• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas perairan situ dapat menjadi salah satu faktor yang paling penting dalam upaya pengembangan situ sebagai kawasan wisata air. Kualitas perairan yang baik dan sesuai dengan kriteria wisata air tentu akan memudahkan pihak pengelola untuk mengembangkan kegiatan wisata air pada perairan tersebut. Kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari berdasarkan beberapa parameter fisik, kimia, dan biologi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kualitas perairan Situ Sawangan-Bojongsari pada beberapa stasiun pengambilan sampel air

Keterangan:

1. Stasiun pengambilan sampel :

1. Area wisata air Situ Sawangan 5. Dekat permukiman warga Bojongsari 2. Dekat warung-warung Situ Sawangan 6. Bagianinletsitu

3. Dekat lapangan golf 7. Bagianoutletsitu 4. Tengah situ

2. Hasil pemantauan kualitas air Situ Sawangan-Bojongsari pada bagianoutletoleh BLH Kota Depok pada tahun 2010.

3. Baku Mutu Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 bagi air dengan peruntukan sebagai prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan air untuk mengairi pertanaman.

No Parameter Satuan Stasiun pengambilan sampel

1 BLH 20102 BM Kelas II3 1 2 3 4 5 6 7 I FISIKA 1 Suhu °C 28,25 29,15 29,70 29,60 29,95 30,15 30,25 - dev. 3 2 TSS mg/L 6,5 9,0 7,0 6,0 9,0 12,0 9,5 6,0 50 3 Kecerahan m 1,365 1,190 1,665 1,075 0,700 0,505 0,810 - - 4 Kedalaman m 3,35 3,80 3,10 7,50 2,60 1,00 1,00 - - II KIMIA 1 pH - 6,170 6,30 6,130 6,430 6,305 6,345 6,595 7,510 6 - 9 2 DO mg/L 6,50 6,20 4,55 5,85 6,05 3,65 3,85 7,57 Min 4 3 BOD5 mg/L 2,640 3,085 2,020 3,170 3,940 1,640 2,015 8,140 3 4 Total Fosfat mg/L 0,155 0,195 0,158 0,219 0,172 0,194 0,186 <0,006 0,2 5 Amonia (NH3-N) mg/L 0,367 0,324 0,231 0,448 0,354 0,370 0,423 0,050 0,02 6 Nitrat (NO3-N) mg/L 1,260 1,531 1,296 1,642 1,982 2,070 1,580 1,590 10 7 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,030 0,036 0,019 0,041 0,100 0,116 0,065 0,040 0,06

8 Minyak dan lemak mg/L <1 <1 <1 <1 <1 <1 <1 <1 1 9 Klorofil a µg/L 44,685 39,710 12,285 18,460 17,930 23,565 20,435 - - III MIKROBIOLOGI

1 Fecal Coli

MPN/

4.5.1. Suhu air

Suhu air permukaan Situ Sawangan-Bojongsari adalah antara 28,25 – 30,25°C dengan rata-rata suhu sebesar 29,58°C. Kisaran suhu tersebut masih memenuhi Baku Mutu untuk air Kelas II yang ditetapkan dalam PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hasil pengukuran ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Effendiet al. (1996) yaitu 28,9 – 29,4°C. Menurut Vaas dan Sachlan (1949) suhu Situ Sawangan-Bojongsari di perairan terbuka adalah 24,1°C. Peningkatan suhu perairan Situ Sawangan-Bojongsari diduga disebabkan oleh perubahan lingkungan sekitar situ. Situ Sawangan-Bojongsari dikelilingi oleh perkebunan karet di masa yang lalu, namun kini telah berubah menjadi lahan terbuka, permukiman, dan lapangan golf. Perubahan tatanan lahan sekitar situ diduga telah meningkatkan suhu udara dan suhu perairan situ. Pertukaran panas antara udara dan air merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi suhu air. Suhu udara, kondisi meteorologi lokal, dan morfometri perairan, dapat mempengaruhi suhu air (Dobiesz & Lester 2009).

Perubahan suhu air akan mempengaruhi proses fisika, kimia, dan biologi di dalam perairan. Suhu erat kaitannya dengan tingkat kelarutan gas dalam air, seperti O2, CO2, N2, dan CH4. Ketika suhu meningkat, jumlah oksigen terlarut akan menurun, kecepatan respirasi dan metabolisme organisme air pun meningkat, dan proses dekomposisi bahan organik pun ikut meningkat (Effendi 2012). Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan konsentrasi zat organik terlarut dalam air, total bakteri, dan biomassa bakterioplankton (Dunalska et al. 2012). Peningkatan suhu air juga dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan organisme air, seperti waktu penetasan telur ikan menjadi lebih awal atau pada kecepatan dan masa pertumbuhan mikroalga (Mooij et al. 2008; Rengeforset al. 2012).

4.5.2. Total Suspended Solid (TSS)/Padatan Tersuspensi Total, Kecerahan, dan Kedalaman

Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1µm) dalam air yang terdiri dari lumpur, pasir halus, dan jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air

(Effendi 2012). Padatan tersuspensi dapat meningkatkan nilai kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Kekeruhan yang terjadi kemudian dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga mempengaruhi proses fotosintesis dalam air.

Nilai TSS pada semua stasiun menunjukkan nilai di bawah batas maksimal Baku Mutu Air Kelas II yang ditetapkan dalam PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 6 mg/L. Nilai TSS tertinggi diperoleh dari sampel yang berasal dari bagianinletsitu yaitu sebesar 12 mg/L. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pendangkalan pada bagian inlet situ. Pendangkalan yang terjadi akibat ulah manusia ini telah menyebabkan air situ tampak keruh. Bagianinletsitu merupakan bagian situ yang banyak mengalami pengurukan tanah untuk dijadikan sebagai lahan pertanian masyarakat. Selain itu, hal ini terjadi karena inlet merupakan lokasi awal masuknya aliran air menuju situ dari sungai kecil yang membawa berbagai padatan tersuspensi dan limbah. Nilai TSS tertinggi kedua diperoleh dari sampel outletsitu yaitu sebesar 9,5 mg/L. Bagianoutlet situ yang menyempit merupakan tempat terakumulasinya berbagai zat yang terdapat di dalam badan air menuju saluran air keluar situ. Nilai TSS terendah diperoleh dari stasiun tengah situ yaitu sebesar 6 mg/L. Hal ini terjadi karena stasiun tengah situ merupakan bagian situ yang lebih dalam dibandingkan dengan stasiun pengambilan sampel lainnya, sehingga padatan tersuspensi dalam air lebih terencerkan pada bagian ini.

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakansecchi disk. Nilai kecerahan yang diperoleh berkisar antara 0,505 – 1,665 m. Nilai kecerahan tersebut cenderung berkurang seiring dengan peningkatan nilai TSS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Borkman dan Smayda (1998) yaitu peningkatan nilai kecerahan pada perairan terjadi ketika pemasukan padatan tersuspensi menuju perairan berkurang atau dalam kata lain nilai TSS pada perairan menurun. Nilai kecerahan pada inlet merupakan yang terendah seiring dengan tingginya kandungan padatan tersuspensi. Nilai kecerahan yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan nilai kecerahan pengamatan Effendi et al. (1996), yaitu 0,407 – 0,597 m. Perbedaan waktu pengamatan diduga menjadi penyebab dari perbedaan hasil tersebut. Kecerahan suatu perairan tentunya menjadi faktor yang penting untuk membentuk

daya tarik situ sebagai tempat berwisata. Perairan yang tampak keruh tentunya tidak akan lebih menarik bagi pengunjung dibandingkan dengan perairan yang jernih.

Kedalaman maksimum terukur ada pada bagian tengah situ, yaitu sedalam 7,5 m. Kedalaman rata-rata Situ Sawangan-Bojongsari adalah 3-4 m, dengan kedalaman maksimum 8 m (Fakhrudin 1989; BLH Kota Depok 2011). Situ Sawangan-Bojongsari dikenal sebagai situ yang terluas di Kota Depok. Selain itu, situ ini juga diketahui sebagai situ yang cukup dalam. Menurut masyarakat sekitar kedalaman maksimum Situ Sawangan-Bojongsari adalah sekitar 10 m. Hal ini dianggap menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan wisata air di situ tersebut, karena perairan yang dalam dianggap dapat menimbulkan bahaya bagi pengunjung atau wisatawan. Sebagian masyarakat pun masih menganggap situ ini sebagai daerah yang menakutkan. Oleh karena itu, pengelola situ mengembangkan wisata hanya pada bagian situ dengan kedalaman rata-rata.

4.5.3. Nilai pH

Nilai pH air Situ Sawangan-Bojongsari berkisar antara 6,13 – 6,59. Nilai ini masih berada di dalam batas kisaran pH yang ditetapkan dalam baku mutu air yaitu antara 6 – 9. Hasil pengukuran pH yang dilakukan oleh BLH Kota Depok juga masih sesuai dengan baku mutu air. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa air Situ Sawangan-Bojongsari masih berada dalam kondisi yang baik dari aspek pH air untuk pemanfaatan rekreasi.

Nilai pH menjadi faktor yang penting dalam perairan karena nilai pH menggambarkan suasana asam atau basa pada air. Suasana air akan mempengaruhi kehidupan biologi di dalam air. Perubahan keasaman air, baik ke arah alkali maupun asam, akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya. Kondisi pH dapat mempengaruhi tingkat toksisitas suatu senyawa kimia, proses biokimiawi perairan, dan proses metabolisme organisme air. Toksisitas akut aluminium tertinggi bagi ikan terjadi pada pH antara 5 – 6 melalui polimerisasi aluminium pada insang (Poléo 1995). Toksisitas aluminium dipengaruhi oleh konsentrasi aluminium dalam air, pH, dan jenis organisme yang terpapar (Dietrich & Schlatter 1989; Stephens & Ingram 2006). Jumlah amonia

tak terionisasi yang bersifat toksik bagi organisme perairan akan meningkat seiring dengan peningkatan pH dan temperatur. Ikan yang hidup pada perairan dengan nilai pH tinggi (alkalin) memiliki kandungan amonia yang lebih tinggi pada tubuhnya dibandingkan dengan ikan yang hidup di perairan netral dan mengalami gangguan ekskresi amonia tubuh (Scott et al. 2005). Air yang memiliki pH sangat rendah atau bersifat asam dapat bersifat korosif yang menyebabkan pengkaratan pada besi atau baja dan tentunya berbahaya pula bagi manusia.

4.5.4. Oksigen Terlarut/Dissolved Oxygen(DO)

Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut menunjukkan nilai yang bervariasi, namun sebagian besar telah memenuhi baku mutu air untuk kebutuhan rekreasi. Konsentrasi oksigen terlarut pada bagian inlet adalah 3,65 mg/L dan pada bagian outlet adalah 3,85 mg/L. Kedua nilai tersebut berada di bawah nilai baku mutu air sebesar 4 mg/L. Hal ini mengindikasikan tingginya kandungan bahan organik yang terkandung dalam air pada dua bagian situ tersebut. Bagian inlet adalah lokasi aliran masuk air menuju situ, sedangkan outlet adalah tempat terakumulasinya berbagai zat yang terbawa aliran air situ menuju saluran keluar. Data pemantauan BLH Kota Depok tahun 2010 justru menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut yang jauh lebih tinggi dari hasil pengukuran pada penelitian ini untuk bagianoutlet situ. Perbedaan waktu pengambilan sampel dan metode yang digunakan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan tersebut.

Konsentrasi oksigen terlarut pada stasiun dekat lapangan golf menunjukkan nilai yang hampir mendekati batas minimum yang ditetapkan dalam baku mutu. Gulma air yang dibiarkan tumbuh begitu saja oleh pihak pengelola, baik oleh Pokja Situ Sawangan maupun oleh pihak swasta, diduga menjadi penyebab rendahnya kandungan oksigen terlarut pada daerah tersebut. Selain itu, waktu pengambilan sampel yang bertepatan dengan pagi hari juga mempengaruhi rendahnya oksigen terlarut yang terukur. Perairan dengan vegetasi akuatik mengapung memiliki fluktuasi nilai oksigen terlarut yang lebih besar (rendah di pagi hari dan tinggi di sore hari) dan memiliki periode anoksia yang lebih panjang pada malam hari dibandingkan dengan konsentrasi oksigen terlarut di perairan

terbuka (Reeder 2011). Populasi gulma air dapat mengurangi difusi oksigen ke dalam air dan menurunkan oksigen terlarut pada air di bawahnya. Gulma air yang mati akan tenggelam dan didegradasi oleh mikroorganisme air. Proses tersebut membutuhkan sejumlah besar oksigen, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dapat menurun (Agustiyani 2004; Reeder 2011).

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi organisme air. Kehidupan organisme air bergantung pada kemampuan perairan untuk mempertahankan konsentrasi oksigen pada tingkat kebutuhan hidup mereka. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan organisme air lainnya menderita, bahkan dapat berujung pada kematian. Hal ini menjadi menarik ketika kondisi perairan dikaitkan dengan daya tarik wisata. Sumberdaya perikanan yang dimiliki oleh Situ Sawangan-Bojongsari merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi situ tersebut, dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan kuliner khas yang ditawarkan. Oleh karena itu, perairan situ perlu dijaga kualitasnya agar pemanfaatan sumberdaya perikanan lokal dapat tetap berlangsung.

4.5.5. Kebutuhan Oksigen Biologis/Biological Oxygen Demand(BOD)

Nilai BOD air Situ Sawangan-Bojongsari telah berada di atas Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 pada beberapa stasiun pengambilan sampel, yaitu pada lokasi dekat saung-saung atau warung makan di Situ Sawangan (3,085 mg/L), bagian tengah situ (3,170 mg/L), dan dekat permukiman warga Bojongsari (3,940 mg/L). Ketiga nilai BOD tersebut hanya sedikit melebihi nilai BOD maksimal yang ditetapkan dalam baku mutu air yaitu sebesar 3 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa Situ Sawangan-Bojongsari tidak berada dalam kondisi tercemar berat. Meskipun begitu, kegiatan antropogenik sekitar situ tetap perlu diwaspadai sebagai penyebab bertambahnya bahan pencemar dalam perairan. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan tingginya bahan buangan atau bahan organik mudah urai di dalam air. Bahan organik tersebut dapat berasal dari kegiatan antropogenik di area saung-saung Situ Sawangan dan area permukiman warga. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik dalam air yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen

yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik melalui proses mikrobiologis (Fardiaz 2006).

4.5.6. Total Fosfat

Hasil pengukuran total fosfat permukaan Situ Sawangan-Bojongsari menunjukkan nilai yang berkisar antara 0,155 – 0,219 mg/L dan hanya sampel stasiun tengah situ yang memiliki nilai melebihi baku mutu air Kelas II PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 0,2 mg/L. Konsentrasi total fosfat pada stasiun tengah situ adalah 0,219 mg/L, sedangkan konsentrasi total fosfat stasiun dekat warung- warung adalah 0,194 mg/L. Konsentrasi total fosfat yang tinggi tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas masyarakat di kawasan wisata Situ Sawangan. Limbah hasil pencucian peralatan dapur dan lain sebagainya yang berasal dari warung- warung di tepi situ dapat menyumbangkan sejumlah polutan fosfor ke dalam air. Fosfor banyak digunakan sebagai bagian dari sabun atau detergen, pupuk, minyak pelumas, produk makanan dan minuman, katalis, dan lain sebagainya (Perk 2006; Effendi 2012). Pemupukan intensif yang biasa dilakukan pada rumput lapangan golf tampaknya tidak memberikan dampak langsung terhadap peningkatan total fosfat dalam air situ. Nilai kandungan total fosfat stasiun dekat lapangan golf yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kandungan total fosfat di stasiun- stasiun lainnya. Hal ini diduga terjadi karena lokasi lapangan golf cukup jauh dari tepi situ dan terdapat komunitas tumbuhan akuatik pada tepi situ (tumbuhan riparian). Tumbuhan riparian dimungkinkan mampu mengurangi pencemaran air yang terjadi di sungai atau situ pada beberapa kasus (Wiriadinata & Setyowati 2003). Fosfat akan mengendap bersama beberapa logam pada kondisi oksik, dan kompleks fosfat-logam tersebut akan kembali terdisosiasi ketika berada pada lapisan anoksik (Dodds 2002).

Penyuburan perairan atau eutrofikasi dapat disebabkan oleh peningkatan konsentrasi fosfor bersama dengan nitrogen (Sulastri 2003). Fosfor merupakan salah satu unsur hara utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton dan tumbuhan perairan untuk pertumbuhannya serta sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Situ Sawangan-Bojongsari cenderung kuat mengalami kondisi hipereutrofik dengan kadar rata-rata Total Fosfor >0.1 mg/L sesuai dengan

kriteria status trofik danau dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009. Meskipun total fosfor tidak diukur pada penelitian ini, namun konsentrasi total fosfat yang terukur sudah melebihi batas minimum total fosfor untuk kondisi hipereutrofik. Hal ini berbeda dengan kondisi Situ Sawangan-Bojongsari pada akhir tahun 1980-an, dimana hasil penelitian oleh Hartoto dan Lubis (1989) menunjukkan konsentrasi ortofosfat pada air di permukaan Situ Sawangan-Bojongsari berkisar antara 0,046 – 0,055 mg/L yang menyebabkan situ dinyatakan berada pada kondisi eutrofik. Hal ini kemudian diperkuat oleh hasil pengamatan Effendi et al. (1996) untuk total ortofosfat yaitu berkisar antara 0,03 – 0,1 mg/L. Peningkatan konsentrasi total fosfor dan total fosfat di dalam air Situ Sawangan-Bojongsari diduga terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas manusia di sekitar Situ Sawangan-Bojongsari. Konsentrasi total fosfat akan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi total fosfor di dalam perairan (Hudsonet al.2000).

4.5.7. Nitrogen

Nitrogen yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga bentuk, yaitu amonia (NH3), nitrat (NO3-), dan nitrit (NO2-). Hasil pengukuran amonia menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada air situ dari semua stasiun pengambilan sampel berkisar antara 0,231 – 0,448 mg/L dan telah melampaui Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 0,02 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek kandungan amonia dalam air, Situ Sawangan-Bojongsari tidak memenuhi peruntukkannya bagi sarana/prasarana rekreasi air. Hasil pengukuran kandungan nitrat pada air situ dari semua stasiun pengambilan sampel memperlihatkan nilai berkisar antara 1,259 – 2,07 mg/L dan berada jauh di bawah baku mutu air yang ditetapkan yaitu sebesar 10 mg/L. Hasil pengukuran terhadap kandungan nitrit menunjukkan nilai berkisar antara 0,019 – 0,116 mg/L dan konsentrasi nitrit pada stasiun inlet, dekat permukiman warga Bojongsari, danoutlet telah melebihi baku mutu air yang ditetapkan yaitu sebesar 0,06 mg/L. Konsentrasi nitrit pada stasiun inlet adalah 0,116 mg/L, dekat permukiman warga Bojongsari adalah 0,100 mg/L, danoutletadalah 0,065 mg/L.

Nitrogen pada perairan Situ Sawangan-Bojongsari dapat berasal dari limbah kegiatan antropogenik di sekitar situ maupun aliran permukaan menuju perairan situ. Amonia pada perairan dapat berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme, pupuk, limbah industri dan domestik, serta limbah aktivitas metabolisme (air seni dan tinja) (Alaerts & Santika 1984). Nitrat dapat berasal dari partikel-partikel yang terbawa aliran permukaan menuju perairan atau pun dari air hujan (Dodds 2002). Nitrat dan nitrit merupakan bentuk amonia yang teroksidasi. Nitrit adalah bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat sehingga keberadaannya bersifat sementara dan jumlahnya biasanya sedikit.

Konsentrasi nitrogen anorganik (amonia, nitrat, dan nitrit) yang tinggi pada perairan menunjukkan adanya pencemaran. Amonia tak terionisasi adalah bentuk nitrogen anorganik yang paling toksik, sedangkan nitrat dan ion amonium adalah bentuk dengan tingkat toksisitas paling rendah. Amonia tak terionisasi (NH3) merupakan senyawa nitrogen yang dapat menjadi ion amonium (NH4+) ketika kondisi pH dan suhu menjadi rendah. Menurut Camargo dan Alonso (2006) pencemaran nitrogen anorganik di perairan dapat menyebabkan terjadinya asidifikasi perairan, eutrofikasi, dan efek toksik pada biota perairan, bahkan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia dan perekonomian masyarakat.

4.5.8. Minyak dan Lemak

Pencemaran minyak dan lemak akan sangat merugikan bagi pemanfaatan perairan sebagai kawasan wisata. Pencemaran minyak dan lemak akan menurunkan nilai estetika dari badan air dan menimbulkan gangguan kesehatan terhadap manusia, bahkan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap (Suprijadi 1997). Kerugian lain yang ditimbulkan adalah terganggunya kehidupan biota air dan berbagai proses yang berlangsung di dalam perairan sebagai akibat penurunan penetrasi cahaya matahari dan oksigen ke dalam air (Fardiaz 2006).

Kandungan minyak dan lemak pada air permukaan situ menunjukkan nilai yang masih berada di bawah Baku Mutu Air Kelas II yang ditetapkan dalam PP No. 82 tahun 2001 yaitu sebesar 1 mg/L. Kandungan minyak dan lemak yang rendah pada perairan Situ Sawangan-Bojongsari menunjukkan bahwa situ tersebut

masih dalam kondisi baik untuk dijadikan sebagai lokasi wisata air. Pencemaran minyak dan lemak pada Situ Sawangan-Bojongsari dapat berasal dari limbah hasil aktivitas masyarakat, baik limbah domestik maupun limbah kegiatan wisata. Warung-warung makan di kawasan wisata situ memiliki saluran buangan menuju perairan situ.

4.5.9. Klorofil-a

Klorofil-a adalah pigmen yang berperan langsung di dalam reaksi terang fotosintesis. Kandungan klorofil-a sering dijadikan sebagai indikator produktivitas primer atau indikator tingkat trofik (kesuburan) suatu perairan karena klorofil-a mutlak diperlukan dalam proses fotosintesis (Nontji 1989). Pengukuran kandungan klorofil-a pada perairan Situ Sawangan-Bojongsari menghasilkan nilai berkisar antara 12,285 – 44,685 µg/L dengan rata-rata 25,296 µg/L. Nilai tersebut menyebabkan perairan Situ Sawangan-Bojongsari tergolong ke dalam perairan dengan status eutrofik (kadar rata-rata klorofil-a <15 µg/L) yang mengarah ke hipereutrofik (kadar rata-rata klorofil-a >200 µg/L) berdasarkan kriteria status trofik yang ditetapkan dalam Permen LH No. 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk. Pola variasi spasial klorofil-a pada danau dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti distribusi sumber pencemar, aliran air, dan angin pada area tersebut (Wang & Liu 2005). Menurut Pan et al. (2009) faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi klorofil-a pada perairan lentik seperti danau adalah kandungan total fosfor perairan.

Hasil pengukuran klorofil-a pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran klorofil-a oleh Nontji dan Sunanisari (1989) yang menyebutkan bahwa nilai rata-rata klorofil-a permukaan Situ Sawangan-Bojongsari bervariasi antara 1,98 – 47,50 µg/L. Variasi nilai klorofil-a tersebut dinyatakan tidak memiliki pola yang jelas terhadap variasi waktu. Tingkat trofik Situ Sawangan- Bojongsari pada saat itu adalah mesotrofik yang mengarah pada eutrofik. Perubahan kecenderungan tingkat trofik Situ Sawangan-Bojongsari diduga disebabkan oleh peningkatan aktivitas masyarakat di sekitar situ dan perubahan penggunaan lahan di sekitar situ. Indikator lain dari eutrofikasi ialah terdapatnya

populasi tumbuhan air, Salvinia molesta, dalam jumlah besar yang sering menutupi sebagian permukaan Situ Sawangan-Bojongsari.

4.5.10. Fecal Coli

Hasil pengukuran kandungan fecal coli pada air situ memperlihatkan bahwa kandungan fecal coli telah melebihi Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 1 000 Most Probable Number (MPN)/100 mL pada beberapa stasiun pengambilan sampel. Kandungan fecal coli pada stasiun dekat warung-warung Situ Sawangan adalah 2.210 MPN/100 mL, pada tengah situ adalah 2.765 MPN/100 mL, pada inlet adalah 2.550 MPN/100 mL, dan pada outletadalah 2.719 MPN/100 mL. Pencemaran fecal coli diduga terjadi di bagian situ yang berdekatan dengan saung-saung di area wisata Situ Sawangan, sebab pada area tersebut terdapat kamar kecil/wc di tepian situ yang mana salah satu saluran buangannya mengalir ke perairan situ. Pencemaran fecal coli juga terjadi pada bagian inletdan outletsitu yang merupakan tempat terakumulasinya limbah dan buangan. Kandungan fecal coli yang tinggi pada bagian tengah situ diduga disebabkan oleh akumulasi limbah atau buangan yang mengandung fecal coli dari berbagai sumber sebelum akhirnya menuju outlet situ. Faktor lingkungan eksternal, seperti tingkat presipitasi dan lokasi, serta faktor lingkungan internal, yaitu komponen fisik-kimia air, mampu mempengaruhi kandungan dan distribusi fecal coli di perairan. Padatan tersuspensi, suhu, pH, nutrien organik, dan nutrien anorganik berkorelasi dengan konsentrasi fecal coli di perairan (Honget al. 2010). Bakteri pathogen perairan yang berasal dari pencemaran tinja manusia atau hewan dapat dideteksi keberadaannya melalui keberadaan bakteri fecal coli