• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Terhadap Para Pihak Menurut Undang-

BAB II TINJAUAN UMUM FRANCHISE SEBAGAI HAK

C. Perlindungan Terhadap Para Pihak Menurut Undang-

Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu. Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya. Dasar pembentukkannya tertuang dalam syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:16

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Para pihak (Franchisor dan franchise) yang bersepakat dalam suatu transaksi franchise selain mempermasalahkan persoalan persoalan yuridis, juga mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu adanya jaminan bahwa baik Franchisor maupun franchisee adalah pihak -pihak yang secara bisnis dapat diandalkan kerjasamanya, kemampuan manajerialnya dan bonafiditasnya untuk bersama – sama membangun kerjasama bisnis.

Tuntutan di atas sebenarnya menjadi ukuran dalam menentukan unsur–unsur pokok kesepakatan, persyaratan, hak dan kewajiban para pihak yang pada akhirnya dituangkan di dalam klausula-klausula suatu perjanjian franchise. Dari sudut pandang yang terkandung dalam suatu perjanjian

16

franchise yang umumnya terdiri dari pasal–pasal, jika dilakukan suatu identifikasi terhadap pokok materi yang terpenting di dalam perjanjian tersebut, maka terdapat klausula–klausula utama, sebagai berikut:

a. Objek yang difranchisekan

Objek yang difranchisekan biasanya dikemukakan di awal perjanjian franchising. Objek yang di franchisekan harus menjelaskan secara cermat mengenai barang/jasa apa yang termasuk dalam franchise.

b. Tempat Berbisnis

Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri Franchisor dibutuhkan dalam usaha franchise. Tempat yang akan dijadikan lokasi berbisnis harus diperhatikan dengan baik agar kerjasama yang dijalankan menghasilkan keuntungan yang layak. Bagian ini memuat persyaratan tempat berbisnis yang layak untuk memasarkan barang/jasa milik Franchisor. Franchisor biasanya turut menentukan dan atau memberikan persetujuan kepada franchisee mengenai tempat yang akan dipakai dalam menjalankan bisnis . c. Wilayah franchise

Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh Franchisor kepada franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah yang diberikan merupakan wilayah yang tidak terlampau luas ataupun terlampau sempit, sehingga dapat dieksploitasi secara maksimal. Pemberian

wilayah ini didasarkan agar pemberian suatu wilayah tertentu dapat menjamin tidak ada persaingan usaha sejenis baik yang dilakukan oleh sesama jenis franchisee ataupun oleh Franchisor sendiri.

d. Sewa Guna

Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha franchise didapat dengan suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama dengan jangka waktu berlakunya perjanjian franchise. Seringkali franchise menggunakan tempat untuk berbisnis yang bukan miliknya, ia menyewa suatu tempat untuk melakukan aktivitas franchise. Dalam hal tempat tersebut diperoleh berdasarkan perjanjian sewa menyewa maka secara bijaksana lamanya waktu menyewa tempat tidak lebih singkat dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian franchise. e. Pelatihan Dan Bantuan Teknik Dari Franchisor

Pelatihan dan bantuan teknik merupakan hal yang penting karena suatu bisnis dengan pola franchise mengandalkan kualitas produk baik barang/jasa dan kualitas pelayanan yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh dengan cara pemberian pelatihan yang baik, mantap, berkualitas, serta pemberian bantuan teknik yang diberikan secara berkala oleh Franchisor kepada franchisee. Franchisee harus menilai kelayakan dari pelatihan serta bantuan teknik yang diberikan oleh Franchisor kepadanya. Kelayakan ini penting karena sangat berguna bagi franchise didalam menjalankan bisnisnya, karena apabila franchise

tidak mendapatkan bantuan teknik serta pelatihan yang cukup maka akan mendapat kesulitan di dalam menjalankan roda bisnisnya.

f. Standar Operasional

Standar operasional yang diterapkan dalam franchise biasanya terlampir dalam buku petunjuk/operation manuals. Petunjuk tersebut mengandung metode, dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan bisnis franchise. Menurut Martin Mendelsohn17 buku pedoman yang berisikan standar bisnis ini terbagi dalam beberapa bagian, yaitu :

1. Pendahuluan yang mengutamakan uraian pendahuluan yang menguraikan hakikat dasar dari sistem kerja serta falsafah bisnis jasa personal yang mendasarinya;

2. Sistem operasional yang menguraikan bagaimana sistem operasi dibentuk, dan bagaimana serta mengapa berbagai unsur – unsur pokok saling bersesuaian.

3. Metode operasional yang mendetail menguraikan mengenai perlengkapan apa yang diperlukan, apa fungsinya, dan bagaimana mengoperasikannya.

4. Serta instruksi pengoperasian yang meliputi : a. Buka jam/hari;

b. Pola – pola Perdagangan; c. Jadwal dan pergantian staf;

d. Penggunaan bentuk dan prosedur yang standar; e. Persyaratan yang berkaitan dengan penampilan staf; f. Prosedur pelatihan staf;

g. Prosedur memperkerjakan staf dan peraturan perundang – undangannya;

17

Martin Mendelsohn, Franchising – Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchasee, Alih Bahasa oleh : Arief Suyoko, Fauzi Bustami, Hari Wahyudi, PT Pustaka Binaman Presindok, Jakarta, 1993, h. 104-106.

h. Prosedur untuk mendisiplinkan staf serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh franchise sebagi pemakai;

i. Kebijakan penetapan harga; j. Kebijakan pembelian;

k. Standar produk termasuk prosedur mengenai keluhan pelanggan;

l. Standar layanan; m. Tugas–tugas staf;

n. Pembayaran uang franchise; o. Akuntansi;

p. Control kas dan prosedur perbankan;

q. Termasuk prosedur yang berhubungan dengan cek, kartu cek dan kartu kredit;

r. Periklanan dan pemasaran;

s. Persyaratan yang berkenaan dengan presentasi gaya gedung yang dimiliki Franchisor;

t. Juga persyaratan mengenai cara untuk mempergunakan merek dagang dan/atau jasa, asuransi, prosedur pengendalian sediaan.

Sebelumnya berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007), masalah waralaba menjadi persoalan besar, karena pewaralaba (franchisor) harus menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa yang disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain yang mengatur suatu kerja sama waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada.18 Berarti yang menjadi dasar yang sangat kuat hingga kekuatannya sama dengan undang-undang ialah sebuah perjanjian yang tertuang dalam kontrak waralaba/franchise itu sendiri, sehingga perjanjian waralaba itu merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para

18

pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Adapun asas tersebut merupakan termaktub dalam sebuah asas yang disebut asas Pacta Sun Servanda.

Walaupun suatu perjanjian waralaba merupakan kesepakatan antara dua pihak, tetapi paling tidak ada dua pihak lain yang terkena dampak dalam isi perjanjian waralaba, yaitu sebagai berikut:

1. Franchisee lain dalam sistem waralaba yang sama;

2. Konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat umumnya. Franchisee lain dalam sitem waralaba (franchising) yang sama berharap bahwa franchisee yang baru menjadi anggota akan menjaga nama dari seluruh sistem dengan menepati standar yang telah menyebabkan seluruh sistem berhasil.

Sebagai payung hukum (umbrella act) dari suatu perjanjian waralaba terdapat Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Pasal 5 mengatakan bahwa sebelum membuat perjanjian, pemberi waralaba harus mencantumkan secara tertulis dan benar, sekurang-kurangnya mengenai:19

a. Nama dan alamat para pihak;

b. Jenis Hak atas Kekayaan Intelektual; c. Kegiatan usaha;

d. Hak dan kewajiban para pihak;

e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

f. Wilayah usaha;

g. Jangka waktu perjanjian; h. Tata cara pembayaran imbalan;

i. Kepemilikkan, perubahan kepemilikkan, dan hak ahli waris; j. Penyelesaian sengketa;

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

19

Hal-hal yang diatur oleh hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Akan tetapi, sering juga terjadi das sein yang menyimpang dari das sollen. Penyimpangan ini menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera di dalam perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak yang menyebabkan kerugian. Kemungkinan pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di Indonesia.

Selain itu terdapat beberapa undang-undang yang mengatur terkait perlindungan para pihak yang melakukan perjanjian waralaba/franchising, yaitu Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001, Undang-undang Hak cipta No. 19 Tahun 2002, Undang-undang Hak Paten No 14 Tahun 2001.20 Dengan beranjak pada rumusan , pengertian, dan konsep waralaba yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa pemberian waralaba senantiasa terkait dengan pemberian hak untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan HKI seperti penjelasan di atas.

20

Syopiansyah Jaya Putra, Yusuf Durachman, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet. 1, h. 132-133.

30

A. Pengertian dan Prinsip Dalam Pemberian Kredit Bank

Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti “kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan

sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak21. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan) menyebutkan definisi dari kredit yaitu:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga”.

Perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan (woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen.

21

Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 263.

Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuar formulir yang berisi kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam formulir tersebut pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanga hal-hal yang bersifat subjektif, seperti waktu dan identitas. Peranan bank selaku pemberi kredit baru berfungsi apabila telah dicapai kesepakatan dalam perjanjian kredit antara pihak bank/Kreditor dengan pihak nasabah/Debitur yang selanjutnya diikuti dengan penyerahan uang kepada nasabah/Debitur oleh bank selaku Kreditor. Penyerahan uang sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang berlaku dalam model perjanjian kredit kedua belah pihak. Dalam praktek perbankan menunjukkan bahwa seseorang yang bermaksud untuk mendapatkan kredit bank, memulai langkahnya dengan mengajukan permohonan kredit. Untuk itu biasanya bank telah menyediakan formulir tertentu yang harus diisi oleh pemohon kredit. Dalam formulir perjanjian tersebut berisi tentang apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum untuk mengajukan kredit serta berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila permohonan kredit tersebut diberikan.

Secara umum terdapat dua jenis kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya, yaitu kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaan dan kredit ditinjau dari segi jangka waktunya. Menurut segi penggunaannya, kredit dibagi menjadi :

1. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya.

2. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang yang perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Sedangkan jenis kredit ditinjau dari segi jangka waktunya dapat berupa :

1. Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan tidak lebih dari satu tahun.

2. Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari satu tahun tapi tidak lebih dari tiga tahun.

3. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari tiga tahun.

Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 bentuk

1. Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata),

Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik.

2. Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata) Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak.

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (Kreditor) disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Namun dalam pemberian kredit tersebut haruslah memenuhi unsur- unsur pokok kredit, yaitu :

1. Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh Debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.

2. Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh Debitur dipisahkan oleh tenggang waktu.

3. Risiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di dalamnya yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali.

4. Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan Debitur mengenai suatu pemberian kredit, pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.22

Pemrosesan permohonan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu dianalisis oleh bagian marketing, dengan melibatkan bagian lain seperti yang ditunjukkan dalam kurung berikut:

1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitur termasuk di dalamnya (account officer).

22

2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha (account officer/bagian hukum).

3. Mengenai usaha debitur, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen (marketing/account officer). 4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (account

officer/bagian hukum).

5. Kajian ulang permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit (risk management).

6. Cara pengikatan kredit (bagian hukum).

7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operasional).

Menurut Kasmir, prosedur dan penilaian kredit secara umum bagi setiap bank tidak jauh berbeda; yang berbeda hanyalah pada persyaratan dan ukuran penilaian dengan pertimbangan masing-masing bank.23

Dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Perbankan secara tegas disebutkan bahwa yang memberikan kredit adalah bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat sedangkan yang menerima kredit secara tegas tidak disebutkan. Bank dalam menilai suatu permintaan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit/calon penerima kredit berpedoman pada faktor-faktor sebagai berikut:

1. Watak atau Characteristic

23

Maksud watak disini adalah kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit apakah, dia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik sesuai dengan perjanjian kredit tersebut atau yang akan diadakan.

2. Kemampuan atau Capacity

Maksudnya adalah kemampuan mengendalikan, memimpin, menguasai bidang usahakanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon kredit berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan.

3. Modal atau Capital

Maksudnya adalah pemohon kredit itu wajib memiliki modal sendiri sebab adanya modal sendiri menunjukkan pemohon itu adalah pengusaha lalu untuk mengembangkan perusahaannya perlu mendapat kredit dari bank yang mana kredit ini berfungsi sebagai tambahan modal.

4. Jaminan atau Collateral

Maksudnya adalah kekayaan yang dapat dilihat sebagai jaminan guna pelunasan hutang dikemudian hari seandainya penerima kredit tidak melunasi hutangnya.

5. Kondisi Ekonomi atau Condition of Economy

Maksudnya adalah situasi ekonomi dalam jangka waktu tertentu akan memungkinkan pemohon kredit memperoleh keuntungan yang menurut perhitungan didapat dari kegunaan kredit itu. Kelima faktor-faktor tersebut dinamakan Analisa Kredit yang merupakan ukuran kemampuan penerima

kredit untuk mengembalikan pinjaman kreditnya dari kelima faktor analisa kredit ini mengandung 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:

1. Unsur Subjektif, yaitu berupa modal.

2. Unsur Objektif, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, modal dan keadaan ekonomi.

3. Unsur Yuridis, yaitu yang berkenaan dengan struktur yuridis dari badan usaha penerima kredit dari bank.

Setelah perjanjian tersebut disepakati, maka lahirlah kewajiban pada diri Kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada Debitur, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari Debitur pada waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan kewajiban Debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban Kreditor. Jadi dari berdasarkan hal tersebut di atas , diketahui bahwa: 1. Pemberi kredit adalah bank.

2. Penerima kredit adalah pihak yang memberikan jaminan dan memnuhi syarat-syarat dalam analisa kredit.

B. Batasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit

Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran

(diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan pengaturan dasar dalam Undang-Undang Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.

Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK 3 vide Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum 5 yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit, tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana bank dalam bentuk :

a. kredit;

b. surat berharga; c. penempatan;

d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; e. tagihan akseptasi;

f. darivatif kredit (credit derivative);

g. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit); h. tagihan derivatif;

i. potential future credit exposure; j. penyertaan modal;

k. penyertaan modal sementara;

l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k.

Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara, penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank. Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. Sementara, pihak terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) apabila pada saat pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran terhadap ketentuan BMPK tersebut, selain dapat dikenakan sanksi, juga akan diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Bank diwajibkan pula untuk menyampaikan laporan

bulanan setiap bulan kepada Bank Indonesia mengenai penyediaan dana kepada peminjam dan sekelompok peminjam yang melampaui BMPK, seluruh penyediaan dana kepada piihak-pihak yang terkait dengan bank.24 Apabila kewajiban ini dilanggar oleh bank maka bank yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda, administratif dan/atau sanksi pidana.25

Selain pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28 Februari 1991 telah mengatur pembatasan pemberian kredit untuk pembelian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang:

a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pemberian kredit investasi untuk pembiayaan barang modal (aktiva tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan di pasar modal;

b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan.

24

Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 295

25

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), h. 88.

Pelanggaran akan ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan oleh Bank Indonesia. Ketentuan tersebut disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit pada Perusahaan Sekuritas dan Kredit Dengan Agunan Saham. Disebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit bank untuk jual beli saham, yaitu:

a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan

Dokumen terkait