• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERAN SERIKAT PETANI INDONESIA BASIS SEI LITUR TASIK

3.2. Permasalahan Agraria di Desa Sei Litur Tasik

Ketimpangan struktur kepemilikan lahan di indonesia yang disertai dengan revolusi hijau dan perampasan atau pengambilan paksa lahan masyarakat tani pada Masa Pra – Reformasi merupakan permasalahan yang mengakar yang dihadapi para petani di Indonesia.

Lahan yang merupakan alat produksi utama pertanian bagi petani ternyata belum berada pada batas kewajaran mereka butuhkan dan bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki akses terhadap lahan tersebut. Jelas, hal tersebut merupakan permasalahan yang mengakar bagi para petani di Indonesia dan tidak sedikit yang telah mengakibatkan terjadinya konflik agraria antara masyarakat tani dengan badan usaha negara ataupun korporasi swasta, seringkali berwujud bentrok fisik. Tidak terkecuali dengan apa yang dihadapi oleh masyarakat tani di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

Permasalahan reforma agraria di Desa Sei Litur sudah lama dimulai sejak Belanda menjajah Indonesia. Penjajahan terhadap tanah milik masyarakat (ditandai dengan adanya tanaman padi sebagai makan pokok rakyat Indonesia) dan eksploitasi manusia berlangsung selama lebih dari 350 tahun. Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1945, yang berarti pemindahan kembali seluruh aset yang diajah Belanda kepada Indonesia, termasuk Desa Sei Litur Tasik. Masyarakat Desa Sei Litur mulai menempati kembali tempat tinggal mereka dan mengelola tanah-tanah bekas jajahan. Pada tahun 1979 dikeluarkan Surat Keputusan dari Gubernur Sumatera Utara 136/DA/HML/L/79 berupa sertifikat Land Reform sebagai legalitas kepemilikan tanah di desa Sei Litur Tasik. Yang memperkuat keputusan tersebut lahirnya

3 Indonesia Darurat Agraria: Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-Konflik Agraria (24 September 2017) diunduh dari http://www.spi.or.id/indonesia-darurat-agraria-luruskan-reforma-agraria-dan-selesaikan-konflik-konflik-agraria/ pada 1 Desember 2017 pukul 22:00 WIB

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang dirancang sejak zaman orde lama, setiap orang berhak mendapatkan 0,5 hektar.

Reforma Agraria adalah sebuah kebijakan penting dari sebuah negara untuk menghapuskan model kekuasaan ekonomi feodalisme dan membangun syarat-syarat untuk menciptakan sebuah industri nasional dengan tujuan pasar nasional dan mencukupi kebutuhan sendiri. Maka alamat dari kebijakan ini adalah: peningkatan kualitas hidup kaum tani dan pedesaan, peningkatan produksi pertanian (baik untuk pangan dan bahan baku industri), dan pengimbangan secara relatif keadaan pedesaan dan perkotaan (pemerataan pembangunan).

Pengubahan secara fundamental dari pertanian untuk kepentingan feodal dan merkantilis, menjadi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dan pemenuhan bahan-bahan mentah bagi industri nasional. Dengan tujuan yang paling praktikal adalah membebaskan kaum tani dari penghisapan feodalisme dan meningkatkan kapasitas (secara ekonomi, politik, dan kebudayaan) mereka sebagai tenaga produktif (productive forces) utama di pedesaan. Dengan meningkatnya derajat kualitas kehidupan kaum tani dan pedesaan, maka secara nasional akan tersedia sumber daya pembangunan yang besar untuk industri dan pertanian nasional dan perimbangan secara relatif keadaan hidup rakyat di pedesaan dan perkotaan.

35 tahun sesudah Indonesia merdeka dari penjajah, pada tahun 1980, tanah yang harusnya dimiliki untuk kepentingan masyarakat diambil alih oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Negara II (PTPN II) dinilai sebagai langkah privatisasi, karena kepemilikan tanah saat itu tidak disertai dengan Hak Guna Usaha (HGU). Masalah kepemilikan tersebut membuat masyarakat kekurangan lahan untuk bertempat tinggal. Seperti kutipan wawancara dengan Ketua Basis Serikat Petani IndonesiaBasis Sei Litur Tasik

Sumber:

Dokumentasi Pribadi

“Memiliki (lahan) sebenarnya tidak pernah, adapun itu warisan orang tua (mertua), itu pun sedikit, adapun itu 10 rante. Itulah warisan orang tua atau mertua, istri saya yang punya. Kalau saya pribadi tidak punya, tidak bisa beli, apa lagi punya!”.

Berdasarkan permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi Seanan, disaat bersamaan, hal tersebut juga dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat Desa Sei Litur Tasik. Bahkan hal yang lebih dirasakan oleh sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memiliki lahan pertanian. Dimana sebagian masyarakat tersebut hanya bekerja sebagai buruh kebun dan sebagiannya juga ada yang pergi merantau untuk mencari penghasilan yang akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga masing-masing. Suatu kondisi yang sangat sulit yang pada saat itu dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat Desa Sei Litur Tasik. Berdasarkan hal tersebut, telah melahirkan kesadaran bagi masyarakat bahwa lahan yang dahulunya sebagai hak mereka dan telah dikuasai oleh perkebunan, harus dituntut kembali. Seperti yang Seanan ungkapkan sebagai berikut;

“Kalau masalah ekonomi (dahulunya), kami di desa ini sangat perihatin sekali!

Karena sifatnya petani tapi tidak punya lahan, sebagian besar! Hanya sebagian kecil saja yang punya lahan! Bahkan sebagian bapak-bapaknya harus pergi merantau. Itulah alasannya kenapa kami harus berjuang dengan menuntut kembali hak yang sudah pernah diberikan kepada masyarakat, tapi diambil alih oleh kebun (PTPN II). Masalah tanah, itu yang kami tuntut!”

Berdasarkan kondisi sosial ekonomi serta sejarah kepemilikan lahan, membawa keinginan masyarakat termasuk Seanan, untuk memperjuangkan kembali lahan yang menurut masyarakat sebagai hak masyarakat Desa Sei Litur Tasik. Proses perjuangan yang cukup berat telah dijalankan untuk merebut kembali haknya. Dimulai dengan pertemuan-pertemuan dan pengumpulan data-data untuk memperkuat perjuangan, pada tahun 2001 masyarakat Desa Sei Litur Tasik memulai perjuangannya. Hingga pada tahun 2004, lahan berhasil diduduki oleh masyarakat. Akan tetapi penguasaan lahan oleh masyarakat Desa Sei Litur Tasik tersebut tidak berlangsung lama setelah pihak perusahaan berhasil menghentikan gerakan masyarakat tersebut.

Menurut Seanan, hal tersebut dikarenakan model perjuangan yang mengandalkan kekuatan individu dan mediasi. Dimana perjuangan tersebut hanya bersifat ketergantungan dengan sosok individu yang dipercayakan oleh masyarakat untuk melakukan tindakan mediasi saja dengan berbagai macam pihak yang terkait. Hal tersebut dianggap tidak kuat dan tidak mampu memberikan solusi bagi masyarakat. Seperti apa yang Seanan ungkapkan sebagai berikut;

“Kalau proses perjuangan itu kami cukup pedih lah! Mulai dari tahun 2001, kami berjuang, itu melalui lembaga, kami berpindah-pindah lembaganya dari 2001 sampai 2009, tapi sistem perjuangannya kami hanya melalui seseorang. Jadi kita percayakan pada seseoarng! 2004 pernah kami duduki (lahan), disapu bersih oleh perusahan! Kita berhenti!

Itulah jika hanya melalui seseorang saja, istilahnya melalui mediasi, melalui contact person saja, kepada (oknum) yang kami percayakan itu.”

Setelah mengalami pasang surut pada perjuangannya, Seanan beserta masyarakat lainnya pada tahun 2009, diperkenalkan dengan Serikat Petani Indonesia (SPI) oleh pihak KONTRAS. Setelah menjalani proses organisatoris, pada tahun yang sama bulan oktober, Seanan beserta rekan-rekannya yang masih memiliki keinginan untuk berjuang, akhirnya disahkan bergabung dengan Serikat Petani Indonesia. Maka pada saat itu terbentuklah Dewan Pengurus Basis (DPB) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sei Litur Tasik yang dimana Seanan diangkat sebagai Ketua Badan Pelaksana Basis (BPB).

Pada bulan Maret tahun 2010, massa yang telah terorganisir dan terdidik memutuskan untuk memasuki lahan perjuangan. Model penguasaan lahan yang dijalankan oleh Seanan beserta para anggota lainnya adalah dengan menenami lahan dengan berbagai macam jenis pertanian serta juga mendirikan gubuk sebagai posko di lahan perjuangan tersebut. Akan

tetapi dalam prosesnya, berbagai macam tragedi telah dirasakan oleh Seanan beserta rekan-rekannya, dari perubuhan dan pembakaran gubuk posko serta pencabutan tanaman yang dimiliki Seanan beserta rekan-rekannya hingga juga terjadi beberapa kali bentrokan lemparan-lemparan batu oleh pihak perusahaan.

Sedangkan pada saat itu juga, Seanan beserta anggota lainnya telah memutuskan untuk bertahan dan tidak membenarkan adanya tindakan reaksi melawan. Walaupun terus saja gubuk posko dihancurkan dan tanaman dicabuti, tetap saja Seanan dan lainnya tidak patah semangat! Seperti apa menurut Seanan pada saat itu sungguh sangat menyedihkan, akan tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap memperjuangkan lahan yang seharusnya menjadi hak mereka. Hal tersebut terbukti dengan reaksi dari berbagai macam yang dilakukan pihak perusahaan, mereka tetap saja bertahan dilahan perjuangan dan tetap menanam kembali tanaman yang dicabuti serta mendirikan kembali gubuk posko yang telah dihancurkan. Seperti apa yang Seanan ungkapakan sebagai berikut;

“Proses perjuangan yang kami lalui ya cukup pedih sekali, kami tanam dan buat gubuk (di lahan perjuangan), itu dibakar dan dicabuti. Bahkan dari perusahaan itu sampai 1500 orang hingga terakhir sampai lempar-lemparan batu. Kami tanamai pisang, tanami karet, kami buat gubuk, itu dibakar, dihancurkan (oleh pihak perusahaan)! Tapi tempo (setelah) satu atau dua hari kami buat lagi, digitukan (dihancurkan) lagi!”

Berdasarkan kondisi tersebut, memang sangat sulit untuk bertahan. Akan tetapi Seanan sebagai Ketua Badan Pelaksana Basis (BPB) Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Sei Litur Tasik, telah menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk tidak terpancing dalam benturan fisik dengan pihak perusahaan. Beliau dengan tegas menekankan bahwa metode perjuangan yang dijalankan adalah dengan cara bertahan.

“Tapi kami tetap tidak mau benturan fisik, kami sifatnya bertahan! Seandainya tidak ada mendapatkan pendidikan perkaderan yang kami dapat dari organisasi (SPI), mungkin sudah ada korban. Tahun 2010 mulai bulan 3 sampai bulan 11, itu berantam terus itu sama perusahaan, hingga kontak fisik, tapi tidak kami lawani, modelnya kami bertahan. Tapi alhamdulilah karena kami berorganisasi dalam masyarakat yang terkordinir sebagai Serikat Petani Indonesia, maka kami tidak pernah melayani yang sifatnya arogan. Sampai sekarang, alhamdulillah karena kami bertahan, hasilnya sudah kami rasakan.”

Pemahaman tersebut didapatkan Seanan beserta anggota lainnya dari pendidikan perkaderan yang telah dijalankan Serikat Petani Indoensia. Dikarenakan perjuangan Seanan

bersama seluruh anggota Serikat Petani Indonesia Basis Sei Litur Tasik lainnya berjalan dengan terdidik dan terorganisir dengan berbagai macam benturan yang dihadapi selama masa pendudukan lahan.

3.3 Peranan Serikat Petani Indonesia Basis Sei Litur Tasik Dalam Mewujudkan

Dokumen terkait