringkali berujung pada bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun justru melakukan unjuk rasa menghujat kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk masyarakat miskin.

(14)

A. Tipe penelitian

Dalam penelitian ini tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif yaitu tipe penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat actual dengan menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, yang kemudian diiringi dengan interpretasi rasional. ( Hadari Nawawi; 1983 ).

Menurut M. Nazir (1884), tipe penelitian deskriptif:

Tipe penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari suatu fenomena.

Penelitian deskriptif secara umum bertujuan untuk:

a. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada

b. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku

c. Membuat perbandingan atau evaluasi

d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

B. Focus Penelitian

Pentingnya fakus penelitian dalam penelitian kualitatif ialah untuk membatasi studi dan membatasi bidang inquery. Tanpa adanya proses penelitian maka peneliti akan terjebak pada melimpahnya volume data yang diperolehnya di lapangan. Karena itu, focus penelitian memiliki peranan penting dalam memandu dan mengarahkan jalannya penelitian. Melalui focus penelitian ini suatu informasi di lapangan dapat dipilah-pilah sesuai konteks permasalahan. Sehingga rumusan masalah dan focus penelitian saling terkai, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan penentuan focus penelitian meskipun dapat berubah dan berkurang sesuai dengan data yang ditentukan di lapangan.

Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yakni Implementasi Kebijakan Penataan PKL di pasar bambu Kuning Kota Bandar Lampung maka focus penelitian dalam penelitian ini adalah:

(15)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan implementasi kebijakan: dilihat dari kontens (isi) dan konteks (lingkungan) imlementasi kebijakan penataan PKL yakni:

a. Isi dari kebijakan penataan PKL, dilihat dari: 1) Pihak yang berkepentingan

2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh dari kebijakan penataan PKL 3) Jangkauan perubahan yang diharapkan

4) Pelaksana-pelaksana kebijakan penataan PKL 5) Sumber-sumber yang dapat disediakan

6) Letak pengambilan keputusan

b. Konteks (lingkungan) implementasi kebijakan penataan PKL, dilihat dari:

1) Kekuasaan dan strategi-strategi para aktor yang terlibat 2) Karakteristik lembaga (rezim)

3) Kepatuhan dan daya tanggap

C. Lokasi Penelitian

Menurut Moleong (2004) cara terbaik dalam penentuan lokasi adalah dengan mempertimbangkan teori substantive dan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Sementara itu keterbatasan geografi dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga juga perllu dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.

Penelitian ini diadakan di pasar Bambu Kuning Kota Bandar lampung, sedangkan situs dalam penelitian ini adalah lokasi di sekitar pasar Bambu kuning yang terdapat aktivitas PKL.

Adapun alasan yang melatarbelakangi peneliti memilih lokasi ini karena: 1. Pasar Bambu Kuning merupakan lokasi yang menjadi tahap awal

dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima pemerintah kota Bandar lampung periode 2005-2010, sehingga dari pelaksanaan penataan PKL di pasar Bambu Kuning dapat dikaji sebagai bahan informasi dan saran pada pemerintah dalam memperbaiki pelaksanaan penataan PKL pada lokasi-lokasi lainnya. 2. Pasar Bambu Kuning merupakan lokasi yang memilki kepadatan PKL

cukup besar bila dibandingkan dengan lokasi-lokasi lainnya.

3. Penataan pasar Bambu Kuning ini telah beberapa kali diupayakan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, namun penataan yang dijalankan selalu gagal dan belum efektif dilaksanakan.

Selain di pasar Bambu Kuning, untuk memperoleh data-data secara lengkap mengenai kebijakan penataan PKL, peneliti juga melakukan penelusuran data ke Dinas dan instansi terkait yang memiliki kewenangan dalam penataan PKL. Untuk mempermudah proses pengambilan data tersebut, peneliti hanya melakukan penelusuran di Dinas Pasar dan Dinas Tata Kota dalam pelaksanaan kebijakan penataan PKL

(16)

D. Jenis Data

Jenis data pada pelaksanaan penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu sebagai berikut

1. Data sekunder

Merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang atau penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data yang tersedia. Pada penelitian ini data sekunder berupa hasil riset peneliti sebelumnya yang mengangkat masalah tentang PKL dan implementasi kebijakan, hasil riset mengenai dampak PKL tethadap kemacetan lalu lintas, berita mengenai situasi terbaru pelaksanaan penataan PKL di Kota Bandar Lampung (surat kabar), berita dari situs internet, dan literature-literature lainnya yang diperoleh dari kepustakaan mengenai ilmu kebijakan dan sector informal.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang kengkap, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya, penulis mempergunakan pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi Pustaka

Dalam penelitian ini pengumpulan data yang digunakan yaitu metode studi kepustakaan. Berbagai sumber bacaan, terutama artikel dari jurnal-jurnal pada beberapa situs internet, menjadi bahan rujukan penulis dalam penulisan makalah ini. Penulis juga mengumpulkan data dari sumber-sumber yang telah ada baik itu dari laporan-laporan peneliti terlebih dahulu serta menemukan berbagai referensi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah PKL.

3. Analisis Data

Setelah mendapatkan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka langkah selanjutnya mengolah data yang terkumpul dengan menganalisis data, mendeskripsikan data, serta mengambil kesimpulann susunn kata dan kalimat sebagai ja. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan menggunakan teknis analisis data kualitatif, karena data yang diperoleh merupakan keterangan-keterangan.

(17)

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data. Seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.

Aktivitas dalam data kualitatif, yaitu:

1. Reduksi data (Reduction Data), yaitu data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Dalam penelitian ini, peneliti akan memilih dan menyeleksi data sesuai dengan aspek-aspek yang berkaitan dengan kebijakan penataan PKL di pasar Bambu Kuning, sebagaimana telah dijabarkan pada definisi operasional, yakni mengenai konteks pelaksanaan kebijakan PKL.

2. Penyajian Data (data display), untuk memudahkan peneliti melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Dalam penelitian ini peneliti lebih banyak menyajikan data dalam bentuk teks naratif serta uraian-uraian singkat.

3. Penarikan kesimpulan (concluting drawing) yaitu melakukan verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secar terus menerus maka akan di peroleh kesimpulan yang bersifat “grounded”, dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

(18)

1. Sejarah singkat pasar Bambu Kuning

Pasar Bambu Kuning merupakan salah satu pasar yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Kota Bandar Lampung. Pada awalnya, sekitar tahun 1957 lokasi pasar ini hanyalah sebuah pasar tempel tradisional, yang tidak lebih dar pasar temple rakyat yang ada pada masa sekarang ini. Pada tahun 1960-an setelah Lampung resmi menjadi sebuah Provinsi dan memisahkan diri dari Sumatera Selatan, pasar ini mulai dibangun secara permanen. Dimana, antara tahun 1962-1963 di bangunlah sebuah gedung satu lantai yang digunakan untuk melakukan transaksi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kondisi pasar Bambu Kuning yang semakin padat oleh para pedagang sebagai akibat dari adanya peningkatan jumlah penduduk yang menjalankan aktivitas di sector perdagangan, menyebabkan areal pasar ini tidak lagi mampu menampung pedagang (over capacity).

2. Letak Pasar Bambu Kuning

Unit pasar Bambu Kuning terletak pada wilayah Tanjung Karang Pusat yang merupakan pusat perbelanjaan dan perdagangan retail Kota Bandar Lampung. Letaknya yang berada di tengah-tengah kota, menyebabkan lokasi pasar ini sangat strategis bagi usaha bisnis dan perdagangan. Secara geografis, pasar Bambu Kuning berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Imam Bonjol b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bukit Tinggi c. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Batu Sangkar d. Sebalah Timur berbatasan dengan gedung milik PT. Telkom

B. Gambaran umum Dinas dan instansi yang berhubungan dengan penataan PKL

Cukup banyak Dinas dan Instansi yang terlibat dalam pelaksanaan penataan PKL. Dinas dan instansi yang terlibat tersebut yaitu Dinas pasar, Dinas Tata Kota, dan Satuan Polisi Pamong Praja yang terkait dengan penertiban pedagang kaki lima.

1. Dinas Pasar

Dinas Pasar Kota Bandar Lampung sebagai unsur pelaksana Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandar Lampung dan Keputusan Walikota Tentang Susunan Tata Kerja Dinas Pasar Kota Bandar Lampung no. 21 Tahun 2001.

(19)

Dinas pasar memilki tugas pokok dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintah Daerah Kota di bidang pengelolaan pasar, pembangunan pasar percontohan kelurahan penyediaan tempat usaha bagi pedagang informal (PKL) berdasarkan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan yang ditetapkan oleh walikota.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Dinas Pasar mempunyai fungsi dalam:

1) Perumusan pedoman petunjuk teknis serta kebijakan teknis di bidang pengelolaan pasar

2) Penyusunan perencanaan dan program kerja Dinas 3) Pengelolaan pendapatan

Dinas Tata Kota Bandar Lampung merupakan salah satu bagian dari organisasi perangkat daerah kota Bandar Lampung. Organisasi Dinas Tata Kota dibentuk melalui Perda Kota No. 12 Tahun 2000 Tentang Pembentukan organisasi Dinas Daerah Kota Bandar Lampung.

Proses penataan struktur organisasi Dinas tata Kota Bandar Lampung sejak diterapkannya otonomi yang luas (sejak ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Mengingat Kota Bandar Lampung adalah kota lintasan sehingga memiliki dampak terhadap perekonomian local. Selain itu, kota ini juga merupakan Ibu Kota Provinsi sehingga menjadi pusat kegiatan Pemerintahan soaial dan politik, ekonomi serta kebudayaan. Dengan demikian perlu di lakukan penataaninfrastruktur perkotaan, yang secara fungsional dikelola oleh Dinas Tata Kota Bandar Lampung. Proses penataan struktur organisasi Dinas Tata kota Bandar

(20)

perkotaan, berupa penertiban Surat Izin Tempat Usaha (SITU), izin bangunan (HO) dan perizinan perkotaan lainnya dalam rangka tertib tata ruang kota, tertib bangunan, tertib lalu lintas kota dan tertib administrasi. Perizinan perkotaan yang berwawasan lingkungan, berestetika perkotaan dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung merupakan salah satu perangkat daerah Kota Bandar Lampung yang pembentukannya berdasarkan Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomer 68 tahun 2001, tentang susunan organisasi dan tata kerja Kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.

a. Tugas Pokok dan Fungsi Satpol PP

Polisi Pamong praja memiliki tugas pokok membantu Walikota dalam menyelenggarakan pembinaan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah, Keputusan Walikota dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dan mengikat.

Untuk menyelenggarakan tugasnya tersebut, maka Satpol-pp mempunyai fungsi:

1. Mengumpulkan, mendokumentasikan data ketentraman dan ketertiban umum termasuk kejahatan dan tindak kriminal. 2. Memberikan izin dan rekomendasi keramaian umum.

3. Melakukan kegiatan umtuk menciptakan situasi dan kondisi dalam rangka terwujudnya stabilitas kota.

4. Mengawasi dan mendata tentang perkembangan harga Sembilan bahan pokok dan barang strategis lainnya.

5. Kordinator operasi ketertiban umum dan pengamanan kantor walikota serta kegiatannya.

6. Pelaksanaan dan bimbingan serta penertiban terhadap masyarakat yang melakukan tindakan yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.

7. Pelaksanaan pelatihan keterampilan anggota Satpol-pp 8. Pelaksanaan urusan tata usaha kantor.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

(21)

Lampung pada tahun 2006, dengan menggunakan model implementasi kebijakan dari Grindle sebagai pendekatan untuk memahami masalah-masalah yang berkembang pada saat pelaksanaan penataan PKL tersebut. Model Implementasi kebijakan dari Grindle lebih menekankan pada makna implementasi kebijakan sebagai proses administrasi dan politik, yaitu lebih memperhitungkan realita-realita kekuasaan atas kemampuan kelompok yang dominan dan berpengaruh. Implementasi kebijakan menurut Grindle bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, implementasi kebijakan juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa memperoleh apa dari suatu kebijakan. Keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan sangat ditentukan dari derajat implementability dari suatu kebijakan (yaitu kemampuan kebijakan tersebut untuk diimplementasikan).

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Implementasi Kebijakan Public yaitu

a. Perilaku dari lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggungjawab atas suatu program berikut pelaksanaannya terhadap kelompok-kelompok sasaran.

b. Berbagai jaringan kekuatan politik, sosial, dan ekonomi yang langsung berpengaruh terhadap perilaku berbagai pihak yang terlibat dalam program

c. Dampak (yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan) terhadap program berikut.

Jadi, Implementasi Kebijakan adalah pelaksanaan dasar, misalnya dalam bentuk undang-undang (articulation), namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Implementasi menjadi penting karena kebijakan public itu pada dasarnya dan seringkali dirumuskan/dinyatakan secara garis besar saja yang beris tujuan/sasaran dan saran pencapaiannya. Kebijakan tanpa implementasi, hanyalah berupa tumpukan berkas dan arsip yang tidak berguna.

Dengan menggunakan implementasi kebijakan dari Grindle, peneliti akan mencoba melihat pola kebijakan yang diaplikasikan PemKot Bandar Lampung dalam melakukan penataan PKL. Secara lebih mendalam model implementasi kebijakan ini juga akan sangat membantu untuk melihat apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan sudah cukup mendukung pada tataran pelaksanaan kebijakan penataan PKL di pasar Bambu Kuning kota Bandar Lampung.

(22)

1. Proses Pelaksanaan pentaan PKL di pasar Bambu Kuning Kota Bandar lampung pada tahun 2006

Pelaksanaan penataan PKL pada masa pemerintahan kota Bandar Lampung periode 2005-2010 dilakukan dengan merelokasi ( memindahkan) tempat usaha PKL dan membangun tempat usaha bagi PKL pada lokasi yang layak (dalam arti tidak melanggar peraturan yang berlaku). Pasar Bambu Kuning merupakan salah satu lokasi yang menjadi target sasaran dari kebijakan penataan PKL pada tahun 2006. Pelaksanaan penataan PKL di pasar ini pada dasarnya telah dilakukan sejak bulan Agustus tahun 2005 melanjutkan upaya penataan PKL pada masa pemerintahan sebelumnya (PJS Helmi Machmud) yang juga berencana untuk memindahkan PKL di sekitar pasar Bambu Kuning ke lantai 2 bangunan Bambu Kuning Plaza. Awal dari pelaksanaan penataan PKL pada masa pemerintahan periode 2005-2010 dimulai pada bulan Agustus 2005 dengan pembangunan tempat usaha bagi PKL oleh pihak pengembang yakni PT. Senjaya Rejeki Mas yang meliputi merenovasi lantai 2 dan penyediaan lapak-lapak bagi para PKL di pintu masuk utara, selatan dan PKL yang berada dibawah tangga poros dalam escalator.

Setelah tempat usah tersedia, pemerintah yang dalam hal ini adalah unit pelaksana teknis Dinas pasar (UPTD) II pada tanggal 17 November 2005 mensosialisasikan rencana pemerintah yang akan menata PKL ke lantai 2 dan lantai 3 Bambu Kuning Plaza. Rencana pemerintah dalam penataan PKL tersebut ternyata tidak ditanggapi positif oleh PKL, sehingga meskipun pemerintah telah mensosialisasikan rencana penataan PKL dan berkali-kali memberikan tenggat waktu kepada para PKL untuk pindah namun PKL masih tetap bertahan di lokasi awal dimana mereka berjualan.

Adanya sikap resisten PKL tersebut kemudian disikapi oleh PemKot Bandar Lampung dengan mengeluarkan surat edaran dari Walikota No.188.42./1150/21/2005 yang berisi pemberitahuan mengenai batas waktu (deadline) bagi para PKL yang berada di pintu masuk utara, selatan dan di bawah tangga escalator untuk pindh ke lantai 2 Bambu Kuning Plaza. akan tetapi batas waktu tersebu tetap tidak diindahkan oleh para PKL sehingga langkah penertiban terpaksa dilakukan oleh pemerintah pada tanggal 16 Desember 2005.

Hasil dari penataan PKl pasar Bambu Kuning pada akhir Desember 2005 tersebut pada akhirnya menyisahkan permasalahan. Banyak para PKL yang tetap bertahan di lokasi awal, dan bahkan para PKL yang telah direlokasi ke lantai 2 kembali lagi berdagang pada lokasi semula. Ketidakberhasilan pelaksanaan penataan PKL pada tahun 2005 kemudian kembali disikapi oleh pemkot Bandar Lampung pada tahun 2006 dengan membentuk tim operasional penataan PKL yang bertugas untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan penataan PKL.

(23)

Bukit Tinggi) dan PKL yang mengitari bangunan Bambu Kuning Plaza (seperti area parkir barat dan timur). Untuk PKL yang berada di lokasi-lokasi tersebut telah disediakan tempat baru yakni di lantai 3 dan lahan eks penjara (lahan baru).

Adapun lokasi-lokasi yang menjadi sasaran penataan PKL pasar Bambu Kuning pada tahun 2006 dapat dilihat secara jelas pada tabel dibawah ini.

Objek penataan PKL menempati lantai 3 Bambu Kuning Plaza Bandar Lampung.

Sumber UPTD II Dinas Pasar mengenai objek penataan PKL menempati lantai 3 Bambu Kuning Plaza Bandar Lampung.

Dalam proses pelaksanan penataan PKL, kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain kegiatan pensosialisasian informasi mengenai rencana relokasi, membangun tempat usaha bagi PKL dan menertibkannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya oleh tim operasional penataan PKL.

1. Pemberitahuan (sosialisasi) mengenai rencana relokasi

(24)

“sebelum melakukan relokasi, pemerintah terlebih dahulu melakukan upaya persuasive dengan cara mengadakan dialog-dialog dan pertemuan dengan para PKL dan dikemukakan lokasi dan tempat-tempat yang telah pemerintah tetapkan. Bila pertemuan tidak memberikan suatu kesepakatan, maka kami baru mengeluarkan surat edaran dari walikota Bandar Lampung, yang isinya meminta para PKL untuk segera pindah.”

Kepala Seksi Kesamaptaan dan trantib Kantor Kesatuan Satpol PP juga mengatakan hal yang sama:

“sebelum penataan PKL kami telah berupaya melakukan sosialisasi baik secara lisan dan tertulis, secara lisan dan secara tertulis melalui surat edaran sebanyak 3x pertama dari kasat Satpol PP, dari Sekda dan ketiga dari Walikota.”

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara tertulis melaui surat edaran dan secara lisan melalui pertemuan antara pemerintah dan PKL.

2. Pembangunan tempat usaha PKL

Pelaksanaan pembangunan tempat usaha dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan lokasi pengganti bagi PKL yang akan ditata. Adanya suatu kesadaran bahwa PKL tidak dapat diatasi dengan penggusuran merupakan alasan yang melatarbelakangi pemkot Bandar Lampung untuk menata PKL dan membangun tempat usaha di lokasi lain yang sesuai. Hal ini sebagaimana diungkapkan olh kepala seksi (Kasi) pembinaan petugas Keamanan dan ketertiban pasar:

“yang perlu ditekankan adalah bahwa kebijakan penataan PKL bukanlah menggusur, tetapi menata PKL pada lokasi yang sesuai, jadi berbeda dengan penggusuran seperti di daerah-daerah lainnya. Kami sadar betul kalau PKL ditertibkan dengan cara kekerasan malah tidak akan efektif, karena dari pengalaman-pengalaman sebelumnya juga bisa dilihat, kalau PKL hanya ditertibkan malah akan pindah ke lokasi lainnya lagi. Kami dari Pemerintah juga paham bahwa PKL sangat butuh lokasi untuk berjualan, karena itu kami coba mencarikan lokasi lain yang lebih representative supaya PKL dapat melanjutkan usahanya.”

Mengenai upaya pembangunan tempat usaha bagi PKL, Kasubdin Pengelolaan Pendapatan Dinas Pasar mengatakan:

“pembangunan tempat usaha merupakan bukti bahwa pemerintah tidak akan begitu saja menelantarkan PKL. Jadi pada dasarnya para PKL tidak perlu khawatir kalau mereka tidak akan bisa melanjutkan usahanya, karena kami dari Pemerintah sudah menyiapkan tempat usaha dan lokasi baru.”

(25)

juga berusaha menghilangkan tanggapan para PKL yang selama ini menganggap diri mereka sebagai pihak yang selalu ditelantarkan selama proses penataan PKL. Dengan adanya pembangunan tempat usaha yang baru bagi mereka, maka Pemerintah menginginkan para PKL menempati lokasi yang telah mereka tentukan dan tidak lagi mempergunakan lokasi-lokasi yang melanggar peraturan.

3. Penertiban PKL

Selama proses penataan PKL pada tahun 2006 berlangsung, Pemerintah masih menghadapi hambatan berupa penolakan dari para PKL, penolakan dari para PKL ini secara eksplisit ditandai dengan adanya keengganan mereka untuk menempati lantai 3. Adanya kondisi ini tentunya dapat menyulitkan upaya Pemerintah dalam melakukan penataan. Untuk mengatasi sikap PKL yang bersikeras untuk tidak ditata tersebut. Disikapi oleh tim operasional khususnya tim penertiban umum yakni Satpol PP dan aparat pengamanan (poltabes, kodim, Pom TNI) dengan cara menertibkan PKL yang masih melanggar dan kemudian juga melakukan tindakan tegas melalui penyitaan atau pembongkaran lapak milik PKL yang ditertibkan. Hal ini merupakan tindakan penegakan Perda atau dapat disebut sebagai bentuk dari tindakan peradilan cepat terhadap PKL.

Dalam tiga bulan terakhir, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandar Lampung mendata pedagang kaki lima (PKL) yang ada di Pasar Bambu Kuning dan sekitarnya. Hasilnya, didapati 20 pedagang yang melanggar. Mereka dinilai melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pembinaan Umum, Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Kesehatan, dan Keapikan dalam Wilayah Kota Bandar Lampung. Pasalnya, para pedagang berjualan di badan jalany ang notabene dilarang. Kepala Satpol PP Kota Bandar Lampung, Cik Raden mengatakan, pendataan merupakan bentuk penegakan perda yang dilakukan secara persuasif. "Kami melakukan penertiban secara persuasif. Karena, mereka (pedagang) pun mencari nafkah. Tetapi, kami mengimbau kepada mereka supaya tidak melanggar perda juga”,

Dalam pendataan itu, petugas mencatat nama pedagang dan lokasi berjualan. Satpol PP pun berencana memasang spanduk yang berisi imbauan kepada pedagang agar menaati Perda Nomor 8 Tahun 2000. “Kegiatan ini rutin dilakukan supaya pedagang tidak ada lagi yang melanggar perda. Nantinya kami akan melakukan patroli di seluruh pasar di Bandar Lampung," jelas Cik Raden. Namun, jika walaupun telah diimbau pedagang tetap berjualan, aparat tetap akan melaksanakan prosedur selanjutnya. Yakni memberikan surat peringatan dan penertiban."Terpaksa kami melakukan penertiban apabila sudah diimbau tetapi masih tetap berjualan. Karena, tugas kami secara tegas untuk menegakkan perda," tegasnya.

(26)

di lokasi yang dilarang. "Pedagang-pedagang yang telah kami data harus ada solusi supaya mereka tidak berjualan di tempat yang melanggar," ucap CikRaden.

Selain itu, Satpol PP akan menertibkan atribut, seperti spanduk atau poster yang terpasang pada tiang-tiang listrik ataupun pohon di dalam kota. Hal itu untuk menjaga keindahan Kota Tapis Berseri. (Tribun, 4 Agustus 2010) Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pelaksanaan penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan suatu bagian dari tindakan penegakan perda. Karena PKL selalu melakukan pelanggaran, maka tindakan ini terpaksa dilakukan dan tindakan ini dilakukan atas dasar adanya larangan penggunaan sejumlah lokasi-lokasi sebagaimana disebutkan dalam perda No. 8 tahun 2000, seperti trotoar, bahu jalan, dan lahan parkir yang memang dilarang untuk dipergunakan bagi segala jenis aktivitas usaha termasuk juga aktivitas berjualan yang dilakukan oleh PKL.

A. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan Implementasi Kebijakan.

1. Konten (isi) kebijakan penataan PKL

Penjelasan mengenai isi kebijakan penataan PKL terkait dengan beberapa hal, yaitu;

a. Pihak yang kepentingannnya dipengaruhi oleh kebijakan penataan PKL b. Manfaat yang dapat diperoleh dari kebijakan penataan PKL

c. Jangkauan perubahan yang diharapkan d. Letak pengambilan keputusan

e. Pelaksana-pelaksana kebijakan dan

f. Sumber-sumber yang dapat disediakan.

Terkait dengan konten isi dari kebijakan penataan PKl ini, peneliti akan memaparkan dan selanjutnya juga akan menganaliisis tersebut.

a. Pihak-Pihak yang kepentingannya dipengaruhi

(27)

Ada 3 pihak yang kepentingannya dipengaruhi dalam kebijakan penataan PKL. Pihak-pihak tersebut yang pertama adalah pihak-pihak yang berada di lingkungan pemkot Bandar Lampung, yang memiliki tanggungjawab dalam melakukan penataan terhadap PKL. Kedua adalah masyarakat umum yang secara langsung dan tidak langsung menjadi pihak yang menerima manfaat. Dan ketiga adalah para PKL yang menjadi sasaran dalam kebijakan penataan PKL.

Pihak-pihak yang kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan penataan PKL, yaitu

No. Pihak-pihak

yang berkentingan

Kepentingan

(28)

Sumber: data diolah di lapangan melalui wawancara.

Untuk mengatasi semakin tajamnya konflik antar pemerintah dan para PKL tersebut, maka sudah seharusnya dilakukan suatu perundingan antara pemerintah dan para PKL dalam mengakomodir berbagai kepentingan yang ada. Selama ini adanya penolakan para PKL di pasar Bambu Kuning terhadap kebijakan penataan PKL bisa jadi merupakan representasi kekecewaan para PKL terhadap kebijakan penataan PKL yang mungkin belum mampu mengakomodasi kepentingan mereka, dan hal ini seharusnya dapat diperhitungkan oleh pemkot Bandar Lampng selama perumusan kebijakan berlangsung.

Adanya motivasi pemerintah untuk mengatur PKL dalam rangka menciptakan ketertiban umum merupakan suatu hal yang positif dan perlu oleh seluruh elemen masyarakat. Akan tetapi, adanya keinginan pemerintah tersebut juga harus diseimbangkan dengan memperhatikan kepentingan para PKL selaku target groups dari kebijakan penataan PKL. Karena bagaimanapun juga, kebijakan penataan PKL dapat memberikan konsekuensi atau pengaruh yang besar terhadap keberlangsungan usaha mereka. Pemerintah sepatutnya ikut memperhitungkan kepentingan PKL sebagai kelompok sasaran (target groups) dalam kebijakan penataan PKL. Karena bagaimanapun juga keberadaan PKL memiliki potensi positif yang cukup berarti bagi pembangunan Kota Bandar Lampung, bila mampu dikemas dengan baik. Dan sebaliknya, jika pemerintah tidak mampu mengakomodir kepentingan PKL, maka konflik antara pemerintah dan PKL bisa menjadi semakin tajam dan sulit untuk disatukan.

b. Manfaat Kebijakan Penataan PKL

Manfaat merujuk kepada segala sesuatu yang oleh masyarakat, atau pemimpin-pimimpin kelompok masyarakat, dipandang sebagai sesuatu yang dikehendaki. Suatu kebijakan yang dimaksudkan untuk member manfaat kolektif biasanya akan lebih siap untuk diimplementasikan bila dibandingkan dengan kebijakan yang manfaatnya partikularistik (untuk sebagian orang). Begitupun halnya dengan kebijakan yang dirancang untuk manfaat jangka panjang jauh lebih sekedar untuk diimplementasikan bila dibandingkan dengan kebijakan yang dirancang untuk memberikan atau membuahkan manfaat-manfaat langsung kepada kelompok sasaran. Mengenai manfaat adanya kebijakan penataan PKL, kepala Sub Dinas Pengolaan Pendapatan Dinas Pasar mengatakan:

(29)

Dari manfaat kebijakan penataan PKL Kota Bandar Lampung, seperti yang dilakukan oleh Kasubdin Pengelolaan Pendapatan Dinas Pasar tersebut bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan Penataan PKL, berusaha untuk menyeimbangkan pemberian manfaat baik itu bagi PKl maupun masyarakat pada umumnya. Yang mana bila ditilik dari segi manfaatnya, kebijakan penataan PKL bisa dikatakan lebih bersifat kolektif (untuk kepentingan bersama) bila dibandingkan dengan partikularistik (untuk sekelompok orang).

Akan tetapi, pada kenyataannya manfaat kebijakan penataan PKL yang lebih bersifat kolektif tersebut masih belum ditanggapi secara positif oleh para PKL. Umumnya para PKL mengatakan bahwa meskipun kebijakan penataan PKL memberi kesempatan pada para PKL dengan menyediakan lokasi pengganti bagi PKL, namun pada kenyataannya lokasi yang pemerintah sediakan tersebut tidak menunjukkan manfaat yang berpihak pada para PKL.

Bagi para PKL kestrategisan suatu lokasi jelas memiliki suatu nilai yang berarti dalam menjalankan aktifitas mereka, dan hal ini seringkali melatarbelakangi mereka untuk mau atau tidak mau ditata. Penataan dalam pandangan mereka harus dimaknai dengan tersedianya lokasi yang strategis. Karena mereka umumnya berfikir untuk apa ditata bila tidak mampu meningkatkan penghasilan dan buat apa diberikan lokasi baru jika pada kenyataannya menjadi menurun pendapatannya.

(30)

Perubahan tersebut bisa menyangkut perubahan dalam hubungan-hubungan sosial, politik, dan ekonomi. Menurut kepala polisi Pamong Praja:

“Pemerintah mengharapkan tidak ada lagi PKL yang melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Karena PKL sudah disediakan tempat yang legal,dengan demikian PKL dapat berdang pada tempat yang sudah disediakan PemKot dan tidak kembali berdagang pada lokasi yang melanggar ketentuan.”

Pernyataan di atas dapt disimpulkan bahwa perubahan yang diharapkan terjadi setelah pelaksanaan penataan PKL di Kota Bandar Lampung, meliputi perubahan suatu kondisi dan prilaku dari para PKL. Perubahan kondisi yang dimaksud meliputi perubahan lingkungan di kota Bandar Lampung yang sebelumnya semrawut (sebagai akibat dari pemakaian sejumlah ruang public oleh PKL) menjadi suatu kondisi (keadaan) yang rapid an tertib. Perubahan kondisi lingkungan yang diharapkan tersebut tidak hanya pada lokasi di pasr Bambu Kuning, namun juga pada delapan lokasi lainnya di Bandar Lammpung. Dengan ditatanya PKL yang berada pada sejumlah lokasi tersebut, maka diharapkan Ruang Terbuka Publik seperti trotoar dan lahan parkir dapat dibebaskan sebagaimana fungsi awalnya.

Perubahan lainnya yang juga diharapkan terjadi setelah adanya penataaan PKL adalah perubahan terhadap prilaku para PKL selaku target groups

dalam menjalankan aktifitasnya. Selama ini para PKL dalam menjalankan usahanya pada umumnya selalu menggunakan lokasi-lokasi seperti trotoar dan bahu jalan yang tentunya melanggar ketentuan pemerintah.

Penggunaan lokasi-lokasi tersebut tidak hanya bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung akan tetapi juga bertentangan dengan Perda No. 8 tahun 2000 tentang pembinaan umum ketertiban, keamanan, kebersihan, kesehatan, dan keindahan kota Bandar Lampung dan perda No. 7 Tahun 1997 yang mengatur tentang bangunan dalam kota Bandar Lampung. Dengan adanya kebijakan penataan, PKL dituntun agar mempergunakan sejumlah lokasi yang sesuai dengan peruntukan, yakni lokasi-lokasi yang tidak menyalahi ketentuan tata ruang kota Bandar Lampung dan juga tidak menyalahi sejumlah ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan daerah yang ada.

d. Letak Pengambilan Keputusan

Pembuatan keputusan berada di antara perumusan kebijakan dan implementasi , kedua hal tesebut saling terkait satu sama lain. Keputusan mempengaruhi implementasi dan implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan keputusan selanjutnya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi implementasi berikutnya.

(31)

menindaklanjuti permasalahan PKL. Aktor-aktor dalam tim operasional penataan PKL yang dilibatkan dalam proses perencanaan kebijakan penataan PKL adalah Kepala Dinas dan instansi yang terkait dengang masalah PKL.

e. Pelaksanaan kebijakan penataan PKL

Dimensi lain yang harus dipertimbangkan dalam kontens kebijakan adalah kualitas dari para pelaksana kebijakan (implementing agency) yang akan mengahantarkan kebijakan kepada masyarakat. Menurut Ripley dan Franklin, birokrasi public (pemerintah) selama ini telah dianggap sebagai faktor utama dalam implementasi kebijakan public. Oleh sebab itu, menurut mereka perlu diperhatikan aspek-aspek kritis dari birokrasi kebijakan yang akan menangani mandat public.

Peran pemerintah yang strategis, akan banyak ditopang oleh bagaimana birokrasi public mampu melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu tantangan besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu melaksanakan kegiatan secara efektif adan efisien, karena selama ini birokrasi diidentikan dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang tambun, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tak ada standar yang pasti.

Akuntabilitas dan responsibilitas public pada hakekatnya adalah standar professional aparat pemerintah dalam memberikan pelyanan kepada masyarakat. Secara praktis, akuntabilitas dan responsibilitas public dapat digunakan sebagai sarana untuk menilai kinerja aparat.

f. Sumber-Sumber yang Dapat Disediakan

Sumber daya merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengimplementasikan suatu kebijakaan. Sumber daya yang diperlukan dalam suatu kebijakan tidak hanya tersangkut paut dengan biaya. Akan tetapi, lebih dari itu sumber daya juga terkait dengan fasilitas dan informasi. Dalam kebijakan Penataan PKL, sumber daya berkisar pada dana (intensif untuk tim operasional penataan), informasi dan juga fasilitas berupa lokasi dan tempat usaha seperti lapak-lapak untuk PKL yang akan ditata.

(32)

2. Konteks (Lingkungan) Implementasi Kebijakan

Mengkaji masalah implementasi suatu kebijakan, berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu kebijakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan suatu kebijakan, baik itu yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu kepada masyarakat. Untuk memahami bagaimana proses pengadministrasian suatu kebijakan, maka perlu kiranya untuk melihat konteks (lingkungan) dalam mana kebijakan tersebut dilangsungkan, pengkajian terhadap lingkungan implementasi kebijakan ini berkenaan dengan faktor-faktor lingkungan apa saja yang membuat suatu kebijakan gagal atau berhasil diimplementasikan. Mengenai hal ini, Grindle memaparkan bahwa lingkungan implementasi kebijakan yang perlu untuk dikaji adalah kekuasaan, kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat, karakteristik lembaga (rezim) dan kepatuhan serta daya tangkap.

Menurut Joko Widodo, birokrasi dapat dikatakan baik jika mereka dinilai mempunyai responsivitas yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan public dan berusaha semaksimal mungkin memenuhinya. Ia dapat menangkap masalah yang dihadapi public dan berusaha untuk mencari solusinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi.

Dengan demikian berbagai penolakan yang terjadi saat pelaksanaan penataan PKL berlangsung seharusnya bisa diatasi bila pemerintah kota Bandar Lampung cukup tanggap terhadap berbagai tuntutan dari para PKL. Pemerintah juga seharusnya bisa mengubah sikap menentang dari para PKL yang merasa durugikan oleh kebijakan penataan PKL, menjadi sikap menerima agar dapat memungkinkan diperolehnya suatu dukungan dan umpan balik selama pelaksanaan penataaan dilangsungkan.

Jika kerja Dinas Pasar dan instansi terkaitnya lemah, maka PKL akan tetap menumpuk di kawasan yang sebelumnya ditertibkan. Karena apa yang menjadi kerja PKL adalah menyangkut keberlangsungan hidup mereka. PKL tetap akan mencari tempat dimana bisa berdagang.

Harus diakui bahwa upaya menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota bukanlah hal yang mudah namun tiada masalah kecuali pasti ada solusinya. Memang, Pemerintah Kota pada akhirnya tidak bisa sendirian dalam penuntasan permasalahan PKL ini, perlu bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat kota bahkan stake holder dari kota-kota yang lain terkait arus urbanisasi namun tetap saja kunci pertama adalah keseriusan dan konsistensi yang harus ditunjukkan oleh Pemerintah Kota dalam mengawal program-program terkait PKL ini.

(33)

1) Mengawali dengan paradigma bahwa PKL bukanlah semata-mata beban atau gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL juga punya hak hidup dan mendapatkan penghasilan secara layak, namun tentunya alasan seperti ini jangan sampai digunakan pedagang untuk berdagang tanpa mematuhi aturan karena tidak semua lokasi bisa dipakai sebagai tempat usaha. Pemkot tetap harus tegas namun tentunya ini membutuhkan komunikasi dengan penuh keterbukaan. 2) PKL sesungguhnya juga merupakan aset dan potensi ekonomi jika

benar-benar bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini akan berimplikasi pada cara pendekatan Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap sangat represif-punitif yang justru melahirkan perlawanan dan mekanisme “kucing-kucingan” yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. 3) Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak

disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Kawasan yang dikhususkan untuk PKL telah terbukti menjadi solusi dibeberapa tempat di Indonesia. Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata jika dimodifikasi dengan hiburan yang menarik perhatian masyarakat.

4) Pemerintah Kota harus memiliki riset khusus secara bertahap untuk mengamati dan memetakan persoalan PKL, pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota, sehingga bisa meletakkan argumen logis untuk aktivitas berikutnya. Sehingga model pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya dan tidak mesti dalam bentuk bantuan modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot yang memang sudah berjalan dan dirasakan efektif mungkin bisa dilanjutkan tinggal bagaimana memperkuat pengawasan implementasi di lapangan karena masih banyak keluhan indikasi lemahnya pengawasan penyimpangan.

5) Pemerintah Kota harus membuka diri untuk bekerja sama dengan elemen masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini. Semisal LBH dan beberapa LSM atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk melakukan riset pemetaan persoalan PKL dan advokasi ke mereka. Beberapa Ormas bahkan Parpol pun bisa berperan dalam hal pembinaan ke mereka sehingga PKL ini benar-benar menjadi tanggung jawab bersama masyarakat.

6) Pemerintah Kota harus memastikan payung hukum (Perda) yang tidak menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan. Pelibatan semua elemen yang terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan, dinas terkait dan elemen yang lain dengan semangat keterbukaan justru akan menjadikan kebijakan pemkot didukung dan dikawal implementasinya oleh banyak kalangan.

(34)

kota harus memfasilitasi sehingga antara pihak PKL dan Pengusaha bisa sama-sama tidak dirugikan.

8) Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan represif yang justru memicu perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan masyarakat tentang adanya tekanan politis dari kekuatan tertentu yang mengarahkan penertiban hanya pada komunitas tertentu.

9) Selain penerapan Kebijakan penertiban terhadap PKL, Pemerintah kota juga harus berani melakukan penertiban kepada komunitas lain yang memang juga melanggar aturan tata tertib kota semisal sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar garis sempadan. 10) Pemerintah Kota juga harus punya langkah preventif berupa

pencegahan arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. korban pembangunan kota metropolitan.

Kota Bandar Lampung dibangun cenderung bagaimana kepentingan kepala daerahnya, baik Wali kotanya maupun gubernurnya. Akibatnya, kota sangat rentan terhadap tekanan kepentingan modal (kapital). Faktor lain yang harus dibenahi adalah lemahnya kesiapan kelembagaan dan tumpang tindihnya kepentingan masing-masing instansi. Selain itu, kepemimpinan dalam pengelolaan sistem transportasi perkotaan menajdi sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Biaya pembangunan transportasi perkotaan yang di korupsi sudah “jamak” dilakukan di negeri ini sehingga kualitas dan kuantitasnya sangat jauh dari yang diharapkan.

Jadi, kebijakan public disebut pula serangkaian keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan oleh institusi public (instansi atau badan-badan pemerintah) bersama-sama dengan aktor-aktor politik dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan public demi kepentingan seluruh mayarakat.

Perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi birokrasi public bukan hanya karena merupakan kebutuhan, guna semakin menjamin untuk pencapaian tujuan seiring dengan berkembangnya tuntutan masyarakat. Dalam memberikan pelayanan kepada public, birokrasi public hendaknya berorientasi pada pelanggan, yakni kepuasan pelanggan menjadi orientasi utama pelayanan public.

(35)

VI.

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Pada Gambar 17 menunjukan Distrbusi tegangan Von Misses dari Grtitcpne .Dapat ditemukan intesitas stress yang lebih tinggi ditemukan di bagian bawah dari gritcone

Grafik Penggunaan memory LTSP server ketika client menjalan kan aplikasi OpenOffice Dari gambar 5 dapat diketahui bahwa dengan 1 G memori, ternyata server mampu

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Kerja Sekolah Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMPN di Kota Bandung .... KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Karena keterbatasan teknologi dalam suatu wilayah dapat menjadi penghambat majunya informasi dalam perekonomian bangsa, maka tulisan ilmiah ini ditujukan dan dipaparkan untuk

ANALISIS PERHITUNGAN HARGA POKOK PRODUKSI JAKET DAN TAS KULIT BERDASARKAN METODE ACTIVITY BASED COSTING.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Jika tidak semua tamu merokok maka lantai rumah tidak bersih D.. Jika lantai rumah bersih maka semua tamu tidak

Tujuan dari penelitian deskriptif membuat deskriptif, tabelan, atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara

Berbicara mengenai sistim perpajakan yang demokratis sebenarnya bukan menyangkut teknik bagaimana rakyat mau untuk membayar pajak atau untuk memasukkan pajak yang sebesar- besarnya