• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontrak francise sebagai agunan kredit dalam hukum jaminan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontrak francise sebagai agunan kredit dalam hukum jaminan Indonesia"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh: Ilham Herdinata

1110048000064

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ILHAM HERDINATA 1110048000064

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)
(4)
(5)
(6)

v

Alfitra SH. M. Hum dan Dr. Hj. Mesraini M.Ag.Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan kontrak franchise dalam pemberian kredit perbankan melihat adanya kemungkinan penggunaan kontrak franchise sebagai objek jaminan utang dalam perspektif perundang-undangan di Indonesia. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Franchise (waralaba) merupakan salah satu bisnis yang berbasis Hak Kekayaan Intelektual dan memerlukan sebuah modal yang cukup untuk melakukan pengembangan usaha franchise. Sebagai salah satu hak kebendaan yang mempunyai nilai ekonomis dan memenuhi syarat dijadikan sebagai agunan kredit, kontrak franchise belum memiliki dasar hukum yang jelas. Agunan kredit tidaklah menjadi masalah apabila barang yang dijadikan sebagai agunan merupakan barang yang lazim digunakan masyarakat sebagai objek penjaminan atas utang, tetapi akan timbul masalah apabila barang yang dijadikan agunan tidaklah umum dipakai sebagai objek jaminan. Dalam hal konsep hukum perdata dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yakni suatu perjanjian dapat mengesampingkan Undang-undang selama perjanjian tersebut tidak mencederai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Kata Kunci : Franchise, Hukum Jaminan ,Agunan, Surat berharga. Pembimbing : 1. Dr. Alfitra SH. M.Hum.

(7)

vi

hidayah-Nya, terrucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin

tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalawat seiring salam

semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul anbiya’I

walmursalin Muhammad SAW.

Dengan setulus hati ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat

jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang

maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang

ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena

keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak

pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari tanpa dorongan dari pembimbing dan semua pihak

yang mendukung penelitian ini hingga selesai, pada kesempatan ini, izinkanlah

penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada, yang terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, dan para

Wakil Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Isalam Negeri syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H, M.H, M.A, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

Arip Purkon, S.Hi, M.A, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

3. Dr. Alfitra, S.H, M.Hum, dan Dr. Hj. Mesraini M.Ag, dosen pembimbing

(8)

vii

sangat berarti bagi penulis yaitu Prof. Dr. Tahir azhari, S.H,M.H. Asrori S.

Karni, S.Ag, M.H., Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., M.H., MM. Dr. Ria

Safitri, S.H., M.Hum. Nahrowi, S.H, M.H. Nur Rohim yunus. LL.M serta dosen

lainnya yang tak bisa disebutkan namanya tanpa mengurangi rasa hormat.

5. Kedua orang tua terhebat Ayahanda Sadino dan Ibunda Nanik Herawati yang senantiasa mendidik, membantu, mendukung dan melimpahkan kasih sayang serta do’a yang tiada henti.

6. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2010, terima kasih atas segala

bentuk dukungan dan ilmu yang telah kalian berikan. Khususnya sahabat luar

biasa saya, Aryadillah, Mustafa Aqib, Eko Yulianto, Satyawan Pari Kresno,

Chairunisa Juhriyah, Rizky Hariyo, Faizal, dan Galuh Hayu. Terimakasih atas

segala bentuk bantuan dan kesabaran kalian selama berkawan dengan saya.

Semangat untuk kita semua, raih mimpi kita, kalian adalah orang-orang hebat

dengan segala ketulusan dan kebaikan kalian, semoga Tuhan selalu merestui

jalan kita.

7.Teman-teman Kuliah Kerja Nyata di Desa Suka Maju, terimakasih atas

kebersamaannya, kekompakan, dan rasa persahabatannya, semoga silaturahmi

tetap terjaga sampai nanti.

8.Sahabat terbaik, Sandi AP, Rentino, Rieski, Ria Herdiana, Gerry, Jentel,

Apriyanto, Iqrom, Saeful, Soma, Syamsul, Zakaria, Adha, Mona, Sarah Eka,

Rahmadianti, Tanti, Azhari, Caesal, Ferdina, Haini, Albert, Ferbian, Reza dan

(9)

viii

detik ini penulis panjatkan do’a, semoga Allah memberikan Balasan yang berlipat dan

menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaum al-akhir.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para

pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua

dalam menjalani hari esok. Amin.

Jakarta, 2 April 2015 M

(10)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ... 8

E. Kerangka Konseptual ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM FRANCHISE SEBAGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL A. Pengertian Franchise ... 15

B. Sejarah Franchise... 19

(11)

x

B. Batasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit ... 36

C. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit dalam Pemberian Kredit ... 40

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERKAIT KONTRAK

FRANCHISE YANG DIJADIKAN AGUNAN KREDIT

A. Kedudukan Kontrak Franchise Sebagai Surat Berharga... 44

B. Posisi Agunan dalam Perjanjian Kredit yang Disalurkan Oleh Lembaga Perbankan... 48

C. Analisa Kontrak Franchise Sebagai Objek Jaminan dalam Perjanjian Kredit ... 56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat

Indonesia terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan.

Animo ini terefleksi pada dua cermin yakni : jumlah pembeli waralaba dan

jumlah peluang usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi waralaba. Berdasarkan data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) di tahun 2014, jumlah semua waralaba yang ada di Indonesia sebanyak 2.100 merek,

dan 400 di antaranya adalah merek asing1.

Menurut Reitzel, Lyden, Roberts dan Severance dikutip dari buku

yang berjudul “Study Guide To Accompany Reitzel-lyden-roberts-severance

Contemporary Business Law: Principles And Cases”, bahwa franchise di definisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang

dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang (merek) tersebut pada

usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati2. Sedangkan menurut

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang

1

http://www.franchiseindonesia.org , Diakses pada 19 Agustus 2014. 2

(13)

waralaba, di dalam ketentuan umumnya disebutkan bahwa “waralaba adalah

hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha

terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan

barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Hak Eksklusif yang dapat diberikan oleh undang-undang dalam hal

kontrak franchise ialah Hak untuk membuka dan mengelola counter atau

tempat usaha di lokasi yang disepakati para pihak, hak untuk menggunakan

nama dan karakteristik milik franchisor yang sudah dikenal secara baik oleh

masyarakat, hak untuk menerima informasi mengenai manajemen bisnis dan

pemasaran milik franchisor, hak untuk menerima petunjuk/padoman teknis tertentu secara komprehensif dari franchisor ,dan hak promosi atas seluruh

counter di Indonesia. Berdasarkan fakta tersebut bahwa sifat dari kontrak franchise memiliki nilai yang berguna dan mengandung beberapa hak

ekslusif kekayaan intelektual lainnya seperti hak merek dalam hal

penggunaan atas nama dan karakteristik milik franchisor serta hak ekslusif lainnya seperti hak paten dan kontrak, sehingga kontrak franchise tersebut

dapat menjadi suatu asset tidak berwujud (intangible asset)3 yang membawa manfaat ekonomi jika diperalihkan karena isi dari kontrak tersebut

menghasilkan royalty yang cukup besar. kontrak franchise tersebut dapat dikategorikan sebagai hak milik industri. Bagi bangsa Indonesia,

3

(14)

pengembangan Hak Milik Industri merupakan perkembangan yang baru,

tetapi bagi negara maju telah dikenal karena pandangan akan prinsip

manfaat atau nilai ekonomi (economic value) yang cukup besar bagi pendapatan Negara4.

Pengertian jaminan berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor

10 Tahun 1998 tidak sama dengan pengertian jaminan berdasarkan

Undang-Undang Perbankan Tahun 1967. Menurut Undang-Undang-Undang-Undang Perbankan

Tahun 1967, pengertian “jaminan” disamakan dengan “agunan”. Adapun

“jaminan” menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998

diartikan “keyakinan atas iktikad dan kemampuan nasabah serta

kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan

pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Jaminan kredit

yang dimaksud Undang-Undang Perbankan Nomor 8 Tahun 1998 bukanlah

jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral yang

merupakan bagian dari Prinsip 5 C sebagai penerapan analisis kredit

perbankan5.

Selama ini masyarakat awam mempersamakan pengertian “jaminan

kredit” dengan “agunan kredit”, padahal pengertian keduanya berbeda.

Jaminan kredit adalah jaminan utama yang berwujud tidak nyata, yaitu

jaminan yang berupa “keyakinan” bank atas “iktikad baik” nasabah debitur

4

Suyud Margono. Hak Milik Industri, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2011), h. 24.

5

(15)

untuk melunasi utangnya sesuai perjanjian, sedangkan agunan kredit adalah

jaminan tambahan yang pada umumnya berwujud fisik (misalnya : rumah,

tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain) yang dicadangkan untuk

pelunasan hutang. Agunan kredit terdiri dari agunan pokok dan agunan

tambahan. Pengertian jaminan kredit secara tersirat dan tersurat dijelaskan

dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang

Perbankan yang menyatakan bahwa:

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Agunan kredit tidaklah menjadi masalah apabila barang yang

dijadikan sebagai agunan merupakan barang yang lazim digunakan

masyarakat sebagai objek penjaminan atas utang, tetapi akan timbul masalah

apabila barang yang dijadikan agunan tidaklah umum dipakai sebagai objek

jaminan. Dalam hal konsep hukum perdata dikenal dengan asas kebebasan

berkontrak (freedom of contract) yakni suatu perjanjian dapat mengesampingkan undang-undang selama perjanjian tersebut tidak

mencederai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, melainkan kebebasan

berkontrak tersebut akan batal demi hukum apabila tidak memberikan

keadilan yang proporsional kepada salah satu pihak, karena hal tersebut

dianggap tidak memenuhi Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian

(16)

tambahan, undang-undang harus memberikan legitimasi perlindungan

terhadap pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum perjanjian. Hukum

penjaminan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

serta peraturan pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah, peraturan

menteri, dan peraturan Bank Indonesia. Surat berharga itu sendiri adalah

surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksana

pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang yang

pembayarannya tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang,

melainkan dengan alat bayar lain6.

Seiring berkembangnya bisnis dan dunia perbankan khususnya

perkreditan surat berharga pun bisa dijadikan jaminan. Saat ini berdasarkan

regulasi yang terkait, Surat berharga yang dapat dijadikan jaminan antara

lain saham, obligasi, sukuk dan lain-lain, namun didalam praktik terdapat

surat berharga yang tidak termasuk kedalam kategori surat berharga yang

dapat dijadikan agunan, melainkan surat yang berharga untuk pihak tertentu

saja dan tidak berlaku umum, yakni Sertifikat franchise. Seiring dengan hal

tersebut, keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hak yang timbul bagi

hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna

untuk manusia khususnya kontrak franchisse kurang diperhatikan untuk

dimasukkan ke dalam bentuk barang-barang yang dapat dijadikan agunan.

Hal tersebut dikarenakan nilai objek dari HKI bersifat fluktuatif atau tidak

6

(17)

tetap, namun akan terjadi perbedaan kepentingan yang disebabkan oleh

terpenuhinya nilai-nilai yang terkandung dalam HKI sehingga dapat

dijadikan sebagai objek collateral apabila dikaitkan dengan syarat-syarat benda jaminan yang diatur di dalam hukum jaminan di Indonesia dengan

praktik yang terjadi. Sehubungan dengan surat berharga yang dapat

dijadikan sebagai jaminan, maka penulis tertarik membahas status surat

kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan ditinjau dari hukum

jaminan Indonesia. Dengan judul “KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI

AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan

maka penelitian ini difokuskan pada status surat kontrak franchise yang dijadikan sebagai objek agunan penjaminan dalam kredit

perbankan di Indonesia dikaitkan dengan regulasi yang mengatur

hukum jaminan seperti Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia, Kitab undang Hukum Perdata dan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum

Pemberian Kredit Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.

(18)

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan batasan masalah di atas,

maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah kedudukan kontrak franchise dalam pemberian kredit perbankan?

b. Apakah kontrak franchise dapat digolongkan sebagai suatu surat berharga yang dapat menjadi jaminan dalam pemberian kredit

perbankan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tinjauan

hukum jaminan di Indonesia terhadap pernyataan kontrak franchise sebagai objek jaminan kredit perbankan. Sedangkan secara khusus

penelitian ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui kedudukan kontrak franchise dalam pemberian

kredit perbankan.

b. Untuk mengetahui kontrak franchise digolongkan sebagai suatu surat berharga yang dapat menjadi jaminan dalam pemberian kredit

perbankan.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu :

(19)

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan tentang perjanjian dengan klausul perjanjian tambahan

menggunakan objek jaminan kontrak franchise.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

bagi pelaku usaha dan masyarakat yang hendak mengajukan kredit

perbankan agar bisa menggunakan surat perjanjian kontrak franchise.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Penelitian yang terkait dengan penelitian ini berjudul “Fidusia Sebagai

Jaminan dalam Pemberian Kredit di Perusda BPR Bank Pasar Klaten”

Penelitian ini disusun oleh Sheeny Adisti, Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Tahun 2010, dalam skripsinya penulis bertujuan untuk

mengetahui pelaksanaan prosedur pemberian kredit dengan jaminan fidusia

di Perusda BPR Bank Pasar Klaten. Serta mengetahui hak–hak dan

kewajiban pemberi dan penerima jaminan fidusia bila terjadi wanprestasi

dan resiko dalam pemberian kredit. Yang membedakan penelitian yang akan

penulis angkat dengan penelitian sebelumnya adalah, peneliti lebih

memfokuskan Kontrak Franchise sebagai agunan atau objek jaminan. Dan pembahasan mengenai perlindungan terhadap pihak-pihak melalui analisis

peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

Selanjutnya penelitian oleh Muhammad Rasyid yang berjudul

“Analisis Terhadap Bisnis Waralaba Berdasarkan PP.No 42 Tahun 2007”,

(20)

mengenai perbedaan antara peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah Nomor 16 tahun 1997

tentang waralaba. Perbedaan penelitian Muhammad Rasyid dengan penulis

terletak pada materi dan permasalahan yang dikaji, dimana penulis

menganalisis tentang kontrak franchise sebagai jaminan kredit berlandaskan peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Dalam hal ini peneliti fokus

terhadap kontrak franchise sebagai sebuah jaminan keterkaitannya dengan

syarat-syarat benda jaminan yang diatur di dalam hukum jaminan di

Indonesia.

Buku yang berjudul “Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan Pada

Umumnya” yang ditulis oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja yang

diterbitkan oleh Kencana menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan

dengan hukum kebendaaan, mulai dari pengaturan kebendaan hukum di

Indonesia, pengertian kebendaan hingga macam dan jenis kebendaan serta

macam dan jenis hak kebendaan, ciri dan asas hukum kebendaan dan Jura in re alenia.

E. Kerangka Konseptual

Franchise adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam

rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan

dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan

(21)

diberikan oleh franchisor kepada franchisee berupa Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dan Business Format.

Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan

sebagai pelaksana pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran

sejumlah uang yang pembayarannya tidak dilakukan dengan menggunakan

mata uang, melainkan dengan alat bayar lain

Agunan adalah aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi

pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika

peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan

tersebut.

Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang

jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum

untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum.

F. Metode Penelitian 1. Tipe penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisis dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis

dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara

tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan

konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu

(22)

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan

pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian yuridis normatif, penelitian dilakukan dengan

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dan pengkajian

terhadap Undang-undang untuk menjelaskan mengenai aspek normatif

dan yuridis.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis

normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah

semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani7. Pendekatan dilakukan terhadap

berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan kontrak franchise

sebagai agunan, seperti : Undang-undang nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan

Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007

Tentang Waralaba dan peraturan organik lain yang berhubungan

7

(23)

dengan objek penelitian. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep pernyataan penjaminan

surat perjanjian kontrak franchise. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak

lagi menjadi pemahaman yang kabur dan ambigu.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini yang

termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang-undang : Kitab

Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 10 Tahun

1998 Tentang Perbankan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007

Tentang Waralaba.

Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan-bahan non-hukum

tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan

peneliti.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber

(24)

berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber

dan hierarkinya.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih

sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara

pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan

hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang

akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia tentang

kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan.

G. Sistematika Penelitian

Skripsi ini disusun berdasarkan buku Petunjuk Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri

atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun

perinciannya sebagai berikut:

(25)

(Review) kajian Terdahulu, kerangka konseptual, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan UmumFranchise sebagai Hak Kekayaan Intelektual.

Pada bab ini penulis membahas pengertian dari franchise, sejarah

dari franchise dan perlindungan terhadap pihak-pihak (analisis peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba).

BAB III Aspek Hukum Pemberian Kredit oleh Lembaga Perbankan. Pada bab ini penulis membahas tentang pengertian dan prinsip

dalam pemberian kredit bank, batasan dan larangan dalam

pemberian kredit, dan kegunaan serta fungsi jaminan kredit dalam

pemberian kredit.

BAB IV Analisa Kontrak Franchise sebagai Agunan. Pada bab ini

menguraikan hasil analisis penelitian dan pembahasan mengenai

kontrak franchise sebagai agunan kredit, serta menjawab

pertanyaan dalam rumusan masalah dalam penulisan karya

ilmiah ini.

BAB V Penutup. Bab ini sebagai bagian terakhir dalam penelitian ini. berisi tentang kesimpulan yang bibuat oleh penulis dari

pembahasan yang dilakukan, sekaligus merupakan jawaban dari

rumusan masalah yang terdapat pada bab satu. Selain itu juga, bab

(26)

15 BAB II

TINJAUAN UMUM FRANCHISE SEBAGAI HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL

A. Pengertian Franchise

Waralaba atau dalam istilah Bahasa Inggris disebut dengan Franchise adalah suatu sistem yang berkembang dari lisensi di bidang hak milik

intelektual di bidang penjualan barang-barang dan jasa. Apa yang terdapat

dalam kontrak lisensi biasanya juga terdapat dalam suatu kontrak franchise, hanya saja kontrak franchise biasanya lebih luas (comprehensif). Hal ini

karena selain franchise harus memproduksi barang dan jasa yang sama dengan yang dibuat oleh franchisor atau perusahaan induknya, juga sering

sekali pula harus disajikan dan harus dipasarkan sesuai dengan cara yang

dilakukan dan diminta oleh franchisor.

Franchise sebagai suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis

antara dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai franchisor

dan pihak lain sebagai franchisee, dimana di dalamnya diatur, bahwa pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek dan teknologi, memberikan haknya

kepada franchise untuk melakukan kegiatan bisnis berdasarkan merek dan teknologi tersebut.8

Ada beberapa pendapat lain yang dikemukakan oleh para ahli

mengenai pengertian atau definisi dari franchise. Dalam hal ini akan

8

(27)

dikemukakan beberapa pengertian mengenai franchise sebagai gambaran untuk mengetahui apa itu franchise.

Menurut Gunawan Widjaja, Waralaba merupakan salah satu bentuk

pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada

umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan

sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan

maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara

eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima

lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat

eksklusif.9

Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan

usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba. Menurut pasal 13

ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang

Merek menjelaskan bahwa:

“Perjanjian Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu”.

Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup

hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan

sebagainya.

Menurut Adrian Sutendi, Perjanjian Lisensi biasa tidak sama dengan

perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang

9

(28)

kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek

tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu

sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai

macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain.”10

Menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan

waralaba ialah: “suatu sistem pendistribusian barang dan jasa kepada

pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak

kepada individu atau perusahaan (franchise) untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara – cara yang telah ditetapkan

sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”. Di dalam

kamus ekonomi bisnis perbankan mengartikan bahwa franchise adalah “suatu hak tunggal yang diberikan kepada perorangan atau suatu organisasi,

oleh suatu pihak lain, baik perorangan atau organisasi (perusahaan,

pemerintah dan sebagainya) untuk menjalankan suatu wewenang

khususnya menyangkut perbuatan dan atau penjualan di wilayah tertentu11.

Dari sudut pandang ekonomi franchise adalah hak yang diberikan secara khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau

merakit, menjual, memasarkan suatu produk atau jasa. Sedangkan dari sudut

pandang hukum franchise adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam

10

Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h.93.

11

(29)

bekerjasama memproduksi, merakit, menjual, memasarkan suatu produk

jasa. 12

Berdasarkan semua pengertian atau definisi tentang waralaba

(franchise) diatas pada dasarnya mengandung elemen/unsur pokok sebagai

berikut :

1. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak

eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang dan jasa itu.

2. Franchise yaitu pihak yang telah menerima hak eksklusif itu dari

franchisor.

3. Penyerahan hak – hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi

berbagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari

franchisor kepada franchise.

4. Standarisasi mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee,

serta supervisi secara sukarela berkala dalam mempertahankan mutu.

5. Imbalan prestasi dari franchise kepada franchisor yang berupa initial fee dan royalties biaya – biaya lain yang disepakati oleh kedua belah

pihak.

6. Penempatan wilayah tertentu.

7. Pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan yang

diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan.

12

(30)

Waralaba dapat berkembang dengan pesat dikarenakan sarana

pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha retail,

makanan, salon, binatu dan lain sebagainya. Waralaba juga mulai

berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing

yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba,

maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang

sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Alfamart,

dan Sabana Fried Chicken.

B. Sejarah Franchise

Konsep waralaba/franchise pada mulanya muncul sejak 200 tahun sebelum masehi. Ketika itu, terdapat seorang pengusaha keturunan Cina

memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk

makanan dengan merk tertentu. Kemudian juga terjadi di Perancis pada

tahun 1200-an, ketika itu penguasa Negara dan penguasa gereja

mendelegasikan kekuasaannya kepada para pedagang dan ahli pertukangan. Pada saat itu hal ini disebut “diartes de franchise”, yang berarti bahwa para

pedagang dan ahli pertukangan memiliki hak untuk menggunakan dan

mengolah hutan yang berada dibawah kekuasaan Negara dan gereja.

Kemudian sebagai imbalannya penguasa Negara dan penguasa gereja

menuntut jasa tertentu atau uang. Namun, sebenarnya konsep waralaba

seperti yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat13.

13

(31)

Pada tahun 1851 konsep dasar waralaba ini diawali dan berkembang

di Amerika Serikat, kemudian tumbuh dengan pesat pada tahun 1950-an dan

1960-an. Ide atau dasar pemikiran ini walnya adalah bagaimana agar suatu

produk yang dihasilkan di suatu negara bagian dapat dijual ke negara bagian

lainnya. Selanjutnya dikemudian hari ide tersebut diistilahkan sebagai

franchise. Hal ini merupakan bentuk penyempurnaan dan/atau perkembangan dari masa-masa sebelumnya14.

Kurang lebih dua abad yang lalu perusahaan-perusahaan bir

memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya

mendistribusikan produk mereka. Pada masa ini waralaba yang sekarang

dikenal diistilahkan sebagai “straight product franchising” (waralaba

produksi murni). Pada awalnya sistem ini dipergunakan pada industri Coca

Cola yang kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran industri mobil

(general-motor) oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak waralaba

kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk

memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat15.

Setelah perang dunia ke II di amerika serikat berkembang sistem waralaba generasi ke dua yang istilahkan “entire business francheshing”.

Jadi, sistem waralaba mengalami perkembangan, yaitu tidak hanya

perjanjian mengenai satu aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh

aspek pengoprasian perusahaan waralaba. Dimana pemberi waralaba

14

Sumardi Juajir, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Trans Nasional, (bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), h.2

15

(32)

(Franchisor) memiliki konsep berupa bentuk atau dekorasi tempat usaha, kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen atau organisasi perusahaan.

Kemudian di berikan kepada penerima waralaba (franchise).

Bentuk franchise yang paling sederhana dan umum adalah produk franchise atau trade name franchise yang dipelopori oleh mesin jahit singer.

Singer sewing machine company merupakan pihak pertama yang mengembangkan franchise sebagai cara menjual produk dan jasa serta telah

menciptakan suatu bentuk pemasaran produknya (dalam hal ini mesin-mesin

jahit), dimana bentuk pemasaran produk tersebut dapat dianggap sebagai

bentuk embrio dari sistem franchise. Pada tahun 1980-an singer membangun jaringan dealer dan salesman yang membayar kepada singer, sebagai royalti atas diberikannya hak memasarkan mesin jahit singer ke

daerah tertentu. Meskipun usaha tersebut kurang sukses dan tidak

dilanjutkan setelah berjalan sepuluh tahun, singer telah berjasa

mengembangkan franchise.

Bisnis franchise ini seolah-olah melejit begitu saja, banyak orang terkejut. Franchise dianggap tanpa melalui proses perkembangan dari awal.

Apa yang dilakukan oleh Ray Kroc pada McDonald’s adalah

mempopulerkan sistem bisnis yang telah ada beberapa abad yang lalu.

(33)

sekitarnya. Sejak saat itu mulai nampak variasi bentuk dari sistem franchis

dan rupanya sistem bisnis ini semakin berkembang hingga saat ini.

Ekspansi di bidang franchise secara bertahap dimulai pada era tahun 1950-an, dimana pada masa itu sistem bisnis franchises merupakan suatu

jaringan usaha suatu mata rantai. Para franchisor mulai berfikir untuk mencari lokasi yang tepat bagi pendirian output yang menentukan penempatan pengurus yang tepat bagi produksinya. Dalam

perkembangannya dewasa ini franchise juga sudah melewati batas-batas negara, artinya sistem bisnis franchise tidak hanya dilakukan dalam wilayah

suatu negara tertentu atau nasional, tetapi juga dilakukan dengan pihak asing

di luar negara franchisor.

Jadi hubungan bisnis franchise bukan hanya bersifat lokal/nasional

tetapi sudah bersifat internasional. Sebagai contoh di Indonesia saat ini

sudah banyak perusahaan-perusahaan asing yang memberi hak lisensi

kepada pengusaha di Indonesia, baik untuk memproduksi barang, memberi

hak pemakaian merek, service/format dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan

tersebut beragam bentuknya mulai dari bisnis restaurant, retail shop,

garment, hotel dan lain-lain, namun yang lebih banyak dikenal orang adalah

dalam bisnis fast food seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald’s,

Wendy’s dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam perkembangan

franchise saat ini adalah bagaimana mengembangkan konsep atau ide franchisor agar dapat dikembangkan oleh franchisee dengan mutu, standar

(34)

C. Perlindungan Terhadap Para Pihak Menurut Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia

Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena,

baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban

untuk memenuhi prestasi tertentu. Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar

pembentukannya. Dasar pembentukkannya tertuang dalam syarat-syarat

sahnya suatu perjanjian, yaitu:16

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Para pihak (Franchisor dan franchise) yang bersepakat dalam suatu transaksi franchise selain mempermasalahkan persoalan persoalan yuridis,

juga mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu adanya jaminan bahwa

baik Franchisor maupun franchisee adalah pihak -pihak yang secara bisnis dapat diandalkan kerjasamanya, kemampuan manajerialnya dan

bonafiditasnya untuk bersama – sama membangun kerjasama bisnis.

Tuntutan di atas sebenarnya menjadi ukuran dalam menentukan

unsur–unsur pokok kesepakatan, persyaratan, hak dan kewajiban para pihak

yang pada akhirnya dituangkan di dalam klausula-klausula suatu perjanjian

franchise. Dari sudut pandang yang terkandung dalam suatu perjanjian

16

(35)

franchise yang umumnya terdiri dari pasal–pasal, jika dilakukan suatu identifikasi terhadap pokok materi yang terpenting di dalam perjanjian

tersebut, maka terdapat klausula–klausula utama, sebagai berikut:

a. Objek yang difranchisekan

Objek yang difranchisekan biasanya dikemukakan di awal perjanjian franchising. Objek yang di franchisekan harus menjelaskan secara cermat mengenai barang/jasa apa yang termasuk dalam

franchise.

b. Tempat Berbisnis

Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri

Franchisor dibutuhkan dalam usaha franchise. Tempat yang akan dijadikan lokasi berbisnis harus diperhatikan dengan baik agar

kerjasama yang dijalankan menghasilkan keuntungan yang layak.

Bagian ini memuat persyaratan tempat berbisnis yang layak untuk

memasarkan barang/jasa milik Franchisor. Franchisor biasanya turut menentukan dan atau memberikan persetujuan kepada franchisee mengenai tempat yang akan dipakai dalam menjalankan bisnis .

c. Wilayah franchise

Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh Franchisor kepada

franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah yang diberikan

merupakan wilayah yang tidak terlampau luas ataupun terlampau

(36)

wilayah ini didasarkan agar pemberian suatu wilayah tertentu dapat

menjamin tidak ada persaingan usaha sejenis baik yang dilakukan oleh

sesama jenis franchisee ataupun oleh Franchisor sendiri. d. Sewa Guna

Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha franchise didapat dengan suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama

dengan jangka waktu berlakunya perjanjian franchise. Seringkali

franchise menggunakan tempat untuk berbisnis yang bukan miliknya, ia menyewa suatu tempat untuk melakukan aktivitas franchise. Dalam

hal tempat tersebut diperoleh berdasarkan perjanjian sewa menyewa

maka secara bijaksana lamanya waktu menyewa tempat tidak lebih

singkat dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian franchise.

e. Pelatihan Dan Bantuan Teknik Dari Franchisor

Pelatihan dan bantuan teknik merupakan hal yang penting

karena suatu bisnis dengan pola franchise mengandalkan kualitas produk baik barang/jasa dan kualitas pelayanan yang baik dalam

menjalankan bisnisnya. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh

dengan cara pemberian pelatihan yang baik, mantap, berkualitas, serta

pemberian bantuan teknik yang diberikan secara berkala oleh

Franchisor kepada franchisee. Franchisee harus menilai kelayakan dari pelatihan serta bantuan teknik yang diberikan oleh Franchisor kepadanya. Kelayakan ini penting karena sangat berguna bagi

(37)

tidak mendapatkan bantuan teknik serta pelatihan yang cukup maka

akan mendapat kesulitan di dalam menjalankan roda bisnisnya.

f. Standar Operasional

Standar operasional yang diterapkan dalam franchise biasanya

terlampir dalam buku petunjuk/operation manuals. Petunjuk tersebut mengandung metode, dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk

menjalankan bisnis franchise. Menurut Martin Mendelsohn17 buku

pedoman yang berisikan standar bisnis ini terbagi dalam beberapa

bagian, yaitu :

1. Pendahuluan yang mengutamakan uraian pendahuluan yang menguraikan hakikat dasar dari sistem kerja serta falsafah bisnis jasa personal yang mendasarinya;

2. Sistem operasional yang menguraikan bagaimana sistem operasi dibentuk, dan bagaimana serta mengapa berbagai unsur – unsur pokok saling bersesuaian.

3. Metode operasional yang mendetail menguraikan mengenai perlengkapan apa yang diperlukan, apa fungsinya, dan bagaimana mengoperasikannya.

4. Serta instruksi pengoperasian yang meliputi : a. Buka jam/hari;

b. Pola – pola Perdagangan; c. Jadwal dan pergantian staf;

d. Penggunaan bentuk dan prosedur yang standar; e. Persyaratan yang berkaitan dengan penampilan staf; f. Prosedur pelatihan staf;

g. Prosedur memperkerjakan staf dan peraturan perundang – undangannya;

17

(38)

h. Prosedur untuk mendisiplinkan staf serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh franchise sebagi pemakai;

i. Kebijakan penetapan harga; j. Kebijakan pembelian;

k. Standar produk termasuk prosedur mengenai keluhan pelanggan;

l. Standar layanan; m. Tugas–tugas staf;

n. Pembayaran uang franchise; o. Akuntansi;

p. Control kas dan prosedur perbankan;

q. Termasuk prosedur yang berhubungan dengan cek, kartu cek dan kartu kredit;

r. Periklanan dan pemasaran;

s. Persyaratan yang berkenaan dengan presentasi gaya gedung yang dimiliki Franchisor;

t. Juga persyaratan mengenai cara untuk mempergunakan merek dagang dan/atau jasa, asuransi, prosedur pengendalian sediaan.

Sebelumnya berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997

tentang waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No.

42 Tahun 2007), masalah waralaba menjadi persoalan besar, karena

pewaralaba (franchisor) harus menggantungkan pada kesepakatan yang

tertulis di dalam kontrak kerja sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat

teliti dan hati-hati atas apa yang disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain

yang mengatur suatu kerja sama waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh,

kalaupun ada.18 Berarti yang menjadi dasar yang sangat kuat hingga

kekuatannya sama dengan undang-undang ialah sebuah perjanjian yang

tertuang dalam kontrak waralaba/franchise itu sendiri, sehingga perjanjian waralaba itu merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para

18

(39)

pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Adapun asas tersebut merupakan

termaktub dalam sebuah asas yang disebut asas Pacta Sun Servanda.

Walaupun suatu perjanjian waralaba merupakan kesepakatan antara

dua pihak, tetapi paling tidak ada dua pihak lain yang terkena dampak dalam

isi perjanjian waralaba, yaitu sebagai berikut:

1. Franchisee lain dalam sistem waralaba yang sama;

2. Konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat umumnya.

Franchisee lain dalam sitem waralaba (franchising) yang sama berharap bahwa franchisee yang baru menjadi anggota akan menjaga nama

dari seluruh sistem dengan menepati standar yang telah menyebabkan

seluruh sistem berhasil.

Sebagai payung hukum (umbrella act) dari suatu perjanjian waralaba

terdapat Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Pasal 5 mengatakan

bahwa sebelum membuat perjanjian, pemberi waralaba harus

mencantumkan secara tertulis dan benar, sekurang-kurangnya mengenai:19

a. Nama dan alamat para pihak;

b. Jenis Hak atas Kekayaan Intelektual; c. Kegiatan usaha;

d. Hak dan kewajiban para pihak;

e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

f. Wilayah usaha;

g. Jangka waktu perjanjian; h. Tata cara pembayaran imbalan;

i. Kepemilikkan, perubahan kepemilikkan, dan hak ahli waris; j. Penyelesaian sengketa;

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

19

(40)

Hal-hal yang diatur oleh hukum dan peraturan perundang-undangan

merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak

akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Akan tetapi,

sering juga terjadi das sein yang menyimpang dari das sollen. Penyimpangan ini menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika

salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera di

dalam perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan

kerugian bagi salah satu pihak yang menyebabkan kerugian. Kemungkinan

pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi ini merupakan bentuk

perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di Indonesia.

Selain itu terdapat beberapa undang-undang yang mengatur terkait

perlindungan para pihak yang melakukan perjanjian waralaba/franchising, yaitu Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001, Undang-undang Hak cipta

No. 19 Tahun 2002, Undang-undang Hak Paten No 14 Tahun 2001.20

Dengan beranjak pada rumusan , pengertian, dan konsep waralaba yang

telah dijelaskan dapat diketahui bahwa pemberian waralaba senantiasa

terkait dengan pemberian hak untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan

HKI seperti penjelasan di atas.

20

(41)

30

A. Pengertian dan Prinsip Dalam Pemberian Kredit Bank

Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti

“kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan

sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan

mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau

jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak21. Pasal 1 angka 11

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Undang-Undang

Perbankan) menyebutkan definisi dari kredit yaitu:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga”.

Perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan

(woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai

hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Bila dilihat dari sudut

pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit

ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak

karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen.

21

(42)

Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian

baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuar formulir yang berisi

kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam formulir tersebut

pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing

pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanga hal-hal yang bersifat subjektif,

seperti waktu dan identitas. Peranan bank selaku pemberi kredit baru

berfungsi apabila telah dicapai kesepakatan dalam perjanjian kredit antara

pihak bank/Kreditor dengan pihak nasabah/Debitur yang selanjutnya diikuti

dengan penyerahan uang kepada nasabah/Debitur oleh bank selaku Kreditor.

Penyerahan uang sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang

dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang berlaku dalam model perjanjian

kredit kedua belah pihak. Dalam praktek perbankan menunjukkan bahwa

seseorang yang bermaksud untuk mendapatkan kredit bank, memulai

langkahnya dengan mengajukan permohonan kredit. Untuk itu biasanya

bank telah menyediakan formulir tertentu yang harus diisi oleh pemohon

kredit. Dalam formulir perjanjian tersebut berisi tentang apa saja

syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum untuk mengajukan

kredit serta berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila permohonan

kredit tersebut diberikan.

Secara umum terdapat dua jenis kredit yang diberikan bank kepada

nasabahnya, yaitu kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaan dan kredit

ditinjau dari segi jangka waktunya. Menurut segi penggunaannya, kredit

(43)

1. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang

menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya.

2. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang yang

perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Sedangkan jenis kredit ditinjau dari segi jangka waktunya dapat berupa :

1. Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan tidak lebih dari satu

tahun.

2. Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari

satu tahun tapi tidak lebih dari tiga tahun.

3. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari tiga

tahun.

Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 bentuk

1. Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874

KUHPerdata),

Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik.

2. Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868

KUHPerdata) Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu

(44)

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang

memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara

Pemberi utang (Kreditor) disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain

pihak. Namun dalam pemberian kredit tersebut haruslah memenuhi unsur-

unsur pokok kredit, yaitu :

1. Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya

keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh

Debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.

2. Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh

Debitur dipisahkan oleh tenggang waktu.

3. Risiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di

dalamnya yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara

pelepasan kredit dan pembayaran kembali.

4. Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan Debitur mengenai

suatu pemberian kredit, pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan

kontra prestasi.22

Pemrosesan permohonan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu

dianalisis oleh bagian marketing, dengan melibatkan bagian lain seperti

yang ditunjukkan dalam kurung berikut:

1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitur

termasuk di dalamnya (account officer).

22

(45)

2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha (account officer/bagian hukum).

3. Mengenai usaha debitur, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan,

aspek teknik/produksi, aspek manajemen (marketing/account officer).

4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (account

officer/bagian hukum).

5. Kajian ulang permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit

(risk management).

6. Cara pengikatan kredit (bagian hukum).

7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian

operasional).

Menurut Kasmir, prosedur dan penilaian kredit secara umum bagi

setiap bank tidak jauh berbeda; yang berbeda hanyalah pada persyaratan dan

ukuran penilaian dengan pertimbangan masing-masing bank.23

Dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang

Perbankan secara tegas disebutkan bahwa yang memberikan kredit adalah

bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat sedangkan yang

menerima kredit secara tegas tidak disebutkan. Bank dalam menilai suatu

permintaan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit/calon penerima kredit

berpedoman pada faktor-faktor sebagai berikut:

1. Watak atau Characteristic

23

(46)

Maksud watak disini adalah kepribadian, moral dan kejujuran

pemohon kredit apakah, dia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik

sesuai dengan perjanjian kredit tersebut atau yang akan diadakan.

2. Kemampuan atau Capacity

Maksudnya adalah kemampuan mengendalikan, memimpin,

menguasai bidang usahakanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa

depan, sehingga usaha pemohon kredit berjalan dengan baik dan

memberikan keuntungan.

3. Modal atau Capital

Maksudnya adalah pemohon kredit itu wajib memiliki modal sendiri

sebab adanya modal sendiri menunjukkan pemohon itu adalah pengusaha

lalu untuk mengembangkan perusahaannya perlu mendapat kredit dari bank

yang mana kredit ini berfungsi sebagai tambahan modal.

4. Jaminan atau Collateral

Maksudnya adalah kekayaan yang dapat dilihat sebagai jaminan guna

pelunasan hutang dikemudian hari seandainya penerima kredit tidak

melunasi hutangnya.

5. Kondisi Ekonomi atau Condition of Economy

Maksudnya adalah situasi ekonomi dalam jangka waktu tertentu akan

memungkinkan pemohon kredit memperoleh keuntungan yang menurut

perhitungan didapat dari kegunaan kredit itu. Kelima faktor-faktor tersebut

(47)

kredit untuk mengembalikan pinjaman kreditnya dari kelima faktor analisa

kredit ini mengandung 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:

1. Unsur Subjektif, yaitu berupa modal.

2. Unsur Objektif, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi,

modal dan keadaan ekonomi.

3. Unsur Yuridis, yaitu yang berkenaan dengan struktur yuridis dari

badan usaha penerima kredit dari bank.

Setelah perjanjian tersebut disepakati, maka lahirlah kewajiban pada

diri Kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada

Debitur, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari Debitur pada

waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat

perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan

kewajiban Debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban

Kreditor. Jadi dari berdasarkan hal tersebut di atas , diketahui bahwa:

1. Pemberi kredit adalah bank.

2. Penerima kredit adalah pihak yang memberikan jaminan dan memnuhi

syarat-syarat dalam analisa kredit.

B. Batasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit

Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan

dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi

penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi

kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian

(48)

(diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan

dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait.

Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank

yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK

mendapatkan pengaturan dasar dalam Undang-Undang Perbankan.

Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum

Pemberian Kredit Bank Umum.

Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan

kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank,

dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko

dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK

3 vide Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum

Pemberian Kredit Bank Umum 5 yang telah ditetapkan sedemikian rupa

sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam

tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit,

tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana

bank dalam bentuk :

a. kredit;

b. surat berharga; c. penempatan;

d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; e. tagihan akseptasi;

f. darivatif kredit (credit derivative);

(49)

i. potential future credit exposure; j. penyertaan modal;

k. penyertaan modal sementara;

l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k.

Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank

dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan

dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan

bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara,

penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan

pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank. Peminjam

digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam

mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui

hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. Sementara, pihak

terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai

keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No.

7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian

pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) apabila pada saat

pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank

Indonesia. Pelanggaran terhadap ketentuan BMPK tersebut, selain dapat

dikenakan sanksi, juga akan diperhitungkan dalam penilaian tingkat

(50)

bulanan setiap bulan kepada Bank Indonesia mengenai penyediaan dana

kepada peminjam dan sekelompok peminjam yang melampaui BMPK,

seluruh penyediaan dana kepada piihak-pihak yang terkait dengan bank.24

Apabila kewajiban ini dilanggar oleh bank maka bank yang bersangkutan

dapat dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda, administratif

dan/atau sanksi pidana.25

Selain pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula

pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian

kredit. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU

masing-masing tanggal 28 Februari 1991 telah mengatur pembatasan

pemberian kredit untuk pembelian dan pemilikan saham oleh bank.

Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang:

a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal

kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pemberian

kredit investasi untuk pembiayaan barang modal (aktiva

tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan

kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan

di pasar modal;

b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan.

24

Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 295

25

(51)

Pelanggaran akan ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka

pengawasan dan pembinaan oleh Bank Indonesia. Ketentuan tersebut

disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU

masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit pada Perusahaan

Sekuritas dan Kredit Dengan Agunan Saham. Disebutkan beberapa hal yang

berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit bank untuk jual beli

saham, yaitu:

a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan

tambahan berupa saham perusahaan lain;

b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan

yang bukan perusahaam sekuritas untuk jual beli saham kecuali

pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pembelian saham

bank yang bersangkutan.26

C. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit dalam Pemberian Kredit

Fungsi jaminan kredit dalam dunia perbankan sangat besar.

Kewajiban untuk menyerahkan jaminan hutang oleh pihak peminjam dalam

rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara

pihak-pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang. Pada umumnya pihak-pihak

pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan hutang sebelum

26

(52)

memberikan pinjaman uang kepada pihak peminjam. Sementara itu,

keharusan penyerahan jaminan hutang tersebut sering pula diatur dan

disyaratkan oleh peraturan intern pihak pemberi pinjaman dan atau oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Jaminan secara yuridis

adalah kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian

hutang-piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian,

dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembaga-lembaga

jaminan yang dikenal dalam hukum Indonesia.

Menurut Subekti adanya jaminan ini sangat penting kedudukannya

dalam mengurangi resiko kerugian bagi pihak bank (kreditor). Adapun

jaminan yang ideal dapat dilihat dari :

1. Dapat membantu memperoleh kredit bagi pihak yang memerlukan;

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk

meneruskan usahanya;

3. Memberikan kepastian kepada kreditor dalam arti bahwa apabila perlu

maka diuangkan untuk melunasi utang si debitur27

Thomas Suyatno mengemukakan bahwa,

”Jaminan secara umum dapat diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau

pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang. Penyerahan kekayaan debitur merupakan bukti kesungguhan debitur untuk mengembalikan dana yang dipinjamkan oleh kreditur”.

Thomas Suyatno berpendapat bahwa kegunaan jaminan adalah untuk:

27

(53)

1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan

pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut

apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar

kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam

perjanjian.

2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya, sehingga kemungkinan unutk meninggalkan

usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau

perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya

kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.

3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi

perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai

dengan syarat –syarat yang telah di setujui agar ia tidak kehilang an

kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.28

Dalam pelaksanaan perjanjian kredit, jaminan kredit juga

Gambar

Grafika, 2010).

Referensi

Dokumen terkait

lisensi merupakan bentuk pemberian izin oleh pemilik lisensi kepada penerima lisensi  untuk memanfaatkan atau menggunakan (bukan mengalihkan hak) suatu kekayaan intelektual

terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau

✓ Pemilik Merek terdaftar dapat memberikan Lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan Merek tersebut baik sebagian maupun seluruh jenis barang dan/atau jasa. ✓ Perjanjian

Perlindungan Aroma Sebagai Merek Dalam Hukum Merek Di Indonesia Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam

Lisensi seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui

1) Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek

Lisensi adalah izin yang diberika oleh pemegang hak desain industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan kepada pemberian hak (bukan pengalihan hak)

Lisensi seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui