• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan yang timbul ketika kepentingan hukum masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam sistem penegakan hukum dan kepentingan

Dalam dokumen RELEVANSI BASIS SOSIAL HUKUM MASYARAKAT (Halaman 26-35)

nasional Indonesia.

Ulasan pada bagian ini, terpusat pada ekses yang ditimbulkan oleh kebijakan unifikasi hukum yang dikelola terpusat terhadap eksistensi keteraturan tatanan lokal dalam masyarakat adat di negeri ini. Sebagai sebuah praksis, haluan kebijakan seperti ini membawa serta sekaligus dua masalah ganda. Pertama, sebagai konsekuensi dari pengaturan yang terpusat, segala ketentuan, prosedur, dan mekanisme penegakkannya tidak mungkin dengan sendirinya diketahui oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural lagi heterogen. Pada titik ini, persoalan tentang apa yang harus diperkenalkan menjadi sesuatu yang pokok.

Kedua, andaikata pun sekalian ketentuan, prosedur, sistem penegakkan dimaksud, telah dikenal dan dipahami oleh masyarakat, tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan serta-merta menjadikannya sebagai instrumen yang bersifat harus pula. Di sini, persoalan tentang bagaimana memperkenalkan sekalian itu menjadi sangat krusial.

―Bila sebuah kelompok atau komunitas berkesempatan menarik diri dari

wewenang negara dan undang-undang, kelompok itu tidaklah lenyap dalam jurang non-hukum. Mekanismenya lalu diatur oleh sistem mereka sendiri‖.15

Dengan memusatkan perhatian pada masyarakat lokal, tidak ada maksud untuk menganggap kelompok masyarakat yang lain (seperti di kota-kota) telah luput dari masalah tersebut. Tidak, melalui kolom ini, penulis hanya ingin mengungkapkan betapa masyarakat adat/lokal telah dihadapkan pada persoalan pelik ketika mereka menghadapi hukum modern yang tertulis.

Dalam konteks lokal, pembinaan hukum yang terpusat menjadi masalah, justru karena dewasa ini masyarakat lokal di manapun dihadapkan pada dua

14Ibid, h. 65.

15Lihat dalam Norbert Roulan; Antropologi Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1992, hal.47.

keharusan yang kontradiktif. Yang satu, adalah upaya mempertahankan identitas,yakni tuntutan agar identitas mereka diakui umum sebagai sesuatu yang penting--suatu penegasan sosial mengenai diri sendiri sebagai sesuatu yang tidak boleh dianggap remeh oleh siapapun. Sementara yang lain, adalah keharusan untuk tunduk pada pranata dan lembaga hukum nasional yang dihadirkan untuk mereka.

Tanpa harus mengurut kembali deteil patologi yang dihasilkannya,

―paradigma‖ sentralisme yang sempat bertakhta sebagai kerangka keyakinan (belief framework) utama selama Orba, memang membungkus keanehan-keanehan yang endemik. Dalam bidang budaya, kearifan budaya lokal yang begitu mosaistis,

―direduksi‖ secara membingungkan dimana puncak-puncaknya (?) dipangkas bagi negara, sementara akarnya (?) ditinggalkan bagi rakyat. Demi kontrol yang efektif

(?), aspirasi rakyat bagi ―pengatur daerah‖ dikalahkan oleh dropping―orang pusat‖

yang ditempatkan di daerah. Atas nama kesatuan, sekalian realitas, makna, dan kebenaran yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, harus dikonstruksikan menjadi sekedar pilihan “ini” atau “itu”. Dengan bersembunyi di balik konsep Hukum Nasional, panji hukum kodifikasi yang uniform dinobatkan menjadi ukuran tunggal keabsahan dan ketertiban hukum di seluruh nusantara.

Adalah Montesquieu yang berkata: "Ada ide-ide tertentu mengenai keseragaman yang memikat jiwa-jiwa besar, ... tetapi yang pasti mematahkan yang kecil-kecil. ... Bukankah keagungan yang jenius terletak pada kemampuan mengetahui dalam hal manakah diperlukan keseragaman dan dalam hal mana

keanekaragaman‖? Rasanya kita setuju, bahwa perkataan Montesqueu itu

kena-mengena dengan ―keanehan‖ kebijakan di bidang hukum. Atas nama kepastian, hukum lokal serta institusi-institusi penopangnya diganti oleh hukum tertulis, sehingga UU dipandang sebagai jaminan ketertiban dan keadilan. Atas nama unifikasi, panji-panji peraturan tertulis yang berlaku ―semesta‖ dipancangkan dan dinobatkan sebagai, apa lagi—kalau bukan—menjadi ―raja‖ segala kepastian, ketertiban, dan keadilan. Dengan ―logika‖ itu pula, arah program pembinaan

hukum, diletakan dalam suatu format sistem yang baku. Yakni, penciptaan substansi hukum, penyempurnaan strukturnya, serta mengkomunikasikan semua itu demi tumbuhnya budaya hukum. Demikianlah, agar masyarakat mendukung

bekerjanya ‖mesin hukum‖ itu, maka legalitas ―ditahbiskan‖ menjadi ukuran

tunggal keabsahan yang serba imperatif.

Terkait dengan eksistensi komunitas masyarakat sebagai elemen terbesar dalam struktur negara bangsa (nation-state) Indonesia, adalah menarik gugatan kritis yang dilontarkan lewat Diskusi Terbatas pengantar Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tanggal 18/2/99. Dikatakan bahwa, berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan negara, secara tidak adil telah mengambil alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi, adat istiadat, dan yang utama adalah hak politik masyarakat adat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang khas. Oleh karena itu, diusulkan agar hubungan negara dan masyarakat adat mesti ditata ulang atas dasar penghormatan hak-hak masyarakat adat

Memang aneh! Tentang ―hak asal-usul‖ masyarakat adat, konstitusi

memberi jaminan yang jelas dan pasti. Namun, bila kita memotret realitanya dalam kebijakan dan produk hukum organis, ia diperlakukan seolah tumpukan sampah yang tidak berguna. Anda ingin tahu, apa sebabnya? Jawabannya, karena egologi penguasa untuk menguasai. Itu terjadi, ketika sentralisme dijadikan ancangan

politik ―pembangunan nasional‖, yang kemudian dipakai sebagai kerangka

keyakinan (belief framework) utama rezim Orba.

Meski memakai label nasional—yang menunjuk pada keterlibatan semua komponen nation, namun dalam geraknya mencuat keutamaan kepentingan negara dan penguasa untuk penguasaan. Dengan paradigma itu, rezim Orba menutup diri dan buta-tuli terhadap berbagai perbedaan yang merupakan implikasi logis dari sebuah masyarakat yang pluralis. Perbedaan tidak dilihat sebagai bagian dari kehidupan demokrasi, tetapi diyakini sebagai ancaman stabilitas dan harmoni sosial.

Maka tidaklah heran, bila sekalian kebijakan diberbagai bidang mengedepankan semangat penguasaan yang serba meliputi (embracing) ketimbang sebagai medium partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional. Alhasil, yang terjadi adalah politik uniformitas budaya, alokasi sumber daya alam yang tidak adil, pengelolaan negara yang sentralistik dan otoriter, serta mekanisme trickle down effect dibalik menjadi trickle-up effect (efek mencruat ke atas).

Mengenai status ―daerah istimewa‖-nya, dikemukakan bahwa, ―dalam

teritoir Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbesturende Landschappen dan

Volksgemeenschappen, seperti ―desa‖ di Jawa dan Bali, ―negeri‖ di Minangkabau, ―dusun‖ dan ―marga‖ di Palembang dsb. Daerah-daerah itu mempunyai susunan

asli, dan oleh karenanya boleh dianggap sebagai daerah istimewa‖. Sedangkan mengenai dasar pengakuan ―hak asal-usul‖ — otonominya ditegaskan bahwa,

―Negara Republik Indonesia menghormati kedaulatan daerah-daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut‖.

Dengan logika itu, persatuan Indonesia lalu direduksi menjadi kesatuan

dalam arti ―satu warna‖. Ekualitarian dibelokkan menjadi egalitarian—konsep yang menganggap semua orang itu sama, dan karena itu harus diperlakukan sama tanpa perbedaan. Akibatnya, masyarakat, terutama masyarakat adat acapkali tercecer sepanjang jalan kebijakan pemerintah. Bahkan sering menjadi pihak yang disalahkan karena ukuran-ukuran pusat/penguasa tentang apa yang ―baik‖, ―benar‖, dan ―tepat‖, menjadi standar penilaian tentang ―keberesan‖ atau pun ―ketakberesan‖

mereka.

Pada aras konsep, kebijakan uniformitas seperti itu memang sungguh

bertelingkah dengan ―logika‖ realitas objektif Indonesia sebagai negara bangsa

dengan kemajemukan geografis, etnis, rasial, dan komposisi sosio-kulturalnya. Pluralitas multi dimensi yang demikian, mengharuskan setiap kebijakan di negeri ini mesti memperhitungkan secara adil dan seimbang segi kesatuan dan kebhinekaannya.

Dalam rimba makna seperti itu, amat relevan peringatan M. Mead,16 ketika

ia ―bertanya‖: How slow must we go? How fast can we go? Ya, ia relevan bagi pemerintah dalam menghampiri masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika

itu. Mengapa? Oleh karena di satu pihak, yang menyeluruh (dibaca: kesatuan) tidak dapat dengan tuntas mempresentasikan pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya. Sementara di pihak lain, pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh.

16Margreth Mead, Cultural Patterns and Technical Change, USA: New American Library of World Literature Inc., 1960, hal. 7.

Menurut hemat penulis, kita sepakat bahwa salah satu keharusan reformasi menyangkut perlakuan negara terhadap masyarakat adat, adalah menggantikan hubungan yang asimetris—negara yang ―menelan‖ masyarakat, menjadi keharmonisan hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence). Kita ingin merubah pandangan dunia (weltbilt) yang mengilhami pemusatan kekuasaan pada penguasa menjadi pelaksana kehendak rakyat. Menggantikan penguasaan negara atas masyarakat menjadi agen masyarakat.

Keperluan melakukan perbaikan tersebut, bukan saja merupakan tuntutan logis dari keharusan masyarakat yang pluralis. Yang tidak kalah penting, juga karena berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan negara selama ini, secara tidak adil telah mengambil alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi, adat istiadat, dan yang utama adalah hak politik masyarakat adat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang khas.

Perampasan hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan sumber-sumber agraria masyarakat adat, seperti hak penguasaan hutan, kuasa pertambangan, HGU, kawasan konservasi dll, merupakan sederet contoh dari perlakuan tidak adil tersebut. Ditinjau dari hukum agraria nasional, perampasan hak-hak masyarakat adat berakar pada dua hal. Pertama, terjadinya penyamarataan dua konsep hak masyarakat adat. Yaitu hak ulayat (beschikkingsrecht), yang merupakan hak penguasaan yang ada di tangan komunitas desa (hak publik) berdasarkan hukum adat, dan hak milik adat (inlands bezitsrecht) yang merupakan hak-hak perdata milik perorangan anggota persekutuan hukum adat yang diperoleh lewat pembukaan hutan primer (hak privat).

Dengan cara demikian, hak-hak keperdataan yang dimiliki komunitas klan—sebagai satuan-satuan kelurga (inlands bezitsrecht) yang bersifat keperdataan, tanpa halangan dapat diambil oleh negara dari hak ulayat menjadi hak publik negara. Persis di titik ini, pengakuan hak masyarakat adat atas tanah pada pasal 2,3, dan 5 UUPA, hanya berstatus pengakuan semu. Kedua, karena secara yuridis hak ulayat merupakan hak publik, maka terbuka lebar peluang terjadinya negararisasi tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adat. Demi keperluan tertentu, penguasa/negara dapat mengambil alih hak ulayat adat menjadi hak ulayat negara.

Mencegah Kesenjangan Hukum

Meski jarang diungkapkan, banyak ―alasan‖ mengapa produk hukum kita ―lepas‖ dari ―kesadaran‖ rakyat yang menjadi adressat. Semisal: Pertama, sistem hukumnya yang belum ditunjang oleh suatu pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum itu. Kedua, konstruksi tata hukum yang diinginkan negara, berseberangan dengan keadaan objektif masyarakat kita yang plural, ataupun, ketiga, karena aturan hukumnya berada di luar kepentingan rakyat (sebagaimana puluhan Keppres produk Orba yang dievaluasi MTI). Pendeknya,

―kemandulan‖ hukum kita sedikit banyak terkait dengan ―pembawaan‖-nya sebagai

tumpukan produk hukum yang tidak terpikirkan (―unthinking law‖) oleh rakyat, karena ―asing‖ dan berada di luar tangkapan rasa mereka (Boaventura de Sousa Santos, 1995).

Kesenjangan ini disebabkan oleh karena, seperti dikatakan Stanley Diamond, bahwa hukum negara acapkali membawa serta perangkat dan tujuan yang berbeda, bahkan berada di luar kepentingan masyarakat yang diaturnya. Akibatnya, terjadinya persaingan antara hukum dan kebiasaan. Paul Bohannan mencatat:

―Kebiasaan-kebiasaan (lembaga informal) harus tumbuh untuk akhirnya dapat sesuai dengan hukum, atau ia harus secara aktif menolaknya; hukum harus tumbuh untuk akhirnya sesuai dengan kebiasaan, atau ia harus mengingkari atau

menekannya‖.

Memang, masyarakat tidak mengingkari bahwa hukum negara mengandung

―kebenaran‖, ―kebaikan‖, dan ―keadilan‖. Namun ―kebenaran‖, ―kebaikan‖, dan ―ketepatan‖ tradisi memiliki keunikan tersendiri dalam konteks dunia atau ―sistem situasi‖ mereka. Sebab, lingkungan tradisi sebagai sebuah sistem, tidak kurang dari ―sebuah sekolah‖ dimana para pendukungnya belajar, tidak hanya mengenai apa dan bagaimana sifat sesuatu, melainkan pula tentang bagaimana sesuatu itu seharusnya bersifat. Oleh karena itu, konsepsi tentang apa yang benar, baik, dan tepat merupakan sejumlah faktor penentu yang menggerakkan partisipan budaya yang memilih tawaran-tawaran yang dihadapkan kepadanya. Karenanya, lembaga dan pranata hukum negara acap kali tidak dihiraukan, hanya karena tawarannya dianggap tidak memadai atau bahkan terlalu tinggi untuk dipakai dalam

Hal ini dapat dimengerti, oleh karena lembaga dan pranata hukum negara dengan aturan dan prosedur yang relatif hanya dimengerti dan dimasuki oleh para profesional yang terdidik khusus untuk itu, disodorkan begitu saja kepada rakyat, tanpa peduli apakah itu sesuai atau tidak. Demikian pula dalam geraknya, sistem

hukum beroperasi secara mekanik menurut logika ―kerja birokrasi‖. Dengan logika

ini, penyelenggaraan hukum dijalankan secara elitis di bawah kendali para birokrat dalam naungan wewenang formal yang mereka miliki.

Mereka menjalankan mesin hukum berdasarkan tindakan-tindakan instrumental-formal yang mengutamakan aturan-aturan dan prosedur daripada keutuhan realitas. Akibatnya, lembaga dan pranata hukum menjadi entitas yang esoteris yang terpisah secara asimetris dengan tipe-tipe regulasi sosial lain yang menguasai lalu lintas pergaulan manusia yang begitu kompleks. Semua sektor yang saling berhubungan, dipilah-pilah untuk kemudian direduksi menjadi sektor

yang saling berhadapan. ―Logika dualisme‖ ini, tentu saja berseberangan dengan

―logika keutuhan‖ dalam masyarakat (adat) yang melihat hukum sebagai satu

kesatuan dengan mekanisme-mekanisme lain, seperti moral, adat, agama (religi). Dan karena perbedaan logika itu , maka bagi masyarakat (adat), hukum negara itu tidak pernah hanya menjadi masalah tentang apa yang harus ditaati, tetapi juga merupakan masalah tentang bagaimana mentaatinya.

PENUTUP

Koreksi mendasar terhadap warna hukum kita adalah agenda utama yang harus ditindaklanjuti, Untuk itu, hal-hal di bawah ini dapat segera diagendakan sebagai agenda reformasi tata hukum. Pertama, permasalahan utama dalam pembangunan hukum di Indonesia yang plural bukanlah bagaimana menciptakan perangkat hukum yang lengkap terperinci, serta berlaku uniform, tetapi bagaimana membuat agar peraturan-peraturan tersebut tidak hadir sebagai penjajah dan juga tidak hadir sebagai pemicu disintegrasi sosial.

Kedua, sistem hukum yang dipercayai masyarakat apalagi masyarakat, adalah hukum yang bangkit dari dalam dan menjawab pergumulan mereka . Itu berarti bahwa hukum itu bukanlah yang menurut orang luar, tetapi hukum yang mengatakan tidak adil terhadap tiap perbuatan yang dianggap tidak adil dalam masyarakat. Sehingga hukum yang berdasarkan jiwa dan kehidupan (nasional) dari rakyatnya.

Ketiga, kalau demikian halnya maka tidak ada keharusan bagi kita untuk secara mati-matian mengagungkan dominasi hukum tertulis seperti yang terkandung kebijakan kodifikasi hukum. Kita perlu sedikit rendah hati untuk mendengar dan menyapa keberadaan hukum-hukum lokal (hukum adat dan hukum kebiasaan) yang terlanjur kita terlantarkan selama ini.

Keempat, perlu dipikirkan produk hukum yang compatible untuk mengatasi menumpuknya unthinking law. Secara demikian, hendak dikatakan bahwa, kebijakan tata hukum meminta visi baru yang memberi ruang pada perbedaan, kemajemukan, bahkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat.

A. Saran

1. Adanya sebuah revisi terhadap pasal-pasal keranjang sampah,sehingga pasal tersebut akan memiliki batasan-batasan maksud dan tujuan yang jelas;

2. Adanya sebuah psikotest bagi aparat penegak hukum, sebelum benar-benar menjadi bagian dari penegakan hukum di Indonesia, sehingga diharapkan bagi seorang penegak hukum untuk dapat mengetahui hakekat daripada nilai-nilai hukum yang sebenarnya;

3. Diubahnya sistem pengajaran bagi para sarjana hukum kita agar tidak selalu mengagung-agungkan undang-undang tertulis, karena bagaimanapun juga seorang sarjana hukum haruslah memiliki pola-pola pemikiran yang progresif, dimana hukum bukan hanya suatu undang-undang semata.

Dalam dokumen RELEVANSI BASIS SOSIAL HUKUM MASYARAKAT (Halaman 26-35)

Dokumen terkait