Reproduksi
Berdasarkan hasil klarifikasi, Terdapat suatu kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan upah bagi para pekerja yang diterapkan
oleh PT. SRITEX yaitu “Kebijakan Tentang Upah dan Pendapatan” yang didasari atas:
a) Konvesi ILO No. 63, 95 dan 131 tentang Upah Minimum b) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yaitu pada Pasal 86-98 tentang kesejahteraan dan jaminan sosial.
Kebijakan perusahaan (PT. SRITEX) berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk:
a) Mematuhi upah minimum dan semua kesejahteraan karyawan; b) Membayar upah kerja lembur;
c) Memberikan jaminan sosial kepada seluruh karyawan;
d) Memberikan ijin tidak masuk kerja dengan mendapatkan upah kepada karyawan yang sedang cuti/ istirahat hamil, haid hari pertama dan kedua (selama 2 hari), menjalani cuti tahunan; hari raya/ hari libur resmi; perkawinan (karyawan sendiri atau anak karyawan; khitanan (anak karyawan); kelahiran (anak karyawan); kematian (suami/ istri/ anak/ orangtua/ mertua); baptis (karyawan atau anak karyawan); menjalankan tugas negara dan/ atau agama yang disetujui pemerintah; atau sakit menurut copy resep dokter yang dilegalisir dokter perusahaan. Dalam pelaksanaannya PT. SRITEX sudah menerapkan kebijakan yang berlaku pada perusahaan tersebut, salah satunya terkait perlindungan upah terhadap pekerja perempuan yang menggunakan waktu cuti yang berkaitan dengan fungsi reproduksi. Terhadap pekerja perempuan yang menggunakan waktu cuti yang berkaitan dengan fungsi reproduksi seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, ataupun cuti gugur kandungan tetap berhak mendapatkan upah sesuai dengan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam hal perlindungan terhadap upah pekerja perempuan sesuai yang tertera pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa setiap pekerja/ buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, d, Pasal 80, dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja cuti hamil dan melahirkan, cuti haid, ataupun cuti gugur kandungan tetap berhak mendapat upah penuh. Maka berdasarkan bunyi Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat pengecualian terhadap prinsip no works no pay dimana pekerja perempuan yang tidak bekerja tetap berhak atas upah penuh jika dalam kondisi yang dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, d, Pasal 80, dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
.
e. Larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Pekerja Perempuan Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan
Berdasarkan hasil klarifikasi, PT. SRITEX menyebutkan bahwa belum pernah ada pekerja baik itu perempuan maupun laki-laki yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait adanya perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terkhusus untuk calon pekerja perempuan, PT. SRITEX dalam proses recruitment tidak pernah memberikan syarat bahwa bagi pekerja yang hendak bekerja pada PT. SRITEX tidak boleh dalam keadaan sedang hamil maupun harus berstatus lajang atau single. PT. SRITEX disamping itu juga tidak pernah melakukan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan atau dasar karena pekerja perempuan tersebut menikah, hamil ataupun hendak melahirkan. Termuat dalam Pemberitahuan Nomor: 0155/ 5.1/ HR&GA/ II/ 2014 Tentang “Ketentuan Melamar dan Kontrak Kerja Pada Saat Hamil” yang berisi bahwa:
1) Tidak ada larangan bagi calon karyawan PT. SRITEX apabila pada saat melamar pekerjaan sedang dalam keadaan hamil/ mengandung;
2) Pada saat menjadi karyawan kontrak/ PKWT sedang dalam keadaan hamil/ mengandung, masih diperbolehkan untuk bekerja sebagai karyawan PT. SRITEX.
Kebijakan yang telah diterapkan oleh PT. SRITEX tersebut telah seusai dengan apa yang tertuang pada Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada intinya melarang pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan melahirkan, hamil, ataupun menikah. Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-03/MEN/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Wanita Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan telah disebutkan juga secara tegas bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK atas dasar pekerja perempuan melahirkan, hamil, ataupun menikah. Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-03/MEN/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Wanita Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi pekerja perempuan yang mengakui dan menjunjung tinggi kodrat, harkat dan martabat perempuan yang merupakan konsekuensi logis dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111 Tahun 1951 terkait larangan diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Dalam peraturan tersebut pengusaha diwajibkan merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja perempuan tanpa mengurangi hak-haknya bagi perusahaan yang karena sifat dan jenis pekerjaan yang tidak memungkinkan mempekerjakan perempuan hamil.
2. Hambatan yang Terdapat dalam Pelaksanaan Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan oleh PT. SRITEX Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja di PT. SRITEX
Berdasarkan hasil klarifikasi yang telah dilakukan, terdapat beberapa hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan pemenuhan hak pekerja perempuan oleh PT. SRITEX terhadap pekerja perempuan yang bekerja di PT. SRITEX terutama hal yang berkaitan dalam rangka perlindungan hukum bagi pekerja perempuan yang bekerja di perusahaan tersebut, yaitu:
a. Kendaraan antar jemput
PT. SRITEX tidak menyediakan fasilitas kendaraan untuk menjemput pekerja perempuan yang bekerja pada pukul 23.00 dari tempat penjemputan menuju lokasi perusahaan, padahal sudah secara jelas bahwa penyediaan kendaraan baik untuk mengantar maupun menjemput pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00 merupakan salah satu kewajiban perusahaan yang wajib dipenuhi. PT. SRITEX mengklarifikasi bahwa terdapat tindakan alternatif atau solusi dengan tidak dilaksanakannya kewajiban dalam hal menyediakan fasilitas kendaraan untuk menjemput pekerja perempuan yang bekerja pukul 23.00 menuju lokasi perusahaan, maka PT. SRITEX memberikan bentuk perlindungan terhadap pekerja perempuan yang bekerja pada pukul 23.00 tersebut dengan solusi bahwa PT. SRITEX menyediakan fasilitas berupa mess bagi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari namun lokasi tempat tinggal yang cukup jauh dari lokasi perusahaan. Dalam setiap mess tersebut, masing-masing kamar biasanya diisi oleh 5 (lima) orang pekerja perempuan, namun pada pelaksanaannya solusi berupa penyediaan mess oleh PT. SRITEX tidaklah berjalan secara efektif karena pada dasarnya banyak pekerja perempuan yang tidak menggunakan fasilitas mess tersebut, karena pekerja perempuan yang bertempat tinggal jauh dari lokasi perusahaan lebih memilih untuk membawa kendaraan
bermotor pribadi walaupun bekerja pada waktu malam hari yang pada dasarnya memiliki banyak risiko yang mungkin akan timbul.
Berdasarkan hasil klarifikasi, adapun solusi lain yang diberikan oleh PT. SRITEX terhadap ketidaktersediannya bus antar jemput bagi pekerja maka pada PT. SRITEX terdapat koperasi simpan pinjam, dimana setiap pekerja yang bekerja pada PT. SRITEX berhak untuk melakukan peminjaman pada koperasi tersebut, dan dengan begitu setiap pekerja termasuk pekerja perempuan dapat dengan mudah untuk memperoleh pinjaman salah satunya dipergunakan untuk membeli kendaraan secara kredit contohnya motor yang kemudian bisa dipergunakan untuk bekerja.
Tidak terdapat satu pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menyebutkan bahwa kewajiban untuk menyediakan fasilitas antar jemput bagi pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 dapat digantikan dengan bentuk fasilitas lainnya. PT. SRITEX secara jelas melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa pengusaha boleh mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00, tetapi dalam hal ini terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pekerja perempuan tersebut, salah satu kewajiban yang wajib dipenuhi oleh perusahaaan terhadap pekerja perempuan yang bekerja pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 adalah menyediakan fasilitas berupa kendaraan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Solusi yang diberikan oleh PT. SRITEX yaitu dengan menyediakan fasilitas berupa mess bagi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari namun bertempat tinggal cukup jauh dari lokasi perusahaan serta solusi kemudahan kredit pada koperasi simpan pinjam tidaklah memiliki keterkaitan dengan kewajiban yang sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal
76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00.
PT. SRITEX juga telah mengabaikan ketentuan yang mengatur lebih lanjut terkait kewajiban penyediaan fasilitas kendaraan antar jemput yang diperuntukkan bagi pekerja perempuan yang bekerja pada pukul antara pukul 23,00 sampai dengan 05.00 yaitu dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa pengusaha wajib menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Pada Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa pengusaha wajib menyediakan antar jemput dimulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya Pasal 6 ayat (2) penjemputan dilakukan dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Pasal 7 ayat (1) pengusaha harus menempatkan tempat penjemputan dan pengantaran pada lokasi yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/ buruh perempuan. Pasal 7 ayat (2) kendaraan antar jemput harus dalam kondisi yang layak dan harus terdaftar di perusahaan.
b. Kesempatan Menyusui
PT. SRITEX telah menyediakan lokasi menyusui berupa ruang laktasi baik yang tersedia di setiap departemen, baik departemen pemintalan (Spinning Unit), departemen penenunan (Weaving Unit), departemen pencetakan-pencelupan (Dyeing and Printing Unit), dan departemen garmen (Garment Unit), disamping itu ruang laktasi juga
disediakan oleh PT. SRITEX di dalam poliklinik yang telah disediakan oleh perusahaan itu sendiri. Adapun waktu yang disediakan oleh PT. SRITEX untuk pekerja perempuan yang hendak memberikan ASI pada anaknya yaitu pada waktu istrahat antara jam kerja. Pemberian kesempatan maupun penyediaan lokasi berupa ruang laktasi bagi pekerja perempuan untuk memberikan ASI (Air Susu Ibu) yang diterapkan oleh PT. SRITEX telah sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur terkait kesempatan menyusui bagi pekerja perempuan yang sedang dalam proses menyusui.
Pada pelaksanaannya banyak pekerja perempuan yang sedang dalam proses menyusui tidak menggunakan fasilitas yang sebagaimana telah disediakan oleh PT. SRITEX yaitu ruang laktasi yang terdapat pada setiap departemen perusahaan. Banyak pekerja yang sedang dalam kondisi menyusui dan bertempat tinggal tidak terlalu jauh dengan lokasi perusahaan lebih memilih untuk menggunakan waktu istirahat antara jam kerja untuk pulang ke rumah dan kemudian memberikan ASI untuk anaknya dibandingkan harus membawa anaknya tersebut ke lokasi perusahaan yang justru akan merepotkan, dan bagi pekerja yang bertempat tinggal jauh dari lokasi perusahaan juga tidak membawa anaknya ke lokasi perusahaan dan kemudian memberikan ASI pada ruang laktasi, namun ASI telah dipersiapkan sebelumnya oleh pekerja perempuan yang sedang dalam kondisi menyusui tersebut.
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi “Pekerja/ buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”. PT. SRITEX juga telah memperhatikan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa selama masa pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus salah satunya adalah di tempat kerja. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terakait kesempatan menyusui lebih lanjut diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.27/MEN/XII/2008 Dan Menteri Kesehatan Nomor 1177/MENKES/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja. Menurut Pasal 2 Peraturan Bersama 3 Menteri tersebut tujuan diaturnya peraturan bersama ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan untuk memberikan atau memerah ASI selama waktu kerja dan menyimpan ASI perah untuk diberikan kepada anaknya, memenuhi hak pekerja perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anaknya, memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI guna meningkatkan gizi dan kekebalan anak dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini.
Dalam hal ini PT. SRITEX telah menerapkan kebijakan perusahaan terkait dengan pemberian kesempatan menyusui kepada pekerja perempuan yang sedang dalam kondisi menyusui selaras dengan yang telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan walaupun pada pelaksanaannya justru pihak dari pekerja perempuan yang tidak memanfaatkan fasilitas ruang laktasi yang telah disediakan oleh perusahaan secara efektif. Pemberlakuan ketentuan terkait pemberian kesempatan menyusui yang dibentuk oleh PT. SRITEX bertujuan untuk menciptkan lingkungan kerja yang nyaman bagi pekerja termasuk pekerja perempuan yang sedang dalam proses menyusui lebih merasa tenang karena rasa tenang tersebut terstimulasi akibat proses menyusui, sehingga pekerja tersebut nantinya akan
bekerja dengan baik, produktif, yang tentu akan memberikan manfaat bagi perusahaan.
c. Hak Memperoleh Makanan dan Minuman Bergizi
Pelaksanaan pemenuhan hak pekerja perempuan yang telah diterapkan oleh PT. SRITEX dalam hal kewajiban menyediakan makanan serta minuman bagi pekerja perempuan yang bekerja pada PT. SRITEX antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 yaitu dengan menyediakan fasilitas berupa ruang penyediaan makanan dan minuman yaitu kantin serta diberlakukannya sistem kupon yang dimana masing-masing pekerja pada PT. SRITEX setiap bekerja diberikan 1 (satu) lembar kupon saja yang kemudian dapat ditukarkan dengan menu makanan dan minuman yang telah disediakan oleh kantin atau pekerja Pada kantin tersebut makanan maupun minuman disediakan sudah secara terjadwal pada setiap harinya.
Melihat menu makanan maupun minuman yang disediakan kantin pada PT. SRITEX dapat dinilai bahwa makanan maupun minuman yang disediakan setiap harinya kurang bervariasi karena hanya berbahan dasar sama, namun cara penyajian maupun pengolahannya saja yang berbeda, atau jika pekerja tdak menukarkan kupon sesuai dengan menu yang telah disediakan maka setiap 1 (satu) lembar kupon hanya dinilai setara dengan Rp 1.500,00 (seribu lima ratus rupiah) saja. Besaran 1.500,00 (seribu lima ratus) perhari kuranglah layak untuk diberikan kepada pekerja karena berdasarkan klarifikasi yang telah dilakukan kepada pihak kantin kupon yang senilai dengan Rp 1.500,00 (seribu lima ratus rupiah) hanya dapat ditukar dengan kopi atau makananan ringan saja seperi roti.
Ketentuan terkait pemenuhanan hak berupa penyediaan makanan dan minuman yang wajib disediakan oleh pihak perusahaan kepada pekerja perempuan pada waktu istirahat antara jam kerja tidak dapat diganti uang sesuai yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (2)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00. Memang dalam peraturan perundang-undangan tidak ada satupun ketentuan yang menyebutkan bahwa kewajiban menyediakan makanan serta minuman bagi pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 tidak dapat diganti dengan kupon, namun jika dilihat lebih dalam lagi bahwa kupon yang disediakan oleh PT. SRITEX setiap lembarnya setara dengan Rp. 1500,00 (seribu lima ratus rupiah) maka sudah secara jelas bahwa adanya bentuk pengalihan kewajiban penyediaan makanan dan minuman kepada pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 kedalam bentuk uang. Hal tersebut telah melanggar Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 yang menyatakan bahwa makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang.
Dilihat dari keberagaman makanan dan minuman maka dapat dinilai bahwa makanan yang disediakan PT. SRITEX kurang beragam atau bervariasi, selain itu juga pilihan minuman hanya air mineral atau teh saja yang disediakan oleh PT. SRITEX, sedangkan susu tidak disediakan. Padahal sudah secara jelas diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 yang menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 berkewajiban untuk memberikan makanan dan minuman bergizi harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori yang dimana
penyajian menu makanan dan minuman yang diberikan kepada pekerja/ buruh harus secara bervariasi dan diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja. Terkait pengaturan penyediaan makanan dan minuman yang bergizi serta bervariasi sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori cukuplah sulit. Perusahaan haruslah memiliki ahli gizi untuk menilai serta mengukur apakah makanan yang disediakan oleh perusahaan kepada pekerja telah sesuai dengan ketentuan yang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini PT. SRITEX menyerahkan penilaian syarat 1.400 kalori kepada usaha jasaboga yang telah ditunjuk.
Pada Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 disebutkan bahwa penyediaan makanan dan minuman, peralatan, dan ruang makan harus layak serta memenuhi syarat higiene dan sanitasi. Ketentuan tersebut diatur dengan tujuan yaitu menjaga kondisi kesehatan agar pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 tetap dalam kondisi prima. Melihat kondisi lingkungan dari tempat ruang penyediaan makanan dan minuman yaitu kantin perusahaan yang telah disediakan PT. SRITEX, baik kantin itu sendiri maupun peralatan yang digunakan pada kantin tersebut dapat dikategorikan bahwa ruang kantin maupun peralatan yang digunakan cukup bersih dan terawat, namun setelah diadakan klarifikasi lebih lanjut, diketahui bahwa usaha jasaboga yang terdapat dalam kantin PT. SRITEX belum memiliki izin usaha yang menandakan bahwa usaha jasaboga tersebut secara otomatis juga belum memiliki sertifikat higiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota. Kondisi kantin maupun peralatan yang digunakan sangat bersih dan terawat tidaklah cukup untuk mengkategorikan bahwa usaha jasa boga pada kantin tersebut layak, karena pada dasarnya tetap harus ada
ijin usaha yang dimiliki oleh setiap usaha jasaboga pada kantin yang terdapat dalam suatu perusahaan sebagai bukti formil bahwa kantin tersebut telah memenuhi unsur dalam kategori layak.
Tidak adanya ijin usaha dari jasaboga yang terdapat pada kantin PT. SRITEX secara jelas bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Pada Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga menyebutkan bahwa setiap jasaboga harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam hal untuk memiliki izin usaha, setiap usaha jasaboga harus memiliki sertifikat higiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.
d. Hambatan Pelaksanaan Pemenuhan Hak Dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan
Berdasarkan hasil klarifikasi diketahui bahwa dalam pelaksanaan pemenuhan hak pekerja perempuan oleh PT. SRITEX terdapat beberapa hambatan sehingga tujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan yang bekerja pada PT. SRITEX belum dapat tercapai secara optimal. Untuk meninjau latar belakang mengapa adanya hambatan pelaksanaan pemenuhan tersebut maka harus dilihat terkait makna dari perlindungan hukum itu sendiri. Berdasarkan beberapa teori perlindungan hukum yang ada, penulis menitikberatkan dan memilih konsep teori perlindungan hukum yang dipaparkan oleh Philipus M. Hadjon yang dijadikan sebagai “pisau analisis” dalam penulisan hukum karena konsep perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon dinilai paling relevan untuk diterapkan di negara Indonesia dan memiliki keterkaitan yang erat dengan penulisan hukum ini. Philipus M. Hadjon memberikan pengertian perlindungan
hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya (Philipus M. Hadjon: 1987: 18).
Menurut Sudikno dalam fungsinya sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi (Sudikno Mertokusumo, 1985: 58). Adapun fungsi primer dari hukum mencakup tiga pokok, dan salah satunya adalah fungsi perlindungan. Hukum mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan-tindakan yang merugikan baik yang datang dari sesamanya dan kelompok masyarakat, termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) ataupun yang berasal dari luar yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai dan hak asasinya (Dr. Sudijomo Sastroatmodjo, 2005: 11). Dalam hal ini dapat dikatakan, jika terdapat beberapa hambatan pada pelaksanaan pemenuhan hak pekerja perempuan oleh PT. SRITEX sehingga tujuan memberikan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan yang bekerja pada perusahaan tersebut belum dapat terealisasi secara optimal, hal tersebut dapat dilatarbelakangi oleh sistem hukum yang belum bekerja secara efektif.
Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Prespective Tahun 1975 menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas 3 elemen, yaitu perangkat atau struktur hukum yang berupa lembaga hukum, substansi hukum berupa