• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-negara"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-negara di dunia pada dasawarsa belakangan ini didorong oleh arus globalisasi yang menyebabkan sistem informasi, komunikasi dan transportasi jauh lebih mudah sehingga produk barang atau jasa dari negara lain akan dengan cepat diperoleh. Kegiatan ekonomi dan perdagangan yang semakin meningkat ini juga sebagaian berasal dari produk-produk kekayaan intelektual seperti karya cipta, merek maupun penemuan-penemuan di bidang teknologi. Indonesia sebagai negara berkembang perlu mencermati dan memahaminya guna mengantisipasi permasalahan yang akan timbul sehubungan dengan hak kekayaan intelektual yaitu dengan memberikan perlindungan hukum.

Dalam perdagangan barang atau jasa, merek sebagai salah satu bentuk karya intelektual memiliki peranan yang penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa. Merek memiliki nilai yang strategis dan penting baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen, merek selain untuk membedakan produknya dengan produk perusahaan lain yang sejenis, juga dimaksudkan untuk membangun citra perusahaan khususnya dalam pemasaran.4

4 Muhamad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan

Intelektual, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 78.

Bagi konsumen, merek selain mempermudah pengidentifikasian juga menjadi simbol harga diri. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pilihan barang dari

(2)

merek tertentu, cenderung untuk menggunakan barang dengan merek tersebut seterusnya dengan berbagai alasan seperti karena sudah mengenal lama, terpercaya kualitas produknya, dan lain-lain sehingga fungsi merek sebagai jaminan kualitas semakin nyata, khususnya terkait dengan produk-produk bereputasi.5

Merek menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek 2001) Pasal 2 meliputi merek dagang dan merek jasa. Merek itu sendiri menurut UU Merek 2001 Pasal 1 angka 1 adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa merek:6

1. tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna tersebut;

2. memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain yang sejenis; 3. digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis.

Menyimak rumusan pengertian merek yang disebutkan diatas, merek berfungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan produk barang atau jasa yang dibuat seseorang atau badan hukum lain.7

5 Ibid.

Dari pihak produsen, merek digunakan untuk

6 Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 321.

(3)

jaminan nilai hasil produksinya khususnya mengenai kualitas, kemudahan pemakaian atau hal-hal lain yang pada umumnya berkenaan dengan teknologinya sedangkan dari pihak konsumen merek diperlukan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.8

Mengingat merek mempunyai peran yang sangat penting dalam perdagangan barang atau jasa dan padanya melekat hak ekonomis, banyak terjadi pelanggaran merek terutama pada merek-merek terkenal. Dulu pelanggaran merek dilakukan dengan memasang merek dan logo persis dengan yang asli, pemalsuan, mereknya sama secara keseluruhan. Sekarang penggunaan merek yang mirip dengan merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan merek yang sama dan atau mirip dengan merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak. Modus pelanggaran merek telah bergerak ke tingkat yang lebih canggih. Pelanggaran merek ini disebut passing off (pemboncengan reputasi).

Passing off secara kepustakaan hukum Indonesia belum begitu dikenal,

dengan demikian maka istilahnya pun masih seluruhnya asing. Passing off memang merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum Common Law. Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau pemboncengan reputasi dimana perbuatan yang mencoba meraih keuntungan dengan cara membonceng reputasi (nama baik) sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat atau penyesatan. Perbuatan passing off ini obyeknya adalah merek terkenal dan biasanya tidak menggunakan merek terkenal secara keseluruhan tetapi hanya

8 Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik

(4)

persamaan pada pokoknya saja sehingga menimbulkan salah persepsi atau menimbulkan kesan seolah-olah merek tersebut merupakan merek yang sudah terkenal yang menjadi obyek passing off-nya.

Dalam dunia perdagangan terdapat perbedaan tingkat derajat sentuhan kemashuran yang dimiliki oleh merek, tingkatan merek tersebut dimulai dari merek biasa atau “normal mark” kemudian merek terkenal atau “well-known

mark” dan yang tertinggi ialah merek termashur atau “famous mark”. Merek

produk (baik barang maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainya memacu produknya bersaing dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak sehat. Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum. Melalui merek sebuah perusahaan telah membangun suatu karakter terhadap produk-produknya yang diharapkan akan dapat membentuk reputasi bisnis atas penggunaan merek tersebut. Padahal untuk membangun sebuah reputasi merek memerlukan biaya yang yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama serta hal lain yang juga tidak kalah penting bahwa reputasi yang baik akan menimbulkan kepercayaan dari konsumen. Karena itu, perusahaan-perusahaan cenderung berupaya untuk mencegah orang/perusahaan lain untuk menggunakan merek tersebut dalam produk-produknya.

(5)

Dalam passing off terkait erat dengan apa yang disebut goodwill, goodwill sering digunakan dalam arti yang bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan sebagai “itikad baik”. Goodwill juga dapat diartikan suatu kebaikan yang bermanfaat dan bersifat menguntungkan dari nama baik, reputasi dan keterkaitannya dalam usaha bisnis. Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena meyakinkan pihak konsumen untuk membeli produknya.9

Ada contoh kasus passing off yang terkenal di Indonesia adalah kasus merek “AQUA”. Pemilik merek AQUA yaitu PT Aqua Golden Mississipi merasa pesaingnya melakukan tindakan mendopleng reputasinya dengan cara memirip-miripkan merek berupa pencantuman merek “CLUB AQUA” serta merek “AQUARIA” juga warna-warna yang dipakai untuk merek-merek yang bersangkutan, bentuk, ukuran atau format dan kesan selanjutnya dari merek-merek yang bersangkutan.10

Pemboncengan reputasi ini tidak hanya merugikan produsen sebagai pemilik merek terkenal suatu produk namun juga merugikan konsumen.

Dari kasus ini dapat dilihat pemilik merek “CLUB AQUA” dan merek “AQUARIA” tidak mempunyai itikad baik dalam memakai merek dagangnya, si pemilik ingin cepat mendapatkan keuntungan dan ketenaran dengan mendompleng atau membonceng reputasi dari merek “AQUA”.

9 Dwi Agustine Kurniasih, Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari Perbuatan

Passing Off (Pemboncengan Reputasi), Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6/Desember 2008, hal. 4.

10 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah , Teori dan

(6)

Konsumen biasanya dalam memilih produk mereka lebih dahulu melihat mereknya dan biasanya merek yang terkenal memiliki kualitas produk yang baik pula. Dengan adanya passing off ini konsumen akan mendapat barang dengan kualitas yang lebih rendah dari aslinya bahkan dapat membahayakan keselamatan ataupun kesehatan konsumen tersebut. Jadi dalam passing off ada dua pihak yang dirugikan yaitu produsen atau pelaku usaha yang memiliki merek terkenal dan konsumen sebagai pemakai produk terkenal disamping pada akhirnya akan merugikan iklim usaha di Indonesia sendiri.

Berdasarkan hal tersebut diatas merek terkenal perlu mendapat perlindungan dan berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan berkembang baik jika merek tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Perlindungan hukum di bidang merek di Indonesia sudah ada sejak 1961 melalui Undang-Undang Nomor 21 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Kemudian Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia yang melahirkan WTO (World Trade Organisation) dengan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) sebagai lampirannya, maka ketentuan mengenai merek diperbaharui terus hingga melahirkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang disahkan dan diundangkan pada 1 Agustus 2001.

Meskipun kita memiliki UU Merek 2001 namun mengenai perlindungan merek dari passing off belum diatur, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia namun aturan-aturan mengenai

(7)

perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus sehingga tidak ada kepastian hukum yang jelas dalam menindak lanjuti perbuatan passing off atau pemboncengan reputasi ini, sedangkan dalam kasus yang terjadi di Indonesia dibilang cukup banyak.

Selain pemilik merek terkenal yang perlu mendapatkan perlindungan dalam passing off, konsumen pun perlu mendapat perlindungan. Hal tersebut disebabkan karena konsumen merupakan pengguna suatu produk dan suatu produk sangat erat kaitannya dengan merek. Sehingga konsumen yang biasanya sudah terikat menggunakan produk dengan merek tertentu dengan adanya passing

off sudah pasti konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara

keliru produk tertentu yang kualitasnya berbeda dengan produk yang biasa ia konsumsi. Indonesia telah memiliki undang-undang yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen. Undang-undang itu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku satu tahun setelah diundangkan.

Masalah passing off adalah masalah yang terjadi pada merek terutama merek terkenal yang mana terjadi sebuah pemboncengan reputasi sehingga akan dapat merugikan pihak produsen yang sudah memiliki reputasi baik dan terhadap konsumen yang telah dirugikan, sehingga kita dapat kaitkan juga terhadap perlindungan konsumen yang mana konsumen telah dirugikan dalam perbuatan

(8)

Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk memilih judul “Tindakan Passing Off dalam Penegakan Hukum Merek

Terkait Perlindungan Konsumen”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai hal-hal berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia?

2. Bagaimanakah penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia?

3. Bagaimanakah upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan skripsi ini akan lebih terarah dan dapat mencapai sasarannya. Adapun penulisan ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum merek dalam tindakan passing off di Indonesia.

(9)

3. Untuk mengetahui upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen dari akibat tindakan passing off.

Manfaat penulisan yang diharapkan melalui penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya untuk menambah wawasan bagi kalangan akademik tentang tindakan

passing off dalam penegakan hukum hak merek terkait perlindungan konsumen.

2. Secara Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum serta kebijakan yang ditempuh bagi upaya perlindungan konsumen terkait dengan adanya tindakan passing off hukum merek.

D. Keaslian Penulisan

Judul yang penulis pilih adalah “TINDAKAN PASSING OFF DALAM

PENEGAKAN HUKUM MEREK TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN”, yang diajukan dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan syarat

untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak, dan elektronik. Oleh karena itu penulisan ini merupakan sebuah karya asli sehingga tulisan ini dapat di pertanggungjawabkan.

(10)

E. Tinjauan Kepustakaaan

Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Tindakan Passing Off

dalam Penegakan Hukum Merek Terkait Perlindungan Konsumen”, maka

sebelumnya diuraikan lebih lanjut, terlebih dahulu penulis akan memberikan penjelasan tentang pengertian judul dengan maksud untuk menghindarkan kesalahpahaman dan memberikan pembatasan yang jelas.

Indonesia mengenal hak merek pertama kali pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Hak Milik Perindustrian yaitu Reglement Industrieele Eigendom

Kolonien Stb 545 Tahun 1912 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang

Merek No. 21 Tahun 1961 dan diganti pula dengan Undang-Undang No.19 Tahun 1992 tentang Merek yang diubah dengan Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek dan terakhir adalah undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek 2001).

Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang tentang merek (merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI)) sejak tahun 1961, namun dalam melakukan kerjasama internasional Indonesia baru resmi menjadi anggota Organisasi HKI Dunia/World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 1979 dengan meratifikasi Convention Establising the World

Intellectual Property Organization melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun

1979 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 dan melalui Keputusan Presiden yang sama diratifikasi pula Paris Convention sedangkan Bern Convention diratifikasi sesuai Keputusan Presiden No. 18 Tahun

(11)

1997.11 Dengan demikian Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh WIPO seperti Paris Convention yang mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian meliputi paten, model dan rancang bangun (utility models), desain industri (industrial designs), merek dagang (trademarks), nama dagang (trade name) dan persaingan curang (unfair competition) dan Bern Convention yang menyangkut mengenai karya kesusasteraan dan kesenian (literary and artistic works) yang meliputi pula semua karya yang dihasilkan dalam bidang kesusasteraan, kesenian dan ilmu pengetahuan.12

Indonesia juga menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia/World

Trade Organisation (WTO) dengan menandatangani Agreement Estabilishing The World Organization dan meratifikasinya dalam Undang-Undang No. 7 tahun

1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The World Organization yang berarti pula berkewajiban mempedomani persetujuan tersebut ke dalam legislasi nasionalnya. Sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property

Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua

ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO.

Dalam Paris Convention di London tahun 1934, diberikan batasan apa yang dimaksud dengan merek yaitu trade mark means visible sign serving to

distinguish the goods of one enterprise from tthose of the other enterprise, yang

11 Rahmadi Usman, Op.cit., hal. 5. 12 Ibid., hal. 4.

(12)

terjemahan bebasnya merek adalah setiap tanda yang jelas dari perusahaan untuk membedakan barang dari suatu perusahaan dengan barang dari perusahaan lain.

Para sarjana juga banyak yang memberikan pengertian terhadap merek ini diantaranya, Soekardono yang menyatakan merek adalah sebuah tanda dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu dimana perlu juga untuk mempribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang yang sejenis yang dibuat atau diperniagakan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.13 H.M.N Purwo Sutjipto juga memberikan rumusan bahwa merek adalah suatu tanda dengan mana suatu benda tertentu di pribadikan, sehingga dapat di bedakan dengan benda lain yang sejenis.14 Menurut Prof.Molengraaf merek yaitu dengan mana dipribadikanlah suatu barang tertentu untuk menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.15

Seperti yang telah ditelah disebutkan sebelumnya, UU Merek 2001, memberikan pengertian atas merek yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.16

13

R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia I, Cet.IX, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983), hal.149.

Dari pengertian tersebut, merek terdiri dari merek dagang dan

14H.M.N Purwo Sutjipto, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bandung: Fakultas

Hukum Alumni UNPAR, 1999), hal. 21.

15 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit., hal.154.

16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1

(13)

merek jasa.17 Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya, contohnya, Teh Botol Sosro, Kopi ABC, Kacang Garuda dan sejenisnya.18 Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya, contohnya, Toyota Rent-A-Car, Tabungan Siaga dan sejenisnya.19

Tetapi melihat pengertian yang diberikan oleh Paris Convention dan para sarjana, merek masih sebatas merek dagang. Hal ini disebabkan pengakuan terhadap merek jasa baru dilakukan dalam Paris Convention di Lisabon tahun 1958 sehingga sampai sekarang merek jasa termasuk dalam kategori merek.20

Suatu merek akan mendapat perlindungan hukum apabila didaftarkan namun tidak semua hal yang mengenai merek dapat didaftarkan dan tidak semua merek yang dapat didaftarkan terdaftar. Warna kemasan, tipe huruf dan tata letak cetakan pembungkus suatu produk memberikan andil untuk kesuksesan pemasaran suatu produk, tetapi hal-hal tersebut tidak dapat didaftarkan.21

Pada merek yang terdaftar, sebagai bentuk perlindungan hukum, diberikan suatu hak kepada pemilik merek yang disebut hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang

17

Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 2.

18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka

2.

19 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka

3.

20 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Loc.cit. 21 Ibid., hal. 236.

(14)

terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.22 Izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu dikenal dengan nama lisensi.23 Oleh karena suatu merek memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun dan hak atas merek diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik serta pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa.24

Perlindungan hukum diberikan dalam jangka waktu selama sepuluh tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang.25 Pemilik Merek terdaftar atau kuasanya setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama secara tertulis dalam jangka waktu dua belas bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan dan diajukan kepada Direktorat Jenderal HKI.26 Dan untuk perjanjian lisensi yang berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia jangka waktunya tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan merek terdaftar yang bersangkutan.27

22

Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 3.

23 Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 63.

24 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit., hal.163.

25 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 28. 26 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 35. 27 Ahmadi Miru, Loc.cit.

(15)

Untuk dapat memperoleh hak atas merek tersebut suatu merek harus didaftarkan dan ada dua sistem untuk memperoleh hak atas merek yaitu:28

1. Sistem Deklaratif (passief stelsel)

Menurut sistem ini pemakai pertamalah yang menciptakan suatu hak atas merek Hak atas merek diberikan kepada pihak yang pertama kali memakai merek tersebut. Pendaftaran tidak menerbitkan hak melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan hukum atau presumption iuris yaitu bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan. Sistem ini kurang memberikan kepastian hukum.

2. Sistem Konstitutif ( attributive stelsel)

Menurut sistem ini yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya. Pendaftaran menciptakan suatu hak atas merek tersebut, pihak yang mendaftarkan merupakan satu-satunya yang berhak atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya si pendaftar sebagai hak mutlak (monopoli). Pendaftaranlah yang akan memberikan perlindungan terhadap suatu merek. Meskipun demikian bagi merek yang tidak terdaftar tetapi luas pemakaiannya dalam perdagangan (well known trademark) juga diberikan perlindungan terutama dari tindakan persaingan yang tidak jujur. Sistem ini lebih memiliki kepastian hukum dan UU Merek 2001 memakai sistem konstitutif ini.

Merek yang memenuhi syarat-syarat dibawah inilah yang dapat didaftarkan sebagai merek:29

28 Ibid., hal. 173-175.

(16)

1. mempunyai daya pembeda;

2. merupakan tanda pada barang atau jasa yang dapat berupa gambar (lukisan), nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut;

3. tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agma, kesusilaan atau ketertiban umum; bukan tanda bersifat umum dan tidak menjadi milik umum; atau bukan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;

4. tanda tersebut juga tidak mempunyai persamaan dengan merek lain yang terdaftar lebih dahulu, merek terkenal atau indikasi geografis yang sudah dikenal;

5. tidak merupakan, menyerupai atau tiruan tanda lainnya yang dimiliki oleh suatu lembaga atau negara tertentu.

Merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik dan pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen contohnya merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada

29 Rahmadi Usman, Op.cit. hal. 331.

(17)

pokoknya atau keseluruhannya dengan merek dagang A tersebut dan disini sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknyapatut diketahui unsure kesengajaan dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut.30

Dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek tersebut berarti dapat kita ketahui pemohon yang tidak baik itu adalah yang melakukan pemboncengan, peniruan, penjiplakan ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen.

Sehubungan dengan adanya pemboncengan ketenaran merek pihak lain atau passing off yang menimbulkan salah satu kondisi yaitu mengecoh atau menyesatkan konsumen maka konsumen perlu dilindungi dari akibat tindakan

passing off. Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.31

30 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 4 dan

penjelasannya.

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

31 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja

(18)

Ada pun pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam perlindungan konsumen, yaitu :

1. Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau

consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah

“(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”, sedangkan menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “ pemakai atau konsumen”.

Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat pertama kali dalam TAP MPR No. II/MPR/119 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya disinggung sedikit dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :32

1. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

32 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

(19)

3. Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Setelah lahirnya UUPK, maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari defenisi konsumen yang menjelaskan, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.33

Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Lahirnya UUPK memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu :

Selanjutnya pengertian konsumen yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(20)

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(21)

Pelaku usaha dalam sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pengusaha dan memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.35

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :36

1. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.

2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.

34 Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar),

Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 1980), hal. 57.

35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 1 angka 3.

(22)

3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

Untuk menyeimbangkan hak-hak yang telah diberikan kepada konsumen, maka pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 UUPK yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 UUPK yaitu :

(23)

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain hak dan kewajibannya, pelaku usaha juga mempunyai tanggung jawab yang diatur dalam UUPK dari pasal 19 sampai dengan pasal 28. Tanggung jawab pelaku usaha menurut UUPK meliputi:

a. tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; b. tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan c. tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen .

(24)

Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen jika37

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

:

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

3. Pemerintah

Para pelaku usaha seringkali melakukan berbagai macam cara untuk memasarkan dagangannya. Para pelaku usaha dengan orientasi untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sering kali mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator didalam memberikan perlindungan kepada konsumen.

4. Barang dan/atau Jasa

Istilah barang dan/atau jasa merupakan pengganti dari kata produk, sedangkan kata produk itu sendiri dari bahasa Inggris, yaitu “product”. Menurut Philip Kotler, yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang dapat

37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(25)

ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau sesuatu kebutuhan.38

Philip Khotler juga menyatakan bahwa produk terdiri dari dua macam, yaitu berupa produk fisik (barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk jasa). Philip Khotler memberikan pengertian tersendiri mengenai jasa, yaitu :39

“berbagai tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hak milik terhadap sesuatu. Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah produk fisik ataupun tidak.”

Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.40

Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga memberikan batasan terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Selain hal-hal tersebut diatas, biasanya dalam hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak terlepas dari adanya sengketa/konflik yang terjadi diantara mereka. Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya perbedaan pendapat atau ketidak sesuaian diantara para pihak. Apabila pihak-pihak tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat dan menguntungkan kedua belah pihak maka perbedaan ini dapat berakibat buruk bagi

38 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan

Pengendalian (Marketing managements; Analysis, Planning, Implementation, and Control), diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II, (Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI, 1993), hal. 194.

39 Ibid., hal. 229.

40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(26)

kelangsungan keduanya Oleh karena itu setiap menghadapi perbedaan pendapat atau sengketa para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara penyelesaian yang dapat memuaskan mereka.

Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.41 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang dan Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.42

Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah membentuk suatu badan ynag bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UUPK yang pendiriannya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa

41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 45 ayat 2.

42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(27)

Konsumen (BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.43

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat didalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisa hukum positif yang tertulis.

2. Sumber Data

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.44

43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 250. 44 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali

(28)

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Perlindungan Konsumen yang mengikat, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. e. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.

03-Hc.02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan buku-buku,

(29)

peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, artikel-artikel baik dari surat kabar, majalah, media elektronik dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Pengelolaan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian

c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep pasal yang ada d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif dan induktif kualitatif

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,

(30)

Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

BAB II PENGATURAN PASSING OFF DALAM SISTEM HUKUM

MEREK INDONESIA

Pada bab ini akan dijelaskan tentang Pengertian Passing Off,

Passing Off dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang

Merek, Passing Off dan Persaingan Curang.

BAB III PENEGAKAN HUKUM MEREK DALAM TINDAKAN

PASSING OFF di INDONESIA

Pada bab ini dijelaskan tentang Pelanggaran Merek di Indonesia, Bentuk-bentuk Tindakan Passing Off di Indonesia, Penegakan Hukum Merek dalam Tindakan Passing Off di Indonesia.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KONSUMEN DARI

AKIBAT TINDAKAN PASSING OFF

Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tentang Hak-Hak Kosumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Akibat dari Tindakan Passing Off Bagi Konsumen, Upaya-Upaya dalam Memberikan Perlindungan Hukum kepada Konsumen.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran menyangkut permasalahan yang ada dalam penulisan ini.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari apakah produk makanan yang dikemas dengan menggunakan kemasan kaleng dapat terkontaminasi oleh bahan kemasan

Bila satu pa- sangan suami istri terancam bercerai, segala usaha harus dibuat oleh pasangan itu dan oleh anggota jemaat atau keluarga yang menggembalakan mereka untuk men-

Pendaftaran kursus secara online mengikut tempoh yang telah ditetapkan (rujuk Timeline / pengajian bagi setiap semester). Pendaftaran kursus adalah mengikut pakej yang

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia serta rahmat dan hidayah-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang

Praktikum kimia analitik berbasis masalah pada materi spektrometri dan HPLC.. lebih baik meningkatkan metakognisi mahasiswa calon guru daripada

Pakan alternatif yang diberikan pada percobaan adalah gula pasir, gula jawa, remahan roti, nasi putih, dan kue lapis, diduga kelima sumber makanan ini

Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan metformin 850 mg/ hari pada diet rendah lemak selama 24 minggu menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan nilai

Fenomena ini bisa dikatakan mirip dengan fase pertumbuhan organisasi yang dikemukakan oleh Greiner (1972), khususnya pada fase pertumbuhan yang ke dua dimana