• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dala"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

LIBRARY RESEARCH

Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia

MATA KULIAH:

HUKUM LINGKUNGAN (ROMBEL 05)

Disusun Oleh :

1. ADIB NOR FUAD 8111416107 2. ANDO TRI KURNIAWAN 8111416102

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG

2017

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami terima, serta petunjuk‐Nya sehingga memberikan kemampuan dan

kemudahan bagi kami dalam penyusunan makalah ini. Didalam makalah ini kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang bisa kami sajikan dengan topik “Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Dan Perlindungan Lingkungan Hidup Di Indonesia” sebagai tugas mata kuliah Hukum Lingkungan Rombel 03. Dimana didalam topik tersebut ada beberapa hal yang bisa kita pelajari khususnya pengetahuan tentang pemenuhan hak asasi masyarakat adat di dalam kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dalam lingkum Negara Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Ridwan Arifn,. S. H,. L.Lm selaku pengampu mata kuliah Hukum Lingkungan yang selalu membimbing kami dalam proses menyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami tentang perancangan output sistem, menjadikan keterbatasan kami pula untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini, kiranya mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita, setidaknya untuk sekedar membuka cakrawala berpikir kita tentang bagaimana merancang sebuah output sistem dalam kehidupan kita.

Semarang, 10 Oktober 2017

Tim Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

Cover Depan

………..

i

Kata Pengantar

………...

ii

Daftar Isi

………

iii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ..…..

………

1

B. Rumusan Masalah ……….. ………

3

A. C. Metode Penelitian ...…..………. 3

BAB II PEMBAHASAN ……….. 4

A. Defnisi Masyarakat Hukum Adat ……….. ……….

4

B. Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat Indonesia .. ……….

6

BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP ………... 13 Daftar Pustaka

………...

(4)
(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat telah diungkapkan maksud dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia diantaranya yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian masyarakat adat harus mendapatkan perlindungan hukum, agar dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang ada di Indonesia selalu memperhatikan hak-hak masyarakat adat setempat seperti pemenuhan Hak Asasi Manusia kepada masyarakat adat. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menggantikan istilah Human Rights, Karena anggota masyarakat adat seringkali mengalami pengabaian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sekelompok oknum tertentu ataupun pihak pemerintah sendiri, diantaranya perlakuan teror, intimidasi dan perlakuan represif oleh oknum-oknum satuan pengamanan dari perusahaan.

Jika melihat aturan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), telah mengamanatkan dan menjelaskan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat1. Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menunjukkan bahwa rakyat harus menerima manfaat dari sumber daya alam yang ada di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup masyarakat Indonesia itu sendiri.

Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai kebahagiaan hidup yang berdasarkan Pancasila dan juga UUD 1945. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Untuk itu perlu melaksanakan pengelolaan

(6)

lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup2. Sebagai wujud nyata tindakan pemerintah untuk menjamin hak masyarakat adat yaitu dengan memacu semangat rakyat untuk memanfaatkan ataupun menggali kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia ini. Salah satu upaya dari masyarakat yaitu dengan memanfaatkan hak ulayat yang berada di masing-masing daerah, yang masing- masing berbeda bentuk dan coraknya. Menyangkut hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam negara Indonesia dewasa ini, seperti yang tergambar dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan :

"Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi".3

Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi yang secara nyata hidup dan berkembang dalam komunitas-komunitas masyarakat adat.4 Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat, pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi.

2 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,

Jakarta:Rineka Cipta, 2005, hlm. 1.

3 Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Jakarta: Total Media, 2009, hlm. 4. 4 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Jakarta,

(7)

Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sesuatu yang menarik jika dilihat hubungan antara keadilan (justice) dengan persamaan (equality). Hubungan di antara keduanya adalah bahwa persamaan merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan berkaitan dengan hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan yang tidak sama antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan yang dimaksud di sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung kondisi dan kualifkasi masing-masing individu yang disebut juga persamaan yang proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan, kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang dalam kualifkasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi, kualifkasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifkasi yang sama, harus diberikan hak yang sama pula, di situlah terletak keadilan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah klasifkasi masyarakat hukum adat ?

2. Apakah pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia sudah terpebuhi ?

C. Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan tipe penelitian normatif. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesis, maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan

(8)

kemudian diolah dan dianalisis secara normatif dengan menggunakan logika berpikir secara deduksi yang didasarkan pada aspek hukum normatif.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Masyarakat Hukum Adat

Jika membahas tentang masyarakat hukum adat terlebih dahulu kita harus mengetahui defnisi dari adat itu sendiri, dalam buku Soerojo Wignjodipuro pengantar dan asas-asas hukum adat (hlm.13) Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad kea bad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu sama lainnya tidak sama seperti adat yang ada di Indonesia.5

Pada mulanya, istilah masyarakat hukum adat diperkenalkan oleh van Vollenhoven untuk menunjukkan warga pribumi (native) atau suku asli Indonesia. Hal ini berkaitan dengan keluarnya kebijakan politik Pemerintah Belanda didasarkan pada Pasal 131 Indische Staatregeling (IS) 1939, maka warga negara Indonesia ketika itu dibedakan ke dalam warga pribumi (Irlander), Eropa dan Timur Asing. Pengakuan atas perbedaan warga negara tersebut membawa konsekuensi timbulnya keanekaragaman hukum (Pluralstic legal systems). Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan yang

5 Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995,

(9)

dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Hukum adat juga merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama atau religious. Para ahli hukum adat sepakat bahwa dalam hukum adat mengandung unsur-unsur keagamaan, dan magis (magic religious), keajegan (constant), tunai (concrete) dan luwes (fexible).

Isitilah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat kemudian berkembang sebagai “Indigenous people”dalam pengerian hukum internasional, yaitu sekelompok masyarakat yang terikat dengan sejarah sebelum era kolonialisasi (colonial continuity), dengan budaya, sosial, ekonomi dan politik sebagai sesuatu kekhasan (distinctiveness) dari yang “meanstream”. Kelompok ini adalah kelompok „non-dominance‟ yang mempunyai kecenderungan menjaga wilayah adat, institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan kepercayaan lokal secara terus menerus.6

Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 31 adalah, “masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografs tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”.7 Pandangan dasar dari kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 menyatakan bahwa “masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat”. Secara sederhana dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya. International Labour Organization (ILO) mengkategorikan masyarakat adat sebagai:

6Martinez Cobo dan UNPFII, tentang tujuh kriteria Indigenous Peoples;h t tp : / / w w w . oh c h r . o r g /

D

o c u m e n ts/Iss u e s/I P eo p le s /UN D R I P M an u a l Fo rN H RIs. p d f d an h t tp : / / w w w .iw g ia. o r g /c u l tu r e - a nd - i d e n t i t y / id e n t i f ic a t io n - o f -i nd i gen ous - p e op les

7 UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

(10)

1. Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus.

2. Suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan–terlepas dari apapun status hukum mereka–sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan teritoriyang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara bangsa modern.

Konsep dasar tentang masyarakat hukum adat dan hak-haknya dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I UUD 1945. Dua pasal ini secara eksplisit menjelaskan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, namun tidak menjelaskan secara eksplisit rumusan defnisi masyarakat hukum adat. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I menjelaskan posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek hak. Artinya, Konstitusi kita mengatur jaminan konstitusional atas keberadaan masyarakat hukum adat

sebagai subjek hukum penyandang hak dan kewajiban.

B. Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat Indonesia dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

Istilah Hak Asasi Manusia atau yang sering disebut dengan HAM merupakan istilah yang bias digunakan untuk menggantikan istilah Human Rights, di samping itu ada juga yang menggunakan istilah fundamental rights atau basic rights.

(11)

bentuk perlindungannya adalah menjamin keamanan, ketentraman dan ketertiban sesuai norma kehidupan bermasyarakat. Segenap penyelenggaraan pemerintahan harus berorientasi pada pencapaian tujuan tersebut. Demikian pula institusi, struktur dan aparatur pemerintahan harus dibentuk dengan tegas, fungsi serta kultur yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan, khususnya menjamin keamanan, ketentraman, dan ketertiban sosial.8

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan HAM sebagai hak-hak mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikatnya dan kodratnya sebagai manusia. Sementara itu Mulyadi menyatakan bahwa apapun rumusannya, HAM adalah hak yang melekat secara alamiah (inberent) pada diri manusia sejak manusia lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh.9 Berkaitan dengan defnisi HAM, maka sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat yang baku mengenai hak asasi manusia yang dapat diterima secara universal.

Dari sekian banyak hak masyarakat adat, hak atas pengelolaan sumber daya alam menjadi topik yang menarik karena sumber daya alam memiliki peran yang besar dalam rangka mempertahankan eksistensi masyarakat adat. Banyak masyarakat adat di Negara Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang ada di wilayah kediamannya. Mereka hidup secara tradisional yang membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar dari alam sekitarnya. Pendapatan masyarakat adat sebagian besar, bahkan ada juga yang seluruhnya, berasal dari mengumpulkan atau memproses sumber daya alam. Bagi masyarakat adat, sumber daya alam merupakan bagian menyeluruh dari kehidupannya, tidak hanya terbatas sebagai aset ekonomi semata.

Prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai penerapan konsep keadilan adalah bahwa para individu dihadapan yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu.10 Akan tetapi,

8 Oki Wahju Budijanto, “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Pamong Praja dalam Perlindungan Hak

Asasi Manuusia bagi Masyarakat”, Jurnal Hak Asasi Manusia, vol. 3 No. 2, Desember, 2012, hal. 4.

9 Rahayu Hukum Hak Asasi Manusi hlm 1-2

(12)

keadilan bukan hanya masalah persamaan perlakuan, atau dengan kata lain, keadilan tidak hanya menyangkut dengan masalah diskriminasi, tapi jauh lebih luas lagi dari itu, misalnya keadilan berhubungan juga dengan masalah pengakuan atas hak-hak dasar manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, perlindungan terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam bukan berarti negara harus mempersamakan perlakuan antara masyarakat adat dengan para pengusaha swasta ataupun negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun sesuai dengan prinsip non-diskriminasi, tanpa terkecuali negara harus menjamin pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Negara harus memberikan porsi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat saat ini dan juga memperhitungkan untuk di masa yang akan datang demi keberlangsungan eksistensi mereka dan keturunannya. Negara harus menyediakan sarana atau mekanisme yang memberi akses kepada rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut tidak terpenuhi.11 Memang bukan sesuatu yang mudah untuk menjembati antara dua kepentingam, yaitu kepentingan negara dan kepentingan masyarakat adat. Namun pemerintah harus tetap menjalankan kewajibannya secara bijak dan adil sehingga dapat terwujud kesejahteraan tidak hanya bagi segelintir orang saja.

Masyarakat adat memelihara hubungan sejarah dan hubungan kerohanian dengan sumber daya alamnya di wilayah di mana masyarakat adat tersebut hidup. Jika sumber daya alam terusik, apalagi terasingkan oleh negara/pemerintah atau pihak ketiga, maka yang akan terancam bukan hanya kehidupan ekonomi dari masyarakat adat tersebut saja, tetapi juga keseluruhan eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Hak untuk hidup, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak atas kesehatan, dan berbagai hak asasi manusia lainnya akan ikut dilanggar ketika masyarakat adat secara tidak adil dipisahkan dari sumber daya alamnya yang secara turun temurun telah menjadi sumber penghidupan.

Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai ruang lingkup sumber daya alam yaitu meliputi meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan

11 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta,

(13)

alam yang terkandung di dalamnya. Pasal ini juga mengatur tentang ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak menguasai negara tersebut bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang hukum publik kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana wewenang tersebut harus digunakan untuk tercapainya kemakmuran rakyat Indonesia sendiri. Ideologi hak menguasai negara ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya.12

Sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Sebaiknya hak menguasai negara tersebut dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Konsep hak menguasai negara tersebut tidak boleh diartikan secara sempit dan disalahgunakan sehingga negara dengan hak tersebut mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam dan menyingkirkan keberadaan masyarakat adat. Negara/pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. Negara/pemerintah hendaknya lebih memperhatikan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak asasi mereka sebelum memberikan ijin pengelolaan sumber daya alam kepada pihak pengusaha swasta. Negara/pemerintah harus berlaku cermat, hati-hati dan penuh itikad baik dalam melaksanakan kewajibannya melindungi hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. Dengan dilaksanakannya kewajiban negara atas hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam berarti negara juga melakukan perlindungan terhadap hak asasi masyarakat adat.

Hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dalam segi hak asasinya memiliki cakupan yang luas, tidak hanya hak untuk mengelola sumber daya alamnya, tetapi juga hak bagi masyarakat adat untuk memperoleh

12 Dian Agustina Wulandari. “Pengelolaan Administrasi Tanah Aset Pemerintah Guna Mendapatkan

(14)

perlindungan hukum dalam menikmati hak tersebut sehingga keberlangsungan hidup mereka pun akan tetap terjamin. Dalam ketentuan menimbang butir b Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebutkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi atau dirampas oleh siapapun (termasuk oleh negara/pemerintah). Dengan menjadikan masalah hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai isu keadilan dan HAM, maka dapat diklaim bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola sumber daya alam sama seperti pihak-pihak lainnya dan negara/ pemerintah bertanggungjawab untuk merealisasikan hal tersebut.

Namun sayangnya, seringkali masyarakat adat tersingkir ketika negara/pemerintah dengan hak menguasai yang dimilikinya meminggirkan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dengan alasan kepentingan nasional. Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat adat tidak seimbang dengan keuntungan yang didapat oleh negara/pemerintah. Bahkan tidak jarang, alih-alih mendapatkan kompensasi, keberadaan masyarakat adat malahan tidak diakui oleh negara/pemerintah. Di tengah himpitan globalisasi, privatisasi dan otonomi daerah, hak-hak masyarakat adat, termasuk hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat terancam. Dalam banyak kasus, masyarakat adat berada dalam posisi tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum. Mereka kesulitan untuk membela hak-haknya karena faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Masyarakat adat sering dicap sebagai perusak lingkungan, kelompok masyarakat terbelakang, kuno, dan berbagai anggapan lainnya terkait aktiftas kehidupan sehari-harinya yang memanfaatkan sumber daya alam.

(15)

kompensasi apapun. Sebagai contoh adalah kasus antarawarga Rembang, Jawa Tengah dengan PT. Semen Indonesia dimulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Saat itu PT Semen Indonesia mulai meletakkan batu pertama pembangunan pabrik. Pembangunan pabrik tersebut menuai kontroversi panjang. Sebagian penduduk Pegunungan Kendeng Utara menolak rencana pembangunan tersebut. Masyarakat lokal pun melakukan penolakan. Penolakan tersebut dengan alasan bahwa pembangunan pabrik semen yang akan menambang batu gamping di pegunungan kars akan mengancam ketahanan pangan dan ketersediaan air yang telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Upaya penambangan di kawasan karst Watuputih dinilai sejumlah kalangan merupakan sebuah bentuk pelanggaran. Penggunaan kawasan karst Watuputih sebagai tempat penambangan batu kapur, melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah nomor 06/2010. Pasal 63 perda tersebut menetapkan areal menjadi kawasan lindung.13 Pemberitaan yang dimuat Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014 menyebutkan bahwa penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan. Surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan. Perlu diketahui dalam Perda no 14 tahun 2011 tentang RTRW Kab. Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.

Mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat” maka sudah sewajarnya warga Rembang merasa diresahkan dan berujung penolakan atas pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Semestinya sumber daya alam dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat bukan melahirkan ketimpangan kepentingan antara pengusaha pabrik dan petani. Dilihat dari kasus – kasus sebelumnya, penambangan dan pembangunan pabrik yang sedemikian rupa dapat mempersempit lahan pertanian lalu menurunkan produktivitas

(16)

pertanian pada wilayah tersebut hingga bagian terburuknya adalah menyebabkan lemahnya ketahanan pangan daerah dan nasional.

Pembangunan proyek tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar, terganggunya keseimbangan ekosistem, hilangnya daerah resapan air, dan pencemaran limbah yang terjadi akibat proses produksi semen. Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang artinya masyarakat berhak menolak segala macam tindakan asing yang dapat membahayakan keberlangsungan lingkungan hidup mereka. Dalam kasus ini, jika dikaitkan dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), telah dijelaskan segala hal tentang tanah termasuk didalamnya ditegaskan bahwa tanah Indonesia adalah seluruhnya untuk kemakmuran bangsa bukan untuk kemakmuran asing. Konfik di Rembang menunjukkan adanya kelalaian serta ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib petani di daerah tersebut. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dari perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

Menyikapi konfik tersebut, Komnas HAM sejak Juni 2015 telah membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pemenuhan HAM Masyarakat di Sekitar Kawasan Karst. Tim yang dipimpin oleh Komisioner Muh. Nurkhoiron tersebut hampir menyelesaikan laporannya untuk disampaikan ke Presiden dan pihak-pihak terkait, tentang pelestarian ekosistem karst dan perlindungan HAM. Dalam kajian itu, disimpulkan bahwa Pulau Jawa tidak layak lagi sebagai wilayah untuk penambangan, karena daya dukungnya yang sudah sangat terbatas dan padat oleh penduduk. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah membuat Indeks Kebencanaan di masing-masing kabupatan/kota yang memetakan wilayah rawan bencana di Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang rentan oleh berbagai bencana. Pembangunan pabrik semen yang disertai dengan penambangan batu gamping dikhawatirkan akan menambah kerentanan bencana itu.

Selain itu, disampaikan tentang masih lemahnya data tentang dampak pabrik semen bagi kesehatan dan penghidupan masyarakat. Padahal, banyak pabrik semen yang telah beroperasi sejak puluhan tahun, akan tetapi kajian atas

12

(17)

dampak-dampaknya, masih belum dilakukan secara komprehensif. Padahal di China, ratusan pabrik semen telah ditutup karena menjadi sumber polutan yang besar dan sangat serius.

Di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang Dasar 1945, Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD, menjelaskan pengertian hak menguasai SDA oleh negara. Sesuai dengan Penjelasan Umum II/2 UUPA, perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruartg angkasa.

(18)

Untuk mencapai tujuan pelestarian sumber daya alam, perlu ditetapkan kebijakan nasional atau peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Kelemahan hukum nasional selama ini terletak pada fungsi pengaturannya, artinya hukum belum berfungsi sebagai sarana perubanahan, padahal hukum mempunyai peranan dari fungsi;14

1. Untuk menstrukturkan seluruh proses agar kepastian dan ketertiban teijamin.

2. Sebagai mekanisme pengaturan yang ditekankan pada tindakan pencegahan dan pemulihan (remedy) seperti : perizinan, insentif (peringanan pajak) dan denda, hukuman.

3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peraturan perundang-undangan dan ketentuan- ketentuan yang berlaku. Berdasarkan pendapat di atas, fungsi hukum sebagai control social dan social engenering pada sektor kehutanan dapat menciptakan kesadaran tidak hanya pada masyarakat tetapi juga kesadaran pemerintah selaku penguasa, sehingga dapat mewujudkan tujuan pengelolaan hutan secara berkelanjutan..15

BAB III KESIMPULAN

Pada umumnya masyarakat adat rentan terhadap pelanggaran atau pengabaian hak asasinya. Oleh sebab itu perlu mendapat perlindungan hukum khususnya dalam bentuk peraturan pemndang-undangan dari negara. Negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan, melindungi serta menegakkan hak asasi manusia terhadap warganya. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 yaitu Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah, jaminan terhadap pelaksanaan

14 Mochtar Kusumaatmadja, Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia Beberapa

Pikiran dan Saran, Cetakan Pertama, Bina Cipta, FH-UNPAD, 1975, hlm 1

15 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam SistemPenegakan Hukum Lingkungan Indonesia,

(19)

fungsi dan peranan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam akan berdampak positif terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Peran serta masyarakat akan menumbuhkan rasa memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup. Sehingga masyarakat akan mengawasi atas pengelolaan sumber daya hutan. Pihak perusahaan sebagai pemegang ijin usaha atas pengusahaan mempunyai kewajiban untuk memperhatikan keberadaan masyarakat adat setempat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dinyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih banyak kelompok penduduk yang rentan terhadap dampak pembangunan yang negatif. Kelompok penduduk yang rentan diantaranya masyarakat adat. Hal ini karena masyarakat adat tidak mempunyai kemampuan dana, ilmu maupun teknologi untuk membentengi kehidupannya dari kerusakan lingkungan. Oleh karena itu perlu mendapatkan perlindungan dari Negara Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi yang secara nyata hidup dan berkembang dalam komunitas-komunitas masyarakat adat. Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat, pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi. Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

(20)

persamaan merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan berkaitan dengan hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan yang tidak sama antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan yang dimaksud di sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung kondisi dan kualifkasi masing-masing individu yang disebut juga persamaan yang proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan, kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang dalam kualifkasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi, kualifkasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifkasi yang sama, harus diberikan hak yang sama pula, di situlah terletak keadilan.

(21)

Budijanto, Oki Wahju. “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Pamong Praja dalam Perlindungan Hak Asasi Manuusia bagi Masyarakat”, Jurnal Hak Asasi Manusia, vol. 3 No. 2, Desember, 2012, hlm. 4.

Erwiningsih, Winahyu. 2009. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Jakarta: Total Media.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1975. Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia Beberapa Pikiran dan Saran, Bandung: Bina Cipta.

Mongabay Indonesia. Kepungan Tambang Karst Ancam Sumber Mata Air, diakses dari http://www.mongabay.co.id/2014/06/30/kepungan-tambang-karst-ancam-sumber-mata-air/ pada tanggal 16 Juni 2014.

Muhtaj, Majda El. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Rajagrafndo

Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Rahayu. 2015. Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: Universitas Diponegoro. Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup Dan Strategi

Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Rineka Cipta.

UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3

Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.

Referensi

Dokumen terkait

Korelasi dari X dan Y [2] Robert V Hogg, Allen T Craig, introduction to mathematical statistics fifth edition, Prentice Hall, New

Tabel 3 di atas, diketahui bahwa terdapat selisih perbedaan biaya yang cukup besar pada TIC pembelian bahan baku tepung terigu menggunakan metode konvensional dan metode EOQ, dengan

Potensi air yang melimpah, misalnya, perlu dikonversi secara nyata menjadi sumberdaya produktif antara lain dengan pembangunan waduk untuk melayani kebutuhan

Hasil uji t untuk sampel berpasangan H-0 dan H-14 sebagaimana tertera di Tabe l 2 , nilai p=0,300 (>0,05) sehingga dapat disimpulkan perbedaan yang tidak bermakna rata- rata

Sebagai solusi atas permasalahan di atas, perlu dikembangkan sistem informasi yang berbasis fingerprint (sidik jari) pasien untuk mempermudah dan mempercepat

Bila hasil pengujian ini diaplikasikan di lapangan, ternyata bahwa pada konstruksi perkerasan jalan yang menggunakan stabilisasi tanah dengan bahan additive sebagai

Program ini dirancang untuk memudahkan puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi dengan input seminim mungkin dan output semaksimal mungkin... pelayanan dalam gedung : SIMPUS

Hal tersebut sesuai dengan definisi masyarakat yang merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat- istiadat tertentu yang