• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN STRATEGI :

4.6. Permasalahan Pengembangan Wilayah

Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah di Kapet Bima antara lain sebagai berikut :

1. Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang agak curam dan curam, sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan pertanian.

Adapun keadaan topografi wilayah di Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 5.

2. Makin banyaknya lahan kritis yang berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi maupun ekologi.

3. Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian secara umum khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultural) sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat produksi dengan laju yang stagnan.

Gambar 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima

4. Kualitas SDM relatif masih rendah. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat masih rendah (yang tidak sekolah atau belum tamat SD mencapai 37.8 %) walaupun masih di atas tingkat pendidikan rata-rata Propinsi NTB. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat ini adalah prasarana pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan. Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim

sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

5. Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik belum terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha masyarakat. Demikian juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi wilayah Kapet Bima.

6. Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan utama, namun perannya masih belum optimal khususnya dalam pengembangan perekonomian di perdesaan.

7. Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas, sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan.

8. Sebagian besar kegiatan belum mampu menerapkan manajemen modern, masih ada kecenderungan menerapkan manajemen keluarga sedangkan Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih relatif terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai tambah sulit tercapai

9. Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota

10.Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima mengakibatkan kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima.

11.Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun telah diantisipasi dengan Musbang Desa dan Kecamatan, Rakorbang Tingkat Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas.

Dari berbagai data dan informasi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan berbagai teknik analisis untuk bisa menjawab rumusan masalah penelitian. Berikut ini adalah uraian pembahasan hasil analisis dari berbagai fenomena empiris yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

5.1. Keterkaitan Antar Sektor 5.1.1. Struktur Input-Output (IO)

Tabel Input-Output menggambarkan transaksi barang dan jasa dari berbagai sektor ekonomi yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan saling ketergantungan. Penyusunan Tabel Input-output Kapet Bima terdiri dari 18 sektor yang disederhanakan dan diturunkan dari Tabel Input-Output Propinsi NTB Tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Adapun gambaran umum perekonomian Kapet Bima berdasarkan Tabel Input-Output Kapet Bima dijelaskan pada tabel 48.

Tabel 48 Komponen Penyusun Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004

No. Komponen Jumlah (Rp.000) Distribusi (%) 1. Sisi Permintaan (Output)

a. Permintaan Antara 876,764,822 23.18 b. Permintaan Akhir 2,905,956,433 76.82 c. Total Permintaan 3,782,721,256 100.00

2. Sisi Penawaran (Input)

a. Input Antara 876,764,822 23.18 b. Import 293,537,967 7.76 c. Jumlah Nilai Tambah Bruto 2,612,418,466 69.06 d. Jumlah Input 3,782,721,256 100.00 Sumber : Data Hasil Analisa

Dari Tabel 48 dijelaskan bahwa total nilai output ekonomi wilayah di Kapet Bima adalah sebesar Rp.3.78 trilyun yang terdiri dari permintaan antara sebesar Rp.0.88 trilyun (23.18 %) dan permintaan akhir sebesar Rp.2.90 trilyun

(76.82 %) yang meliputi konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan eksport.

Besarnya nilai permintaan akhir menggambarkan tingginya permintaan (demand side). Konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan pembentukan modal tetap serta perubahan stok menggambarkan kegiatan transaksi intra regional (domestik) sedangkan nilai eksport menggambarkan kegiatan transaksi inter regional.

Makin tinggi tingkat permintaan maka makin besar pula nilai transaksi barang/jasa hal ini mendorong peningkatan nilai output total suatu sektor, namun nilai permintaan akhir belum menggambarkan sepenuhnya nilai permintaan total suatu sektor serta dampak totalnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

Permintaan akhir yang terlalu tertinggi mengakibatkan permintaan antara yang rendah. Permintaan antara di Kapet Bima hanya sebesar Rp.876.76 juta atau sebesar 23.18 %. Artinya dari total output wilayah yang dihasilkan hanya 23.18 % yang dikembalikan dalam kegiatan produksi domestik. Sedangkan di sisi lain kegiatan eksport lebih banyak barang mentah atau setengah jadi karena rendahnya kegiatan industri pengolahan domestik. Hal ini menggambarkan rendahnya keterkaitan (linkages) kegiatan ekonomi domestik dan nilai tambah (margin value) suatu sektor/komoditi, yang pada akhirnya berbagai daerah di Kapet Bima adalah sebagai daerah tertinggal karena rendahnya daya kompetitif. Disamping itu karena nilai tambah lebih besar di dapat oleh pengguna manfaat luar kawasan maka pada akhirnya juga terjadi kebocoran wilayah.

Tabel 49 memberikan gambaran tentang nilai output masing-masing sektor ekonomi. Berdasarkan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat bahwa 6 (enam) sektor yang memiliki nilai output paling tinggi di atas rata-rata output sektor lain, tercermin dari nilai output sektor (IOS) > 1 adalah Tanaman bahan makanan (26.93 %) , selanjutnya adalah Jasa pemerintahan umum (14.62 %), Perdagangan Besar dan Eceran (11.65 %), Industri Pengolahan Non Migas (10.94 %), dan Bangunan (8.36 %) serta angkutan (7.28 %). sektor-sektor ini pun memiliki nilai tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

Tabel 49 Nilai Output Masing-Masing Sektor di Kapet Bima Tahun 2004

Kode Nama Sektor Output

(Rp.000)

Distribusi

(%) IOS 1 Tanaman Bahan Makanan 1,018,624,436 26.93 4.85 2 Tanaman Perkebunan 69,002,172 1.82 0.33

3

Peternakan dan

Hasil-Hasilnya 173,502,877 4.59 0.83 4 Kehutanan 98,207,516 2.60 0.47 5 Perikanan 161,325,827 4.26 0.77 6 Penggalian 69,485,970 1.84 0.33

7

Industri Pengolahan Non

Migas 413,699,519 10.94 1.97 8 Listrik 26,358,675 0.70 0.13 9 Air bersih 2,391,808 0.06 0.01 10 Bangunan 316,102,626 8.36 1.50

11

Perdagangan Besar dan

Eceran 440,672,839 11.65 2.10 12 Hotel dan Restoran 56,578,194 1.50 0.27 13 Angkutan 275,254,192 7.28 1.31 14 Pos dan Telekomunikasi 27,299,484 0.72 0.13

15

Bank dan Lembaga Keu.

Bukan Bank 30,598,277

0.81 0.15

16

Sewa Bangunan dan Jasa

Preusan 17,236,467

0.46 0.08 17 Jasa Pemerintahan Umum 553,212,140 14.62 2.63 18 Jasa Swasta 33,168,238 0.88 0.16

Jumlah 3,782,721,256 100.00 1.00

Sumber : Data Hasil Analisa

Nilai output tanaman bahan makanan paling tinggi dibandingkan dengan sektor/komoditi lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan, peternakan dan kehutanan nilai outputnya masih sangat rendah (masing-masing sebesar 1.82 %, 4.59 % dan 2.60 % dari total output). Keadaan ini bertolak belakang dengan potensi lahan di Kapet Bima, dimana areal beririgasi sebagai lahan usaha tani tanaman bahan makanan adalah 36,823 Ha atau 5.32 %. Sedangkan lahan kering sebagai tempat pengusahaan peternakan, perkebunan dan kehutanan adalah seluas 38.48 % dari total wilayah (tidak termasuk hutan Negara). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan kering sebagai salah satu potensi sumber daya wilayah yang cukup besar masih belum dimanfaatkan secara lebih optimal.

Apabila diperhatikan nilai output ekonomi tersebut, maka dapat diketahui bahwa peran petani masih dominan sebagai pelaku ekonomi di Kapet Bima, hal

ini juga ditunjukkan pada tabel 29, bahwa jumlah petani mencapai 50.92 % penduduk Kapet Bima.

Perekonomian Kapet Bima juga masih tergantung cukup besar terhadap sektor pemerintahan, sementara pada struktur APBD kabupaten/kota di Kapet Bima dana alokasi dari pusat (DAK dan DAU) masih dominan sedangkan penerimaan dari komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang juga dapat dijadikan indikator kemandirian daerah masih rendah (< 5 %).

Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18 %), import (7.76 %) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06 %). Proporsi nilai tambah bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada di Propinsi NTB yakni 68.93 %.

Komponen nilai tambah bruto sendiri terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Besarnya nilai masing-masing komponen terhadap nilai tambah bruto dapat dilihat pada tabel 50 berikut ini.

Tabel 50 Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima Tahun 2004

No. Komponen Jumlah (Rp.000) Distribusi (%) 1. Upah dan Gaji 1,038,418,059 39.75 2. Surplus Usaha 1,394,832,276 53.39 3. Penyusutan 147,118,344 5.63 4. Pajak Tak Langsung Netto 32,049,787 1.23 Jumlah 2,612,418,466 100.00 Sumber : Data Hasil Analisa

Beberapan komponen nilai tambah bruto memiliki nilai dan besaran kontribusi yang bervariasi. Nilai tambah yang besar adalah komponen surplus usaha yang diterima oleh pengusaha yakni dengan total sebesar Rp.1.39 trilyun atau 53.39 % dari total nilai tambah bruto. selanjutnya komponen upah dan gaji yang diterima pekerja dengan total nilai Rp.1.04 trilyun diterima oleh pekerja. dan komponen yang paling kecil nilainya adalah pajak tak langsung netto yang

diterima pemerintah yakni sebesar Rp.32.05 milyar. Nilai ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya masih relatif rendah yakni 1.23 % apalagi jika dibandingkan dengan Propinsi NTB yang mencapai 3.56 % dari total nilai tambah bruto.

Tabel 51 Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001

No. Komponen IO Kapet

Bima 2004

IO Jabodetabek 2002

IO Riau 2001

1. Upah dan Gaji 0.2745 0.1488 0.1044

2. Surplus Usaha 0.3687 0.2902 0.4383

3. Penyusutan 0.0389 0.0418 0.0370

4. Pajak Tak Langsung Netto 0.0085 0.0346 0.0139 5. Total Input Antara 0.2318 0.4109 0.4064 6. Total Input Primer 0.6906 0.5891 0.5936 Sumber : Data Hasil Analisa

Tabel 51 memberikan gambaran perbandingan struktur penyusun Tabel IO Kapet Bima dengan dua wilayah lainnya yang memiliki karakteristik yang berbeda. Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah dengan output ekonomi didominasi oleh aktivitas kegiatan pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan. Jabodetabek didominasi oleh kegiatan industri pengolahan non migas, perdagangan dan pertanian sedangkan Riau didominasi oleh pertambangan minyak, industri mesin dan industri perminyakan.

Perbandingan struktur input antara pada wilayah Kapet Bima, Jabodetabek, dan Riau menunjukkan perbedaan. Total input antara Kapet Bima adalah sebesar 23.18 % dari total output ekonomi, lebih rendah jika dibandingkan wilayah Jabodetabek dan Riau yakni mencapai > 40 % dari total output ekonomi wilayah. Data ini menjelaskan bahwa Kapet Bima yang didominasi oleh aktivitas pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan menggunakan output untuk kegiatan produksi (sebagai faktor produksi) masih sangat rendah, sehingga keterkaitan antar sektor domestik juga rendah yang dapat berakibat terjadinya kebocoran wilayah. Kegiatan-kegiatan industri pengolahan dan pemanfaatan

sektor domestik dalam kegiatan ekonomi wilayah telah mendorong Jabodetabek dan Riau sebagai wilayah yang relatif lebih maju.

Pada struktur input antara, koefisien teknis upah dan gaji di Kapet Bima lebih baik dari pada dua wilayah yang lainnya, namun dari sisi penerimaan pemerintah di Kapet Bima hanya menerima 0.85 % dari total output. Sedangkan Riau mencapai 1.39 % dan yang paling tinggi adalah Jabodetabek dengan karaktristik sebagai daerah industri dan perdagangan dapat memberikan penerimaan pemerintah sebesar 3.46 % dari total output ekonomi wilayah.

5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor

Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model IO adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar sektor, hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages) atau daya dorong maupun hubungan kebelakang (backward linkages) atau daya tarik.

Tabel 52 Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima

Kode Nama Sektor Indeks Daya Dorong (IDD)

Indeks Daya Tarik (IDT) 1 Tanaman Bahan Makanan 1.3422 0.9224 2 Tanaman Perkebunan 0.9945 0.8493 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0.9725 1.0316

4 Kehutanan 0.8075 0.8186

5 Perikanan 1.0240 0.9701

6 Penggalian 0.8846 0.8783

7 Industri Pengolahan Non Migas 1.2141 1.5195

8 Listrik 0.9543 1.0002

9 Air bersih 0.7991 0.9336

10 Bangunan 0.9560 1.0908

11 Perdagangan Besar dan Eceran 1.3366 0.8823 12 Hotel dan Restoran 0.8917 1.3757

13 Angkutan 1.1883 0.8799

14 Pos dan Telekomunikasi 1.0171 0.8948 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 1.0925 1.0321 16 Sewa Bangunan dan Jasa Persh 0.9126 0.8591 17 Jasa Pemerintahan Umum 0.7924 1.0538

18 Jasa Swasta 0.8201 1.0079

Sumber : Data Hasil Analisis

Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya dorong >1, berarti daya dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai

indeks daya tarik >1, berarti daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya.

Dari tabel 52 diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422 sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757.

Untuk membantu menggambarkan tingkat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam “diagram kartesius keterkaitan antar sektor”. Diagram ini memiki dua sumbu yakni sumbu vertikal yang menunjukkan indeks daya tarik dan sumbu horizontal yang menunjukkan indeks daya dorong. selanjutnya sumbu vertikal dibagi menjadi dua wilayah yakni yang memiki nilai daya tarik di atas rata-rata (nilai indeks >1) dan yang berada dibawah rata-rata seluruh sektor. Demikian juga sumbu horizontal dibagi menjadi dua wilayah yakni yang memiliki nilai daya dorong di atas rata-rata (nilai indeks >1) dan yang berada di bawah rata-rata. Sehingga jika dua sumbu ini diletakkan dalam satu diagram maka akan menghasilkan 4 (empat) kuadran.

Gambar 6 menjelaskan keberadaan masing-masing sektor dalam kuadran-kuadran keterkaitan antar sektor, Diagram tersebut memiliki 4 (empat) kuadran-kuadran. Kuadran I, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang tinggi namun memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang rendah. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran I ini adalah : peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), listrik (sektor 8), bangunan (sektor 10), Hotel dan restoran (sektor 12), jasa pemerintahan umum (sektor 17) dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran I ini, hendaknya dapat menggerakkan sektor-sektor hilir atau dengan kata lain, harus diciptakan kegiatan atau aktivitas yang dapat memanfaatkan secara optimal sektor-sektor pada kuadran I baik sebagai bagian dari faktor produksi maupun sebagai sarana-prasarana atau komponen pendukung dalam kegiatan produksi sehingga dapat menggerakkan nilai total ekonomi wilayah secara signifikan.

Gambar 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima

Kuadran II, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang tinggi serta memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang tinggi pula. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran II ini adalah : Industri Pengolahan Non Migas (sektor 7), bank dan Lembaga Keuangan Non Bank (sektor 15), Keberadaan sektor-sektor pada kuadran II sangat penting sebagai sektor atau kegiatan antara yang menghubungan sektor-sektor di hulu dengan hilir, sehingga sektor-sektor yang berada di kuadran II ini harus ditingkatkan keberadaan baik dari jumlah aktivitas maupun dari nilai output (produksi) yang dihasilkan.

Kuadran III, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran III ini adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), perikanan (5), Perdagangan besar dan eceran (sektor 11), Hotel dan restoran (sektor 13), jasa pemerintahan umum