• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI BASIS SOSIAL HUKUM MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELEVANSI BASIS SOSIAL HUKUM MASYARAKAT"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSI BASIS SOSIAL HUKUM MASYARAKAT LOKAL

DI TENGAH KEPENTINGAN NASIONAL

Karya Tulis Ilmiah

Diajukan dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa RKI 2009 Universitas Sebelas Maret

Tingkat Nasional

Oleh :

Benny Sumardiana 3450405600 Amrina Rosada 3450407028

FAKULTAS HUKUM

(2)

ABSTRAK

Benny Sumardiana, Amrina Rosada, FAKULTAS HUKUM, UNNES, 2009.

”Relevansi Basis Sosial Hukum Masyarakat Lokal Di Tengah Kepentingan Nasional”. Pembimbing Dr. Indah Sri Utari SH, MH.

Hukum merupakkan sekumpulan peraturan yang didalamnya terdapat nilai-nilai keadilan. Pada idealnya hukum itu sendiri haruslah berada dalam posisi tengah karena memang hukum itu tidaklah memihak kecuali pada kebenaran. Hukum harus diimplementasikan secara tegas, oleh karenanya semua alat-alat penunjang hukum baik itu aparat maupun aturan-aturan atau regulasinya harus menampakkan ketegasan pula. Harus kita sadari hukum merupakkan sebuah ilmu yang selalu bergerak untuk berkembang dan tidak statis, sehingga sudah seharusnya pula hukum itu mengikuti pada perkembangan yang ada dalam masyarakat.

Situasi yang saat ini terjadi dalam masyarakat banyak yang tidak mempercayai kalau hukum dapat memberikan keadilan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal memiliki aturan-aturan atau norma yang telah lama berkembang dalam kehidupan masyarakatnya dan masyarakat hukum lokal merasa kepentingannya telah terwakili oleh hukum lokal dan masyarakat merasa mendapatkan keadilan disana. Ini sebenarnya memperlihatkan hukum modern tidak selalu dapat memoderasi masyarakat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang mengkristal dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku secara sempurna dalam masyarakat.

Permasalahan hukum yang selama ini timbul sebenarnya sebuah hal yang sederhana yaitu akibat adanya pengaturan regulasi yang kurang jelas, rancu, dan dapat menimbulkan berbagai persepsi yang dalam karya tulis ini kami sebut sebagai celah-celah hukum. Celah hukum itu sebenarnya merupakkan bahaya laten yang secara sadar atau tidak itu sudah sangat mengancam eksistensi hukum nasional itu sendiri. Kita menyadari hukum memang merupakkan sebuah produk politik yang merupakkan implikasi berbagai kepentingan yang ada pada masyarakat kemudian di rangkum dalam sebuah peraturan perundang-undangan, dan tentunya kita sadari banyak celah yang kemudian ditimbulkan dari kurang tepatnya penggabungan segala kepentingan itu.

Analoginya adalah di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut.

Dengan berbagai bentuk dampak yang dapat ditimbulkan karena adanya celah-celah dalam hukum yang itu dapat menimbulkan hal negatif dalam penegakkan hukum nasional di Indonesia, maka kami berusaha menuangkannya dalam bentuk karya tulis ini yang bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana menempatkan hukum masyarakat lokal di tengah kepentingan nasional melalui kajian hukum progresif dan juga mencoba memmberikan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh adanya celah-celah hukum tersebut.

(3)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK...………. .iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Pengaturan dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia... 4

B. Berlakunya hukum di masyarakat ... 6

C. Hukum Progresif ... 5

BAB III METODE PENULISAN ... 8

A. Metode Pendekatan dan Spesifikasi Penelitian ... 8

B. Metode Pengumpulan Data ... 9

C. Metode Penyajian dan Analiisis Data ... 10

BAB IV PEMBAHASAN ... 11

A. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Celah-celah Hukum dalam Sistem Penegakkan Hukum di Indonesia... 11

B. Akibat yang Ditimbulkan dari Adanya Celah-celah Hukum...14

C. Kiat-kiat Yang Dilakukan Sebagai Suatu Solusi Cerdas Untuk Menutup Celah Hukum Yang Ada……… BAB V PENUTUP ... 19

A. Kesimpulan... 19

B. Saran ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tema pokok yang diperjuangkan dalam rangka reformasi dewasa ini adalah tegaknya hukum dan sistem hukum sebagai pilar yang utama dalam proses demokratisasi. Cita-cita demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa diimbangi dengan tegaknya sistem hukum sebagai pegangan bersama dalam menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi. Dalam negara hukum, hukumlah yang pertama-tama dianggap sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan kehidupan bersama,

bukan orang, ―the Rule of Law, and not of man‖. Orang bisa berganti, tetapi hukum sebagai satu kesatuan sistem diharapkan tetap tegak sebagai acuan dan sekaligus pegangan bersama.

Pada era reformasi, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama dalam pluralisme hukum

(5)

otoritarianistik yang dapat menyebabkan sebuah aturan sulit diterima oleh masyarakat ditataran grasroot dibawahnya karena produk hukum ini cenderung top-down, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo- toleransi, yaitu menghasilkan produk hukum yang rentan konflik-konflik komunal. Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi dalam hukum harus terkait dan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Namun yang selama ini terjadi hukum yang seharusnya berpihak pada keadilan justru dapat bertolak belakang dengan nilai-nilai keadilan yang ada, sehingga apabila ditarik suatu benang merah, maka akan ditemukan suatu kesimpulan bahwa, hukum di Indonesia masih belum dapat mengakomodasi atau menampung kepentingan hukum masyarakat lokal. Apabila hal ini dihadapkan oleh suatu konsep tentang hukum progressif yang dipopulerkan oleh seorang Guru Besar Emeritus Universitas Dipenogoro, Prof. Satjipto Rahardjo, yang dimaksud hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibuat (rule making), tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking). Yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan, bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.

(6)

menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya diubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.

Ketiga, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirkannya manusia dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan tata cara meng-operasionalkannya.

Biarkan hukum mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya

sendiri secara progresif, ―the development of the law gradually works out what is socially reasonable‖. Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut.

Sehingga untuk menempuh suatu hukum yang progresif, paling tidak kita harus benar-benar mau untuk mengkaji secara efektif ketiga aspek diatas, dan melihat hukum sebagai perangkat yang obyektif, serta tidak hanya mengandalkan peraturan perundang-undangan sebagai satu-satunya pegangan dalam memutuskan suatu perkara.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan-permasalahan yang akan dibahas berdasar pemaparan latar belakang diatas adalah:

(7)

2. Permasalahan apa yang akan timbul ketika kepentingan hukum masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam sistem penegakan hukum dan kepentingan nasional Indonesia?

3. Solusi yang bagaimana yang digunakan sebagai penutup celah-celah hukum dan menerapkan keanekaragaman hukum masyarakat lokal dalam sistem penegakan hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan karya tulis ini adalah:

1. Mendapatkan gambaran tentang realitas proses menempatkan hukum masyarakat lokal dalam sistem peradilan dan kepentingan nasional di Indonesia;

2. Memahami tentang suatu dampak yang akan timbul ketika kepentingan hukum masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam sistem penegakan hukum dan kepentingan nasional Indonesia;

3. Mendapatkan suatu titik tengah (equilibrium point) dalam menerapkan keanekaragaman hukum masyarakat lokal dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaturan dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa berisikan suatu perintah, larangan atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. (Wignyodipuro, SH.). Indonesia merupakan Negara hukum segala seluk-beluk kehidupan masyarakatnya telah diatur dalam bermacam-macam aturan yang telah dibuat pemerintah.

Indonesia memiliki perangkat aparat yang memiliki tugas mengatur secara langsung hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang bertujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan melalui hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan ketertiban. Perangkat itu adalah jaksa, hakim, polisi, dan lembaga-lembaga yang memegang fungsi yuridis lainnya.

Dalam masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan yang actual, antara yang standar dan yang praktis. Standar dan nilai-nilai dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filososfis.

(9)

masyarakatnya tidak sejalan atau sinergis oleh karenanya kita membutuhkan formulasi yang tepat, untuk dapat merubah tatanan kita dalam berhukum.

A. Masyarakat Plural dan Kearifan Lokal

(10)

Indonesia berbeda-beda. Kemudian Magnis Suseno menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat menghayati kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok kecilnya sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional.

Demikianlah keadaan masyarakat Indonesia yang plural, mempunyai perbedaan dalam suku, adat istiadat dan agama. Walaupun sekarang ini telah ada Hukum Nasional yang telah dibuat dan diatur oleh pemerintah Indonesia disegala bidang dan diperuntukkan oleh semua masyarakat Indonesia, namun kedudukan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia pun mempunyai kedudukan yang sama besar. Adat istiadat yang telah mengakar kuat dijiwa masyarakat Indoesia tidak jarang mengesampingkan hukum nasional. Bahkan masih ada dalam daerah-daerah terpencil yang belum terpengaruh oleh kebudayaan luar dan intervensi dari pemerintah, lebih menjunjung tinggi hukum adat diatas hukum nasional yang ada.

Adanya kenyataan yang demikian itu, kita tahu bahwa dalam masing-masing daerah yang mempunyai perbedaan dalam adat istidat, kesukuan dan agama yang berbeda itu melahirkan kearifan-kearifan lokal di masing-masing daerah. Dari adanya kearifan lokal tersebut dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya keinginan masyarakat disegala bidang, baik dalam kehidupan sosial antar masyarakatnya maupun dalam bidang aturan hukumnya.

Hukum Nasional yang ada sekarang di Indonesia dinilai belum bisa mengakomodir keinginan mayarakat Indonesia yang plural, yang sarat akan banyak perbedaan. Wajah hukum di Indonesia belum bisa dinilai sebagai wajah aspirasi masyarakat Indonesia, melainkan masih berupa wajah keinginan para penguasa. Terbukti dengan adanya beberapa aturan-aturan hukum yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, adanya aturan-aturan hukum yang mandul, dan berbagai upaya perubahan ataupun amandemen terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh pemerintah.

(11)

B. Masalah Egalitarianisme

Dari sudut integrasi sosial, penghormatan terhadap identitas, harga diri, dan perasaan masing-masing dalam semangat kederajatan, merupakan prasyarat terjadinya penyelarasan orientasi bersama. Mengapa? Oleh karena orientasi bersama itu, dimungkinkan hanya apabila para individu maupun kelompok memperlakukan pihak lain sebagai pihak yang tidak boleh dianggap remeh dengan alasan apapun. Jalinan rasa senasib menjadi krusial bagi integrasi, justru karena integrasi mengasumsikan adanya pluralitas dan heterogenitas. Dan justru pluralitas dan heterogenitas dapat menjadi kekuatan integratif di kala yang satu mengakui yang lain sebagai bagian yang sederajat.

Adalah M. Mead (1960) yang ―bertanya‖: How slow must we go? How fast can we go? merupakan pertanyaan cerdas Mead itu sungguh relevan bagi pemerintah dalam menghampiri masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika

itu. Mengapa? Oleh karena di satu pihak, yang menyeluruh (dibaca: kesatuan) tidak dapat dengan tuntas mempresentasikan pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya. Sementara di pihak lain, pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh. Baik yang menyeluruh maupun bagian-bagiannya mempunyai struktur, sistem, dan dinamikanya sendiri-sendiri.

Masyarakat-masyarakat lokal bukanlan ―bejana‖ yang kosong. Mereka

memiliki klasifikasi budaya mengenai apa yang ―baik‖, ―benar‖, dan ―tepat‖.

Sistem itu menjadi inner logic yang menentukan makna kehidupan mereka. Sesuatu yang baru yang datang dari luar, tidak selalu compatible dengan sistem lokal. Oleh karena itu, terkait dengan kendali pusat, masyarakat lokal selalu dihadapkan pada dua tuntutan yang bertelingkah. Yang satu adalah upaya mempertahankan identitas—agar identitas tersebut diakui umum sebagai sesuatu yang penting—suatu penegasan sosial mengenai diri sendiri sebagai sesuatu yang tidak boleh dipandang remeh oleh siapapun. Sedangkan yang lain adalah, keharusan untuk tunduk pada, apalagi, kalau bukan—keharusan-keharusan nasional yang serba uniform.

(12)

tanpa mengorbankan identitas. Bila terlalu menekankan kesatuan, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk membuat rakyat mempunyai komitmen secara emosional kepada simbol nasional. Dan itulah yang terjadi selama ini. Masyarakat yang terserak dari Sabang sampai Marauke di-manage oleh exemplar egalitarism

faham yang menganggap semua orang itu sama, dan karena itu harus diperlakukan sama demi mewujudkan suatu masyarakat tanpa perbedaan. Bukan. Bukan ini yang dibutuhkan Indonesia. Baik dari sudut bawaan (hereditary) maupun lingkungan, setiap orang itu unik.

Oleh karena itu, yang mesti dianjurkan adalah ekualitarianisme— kesederajatan demi persekutuan sejati yang bersifat saling mengisi. Mungkin inilah yang dilupakan pemerintah selama ini, sehingga dalam tiap kebijakannya, masyarakat acapkali tercecer sepanjang jalan kenangan. Bahkan sering menjadi pihak yang disalahkan karena ukuran-ukuran pusat tentang apa yang ―baik‖,

―benar‖, dan ―tepat‖, menjadi standar penilaian tentang ―keberesan‖ atau pun ―ketakberesan‖ mereka. Masihkah kita tega mencap mereka sebagai pembangkang, bila mereka harus ―pamit‖ karena tidak betah menjadi pelakon kambing hitam yang

―hina‖ dan ―lapar‖?

Nilai Hukum & Dilema Tugas

Oliver Wendell Holmes, hakim agung Amerika yang amat tersohor pernah

berkata: ―The Supreme Court is not court of justice, it is a court of law‖. Sungguh

berbeda dengan itu, Mahkamah Agung di Indonesia bukanlah pengadilan untuk

hukum tetapi merupakan ―benteng terakhir keadilan‖. Sebuah semboyan yang

menegaskan apa yang menjadi hakikat asasi (the really real) sebuah peradilan di

Indonesia, yaitu: ―Peradilan dilakukan demi keadilan...‖ (pasal 4 (1) UU. No. 4 Th 2004 ). Ia juga mengungkapkan primium et summum bonum keadilan yang menjadi misi suci (mission sacree) dalam penegakkan hukum.

(13)

menjadi tidak korup alias adil, meski sungguh mulia namun ―overdosis”. Dikatakan

demikian, karena bukan saja mereka harus memikul beban ―ketakberdayaan‖

pembuat hukum yang tidak becus, tetapi juga, kalau bukan yang terutama, adalah untuk menggali nilai-nilai (hukum) yang hidup dalam masyarakat lebih sebagai

beban yang terbilang tidak normal dalam ―logika‖ pekerjaan seorang hakim.

Dikemas dalam satu ucapan, maka pekerjaan yang dilakukan oleh hakim pada dasarnya adalah mengadili berdasarkan hukum. Hakim adalah seorang ahli hukum yang memang dipersiapkan untuk menerapkan hukum. Umumnya, sejak pendidikan universiter (S-1), ia menerima pendidikan mengenai sistem hukum— yaitu hukum sebagai sesuatu yang telah ditetapkan. ―Tradisi‖ ini kian mengental

lewat pendidikan khusus sebagai hakim, di mana mereka dididik ―keterampilan‖

memakai hukum untuk menyelesaikan masalah (problem solving). Dalam menghadapi peristiwa hukum, peraturan-peraturan yang sudah jadi itu dipakai

untuk merekonstruksi sekalian kasus yang dihadapi menurut ―logika‖ norma-norma tersebut.

Bagi hakim, demikian Erik Wolf, hukum adalah sesuatu dengan mana ia bekerja sehari-hari. Sebagai perlengkapan pekerjaannya, ia dituntut untuk percaya pada alat yang ia pakai, yaitu undang-undang dan jurisprudensi. Kesetiaan itu tentu saja sebagai akibat belaka dari ancaman bahaya ketidakpastian bila ia harus memperdulikan hal-hal lain di luar hukum. Temuan penulis ketika melakukan penelitian lapangan pada Mahkamah Agung RI tahun 1990, menunjukan bahwa dalam menjalankan pekerjaan yang telah dilimpahkan kepadanya, seorang hakim sulit sekali untuk tidak mendasarkan diri pada aturan yang dipegangnya—meski dengan itu ia sadar bahwa hakikat keadilan tidak tersentuh. Pertimbangan rasa aman dalam tugas, terutama ketika menjalankan tugas rutin mengadili, telah menjadi

pendorong utama untuk ―setia‖ pada aturan-aturan yang sudah pasti.

Selain itu, karena putusan mereka mesti berisi evaluasi tentang ketepatan penerapan hukum dari pengadilan di bawahnya, sehingga dirasakan adalah lebih baik jika mereka menghindari ketidakpastian dan keraguan yang dapat ditimbulkan—ketika harus mempertimbangkan unsur-unsur di luar hukum. Itulah sebabnya, seorang lebih suka untuk tetap melakukan pekerjaannya seperti lazim

(14)

tidak ada jaminan apapun yang mengamankan tugas dan kariernya jika menyimpangi sebuah statuta demi sesuatu di luar aturan yang dipegangnya.

Di tengah rimba peraturan yang tidak adil, kewajiban menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat demi mencapai keadilan memang amat logis dan mulia. Namun bagaimana sesuatu yang logis dan mulia itu harus

dihadapmukakan dengan ―kesiapan‖ atau ―kesanggupan‖ riil para hakim, adalah sesuatu yang jauh dari sederhana. Meski menjadi semacam mission sacree yang terpuji, tugas seperti itu tidak serta-merta dijamin efektif dan tidak distortif. Mengapa? Oleh karena tanpa keterampilan metodologis yang cukup, tidak mustahil nilai yang digali, diikuti dan dipahami sang hakim, bukanlah nilai yang benar-benar hidup. Kalaupun ia menemukan nilai yang masih hidup, masih saja dapat dipertanyakan signifikansinya, yaitu: nilai tentang apa?, nilai menurut siapa? Lalu bagaimana inner logic-nya?

Secara teoretis dapat dikatakan bahwa, kebenaran temuan dan signifikansi nilai yang digali, diikuti, dan dipahami, sangat ditentukan oleh ketetapan metode dan kemampuan menggunakannya. Kompleksitas dan keacakan nilai yang tersebar dalam masyarakat, terlampau rumit untuk ditangkap begitu saja tanpa keterampilan metodis dan waktu yang memadai. Ia juga terlampau kompleks untuk disimpulkan lewat informasi segelintir informan—apalagi dalam forum peradilan yang jauh dari kenormalan lingkungan informan.

Dalam lingkungan antropologiwan hukum, berkembang paling sedikit tiga pendekatan dalam menemukan dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ada yang berusaha menemukannya lewat perekaman yang teliti terhadap nilai-nilai/norma yang masih diingat para informan kunci. Tapi kelemahan mendasar dari pendekatan ideologis ini, adalah kesulitan mengidentifikasi manakah nilai yang masih hidup dan mana yang tinggal sekedar nostalgia. Berbeda dengan pendekatan ideologis, pendekatan deskriptif berkosentrasi pada tindakan-tindakan nyata yang teramati untuk menemukan tertib sosial yang ada. Karena realitas tidak selalu menunjukan inner logic yang menopang keteraturan tersebut, maka nilai-nilai yang hendak ditemukanpun tidak mungkin diketahui.

(15)

―sejarah‖ kasus-kasus sengketa. Mulai dari pelacakan asal-muasal konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam proses konflik menjadi sengketa, perdebatan dan negosiasi yang terjadi, sampai pada bagaimana penyelesaian akhir, dan nilai-nilai/norma apa yang mendasari keputusan itu, harus diikuti secara cermat untuk mengetahui dan memahami nilai/norma yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Namun masalahnya adalah, apakah yang ditemukan dalam suatu kasus sengketa representatif untuk semua sengketa sejenis.

Dan bagi hakim, apakah realistis menjalani pekerjaan ―yang asing‖ (tanpa preskriptif lagi rumit) seperti itu, di tengah-tengah kesibukan tugas rutinya yang begitu padat? Cukup normalkah bagi seorang yang pekerjaan sehari-harinya dipolakan oleh keharusan-keharusan preskriptif, harus meladeni pekerjaan seorang ilmuwan berpengalaman yang mengutamakan kebenaran objektif-non preskriptif? Mengapa persoalan mengawinkan hukum dan keadilan tidak diwajibkan sebagai imperatif kategoris terhadap lembaga pembuat UU yang memang mempunyai tugas menyerap aspirasi masyarakat? Maka menurut hemat saya, sangat tidak imbang bila ketakberesan suatu produk hukum diserahi sepenuhnya untuk diluruskan oleh hakim. Penegakkan hukum yang adil akan benar-benar tercipta jika peraturan yang adil berpadu dengan penegak hukum yang tidak korup alias tidak memihak

Hukum Progresif

Dalam mengatasi ―kelumpuhan‖ hukum di negeri ini Profesor Satjipto

Rahardjo) menawarkan perspektif dan spirit baru yang diberi nama ―Hukum Progresif‖,. Kelumpuhan berpangkal pada dominasi semangat legalisme yang berlebihan dalam penyelenggaraan hukum selama ini. Aturan dan prosedur seolah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Akibatnya, kepekaan, empati, serta dedikasi menghadirkan keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat, menjadi kian redup dalam diri (kebanyakan) aparat penegak hukum.

(16)

hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Aparat penegak hukum misalnya, tidak harus menepis keberadaan suatu peraturan, meski dirasa tidak aspiratif. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada rakyat.

Butuh Eksemplar Baru

Tapi aksi baru yang kreatif seperti ditawarkan hukum progresif itu, tentu butuh sokongan kerangka keyakinan (belief-framework) baru yang compatible pula. Bukan hanya karena hukum progresif berusaha menolak keadaan status quo

manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, suasana korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat, tetapi lebih karena, coute que coute, semangat

―perlawanan‖ dan ―pemberontakan‖ yang melekat pada dirinya untuk mengakhiri

kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para aktor hukum.

Di sinilah pentingnya kehadiran semacam exemplar atau contoh/model untuk memandu gerakan (movement) tersebut menyangkut tiga hal penting. (1). Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, (2). Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaian masalah dimaksud, serta (3). Landasan teoretis dan filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan.

Memadukan peraturan dan kenyataan dalam hubungan yang seimbang, bukanlah pekerjaan mudah, karena kenyataan yang tersodor di hadapan acapkali bukanlah pilihan hitam-putih. Dalam kehidupan nyata, tidak jarang harus menghadapi kenyataan dan keadaan di mana pertimbangan-pertimbangan universal berdasarkan hukum dan konvensi tidak selalu menolong. Kenyataan atau keadaan di mana keputusan harus diambil dengan amat memperhitungkan konteks yang ada. Begitu kompleksnya kenyataan sehingga hampir mustahil untuk mempunyai patokan semesta bagi setiap kemungkinan.

(17)

yang ada. Praktik hukum progresif, tidak lain dari kebijaksanaan para hakim, polisi, jaksa, dan pengacara dalam memaknai hukum kini dan di sini. Maka hakim, polisi, jaksa, pengacaralah yang sebenarnya membuat hukum sebagai aturan yang ril berlaku. Untuk mewujudkan hukum progresif, mereka harus bertindak sebagai a creative lawyer.

Dari merekalah diharapkan lahir keputusan yang berkualitas

―yurisprudensial‖ untuk memandu perubahan hukum secara progresif. Tanpa

panduan itu, hukum progresif akan sulit terwujud. Di tengah kebanyakan orang (termasuk aparat penegak hukum) dikuasai sikap pragmatis-instrumentalistis, bisa saja peluang yang diberikan hukum progresif itu disalahgunakan untuk menabrak hukum itu sendiri untuk membenarkan kejahatan.

(18)

BAB III

METODE PENULISAN

Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat tentang permasalahan yang dibahas sehingga hasilnya memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak perlu diadakan kajian-kajian dan penelitian serta pengamatan terhadap objek penelitian. Oleh karena itu diperlukan metode-metode yang tepat dan sesuai dengan apa yang dilakukan dalam memperoleh data-data baik secara kualitas maupun kuantitas.

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai sebagai upaya dalam bidang Ilmu Pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis, 2004 : 24)

Maka dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah sebagai berikut: A. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1990 : 3)

(19)

Penelitian kualitatif memberi batasan dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian, sehingga peneliti dapat menemukan lokasi penelitian.

Selain itu penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasnnya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

B. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu proses dimana peneliti mencari data yang dibutuhkan guna menunjang penelitian yang tengah dikerjakan. Kegiatan pengumpulan data ini penting sekali karena kegiatan ini mencari data dari berbagai sumber yang dianggap berkompeten untuk menunjang hasil penelitian yang dikehendaki dan menghasilkan data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Untuk itu maka diperlukan penyusunan instrumen pengumpulan data dan penanganan yang serius agar diperoleh hasil yang sesuai dengan kegunaannya yaitu pengumpulan variabel yang tepat.

Berdasar pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah :

a. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumentasi dibedakan menjadi dua (Irawan Soehartono, 2000:70), yaitu:

1. Dokumentasi primer, jika dokumentasi ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa

(20)

Dokumentasi bisa berupa buku harian, surat kabar,transkip, tesis, desertasi, majalah, laporan, catatan kasus (case records), dan dokumen lainnya

b. Observasi

memberikan data khususnya data kualitatif. Pengamatan tersebut disesuaikan dengan tema yang Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengamati objek-objek yang dapat dimbil sehingga data yang diperoleh merupakan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

C. Metode Penyajian Data

(21)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor penyebab sulitnya hukum masyarakat lokal terakomodasi dalam kepentingan nasional

Elaborasi tentang ambigiutas kebijakan kodifikasi hukum di tengah pluralitas Indoensia—yang melahirkan kesenjangan hukum, menjadi pusat perhatian dalam bagian ini. Poilitik kodifikasi hukum telah menjadi ambigiu, ketika dihadap-mukakan dengan realitas objektif masyarakat plural Indonesia. Di satu pihak sistem hukum tertulis telah dinobatkan sebagai pengatur tunggal, sementara di pihak lain ada keharusan untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam kenyataan, pertemuan aneka norma hukum itu melahirkan berbagai bentuk, baik dalam wujud keterbauran yang padu/tidak padu, ataupun perbenturan karena kesenjangan antara sekalian itu. Kesenjangan hukum bisa terjadi, terutama karena adanya perbedaan pemaknaan hukum antara yang dikonsepsikan oleh pembuatnya dengan pelaksana dan warga masyarakat yang menggunakan hukum itu.

Menurut Wignjosoebroto, kesenjangan hukum itu akan mempengaruhi pola kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, yang berarti pula akan mempengaruhi keefektivan bekerjanya hukum dalam masyarakat.1 Khusus dalam konteks Indonesia, Rahardjo seperti dikutip Sahetapy2 mengkonstatasi bahwa, sistem hukum yang berlaku sekarang sebagai hukum modern, belum ditunjang oleh suatu pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum modern itu. Akibatnya, penafsiran-penafisran serta praktek-praktek yang keliru dari rakyat terhadap keberlakuan hukum itu berikut lembaga-lembaganya yang berlaku buat mereka menjadi sesuatu yang niscaya.

Apa yang dikemukakan Rahardjo itu sebenarnya merupakan akibat belaka dari haluan kebijakan yang mengkooptasi/menggiring masyarakat adat yang lokal ke dalam keuniversalan masyarakat nasional. Menurut Paul Bohannan seperti dikutip Rahardjo, suatu gejala umum dalam masa transisi dari suatu masyarakat tradisional yang digiring ke arah masyarakat nasional-modern, adalah terjadinya persaingan antara hukum dan kebiasaan.

―Kebiasaan-kebiasaan (lembaga informal) harus tumbuh untuk akhirnya dapat sesuai dengan hukum, atau ia harus secara aktif menolaknya; hukum harus tumbuh untuk

1Lih. Soetandyo Wignyosoebroto, “Sedikit Penjelasan Tentang Hukum dari

Perspektif Ilmu Sosial”, Warta Hukum dan Masyarakat No. 1 Tahun ke- 1 November 1993,

h. 5.

2J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologik, Bandung:

(22)

akhirnya sesuai dengan kebiasaan, atau ia harus mengingkari

atau menekannya‖.3

Kemungkinan hukum dan lembaga informal saling menekan seperti tesis Bohannan itu, disebabkan oleh karena seperti dikatakan Stanley Diamond acapkali hukum membawa serta perangkat dan tujuan yang berbeda bahkan tidak dapat dipakai oleh masyarakat yang diaturnya.4 Analog dengan itu adalah pemikiran yang muncul dalam Kongres PBB ke-VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Yaitu, ketiadaan konsistensi antara UU dan kenyataan merupakan kondisi yang dapat melahirkan kejahatan (kriminogen). Semakin jauh UU bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka semakin besar ketidakpercayaan akan keefektivannya.5

Dengan demikian, sekalian benturan yang muncul di sekitar pertemuan hukum nasional dan hukum lokal, selain melahirkan kemacetan keberlakuan hukum nasional di tingkat lokal, juga menjadi bahan studi yang penting untuk mengetahui anatomi kemacetan tersebut. Acap kali terhadap gejala yang demikian itu, tidak sedikit orang memahaminya sebagai fenomena ketaksadaran hukum masyarakat, bahkan dimengerti sebagai ketidakpatuhan hukum.

Sebenarnya, kehadiran hukum negara dalam masyarakat lokal menjadi problematis, tidak saja karena ia merupakan sesuatu yang baru, tetapi juga karena

masyarakat yang bersangkutan merupakan ―bejana‖ yang sudah ―berisi‖, yaitu

sistem dunia kehidupan.6 Ia memiliki semacam ordering belief framework yang mengikat anggota-anggotanya dalam tertib aturan main bersama. Dalam konteks realitas seperti itu, Sahetapy7 pernah berkata bahwa, untuk memasukan sesuatu yang dari luar ke dalam suatu masyarakat, selain harus rasional-logis, juga harus dapat dipertanggung-jawabkan dalam kerangka Sobural. Yaitu, nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat itu.

Keanekaragaman sosial-budaya Indonesia dengan sekalian klaim kebenarannya,8 telah menjadi problematik ketika harus ―dijembatani‖ oleh satu

3Lih. Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1980, h. 34. 4Dalam kata-kata Diamond sendiri dikatakan: “... the laws... are unprecedented...

they arise in opposition to the customary order of the antecedent kin or kin-equivalent groups; they represent a new set of social goals pursued by a new unaticipated power in society (lihat dalam Bernard L. Tanya, “Kasus Sabu: Sebuah Tinjauan Antropologi di Bidang

Hukum”, Hukum dan Pembanguan No. 2 Tahun XXIII April 1993, h. 149 bagian catatan

kaki).

5Bernard L. Tanya, Ibid.

6Menurut Habermas, "dunia kehidupan" adalah hasil keterlibatan intersubjektif,

sebuah horizon sosial yang mencakup: kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Ketiga komponen dunia kehidupan itu selalu mengalami proses-proses reproduksi sehingga menghasilkan solidaritas di tingkat kultural; sosialisasi di tingkat masyarakat; tanggung jawab di tingkat individu. Inilah syarat-syarat yang menjaga kelangsungan hidup dan identitas suatu masyarakat (lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Jilid II, Boston: Beacon Press, 1987, hal. 140 dan 142).

7J. E. Sahetapy, “Beberapa Asas Dalam Rencana KUHP Baru”, makalah pada

Penataran Nasional Hukum Pidana Angkatan III-Kerjasama Indonesia dan Belanda, Kupang: FH-UNDANA, 1989, h. 7.

8Sesungguhnya, norma-norma kehidupan dari suatu masyarakat adat memiliki ciri

(23)

ukuran kebenaran. Dalam konteks pluralitas yang demikian itu, maka sebenarnya tidak ada satu kebenaran yang mutlak, yang ada ialah kebenaran-kebenaran. Itulah sebabnya, kesulitan permanen dalam konteks Indonesia, adalah bahwa dalam menghadapi berbagai klaim tentang kebenaran, amat sedikit kemungkinan, kalau

tidak malah mustahil samasekali, untuk memutuskan mana yang paling ―benar‖, ―baik‖, dan ―tepat‖ untuk semua.9

Lebih dari itu, dalam banyak hal, suatu realitas

tidak pernah menawarkan pilihan ―hitam‖ atau ―putih‖, tetapi justru menyodorkan

kerumitan aneka warna yang berbaur, meski kadang-kadang tidak padu. Itulah sebabnya, pilihan yang sungguh-sungguh representatif tentang yang ―baik‖,

―benar‖, dan ―tepat‖ yang berlaku semesta menjadi amat sulit.

Dilihat dari sudut ini, maka kebenaran-kebenaran yang dimiliki rakyat, betapapun sederhananya, terlalu berharga untuk dinafikan begitu saja. Sebab, sekalian itupun mengandung kebenaran. Itulah sebabnya, pilihan yang relatif lebih

bijaksana adalah, ―tidak melakukan pilihan‖. Ada kala, dimana orang berupaya

merangkul semua unsur kebenaran yang ada, dan mencoba membuat sintesis. Namun pilihan inipun tidak memadai. Sebab, tidak semua unsur dengan mudah dikombinasikan dan dipadukan. Sangat mungkin sekalian itu justru bertentangan. Lebih dari itu, kita tidak selalu tahu bagaimana memadukan, baik ini maupun itu —

— dua hal yang tak terpisahkan, namun tak mungkin pula berpadu.

Oleh karena itu, sistem hukum kodifikasi sungguh tidak realistik dalam mengembanwujudkan amanat Undang-undang Nomor 14/1970, apalagi bila amanat itu harus dibaca sebagai akses bagi keadilan rakyat yang heterogen. Di sini persoalannya tidak terbatas pada ketidakjumbuhan norma dan nilai dari dua sistem yang berbeda itu. Juga tidak hanya terbatas pada kemampuan dan kesiapan para hakim untuk menggali dan menemukan nilai-nilai yang memang belum siap untuk dipakai (nilai yang mana dan menurut siapa?). Kemampuan rakyat untuk memasuki sistem yang demikian pun menjadi persoalan yang tidak kalah penting.

Dalam penelitian-penelitian antropologi hukum, penemuan norma-norma dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia sangat terikat pada pendekatan yang dipakai si peneliti. Penelitian yang menggunakan pendekatan yang ideologis hanya mampu merekam nilai-nilai yang diingat dan dikatakan si informan. Ia tidak dapat mengungkapkan secara signifikan, nilai-nilai dan norma-norma mana yang sungguh-sungguh masih berlaku yang hidup dalam

terhadap hukum adat harus dilakukan lewat penyelidikan terhadap sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Betapa tidak, semua itu merupakan modal dasar yang dimiliki suatu masyarakat yang pada gilirannya menentukan nilai-nilai, norma-norma, dan sikap dominan warga masyarakat yang bersangkutan.

9Menurut Max L. Stackhouse, secara etika terdapat tiga pendekatan terhadap

realitas. Pertama, pendekatan deontologi yang mengklaim bahwa terdapat satu hukum semesta untuk menentukan apa yang benar. Pendekatan ini menuntut untuk memilih yang paling benar di antara kebenaran-kebenaran yang lain. Kedua, pendekatan teleologi yang mengklaim bahwa sesuatu yang baik ditentukan oleh tujuan yang baik pula. Ketiga, pendekatan kontekstual, yakni suatu pendekatan etis yang menekankan pilihan yang tepat dan bertanggung-jawab dalam ruang dan waktu tertentu. (lih. Stackhouse, “Location of the

(24)

masyarakat. Sebab seperti dikatakan oleh Hoebel,10 banyak norma-norma dan nilai-nilai yang masih diingat oleh informan tetapi sesungguhnya tidak berlaku lagi.

Sedangkan penelitian yang menggunakan pendekatan deskriptif hanya mampu mengungkapkan perilaku-perilaku nyata dari warga masyarakat, tetapi tidak bisa mengungkapkan aturan-aturan dan nilai yang menguasai perilaku tersebut. Oleh karena itu banyak pertanyaan mengenai norma atau nilai mana yang menguasai perilaku tertentu, tidak bisa dijawab.

Penelitian yang menggunakan kasus sengketa, memang mampu mengungkapkan norma-norma dan nilai-nilai yang dipakai dalam penyelesaian suatu sengketa, tetapi ia tidak bersifat umum. Ia sangat khas sesuai dengan karakter kasus, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang mengitari kasus itu. Temuan norma lewat penelitan model ini hanya akan diperoleh setelah adanya penyelesaian sengketa.11 Mungkinkah hakim harus menunggu dari model ini untuk dijadikan sebagai dasar putusannya?

Persoalan lain yang perlu ditinjau pula adalah kesempatan rakyat mengintegrasikan diri dalam struktur hukum yang modern. Di sini bukan hanya persoalan budaya hukum per se, tetapi juga menyangkut dimensi yang jauh lebih luas. Pada tataran budaya hukum, walaupun penyuluhan hukum secara gencar dilakukan, tetapi tidak menjadi jaminan terbentuknya budaya hukum modern.

Masyarakat kita dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi, baik sevcara vertikal maupun secara horisontal, tidak bisa diharapkan memiliki persepsi yang sama terhadap pesan-pesan hukum yang disampaikan. Ada banyak faktor yang menghalangi mereka untuk menerima pesan-pesan hukum yang disampaikan. Komitmen pada nilai dan norma lokal yang begitu tinggi, sudah tentu menjadi faktor resisten terhadap pesan yang baru, apalagi bila tidak jumbuh dengan apa yang mereka miliki.

Selain itu, faktor pemahaman terhadap pesan hukum karena kendala pengetahuan dan lain-lainnya,12 merupakan faktor yang dominan pula. entah karena ketidaktahuan ataupun karena ketidaksetujuan perilaku warga masyarakat dalam banyak hal selalu berseberangan dengan sistem hukum modern. Ada semacam

customization varian-varian terhadap sistem tersebut.

Masalah biaya dan kemampuan beracara adalah masalah yang sangat pelik pula. Sebagai sebuah lembaga modern, pengadilan sarat dengan prosedur dan birokrasi. Ada langakah-langkah dan cara dalam beracara yang justru hanya mungkin dijalankan oleh orang-orang yang terlatih khusus. Pada titik ini rakyat justru teralienasi.

Pendekatan baik ini maupun itu seperti nyata dalam undang-undang Nomor 14/1970, bukanlah pendekatan yang cocok untuk situasi Indonesia. Jiwa Bhineka Tunggal Ika seperti yang diungkapkan dalam bukunya Eka Darmaputra, tidak

10Lih. dalam T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa

yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum”, (Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, h. 34).

11Ibid, h. 40.

12Faktor komunikator dalam menyampaikan hukum juga sangat berperan. Dalam

(25)

bermakna peleburan dua hal yang berbeda.13 Baik yang menyeluruh (tunggal ika) maupun bagian-bagiannya (bhineka) mempunyai strukutr sistem dan dinamikanya sendiri-sendiri. Yang menyeluruh tidak dapat dengan tuntas dijelaskan oleh bagian-bagiannya. Demikian juga sebaliknya, yang bagian-bagian tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh. Masing-masing punya eksistensinya sendiri-sendiri.

Bila kita daratkan konsep itu pada persoalan yang kita bahas sekarang ini, maka dapat dikatakan bahwa hukum yang diberlakukan secara umum (dibaca hukum kodifikasi) tidak dapat dengan tuntas mengakomodasi tuntutan hukum rakyat yang heterogin demikian juga sebaliknya hukum rakyat yang heterogen itu tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh. Itulah sebabnya, pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 sungguh tidak logis bila kita tempatkan dalam konteks di atas.

Orang sering terkecoh dengan mengganggap bahwa ketentuan itu merupakan dasar hukum pengakuan terhadap hukum adat. Bagi penulis pandangan tersebut sangat keliru. Memang sepintas terkesan pemberian otonomi terhadap hukum adat. Tetapi sesungguhnya tidak. Klausula yang memungkinkan penggantian sanksi atau kewajiban adat oleh sanksi denda dan kurungan (yang notabene khas dengan sanksi modern), tidak bisa tidak harus dibaca sebagai negasi terhadap eksistensi hukum adat.

Makna sanksi/kewajiban adat tidak sama dengan makna sanksi hukum modern. Sanksi/kewajiban adat dalam bentuk apapun memiliki makna simbolik yang termasuk vital bagi penyelesaian suatu sengketa adat. Bukankah nuansa penyelesaian dalam hukum adat begitu khas, sehingga tidak dapat begitu saja didekati dengan sistem yang asing? Fenomena seperti dalam undang-undang Nomor 1/Drt/1951, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 merupakan salah satu contoh ambiguitas dalam pendekatan baik ini maupun itu. Rancu bukan? Kita juga tidak harus meleburkan dua sistem yang memang mustahil dilakukan. Kita membutuhkan kedua-duanya.

Kebutuhan akan jaminan kepastian hukum dan kebutuhan-kebutuhan yang menuntut adanya pengaturan yang jelas (misalnya, dalam lalu lintas perdagangan internasional), maka hukum tertulis merupakan alat yang fungsional Tetapi kita tidak dapat mengharapkan banyak dari sistem hukum modern untuk menjamin kepastian hukum dan kebutuhan-kebutuhan untuk menjamin keadilan dan keutuhan masyarakat pedesaan.

Masing-masing sistem mempunyai visanya sendiri-sendiri. Yang satu tidak bisa dipaksakan untuk mengganti yang lain. Pun keduanya tidak dapat dilebur menjadi satu. Kita butuhkan hukum tertulis yang modern, dan juga kita

13Hanya menekankan kepelbagaian dan kemajemukan, maka seseorang akan

(26)

membutuhkan hukum rakyat yang lokal. Masing-masing mempunyai akses untuk memberi apa yang kita butuhkan.14

A. Permasalahan yang timbul ketika kepentingan hukum masyarakat lokal tidak terakomodasi dalam sistem penegakan hukum dan kepentingan nasional Indonesia.

Ulasan pada bagian ini, terpusat pada ekses yang ditimbulkan oleh kebijakan unifikasi hukum yang dikelola terpusat terhadap eksistensi keteraturan tatanan lokal dalam masyarakat adat di negeri ini. Sebagai sebuah praksis, haluan kebijakan seperti ini membawa serta sekaligus dua masalah ganda. Pertama, sebagai konsekuensi dari pengaturan yang terpusat, segala ketentuan, prosedur, dan mekanisme penegakkannya tidak mungkin dengan sendirinya diketahui oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural lagi heterogen. Pada titik ini, persoalan tentang apa yang harus diperkenalkan menjadi sesuatu yang pokok.

Kedua, andaikata pun sekalian ketentuan, prosedur, sistem penegakkan dimaksud, telah dikenal dan dipahami oleh masyarakat, tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan serta-merta menjadikannya sebagai instrumen yang bersifat harus pula. Di sini, persoalan tentang bagaimana memperkenalkan sekalian itu menjadi sangat krusial.

―Bila sebuah kelompok atau komunitas berkesempatan menarik diri dari

wewenang negara dan undang-undang, kelompok itu tidaklah lenyap dalam jurang non-hukum. Mekanismenya lalu diatur oleh sistem mereka sendiri‖.15

Dengan memusatkan perhatian pada masyarakat lokal, tidak ada maksud untuk menganggap kelompok masyarakat yang lain (seperti di kota-kota) telah luput dari masalah tersebut. Tidak, melalui kolom ini, penulis hanya ingin mengungkapkan betapa masyarakat adat/lokal telah dihadapkan pada persoalan pelik ketika mereka menghadapi hukum modern yang tertulis.

Dalam konteks lokal, pembinaan hukum yang terpusat menjadi masalah, justru karena dewasa ini masyarakat lokal di manapun dihadapkan pada dua

14Ibid, h. 65.

15Lihat dalam Norbert Roulan; Antropologi Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma

(27)

keharusan yang kontradiktif. Yang satu, adalah upaya mempertahankan identitas,yakni tuntutan agar identitas mereka diakui umum sebagai sesuatu yang penting--suatu penegasan sosial mengenai diri sendiri sebagai sesuatu yang tidak boleh dianggap remeh oleh siapapun. Sementara yang lain, adalah keharusan untuk tunduk pada pranata dan lembaga hukum nasional yang dihadirkan untuk mereka.

Tanpa harus mengurut kembali deteil patologi yang dihasilkannya,

―paradigma‖ sentralisme yang sempat bertakhta sebagai kerangka keyakinan (belief framework) utama selama Orba, memang membungkus keanehan-keanehan yang endemik. Dalam bidang budaya, kearifan budaya lokal yang begitu mosaistis,

―direduksi‖ secara membingungkan dimana puncak-puncaknya (?) dipangkas bagi negara, sementara akarnya (?) ditinggalkan bagi rakyat. Demi kontrol yang efektif

(?), aspirasi rakyat bagi ―pengatur daerah‖ dikalahkan oleh dropping―orang pusat‖

yang ditempatkan di daerah. Atas nama kesatuan, sekalian realitas, makna, dan kebenaran yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, harus dikonstruksikan menjadi sekedar pilihan “ini” atau “itu”. Dengan bersembunyi di balik konsep Hukum Nasional, panji hukum kodifikasi yang uniform dinobatkan menjadi ukuran tunggal keabsahan dan ketertiban hukum di seluruh nusantara.

Adalah Montesquieu yang berkata: "Ada ide-ide tertentu mengenai keseragaman yang memikat jiwa-jiwa besar, ... tetapi yang pasti mematahkan yang kecil-kecil. ... Bukankah keagungan yang jenius terletak pada kemampuan mengetahui dalam hal manakah diperlukan keseragaman dan dalam hal mana

keanekaragaman‖? Rasanya kita setuju, bahwa perkataan Montesqueu itu

kena-mengena dengan ―keanehan‖ kebijakan di bidang hukum. Atas nama kepastian, hukum lokal serta institusi-institusi penopangnya diganti oleh hukum tertulis, sehingga UU dipandang sebagai jaminan ketertiban dan keadilan. Atas nama unifikasi, panji-panji peraturan tertulis yang berlaku ―semesta‖ dipancangkan dan dinobatkan sebagai, apa lagi—kalau bukan—menjadi ―raja‖ segala kepastian,

ketertiban, dan keadilan. Dengan ―logika‖ itu pula, arah program pembinaan

(28)

bekerjanya ‖mesin hukum‖ itu, maka legalitas ―ditahbiskan‖ menjadi ukuran

tunggal keabsahan yang serba imperatif.

Terkait dengan eksistensi komunitas masyarakat sebagai elemen terbesar dalam struktur negara bangsa (nation-state) Indonesia, adalah menarik gugatan kritis yang dilontarkan lewat Diskusi Terbatas pengantar Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tanggal 18/2/99. Dikatakan bahwa, berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan negara, secara tidak adil telah mengambil alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi, adat istiadat, dan yang utama adalah hak politik masyarakat adat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang khas. Oleh karena itu, diusulkan agar hubungan negara dan masyarakat adat mesti ditata ulang atas dasar penghormatan hak-hak masyarakat adat

Memang aneh! Tentang ―hak asal-usul‖ masyarakat adat, konstitusi memberi jaminan yang jelas dan pasti. Namun, bila kita memotret realitanya dalam kebijakan dan produk hukum organis, ia diperlakukan seolah tumpukan sampah yang tidak berguna. Anda ingin tahu, apa sebabnya? Jawabannya, karena egologi penguasa untuk menguasai. Itu terjadi, ketika sentralisme dijadikan ancangan

politik ―pembangunan nasional‖, yang kemudian dipakai sebagai kerangka

keyakinan (belief framework) utama rezim Orba.

Meski memakai label nasional—yang menunjuk pada keterlibatan semua komponen nation, namun dalam geraknya mencuat keutamaan kepentingan negara dan penguasa untuk penguasaan. Dengan paradigma itu, rezim Orba menutup diri dan buta-tuli terhadap berbagai perbedaan yang merupakan implikasi logis dari sebuah masyarakat yang pluralis. Perbedaan tidak dilihat sebagai bagian dari kehidupan demokrasi, tetapi diyakini sebagai ancaman stabilitas dan harmoni sosial.

(29)

Mengenai status ―daerah istimewa‖-nya, dikemukakan bahwa, ―dalam teritoir Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbesturende Landschappen dan

Volksgemeenschappen, seperti ―desa‖ di Jawa dan Bali, ―negeri‖ di Minangkabau, ―dusun‖ dan ―marga‖ di Palembang dsb. Daerah-daerah itu mempunyai susunan

asli, dan oleh karenanya boleh dianggap sebagai daerah istimewa‖. Sedangkan mengenai dasar pengakuan ―hak asal-usul‖ — otonominya ditegaskan bahwa,

―Negara Republik Indonesia menghormati kedaulatan daerah-daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut‖.

Dengan logika itu, persatuan Indonesia lalu direduksi menjadi kesatuan

dalam arti ―satu warna‖. Ekualitarian dibelokkan menjadi egalitarian—konsep yang menganggap semua orang itu sama, dan karena itu harus diperlakukan sama tanpa perbedaan. Akibatnya, masyarakat, terutama masyarakat adat acapkali tercecer sepanjang jalan kebijakan pemerintah. Bahkan sering menjadi pihak yang disalahkan karena ukuran-ukuran pusat/penguasa tentang apa yang ―baik‖, ―benar‖,

dan ―tepat‖, menjadi standar penilaian tentang ―keberesan‖ atau pun ―ketakberesan‖

mereka.

Pada aras konsep, kebijakan uniformitas seperti itu memang sungguh

bertelingkah dengan ―logika‖ realitas objektif Indonesia sebagai negara bangsa

dengan kemajemukan geografis, etnis, rasial, dan komposisi sosio-kulturalnya. Pluralitas multi dimensi yang demikian, mengharuskan setiap kebijakan di negeri ini mesti memperhitungkan secara adil dan seimbang segi kesatuan dan kebhinekaannya.

Dalam rimba makna seperti itu, amat relevan peringatan M. Mead,16 ketika

ia ―bertanya‖: How slow must we go? How fast can we go? Ya, ia relevan bagi pemerintah dalam menghampiri masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika

itu. Mengapa? Oleh karena di satu pihak, yang menyeluruh (dibaca: kesatuan) tidak dapat dengan tuntas mempresentasikan pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya. Sementara di pihak lain, pluralitas dan heterogenitas bagian-bagiannya tidak dapat dijumlahkan begitu saja untuk mencakup yang menyeluruh.

16Margreth Mead, Cultural Patterns and Technical Change, USA: New American

(30)

Menurut hemat penulis, kita sepakat bahwa salah satu keharusan reformasi menyangkut perlakuan negara terhadap masyarakat adat, adalah menggantikan hubungan yang asimetris—negara yang ―menelan‖ masyarakat, menjadi keharmonisan hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence). Kita ingin merubah pandangan dunia (weltbilt) yang mengilhami pemusatan kekuasaan pada penguasa menjadi pelaksana kehendak rakyat. Menggantikan penguasaan negara atas masyarakat menjadi agen masyarakat.

Keperluan melakukan perbaikan tersebut, bukan saja merupakan tuntutan logis dari keharusan masyarakat yang pluralis. Yang tidak kalah penting, juga karena berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan negara selama ini, secara tidak adil telah mengambil alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi, adat istiadat, dan yang utama adalah hak politik masyarakat adat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang khas.

Perampasan hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan sumber-sumber agraria masyarakat adat, seperti hak penguasaan hutan, kuasa pertambangan, HGU, kawasan konservasi dll, merupakan sederet contoh dari perlakuan tidak adil tersebut. Ditinjau dari hukum agraria nasional, perampasan hak-hak masyarakat adat berakar pada dua hal. Pertama, terjadinya penyamarataan dua konsep hak masyarakat adat. Yaitu hak ulayat (beschikkingsrecht), yang merupakan hak penguasaan yang ada di tangan komunitas desa (hak publik) berdasarkan hukum adat, dan hak milik adat (inlands bezitsrecht) yang merupakan hak-hak perdata milik perorangan anggota persekutuan hukum adat yang diperoleh lewat pembukaan hutan primer (hak privat).

(31)

Mencegah Kesenjangan Hukum

Meski jarang diungkapkan, banyak ―alasan‖ mengapa produk hukum kita ―lepas‖ dari ―kesadaran‖ rakyat yang menjadi adressat. Semisal: Pertama, sistem hukumnya yang belum ditunjang oleh suatu pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum itu. Kedua, konstruksi tata hukum yang diinginkan negara, berseberangan dengan keadaan objektif masyarakat kita yang plural, ataupun, ketiga, karena aturan hukumnya berada di luar kepentingan rakyat (sebagaimana puluhan Keppres produk Orba yang dievaluasi MTI). Pendeknya,

―kemandulan‖ hukum kita sedikit banyak terkait dengan ―pembawaan‖-nya sebagai

tumpukan produk hukum yang tidak terpikirkan (―unthinking law‖) oleh rakyat, karena ―asing‖ dan berada di luar tangkapan rasa mereka (Boaventura de Sousa Santos, 1995).

Kesenjangan ini disebabkan oleh karena, seperti dikatakan Stanley Diamond, bahwa hukum negara acapkali membawa serta perangkat dan tujuan yang berbeda, bahkan berada di luar kepentingan masyarakat yang diaturnya. Akibatnya, terjadinya persaingan antara hukum dan kebiasaan. Paul Bohannan mencatat:

―Kebiasaan-kebiasaan (lembaga informal) harus tumbuh untuk akhirnya dapat sesuai dengan hukum, atau ia harus secara aktif menolaknya; hukum harus tumbuh untuk akhirnya sesuai dengan kebiasaan, atau ia harus mengingkari atau

menekannya‖.

Memang, masyarakat tidak mengingkari bahwa hukum negara mengandung

―kebenaran‖, ―kebaikan‖, dan ―keadilan‖. Namun ―kebenaran‖, ―kebaikan‖, dan ―ketepatan‖ tradisi memiliki keunikan tersendiri dalam konteks dunia atau ―sistem situasi‖ mereka. Sebab, lingkungan tradisi sebagai sebuah sistem, tidak kurang dari ―sebuah sekolah‖ dimana para pendukungnya belajar, tidak hanya mengenai apa dan bagaimana sifat sesuatu, melainkan pula tentang bagaimana sesuatu itu seharusnya bersifat. Oleh karena itu, konsepsi tentang apa yang benar, baik, dan tepat merupakan sejumlah faktor penentu yang menggerakkan partisipan budaya yang memilih tawaran-tawaran yang dihadapkan kepadanya. Karenanya, lembaga dan pranata hukum negara acap kali tidak dihiraukan, hanya karena tawarannya dianggap tidak memadai atau bahkan terlalu tinggi untuk dipakai dalam

(32)

Hal ini dapat dimengerti, oleh karena lembaga dan pranata hukum negara dengan aturan dan prosedur yang relatif hanya dimengerti dan dimasuki oleh para profesional yang terdidik khusus untuk itu, disodorkan begitu saja kepada rakyat, tanpa peduli apakah itu sesuai atau tidak. Demikian pula dalam geraknya, sistem

hukum beroperasi secara mekanik menurut logika ―kerja birokrasi‖. Dengan logika

ini, penyelenggaraan hukum dijalankan secara elitis di bawah kendali para birokrat dalam naungan wewenang formal yang mereka miliki.

Mereka menjalankan mesin hukum berdasarkan tindakan-tindakan instrumental-formal yang mengutamakan aturan-aturan dan prosedur daripada keutuhan realitas. Akibatnya, lembaga dan pranata hukum menjadi entitas yang esoteris yang terpisah secara asimetris dengan tipe-tipe regulasi sosial lain yang menguasai lalu lintas pergaulan manusia yang begitu kompleks. Semua sektor yang saling berhubungan, dipilah-pilah untuk kemudian direduksi menjadi sektor

yang saling berhadapan. ―Logika dualisme‖ ini, tentu saja berseberangan dengan

―logika keutuhan‖ dalam masyarakat (adat) yang melihat hukum sebagai satu

(33)

PENUTUP

Koreksi mendasar terhadap warna hukum kita adalah agenda utama yang harus ditindaklanjuti, Untuk itu, hal-hal di bawah ini dapat segera diagendakan sebagai agenda reformasi tata hukum. Pertama, permasalahan utama dalam pembangunan hukum di Indonesia yang plural bukanlah bagaimana menciptakan perangkat hukum yang lengkap terperinci, serta berlaku uniform, tetapi bagaimana membuat agar peraturan-peraturan tersebut tidak hadir sebagai penjajah dan juga tidak hadir sebagai pemicu disintegrasi sosial.

Kedua, sistem hukum yang dipercayai masyarakat apalagi masyarakat, adalah hukum yang bangkit dari dalam dan menjawab pergumulan mereka . Itu berarti bahwa hukum itu bukanlah yang menurut orang luar, tetapi hukum yang mengatakan tidak adil terhadap tiap perbuatan yang dianggap tidak adil dalam masyarakat. Sehingga hukum yang berdasarkan jiwa dan kehidupan (nasional) dari rakyatnya.

Ketiga, kalau demikian halnya maka tidak ada keharusan bagi kita untuk secara mati-matian mengagungkan dominasi hukum tertulis seperti yang terkandung kebijakan kodifikasi hukum. Kita perlu sedikit rendah hati untuk mendengar dan menyapa keberadaan hukum-hukum lokal (hukum adat dan hukum kebiasaan) yang terlanjur kita terlantarkan selama ini.

Keempat, perlu dipikirkan produk hukum yang compatible untuk mengatasi menumpuknya unthinking law. Secara demikian, hendak dikatakan bahwa, kebijakan tata hukum meminta visi baru yang memberi ruang pada perbedaan, kemajemukan, bahkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat.

A. Saran

1. Adanya sebuah revisi terhadap pasal-pasal keranjang sampah,sehingga pasal tersebut akan memiliki batasan-batasan maksud dan tujuan yang jelas;

(34)
(35)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. H.Drs. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi, Prof.Dr. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Ali, Zainuddin, Prof. Dr. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Azizy, Qodri, Prof. Dr. dkk. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Gie, Kwik Kian. 2006. Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas

Rahardjo, Sajipto, Prof. Dr. 2006. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas

Rahardjo, Satjipto, Prof. Dr. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Kartono, Kartini. Dr. 1999. Patologi Sosial, Jilid 1. Edisi Baru. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada

Mardalis, Drs. 2004. Metode Penelitian, Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara

Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi A, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Nitibaskara, Tb. Ronny R, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat : Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

(36)

CURRICULUM VITAE

Nama : Benny Sumardiana

Nama Panggilan : Benny

TTL : Kuningan, 06 Oktober 1987

Alamat : Jl. Dahlia No. 46 RT 05/RW V Gandasuli, Kabupaten Brebes 55212

Pekerjaan : Mahasiswa

E-mail : octboy_29@yahoo.com

No. HP : 085640477275

Alamat Sementara : Nevada Kos Gg. Mangga Kel. Sekaran Gunungpati Semarang

Pengalaman Organisasi: - Presiden BEM Fakultas Hukum UNNES 2008-2009 - Ketua Umum LSM FORMAPERA Brebes 2007-…..

- Wakil Ketua BEM FIS UNNES 2007-2008 - Sekjend KMDB Wilayah Semarang 2007

- Sekjend LSO FIAT JUSTICIA UNNES 2006-2007 - Sekretaris Umum HIMA HKn UNNES 2006-2007 - PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum

Indonesia)

- Koordinator Jurusan KLAIM FIS UNNES - PARAS FIS UNNES

- Forum Ilmiah dan Penerbitan Mahasiswa (FIP-M) - Ketua Divisi Rock Climbing STAPALA Brebes

Karya yang pernah dibuat : 1. Mengungkap Dampak Penayangan Berita Kriminal dan Tayangan Kekerasan di Televisi Terhadap Perilaku Anak

2. Reformasi Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Kesusilaan (Menelusuri Fenomena Pornografi Dan Pornoaksi Di Indonesia)

3. Perda Syariah : Merupakkan Tantangan atau Harapan di Indonesia

4. Meningkatkan Kemampuan Pertahanan Guna Mewujudkan Komando Teritorial Yang Kokoh Dalam Rangka Pembangunan Nasional

5. Regulasi Dan Implementasi Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum : Suatu Kajian Sosio-Yuridis 6.Save Our Soil (Monitoring Pelaksanaan Sertifikasi

Tanah Dalam Kajian Sosiologis-Yuridis)

7. Menutup Celah-Celah Hukum Dalam Sistem Penegakkan Hukum Di Indonesia : Suatu Kajian Dalam Kacamata Hukum Progresif

Prestasi yang Pernah diraih : - Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa

– Pemantau Terakreditasi KPUD Jawa Tengah

(37)

– Finalis LKT Kecinaan tingkat Nasional UMY di Yogyakarta

– Finalis Pertamina Youth Program tingkat Nasional di Jakarta

– Juara I LKTI tingkat Nasional UNEJ di Jember

– Pemantau Terakreditasi KPUD Pilkada Salatiga

– Pemantau Terakreditasi KPUD Pilkada Jepara

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor penyebab belum terwujudknya keadilan bagi KMHA Sedulur Sikep adalah: (1) Belum adanya Undang-Undang khusus tentang KMHA serta keragaman Istilah yang dipakai

Kerjasama antar keduanya dituangkan kedalam perjanjian kerjasama yang telah disepakati, sehingga berlaku seperti undang-undang.Penulisan hukum ini bertujuan untuk

Perlindungan hukum bagi pekerja anak belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pekerja anak, hal ini disebabkan karena sulitnya Disosnakertrans

Dengan adanya ketentuan khusus yang berkaitan dengan seorang anak, baik yang diatur dalam hukum keluarga Islam maupun Perundang- undangan yang berlaku di Indonesia,

Pada uraian sebelumnya seperti yang telah disampaikan di atas, hukum internasional pada intinya diberi pengertian sebagai kumpulan kaidah, asas-asas, atau ketentuan yang

Pada uraian sebelumnya seperti yang telah disampaikan di atas, hukum internasional pada intinya diberi pengertian sebagai kumpulan kaidah, asas-asas, atau ketentuan yang

Dengan belum adanya aturan khusus terkait dengan pelindungan hukum korban tindak pidana pencemaran nama baik melalui media social kedepan harus adanya aturan untuk memebrikan

Menyikapi permasalahan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana ujaran kebencian hate speech di media sosial dalam konteks hukum dan perubahan sosial