• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan permukaan respon hampir sama dengan penentuan faktor reaksi, namun selain dengan nilai rendah dan tinggi ditambah dengan nilai 1,68 dari nilai rendah maupun tinggi dengan menggunakan Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology). Rancangan faktorial untuk mengetahui permukaan respon dari masing-masing variabel reaksi yang berpengaruh dapat dilihat pada Tabel 4. Selanjutnya untuk mengetahui bentuk dari permukaan respon digunakan program STATISTICA.

Tabel 4. Rancangan faktorial dari masing-masing variabel reaksi yang berpengaruh Run Kode (X1) Kode (X2) Kode (X3) Suhu (°C) pH Inhibitor (gr) 1 -1 -1 -1 60 5 0,875 2 -1 -1 1 60 5 3,5 3 -1 1 1 60 8 3,5 4 1 -1 -1 80 5 0,875 5 1 -1 1 80 5 3,5 6 1 1 -1 80 8 0,875 7 -1 1 -1 60 8 0,875 8 1 1 1 80 8 3,5 9 0 0 0 70 6,5 2,1875 10 0 0 0 70 6,5 2,1875 11 1,68 0 0 86,8 6,5 2,1875 12 -1,68 0 0 53,2 6,5 2,1875 13 0 1,68 0 70 9 2,1875 14 0 -1,68 0 70 4 2,1875 15 0 0 1,68 70 6,5 4,4 16 0 0 -1,68 70 6,5 0

Model rancangan percobaan untuk mengetahui permukaan respon variabel reaksi inhibisi invertase dengan bahan alami adalah sebagai berikut:

4 4

Y = a

o

+ ∑ a

i

x

i

+ ∑ a

ij

x

i

x

j

+ ∑ a

ii

x

i2 i=1 i<j i=1

Keterangan :

Y : respon dari masing-masing perlakuan ao, ai, aij, aii : parameter regresi

xixj : pengaruh linier dua variabel

xi2 : pengaruh kuadratik variabel utama

2. Prosedur Penelitian

Prosedur percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Penentuan aktivitas invertase

Larutan invertase 0.003 g/l sebanyak 1 ml dan larutan sukrosa 25 g/l sebanyak 1 ml disiapkan pada tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi kemudian diinkubasi di dalam water bath suhu 55°C sehingga suhu tersebut dicapai oleh larutan di dalam tabung reaksi. Selanjutnya sukrosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi invertase dan mulai diukur waktu reaksi (t=0). Reaksi dihentikan pada masing-masing waktu yang diujikan, yaitu 0, 30, 60, 90, 120, 180, 240, dan 300 (detik), dengan memasukkan 2 ml pereaksi DNS. Kemudian tabung tersebut dimasukkan ke dalam water bath pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah 10 menit, tabung reaksi dikeluarkan dan didinginkan untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm.

b. Karakterisasi akar kawao (Millettia sericea)

Karakterisasi akar kawao (Millettia sericea) dilakukan dengan membawa sampel akar kawao (Millettia sericea) ke tempat pengujian fitokimia bahan. Uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

c. Penentuan pengaruh faktor reaksi

Dibuat larutan sukrosa dengan konsentrasi 25 g/l dan larutan enzim konsetrasi 0,003 g/l dalam buffer 5; 6,5 dan 8. Larutan sukrosa 66,5 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diinkubasi dalam waterbath dengan dishaker 120 rpm pada suhu 60, 70 dan 80°C hingga mencapai suhu yang diinginkan. Larutan sukrosa yang telah mencapai suhu yang dibutuhkan kemudian ditambahkan akar

kawao (Millettia sericea) dan larutan enzim 70 ml dan dimulai waktu reaksi. Reaksi dihentikan pada waktu 40 dan 100 menit untuk nilai waktu rendah dan tinggi dengan memasukkan DNS 2 ml pada tabung reaksi yang berisi sampel yang telah diambil dari masing-masing erlenmeyer. Penghentian reaksi untuk nilai tengah pada waktu 70 menit. Kemudian tabung tersebut dimasukkan ke dalam water bath

pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah 10 menit, tabung reaksi dikeluarkan dan didinginkan untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm.

d. Permukaan respon faktor yang berpengaruh

Prosedur untuk penentuan permukaan respon hampir sama dengan prosedur penentuan pengaruh faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh dilakukan percobaan kembali untuk mendapatkan permukaan respon dari faktor yang berpengaruh.

Pada percobaan untuk menentukan permukaan respon faktor yang berpengaruh, reaksi dilakukan dalam waktu 70 menit dan dihentikan reaksinya dengan penambahan DNS 2 ml pada sampel 2 ml yang telah diambil dalam tabung reaksi. Nilai hasil reaksi antar faktor interaksi untuk pemukaan respon dianalisis kembali dengan analisis statistik untuk mendapatkan kondisi atau nilai terbaik pada jumlah gula pereduksi terendah.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penghambatan terhadap aktivitas invertase dalam mengkonversi sukrosa menjadi gula pereduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, pH, penambahan inhibitor dan waktu. Hasil penelitian mengenai pengaruh faktor reaksi terhadap penghambatan aktivitas invertase pada degradasi sukrosa dibagi atas beberapa bagian sesuai dengan tahapan penelitian. Pada tahap awal (A) disajikan aktivitas invertase yang digunakan dalam penelitian. Tahap kedua (B) menghasilkan karakteristik akar kawao (Milletia sericea) yang menunjukkan kandungan bahan aktif didalamnya. Hasil dari tahap ketiga (C) dari penelitian ini adalah faktor-faktor reaksi yang berpengaruh untuk menurunkan jumlah gula pereduksi dan tahap terakhir (D) disajikan permukaan respon dari faktor-faktor yang berpengaruh serta nilai terendah yang dicapai pada penelitian ini.

A. Aktivitas Invertase

Aktivitas katalitik enzim dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan perubahan substrat yang dapat diubah menjadi produk setiap satuan waktu pada suatu reaksi kimia spesifik oleh enzim tersebut. Nilai aktivitas enzim yang diketahui menunjukkan kemampuan enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi.

Aktivitas enzim didefinisikan sebagai kecepatan pengurangan substrat atau kecepatan pembentukan produk pada kondisi optimum atau jumlah enzim yang mengubah satu mol substrat menjadi produk per detik. Berdasarkan percobaan terhadap enzim yang digunakan maka diketahui slope hasil reaksi yang menunjukkan kemampuan enzim untuk menghasilkan produk sebesar 0,3072 µM/detik atau enzim dapat mengubah substrat sebesar 0,036864 µM/menit. Nilai aktivitas yang diperoleh tersebut dapat dikatakan rendah, karena konsentrasi substrat yang diubah menjadi produk relatif kecil terhadap waktu namun hal tersebut bukan merupakan permasalahan dalam mengetahui pengaruh faktor reaksi pada degradasi sukrosa oleh invertase. Aktivitas invertase yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bentuk kurva pada Gambar 7.

0 20 40 60 80 100 0 100 200 300 400

lam a inkubasi (de tik )

ko n sen tr asi gl uk os a + fr uk tos a ( u M )

Gambar 7. Kurva aktivitas invertase, y = 0,3072 x

B. Karakteristik Kawao ( Milletia sericea)

Kawao merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak, panjang 10- 30 m, biasa ditemukan di hutan-hutan dan di tepi-tepi sungai mulai dataran rendah sampai ± 1000 m dpl. Akar kawao (Milletia sericea) biasa digunakan oleh petani gula aren sebagai pengawet nira aren supaya tidak masam. Kandungan yang terdapat dalam akar kawao (Milletia sericea) dapat diketahui melalui uji fitokimia yang merupakan uji kualitatif terhadap bahan fitokimianya yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil uji fitokimia Kawao (Milletia sericea)

Jenis Contoh Jenis Pengujian Hasil Pengujian Akar Kawao Skrining fitokimia

- Alkaloid - Saponin - *Tanin - *Fenolik - Flavonoid - *Triterfenoid - *Steroid - Glikosida + + + + + - + + + + + + + + + + + + Keterangan :

* : tidak termasuk lingkup akreditasi + + : Positif

- : Negatif + + + : Positif kuat

+ : Positif + + + + : Positif kuat sekali

Berdasarkan hasil uji fitokimia seperti pada Tabel 5, kandungan bahan aktif paling banyak dalam akar kawao (Millettia sericea) adalah alkaloid,

flavonoid dan glikosida yang memberikan respon positif kuat sekali dengan pembentukan warna. Selain tiga bahan tersebut, bahan lain yang terdapat dalam akar kawao (Millettia sericea) dalam jumlah yang relatif lebih sedikit diantaranya saponin, fenolik, triterfenoid dan steroid. Bahan-bahan bioaktif yang terdapat dalam akar kawao (Millettia sericea) umumnya dikenal sebagai bahan antimikroba.

Flavonoid disintesis oleh tanaman untuk merespon infeksi akibat mikroba sehingga efektif secara in vitro terhadap mikroorganisme. Aktivitas flavonoid mungkin disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut, dan dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba. Senyawa flavonoid juga memperlihatkan efek inhibitori (penghambatan) terhadap berbagai virus. Menurut Iswantini et al.(2003), temu putih yang mengandung terpenoid, alkaloid dan flavonoid berpotensi tinggi sebagai antikanker. Ekstrak kasar flavonoid temu putih pada berbagai konsentrasi dibawah nilai LC50-nya mempunyai daya hambat terhadap

aktivitas tirosin kinase melebihi inhibitor sintetis genistein. Daya hambat tertinggi diperoleh dari fraksi teraktif ekstrak kasar flavonoid temu putih, yaitu sebesar 93,4 %.

Flavonoid dapat bekerja sebagai antivirus, anti organisme, dan antioksidan untuk mengendalikan radikal bebas yang dapat menyebabkan tumor. Senyawa ini dapat mengobati gangguan fungsi hati, mengurangi pembekuan darah, anti hipertensi, merangsang pembentukan estrogen, dan anti inflamasi (Hakim, 2005). Kuerselin, salah satu antioksidan dari kelompok flavonoid, terdapat pada tanaman tingkat tinggi. Flavonoid pada tanaman dapat berfungsi sebagai penangkap anion superoksida, lipid peroksida radikal, kuensing, oksigen sirglet, dan pengkelat logam. Flavonoid sebagai derivat benzo-γ-piran mempunyai banyak kegunaan disamping fungsinya yang pokok sebagai vitamin P untuk menaikkan resistensi dan menurunkan permeabilitas kapiler darah. Efek lain flavonoid sangat banyak macamnya terhadap berbagai organisme dan efek ini dapat mejelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan.

Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik dan memiliki efek antimikroba. Alkaloid dalam tanaman herbal biasanya diekstrak untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat-obatan. Selain senyawa alkaloid, senyawa dalam tanaman yang biasa digunakan sebagai obat adalah senyawa glikosida. Salah satu manfaat dari senyawa glikosida pada tanaman adalah sebagai bahan antikanker seperti senyawa yang lain seperti alkoloid. Alkaloida merupakan racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa. Umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik.

Bahan glikosida dapat menghambat pertumbuhan penyakit seperti pada penelitian Jaime Rodriguez, Rita Castro dan Ricardo Riguero menunjukkan senyawa aktif triterpen glikosida menghambat pertumbuhan tumor pada sel limfoid, sel tumor paru manusia, sel tumor serviks, dan melanoma tikus pada kisaran konsentrasi 0,38-0,46 mg/ml.

C. Pengaruh Faktor Reaksi

Proses degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) oleh invertase dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu, pH, waktu dan bahan inhibitor. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan sehingga laju degradasi sukrosa oleh invertase dapat dihambat. Pada penelitian ini dilakukan interaksi antar faktor yang berpengaruh terhadap hasil degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi. Gula pereduksi hasil degradasi dianalisis dengan metode DNS (dinitrosalicylate), kemudian hasil analisis dihitung secara statistik sehingga dapat diketahui pengaruh linier dari faktor-faktor reaksi tersebut.

Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui serangkaian percobaan yang sistematis dan diuji melalui analisis statistika. Hubungan antara faktor reaksi dengan respon dapat disajikan dalam suatu model atau persamaan linier. Melalui persamaan linier tersebut diketahui pengaruh linier dari suhu, pH dan konsentrasi inhibitor serta interaksi antar dua faktor terhadap respon.

Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisis jumlah gula pereduksi hasil degradasi sukrosa disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Parameter Koefisien dan Nilai Signifikansi

Parameter Koefisien % Pengaruh Signifikansi

Intersep 42729.000 0.9787 Suhu (X1) -949.906 0.11 0.9548 pH (X2) -2330.139 1.8 0.9969 Inhibitor (X3) -2014.881 1.8 0.9835 Waktu (X4) 83.19271 0.0032 0.9810 R2 0.9272

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang diberikan yaitu suhu (X1), pH (X2) dan inhibitor akar kawao (Millettia sericea)

(X3) memberikan pengaruh terhadap penurunan hasil degradasi sukrosa

menjadi glukosa dan fruktosa, sedangkan faktor waktu tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Ketiga faktor (suhu, pH dan inhibitor akar kawao(Millettia sericea) tersebut mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah gula pereduksi hasil degradasi sukrosa atau memberikan respon positif terhadap penghambatan laju degradasi sukrosa. Data dan analisis gula pereduksi yang dihasilkan dari proses degradasi sukrosa disajikan pada Lampiran 2.

Berdasarkan Tabel 6 faktor yang paling berpengaruh adalah faktor pH pada selang kepercayaan 99,69 persen dengan memberikan pengaruh negatif pada jumlah gula pereduksi atu memberikan respon positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Pengaruh negatif dari faktor pH artinya dengan semakin meningkatnya pH pada proses reaksi menyebabkan jumlah gula pereduksinya menurun.

Penurunan laju degradasi sukrosa yang ditandai oleh penurunan jumlah gula pereduksi diakibatkan oleh menurunnya aktivitas invertase. Hal tersebut disebabkan oleh enzim merupakan protein yang tersusun atas asam amino yang mudah rusak akibat perubahan pH. Perubahan pH dapat mengakibatkan menurunnya aktivitas enzim karena enzim dalam bentuk protein mempunyai titik isoelektrik yaitu pada pH yang menunjukkan jumlah muatan positif dan negatif sama dalam protein sehingga mempengaruhi proses ionisasi protein.

Perubahan kedudukan ionisasi rantai samping asam amino dapat mempengaruhi bagian sisi aktif enzim dengan adanya perubahan pH sehingga aktivitasnya menurun karena mengganggu pengikatan substrat dengan enzim.

Perlakuan pH yang diberikan dapat menurunkan laju degradasi sukrosa karena perubahan pH yang berarti nilai pKa lingkungan juga berubah dapat merubah permukaan sisi aktif enzim sehingga mengganggu proses pengikatan enzim dengan substrat pada sisi aktif enzim dan pada akhirnya tidak terbentuk produk. Menurut Winarno (1995) pada umumnya enzim bersifat amfolitik, yang berarti enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya. Perubahan keaktifan enzim diperkirakan akibat perubahan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau komplek enzim substrat.

Aktivitas enzim paling besar terjadi pada pH optimum untuk reaksinya. Invertase pH optimumnya 4,5 dan aktif diantara pH 3.0 dan 5,5 (NCBE Enzymes for Education, 2004), sedangkan pada penelitian ini diberikan perlakuan dari pH 5 sampai pH 8 yang mengakibatkan kerusakan struktur protein invertase sehingga gula pereduksi yang dihasilkan semakin menurun seiring meningkatnya pH. Kerusakan struktur enzim dapat disebabkan terganggunya ikatan kovalen dalam kerangka polipeptida, yaitu ikatan hidrogen antara gugus R-residu. Menurut Martin et al (1981) perubahan enzim mempengaruhi aktivitas enzim baik perubahan struktur ataupun dengan berubahnya fungsi akibat ikatan substrat atau katalisis.

Pada kondisi basa aktivitas invertase rendah karena ion OH- yang berlebihan. Kelebihan ion OH- akan berakibat berubahnya muatan enzim sehingga mengganggu pengikatan enzim dengan substrat. Pada pH tinggi, ion substrat (SH+) mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positif :

S H+ S + H+

Perubahan muatan substrat disebabkan oleh ionisasi atau protonasi, dimana pada kondisi tersebut substrat tidak dapat berinteraksi dengan enzim (Stauffer,1989). Maka dengan perlakuan pH diatas pH optimum (pH 5) sampai pH basa (pH 8) menghasilkan jumlah gula pereduksi yang semakin

menurun hal tersebut disebabkan oleh terganggunya interaksi antara enzim dengan sukrosa sebagai substrat untuk membentuk produk berupa gula pereduksi.

Faktor kedua yang berpengaruh terhadap jumlah gula pereduksi hasil degradasi sukrosa oleh invertase adalah bahan inhibitor akar kawao (Millettia sericea) (X3). Pada tingkat kepercayaan 98,35 persen, akar kawao (Millettia

sericea) memberikan pengaruh positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Pengaruh dari akar kawao (Millettia sericea) yaitu dengan semakin tinggi konsentrasi kawao (Millettia sericea) yang diberikan menyebabkan jumlah gula pereduksi menurun.

Kandungan akar kawao (Millettia sericea) yang diduga dapat menginhibisi atau menghambat aktivitas invertase adalah senyawa alkaloid. Diantara beberapa jenis bahan inhibitor invertase, bentuk lainnya seperti glikoprotein, polipeptida dan alkaloid (Trojonowics., et al, 2004). Proses inhibisi terjadi apabila sisi aktif enzim yang biasa berikatan dengan substrat digantikan oleh senyawa dari kawao, maka sifat inhibisinya kompetitif. Sifat inhibisi lain yang mungkin terjadi yaitu inhibisi non-kompetitif. Proses tersebut terjadi apabila inhibitor mengikat pada kompleks enzim substrat sehingga mempengaruhi fungsi enzim tetapi tidak mempengaruhi ikatan dengan substrat.

Proses inhibisi invertase oleh akar kawao (Millettia sericea) dapat terjadi karena senyawa bioaktif dari akar kawao (Millettia sericea) membentuk komplek dengan protein dalam hal ini protein enzim melalui ikatan non- spesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan kovalen. Dengan adanya komplek enzim dengan senyawa dari akar kawao (Millettia sericea) maka struktur dari enzim akan berubah sehingga daya katalitik terhadap substratnya terganggu.

Faktor waktu reaksi memberikan pengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa pada selang kepercayaan 98,1 persen. Artinya dengan semakin lamanya waktu reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan juga semakin meningkat. Hal tersebut tidak diharapkan pada proses

penghambatan laju degradasi sukrosa. Naiknya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan mungkin terjadi karena kandungan gula yang terdapat dalam akar kawao (Millettia sericea) terekstrak dengan semakin lamanya waktu reaksi.

Namun pada kenyataannya akar kawao (Millettia sericea) tetap dapat memberikan efek penghambatan terhadap aktivitas invertase. Pengaruh positif waktu tehadap kenaikan jumlah gula pereduksi bukan berarti akar kawao (Millettia sericea) tidak bisa menghambat aktivitas enzim namun apabila waktu reaksi melebihi waktu maksimal efektivitas akar kawao (Millettia sericea) sebagai inhibitor maka senyawa aktif tersebut telah rusak dan gula dalam akar kawao semakin banyak terekstrak dan terukur sebagai gula pereduksi.

Pada selang kepercayaan 95,48 persen, suhu (X1) memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Suhu reaksi mempunyai pengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa atau memberikan respon positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Semakin tinggi suhu reaksi yang diberikan menyebabkan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan menurun.

Enzim merupakan protein, sehingga sifat enzim sama dengan protein. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya denaturasi protein (enzim), sedangkan suhu yang rendah menyebabkan aktivitas katalitiknya rendah. Menurut Martin et al (1981) suhu yang ditingkatkan terus menerus menyebabkan energi kinetik molekul enzim semakin besar sehingga melebihi energi penghalang untuk memecah ikatan sekunder yang mengikat enzim atau sifat katalis aktifnya. Akibat kehilangan struktur sekunder dan tersier adalah sama dengan kehilangan aktivitas katalitik enzim. Hilangnya struktur sekunder dan tersier enzim dapat terjadi akibat putusnya ikatan hidrogen dan hidrofobik sehingga enzim mengalami denaturasi. Pada kondisi normal, struktur aktif enzim dijaga oleh keseimbangan nonkovalen yang berlainan, yaitu ikatan hidrogen, hidrofobik, ionik dan van der walls. Kenaikan suhu akan menurunkan kekuatan ikatan tersebut sehingga molekul protein enzim akan terbuka (Lehninger, 1993).Dengan rusaknya struktur enzim maka enzim sudah tidak stabil atau stabilitasnya rendah.

Menurunnya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan disebabkan oleh aktivitas invertase menurun. Aktivitas invertase rendah karena bagian apoenzim yang tersusun atas protein rusak akibat suhu tinggi. Rusaknya struktur enzim mengakibatkan enzim kehilangan daya katalitiknya sehingga tidak optimal untuk mengkonversi sukrosa menjadi gula-gula pereduksi. Sementara aktivitas enzim untuk mengkatalisis suatu reaksi mempunyai kisaran suhu tertentu. Invertase (biasa disebut sukrase atau sakarase) memecah disakarida sukrosa menjadi monosakarida glukosa dan fruktosa. Enzim ini aktif antara suhu 10°C dan 65°C. Inaktifasinya mulai 65°C dan enzim total tidak aktif setelah 5 menit pada suhu 90°C (NCBE Enzymes for Education, 2004). Bila invertase diberikan pada suhu diatas 65°C maka enzim tersebut sudah mulai tidak aktif untuk menghidrolisis sukrosa dan menghasilkan gula pereduksi yang rendah. Hal tersebut karena enzim telah rusak, kerusakan enzim yang merupakan protein dapat berupa berubahnya konfigurasi struktur. Menurut Simanjuntak (2006) diatas suhu tertentu enzim akan kehilangan ikatan kuat dari struktur dalam 3 dimensi yang berguna untuk aktivitas katalitik.

Tabel 7. Parameter Interaksi, Koefisien dan Nilai Signifikansi

Parameter Koefisien Signifikansi

Interaksi X1 dan X2 28.979 0.9960 Interaksi X1 dan X3 16.393 0.9493 Interaksi X1 dan X4 -0.578646 0.9150 Interaksi X2 dan X3 126.746 0.9669 Interaksi X2 dan X4 -4.920139 0.9531 Interaksi X3 dan X4 -1.134921 0.6490 R2 0,9272

Hasil interaksi suhu reaksi dengan pH pada Tabel 7 berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada tingkat kepercayaan 99,6 persen. Pada Gambar 8, peningkatan pH dapat menurunkan laju degradasi sukrosa yang ditandai dengan menurunnya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan. Penurunan jumlah gula pereduksi disebabkan oleh pengaruh dari pH sebagai faktor utama, yaitu berpengaruh negatif terhadap jumlah gula pereduksi. Penurunan laju degradasi sukrosa tidak terlalu

tajam terjadi saat pH dinaikan pada suhu di nilai tinggi (80°C), sedangkan penurunan laju degradasi sukrosa pada suhu di nilai rendah (60°C) lebih curam dikarenakan kenaikan pH mempunyai pengaruh negatif terhadap respon. suhu rendah suhu rendah suhu tinggi suhu tinggi 0 500 1000 1500 2000 2500 pH rendah pH tinggi pH gul a pe re duk s i ( µ m ol )

Gambar 8. Interaksi antara suhu reaksi (X1) dan pH (X2) terhadap jumlah

gula pereduksi

Perbedaan kemiringan pada penurunan gula pereduksi disebabkan oleh suhu tinggi (80°C). Pada suhu tinggi enzim telah mengalami denaturasi sehingga dengan kenaikan pH tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan jumlah gula pereduksi.

pH rendah pH rendah pH tinggi pH tinggi 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

inhibitor rendah inhibitor tinggi

inhibitor gul a pe re duk s i M )

Gambar 9. Interaksi antara pH (X2) dan bahan inhibitor akar kawao

Interaksi pH dengan bahan inhibitor akar kawao (Millettia sericea) berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada tingkat kepercayaan 96,69 persen. Interaksi faktor reaksi terhadap gula pereduksi disajikan pada Gambar 9. Gambar tersebut menunjukkan dengan semakin tinggi konsentrasi akar kawao (Millettia sericea) yang diberikan pada nilai pH rendah dapat menurunkan jumlah gula pereduksi, namun pada konsentrasi akar kawao (Millettia sericea) tinggi jumlah gula pereduksi yang dihasilkan meningkat. Pada konsentrasi akar kawao (Millettia sericea) rendah laju penurunan degradasi sukrosa lebih besar karena dipengaruhi oleh peningkatan pH yang dapat merusak struktur protein enzim sehingga daya katalitik enzim untuk mengkonversi sukrosa menjadi gula pereduksi menjadi rendah.

Perbedaan kemiringan antara garis pH rendah dengan garis pH tinggi mengindikasikan adanya kenaikan gula pereduksi pada nilai inhibitor tinggi (8) seiring penambahan konsentrasi inhibitor kawao (Millettia sericea). Peristiwa tersebut mungkin disebabkan oleh senyawa bioaktif akar kawao (Millettia sericea) tidak stabil atau rusak pada pH tinggi sehingga tidak efektif lagi sebagai inhibitor ataupun kandungan gula yang mungkin ada dalam akar kawao (Millettia sericea) terekstrak dan terhidrolisis selama proses reaksi. Menurut Robinson (1993) saponin merupakan senyawa glikosida terpenoid atau glikosida steroid dan bersifat polar. Jadi seiring bertambahnya jumlah akar kawao (Millettia sericea) yang diberikan maka gula pereduksi yang dihasilkan juga bertambah. Namun pada pH rendah dengan penambahan inhibitor akar kawao (Millettia sericea) dapat menurunkan laju degradasi sukrosa yang artinya inhibitor akar kawao (Millettia sericea) dapat bekerja efektif pada kisaran pH tertentu. Apabila inhibitor akar kawao (Millettia sericea) digunakan diluar kisaran pH optimumnya maka akar kawao (Millettia sericea) tidak efektif lagi sebagai bahan inhibitor.

Interaksi faktor pH dengan waktu memberikan pengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa pada tingkat kepercayaan 95,31 persen. Interaksi kedua faktor tersebut disajikan pada Gambar 10.

pH rendah pH rendah pH tinggi pH tinggi 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

waktu rendah waktu tinggi

waktu gu la p e re du k s i (µ M )

Gambar 10. Interaksi antara pH (X2) dan waktu (X4) terhadap jumlah

gula pereduksi

Pada Gambar 10 dengan semakin lama waktu reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan jumlah gula pereduksi pada pH rendah lebih curam dibandingkan dengan pH tinggi. Hal

Dokumen terkait