• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

C. Persalinan Seksio Sesarea

1. Istilah-istilah dalam seksio sesarea

Proses seksio sesarea ada yang direncanakan dan ada yang dilakukan karena tindakan gawat darurat. Menurut Mochtar (1998), seksio sesarea memiliki beberapa istilah, diantaranya yang sering digunakan untuk membedakan antara yang direncanakn dan yang darurat yaitu, seksio sesarea primer (elektif): dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit (CV kecil dari 8 cm). Seksio sesarea sekunder : dalam hal ini kita akan mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan seksio sesarea. Seksio sesarea ulang adalah ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea (previous caesarean section) dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang. Seksio sesarea histerektomi adalah suatu operasi setelah janin dilahirkan dengan seksio

sesarea, langsung dilakukan histerektomi (pengangkatan rahim) oleh karena sesuatu indikasi. Operasi porro adalah suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat.

2. Indikasi persalinan seksio sesarea

Banyak indikasi yang dapat menyebabkan seorang ibu harus melahirkan secara seksio sesarea. Untuk itu, perlu adanya pengawasan dan pemeriksaan yang lengkap selama kehamilan.

Menurut Liu (2007), seksio sesarea dilakukan untuk mengatasi disproporsi sefalo-pelvik dan aktifitas uterus yang abnormal, mempercepat kelahiran untuk keselamatan ibu atau janin, mengurangi trauma janin (misalnya presentasei bokong prematur kecil) dan infeksi janin (misalnya resiko tertular infeksi herpetik atau HIV), mengurangi resiko pada ibu (misalnya gangguan jantung tertentu, lesi intrakranial atau keganasan pada serviks), memungkinkan ibu untuk menjalankan pilihan sesuai keinginan.

Penyebab utama dilakukan tindakan seksio sesarea bisa berasal dari ibu sendiri, atau berasal dari janin. Menurut Saifuddin (2006), indikasi dilakukan seksio sesarea dibagi 2 antara lain, indikasi pada ibu yaitu, disproporsi sefalo-pelvik (CPD), disfungsi uterus, distosia jaringan lunak dan plasenta previa. Sedangkan indikasi pada janin yaitu, janin besar, gawat janin, letak lintang.

Pada ibu, keadaan yang paling sering menghambat persalinan normal adalah bentuk dan ukuran panggul yang tidak sesuai dengan ukuran janin, sehingga janin tidak dapat melewati jalan lahir keras. Hal ini karena pada saat hamil ibu sering dikusuk pada bagian perutnya oleh dukun, padahal akibat dari pengusukan perut yang terlalu sering

dan kuat akan mengakibatkan kondisi rahim ibu terganggu. Persalinan yang panjang dan lama yang tidak menunjukkan kemajuan karena tidak adanya pembukaan pada servik juga dapat menyebabkan ibu harus dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Menurut Mochtar (1998), indikasi dilakukan seksio sesarea pada ibu antara lain panggul sempit, ruptura uteri yang mengancam, partus yang berlangsung lama (prolonged labor), partus tak maju (obstructed labor), pre-eklamsi dan hipertensi. Sedangkan indikasi pada janin yaitu malpresentasi janin seperti letak lintang, letak bokong, presentase dahi dan muka, presentase rangkap dan gamelli (bayi kembar).

Penyebab operasi sesarea dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor janin antara lain bayi terlalu besar yang mungkin saja ibu memiliki riwayat diabetes mellitus atau kencing manis. Pertumbuhan janin terhambat karena adanya gangguan pembentukan jaringan, kelainan letak janin (letak sungsang dan letak lintang), ancaman gawat janin (fetal distress) akan ditemukan pada pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) jumlahnya kurang dari 120 dan atau lebih dari 160 kali permenit, janin abnormal (misalnya gangguan Rh, kerusakan genetik, dan hidrosephalus atau kepala besar karena otak berisi cairan).

Faktor yang berasal dari plasenta antara lain plasenta previa yaitu letak plasenta yang abnormal yang menutupi jalan lahir, solutio plasenta yaitu terlepasnya plasenta sebelum bayi lahir, plasenta yang tertanam terlalu dalam atau plasenta akreta (plesenta menempel sampai ke otot rahim), biasanya terjadi pada ibu berusia rawan untuk hamil yaitu diatas 35 tahun, dan ibu yang mempunyai riwayat persalinan yang lalu dengan operasi yang operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya

plasenta, vasa previa (keadaan pembuluh darah diselaput ketuban berada di mulut rahim, jika pecah dapat menimbulkan perdarahan.

Kelainan pada tali pusat antara lain prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) pada saat ketuban dipecahkan teraba tali pusat sehingga menghambat janin untuk turun, terlilit tali pusat biasanya ditemukan pada leher bayi akibat pergerakan janin yang terlalu aktif, bayi kembar (gamelli).

Dari faktor ibu yang menyebabkan dilakukan bedah sesarea antara lain usia (ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi dengan usia 40 tahun ke atas, karena berisiko adanya penyakit penyerta seperti jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan pre-eklamsi. Untuk itu, ibu-ibu yang berusia diatas 35 tahun, tidak dianjurkan untuk hamil. Tulang panggul (cephalopelvic disproportion/CPD) tidak sesuai ukuran panggul dengan kepala bayi, persalinan sebelumnya dengan operasi, faktor hambatan jalan lahir (jalan lahir yang kaku, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir (distosia). Kelainan kontraksi rahim (kontraksi yang lemah dan tidak terkoordinasi), ketuban pecah dini /KPD yaitu robeknya kantung ketuban sebelum waktunya, akan membuka rahim sehingga memudahkan masuknya bakteri lewat vagina menyebabkan terjadinya infeksi (Kasdu, 2003).

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan seksio sesarea

Agar proses persalinan secara seksio sesarea dapat berjalan dengan baik, perlu adanya kerjasama yang baik antara ibu dan petugas kesehatan. Menurut Prawirohardjo (2002), dalam melakukan seksio sesarea perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain :

a. Seksio elektif

Seksio sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan harus diselesaikan dengan cara operasi, ibu hamil memang selayaknya harus melakukan pemeriksaan selama kehamilan minimal empat kali, sehingga akan dapat diketahui apakah kehamilan ibu nantinya dapat diakhiri dengan normal tanpa komplikasi atau harus melalui persalinan seksio, keuntungannya seksio elektif adalah waktu pembedahan dapat ditentukan dan direncanakan oleh dokter yang akan menolongnya dan dapat dilakukan persiapan yang lebih baik. Kerugiannya ialah oleh karena persalinan belum mulai, segmen bawah uterus belum terbentuk dengan baik sehingga menyulitkan pembedahan, dan lebih mudah terjadi atonia uteri dengan perdarahan karena uterus belum mulai berkontraksi.

b. Anestesia

Sebelum dilakukan proses operasi ibu terlebih dahulu akan dibius, ada yang menggunakan bius umum, yang membuat ibu akan tertidur dan tidak akan mengetahui apapun yang terjadi. Ada juga yang menggunakan bius lokal yang membuat tubuh ibu hanya sebagian saja yang dibius, sehingga ibu dapat mendengar dan bahkan dapat melihat bayinya.

Anestesia atau pembiusan umum mempunyai pengaruh depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnea yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Selain itu ada pengaruh terhadap tonus uterus sehingga kadang-kadang timbul perdarahan postpartum karena atonia uteri. Akan tetapi, bahaya terbesar pada pemberian anestesia umum sedang lambung penderita tidak kosong. Pada wanita yang tidak sadar karena anestesia ada kemungkinan isi lambung masuk kedalam jalan pernapasan, dan ini merupakan hal yang berbahaya. Anestesia spinal aman untuk

janin, akan tetapi selalu ada kemungkinan tekanan darah penderita turun dengan akibat yang buruk bagi ibu dan janin. Cara yang paling aman adalah anestesia lokal, akan tetapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental penderita.

c. Transfusi darah

Pada umumnya perdarahan pada seksio sesarea lebih banyak dari pada persalinan pervaginam. Perdarahan tersebut akibat insisi pada uterus, ketika pelepasan plasenta, mungkin juga karena terjadinya atonia uteri postpartum. Oleh sebab itu pada setiap akan dilakukan tindakan seksio sesarea perlu diadakan persediaan darah. Namun, tidak semua rumah sakit mempunyai persediaan darah.

d. Pemberian antibiotika

Walaupun pemberian antibiotika sesudah seksio sesarea yang direncanakan sering tidak diberikan, biasanya pada seksio yang elektif sebelum operasi pasien sudah diberikan antibiotik. Namun, pada umumnya pemberiannya sangat dianjurkan. Mengingat terjadinya infeksi sangat rawan pada ibu yang post seksio.

4. Jenis-jenis seksio sesarea

Menurut Liu (2007), berdasarkan jenis insisi pada perut dan rahim, maka seksio sesarea dibagi 2, yaitu insisi abdominal dan insisi uterus.

a. Insisi abdominal

Pada dasarnya insisi ini adalah garis tengah subumbilikal dan insisi abdominal bawah transversa. Insisi garis tengah subumbilikal, insisi ini mudah dan cepat. Akses mudah dengan perdarahan minimal. Berguna jika akses ke segmen bawah sulit, contohnya jika ada kifosklerosis berat atau fibroid segmen bawah anterior. Walaupun bekas luka tidak terlihat, terdapat banyak ketidaknyamanan pascaoperasi dan luka jahitan lebih cenderung muncul dibandingkan dengan insisi transversa. Insisi transversa

(pfannenstiel) insisi ini merupakan pilihan saat ini, secara kosmetik sangat memuaskan, lebih sedikit menimbulkan luka jahitan dan lebih sedikit ketidaknyamanan, memungkinkan mobilitas pascaoperasi lebih baik, insisi secara teknik lebih sulit terutama pada operasi berulang.

b. Insisi uterus

Jalan masuk ke dalam uterus dapat melalui insisi garis tengah atau insisi segmen bawah transversa. Seksio sesarea segmen bawah, keuntungannya adalah lokasi tersebut memiliki lebih sedikit pembuluh darah sehingga kehilangan darah yang ditimbulkan lebih sedikit, mencegah penyebaran infeksi ke rongga abdomen, merupakan bagian uterus yang sedikit berkontraksi sehingga sedikit kemungkinan terjadinya ruptur pada bekas luka di kehamilan berikutnya, penyembuhan lebih baik dengan komplikasi pascaoperasi yang lebih sedikit seperti pelekatan, implantasi plasenta di atas bekas luka uterus kurang cenderung terjadi pada kehamilan berikutnya.

Kerugiannya meliputi akses mungkin terbatas, lokasi uterus yang berdekatan dengan kandung kemih meningkatkan resiko kerusakan khususnya pada prosedur pengulangan., perluasan ke sudut lateral atau dibelakang kandung kemih dapat meningkatkan kehilangan darah.

Seksio sesarea klasik, insisi ini di tempatkan secara vertikal di garis tengah uterus, indikasi penggunaannya meliputi jika akses ke segmen bawah terhalang oleh pelekatan fibroid uterus, jika janin terimpaksi pada posisi transversa, pada keadaan segmen bawah vaskular karena plasenta previa anterior, jika ada karsinoma serviks, jika kecepatan sangat penting, contohnya setelah kematian ibu.

Kerugiannya meliputi hemostasis lebih sulit dengan insisi vaskulat yang tebal, pelekatan ke organ sekitarnya lebih mungkin, plasenta anterior dapat ditemukan selama pemasukan, penyembuhan terhambat karena involusi miometrial, terdapat lebih besar resiko ruptur uterus pada kehamilan berikutnya. Insisi kronig-gellhom-beck, insisi ini adalah insisi pada garis tengah pada segmen bawah yang digunakan pada pelahiran prematur apabila segmen bawah terbentuk dengan buruk atau dalam keadaan terdapatnya perluasan ke segmen uterus bagian atas yang dilakukan untuk memberi lebih banyak akses, insisi ini lebih sedikit komplikasi seksio sesarea klasik, insisi ini tidak menutup kemungkinan pelahiran pervaginam.

5. Perawatan praoperasi

Menurut Liu (2007), perawatan praoperasi yang harus dikerjakan sebelum tindakan bedah dimulai terdiri atas : pastikan alasan untuk pembedahan adalah valid dan tepat. Dokter, bidan atau perawat yang bersangkutan harus mengemukakan alasan ini dan mendiskusikannya secara jelas dengan ibu dan pasangannya. Riwayat obstetri dan riwayat medis harus ditinjau ulang. Diskusikan jenis anestesia dengan dokter anestesia dan ibu, beritahu dokter pediatri pada saat yang tepat, pemeriksaan laboratorium darah, tersedianya 2 unit darah untuk keadaan darurat, berikan antasida, dapatkan persetujuan tertulis, berikan antibiotika profilaksis. Ibu dianjurkan untuk puasa, perawat akan melakukan persiapan pada ibu, seperti pemasangan kateter, pemasangan infus, pemeriksaan vital sign yang lengkap. Kesemua hal tersebut sangat penting diperhatikan, agar proses operasi dapat berjalan dengan baik.

6. Perawatan pascaoperasi

Menurut Liu (2007) ibu yang mengalami komplikasi obstetri atau medis memerlukan observasi ketat setelah seksio sesarea, perawatan umum untuk semua ibu meliputi : kaji tanda-tanda vital baik tekanan darah, pernapasan, frekuensi jantung maupun suhu tubuh, dengan interval teratur (15 menit), pastikan kondisinya stabil. Lihat tinggi fundus pastikan rahim berkontraksi dengan baik, adanya perdarahan dari luka dan jumlah lokia, pertahankan keseimbangan cairan, pastikan analgesia yang adekuat, tangani kebutuhan khusus dengan indikasi langsung untuk seksio sesarea, misalnya diabetes mellitus. Sebelum pemulangan harus diberikan kesempatan sesuai dengan keadaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien tentang hal-hal yang berhubungan dengan perawatan luka seksio dan lainnya, jadwalkan untuk melakukan pengkajian ulang pasca melahirkan guna memastikan penyembuhan total, mendiskusikan kehamilan berikutnya dan pemakain alat kontrasepsi, dan memastikan tindak lanjut perawatan untuk kondisi medisnya.

7. Risiko operasi seksio sesarea

Operasi seksio sesarea sebaiknya dilakukan karena pertimbangan medis, bukan karena keinginan pasien yang tidak mau menanggung rasa sakit, hal ini karena risiko operasi sesarea lebih besar dari pada persalinan alami. Demikian teori yang disebutkan dalam buku Obstetrics and Gynecology (dalam Kasdu, 2003). Didalamnya dijelaskan, dalam kondisi ibu dan bayi yang sehat dan tidak ada kesulitan, bedah sesarea memiliki risiko . Misalnya, kondisi pasien yang tidak dapat diduga sebelumnya. Menurut Peel dan Chamberlain, indikasi untuk melakukan operasi dengan berbagai penyebabnya mengakibatkan angka kematian ibu 17% (sebelum dikoreksi) dan 0,58% (sesudah

dikoreksi), sedangkan kematian janin 14,5%. Pada 774 persalinan berikutnya, terjadi 1,03% rupture uteri (rahim yang robek). Risiko ini bisa menimpa ibu maupun bayinya.

Persalinan dengan operasi memiliki kemungkinan risiko lima kali lebih besar terjadi komplikasi dibandingkan persalinan normal. Faktor risiko paling banyak dari operasi sesarea adalah akibat dari tindakan anestesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung, komplikasi penyulit, endometritis (radang endometrium), tromboplebilitis (pembekuan darah pembuluh balik), embolisme (penyumbatan pembuluh darah), paru-paru, dan pemulihan bentuk serta letak rahim menjadi tidak sempurna.

Berikut ini adalah risiko-risiko yang mungkin dialami oleh wanita yang melahirkan dengan operasi seksio sesarea yang dapat mengakibatkan cedera pada ibu maupun bayi, dan risiko ini bersifat individual, yaitu tidak terjadi pada semua orang.

a. Alergi

Biasanya risiko ini terjadi pada pasien yang alergi terhadap obat tertentu, seperti antibiotik, oleh sebab itu perlu dilakukan skin tes. Pada awalnya, yaitu pada saat pembedahan, segalanya bisa berjalan lancar sehingga bayi pun lahir dengan selamat. Namun, beberapa jam kemudian, ketika dokter sudah pulang, obat yang diberikan baru bereaksi sehingga jalan pernapasan pasien dapat tertutup. Perlu diketahui, penggunaan obat-obatan pada pasien dengan operasi sesarea lebih banyak dibandingkan dengan cara melahirkan alami. Jenis obat-obatan ini beragam, mulai dari antibiotik, obat untuk pembiusan, penghilang rasa sakit, serta beberapa cairan infus. Oleh karena itu, biasanya sebelum operasi akan ditanyakan kepada pasien apakah mempunyai alergi tertentu.

b. Perdarahan

Perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul. Oleh karena itu, sebelum operasi seorang wanita harus melakukan pemeriksaan darah lengkap. Salah satunya untuk mengetahui masalah pembekuan darahnya. Selain itu, perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri uteri ikut terbuka atau karena atonia uteri. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok secara mendadak. Kalau perdarahan tidak dapat diatasi, kadang perlu tindakan histerektomi atau pengangkatan rahim, terutama pada kasus atonia uteri yang berlanjut.

c. Cedera pada organ lain

Jika tidak dilakukan secara hati-hati, kemungkinan pembedahan dapat mengakibatkan terlukanya organ lain, seperti rektum atau kandung kemih. Penyembuhan luka bekas bedah sesarea yang tidak sempurna dapat menyebabkan infeksi pada organ rahim atau kandung kencing. Selain itu, dapat pula berdampak pada organ lain dengan menimbulkan perlekatan pada organ-organ didalam rongga perut untuk kehamilan risiko tinggi yang memerlukan penanganan khusus.

d. Parut dalam rahim

Seorang wanita yang sudah pernah mengalami pembedahan akan memiliki parut dalam rahim. Oleh karena itu, pada tiap kehamilan dan persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri, meskipun jika opersai dilakukan secara sempurna risiko ini sangat kecil terjadi. Sekitar 1-3% angka kejadian akibat operasi menyebabkan rupture uteri. Biasanya, kondisi ini terjadi apabila menggunakan sayatan klasik atau vertikal.

e. Demam

Kadang-kadang, demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Namun, kondisi ini bisa terjadi karena infeksi. Komplikasi ringan yang sering terjadi adalah kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari dalam masa nifas, sedangkan komplikasi berat, seperti peritonitis (radang selaput perut), sepsis (reaksi umum disertai demam karena kegiatan bakteri), atau disebut juga terjadi infeksi puerperal. Infeksi pascaoperasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intrapartum atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu. Misalnya, persalinannya berlangsung lama, khususnya setelah ketuban pecah, telah diupayakan tindakan vaginal sebelumnya.

f. Mempengaruhi produksi ASI

Efek pembiusan dapat mempengaruhi produksi ASI jika dilakukan pembiusan total (narkose). Akibatnya, kolostrum (air susu yang keluar pertama kali) tidak bisa dinikmati oleh bayi dan bayi tidak dapat segera menyusui begitu ia dilahirkan. Namun, apabila dilakukan dengan pembiusan regional (misalnya spinal) tidak banyak mempengaruhi produksi ASI .

8. Menghindarkan bedah sesarea yang tidak perlu

Berkaitan dengan pencanangan Departemen Kesehatan, IDI, dan POGI mengenai upaya penurunan angka bedah sesarea di Indonesia, ada enam langkah yang harus ditempuh agar angka bedah sesarea dapat dikendalikan, yaitu: (1) pendidikan dan evaluasi terhadap pasien secara cermat; (2) telaah (review) eksternal; (3) penyebarluasan informasi kepada masyarakat mengenai tingginya angka bedah sesarea bagi setiap dokter atau RS; (4) reformasi terhadap horonarium dokter yang melakukan bedah sesarea; (5) reformasi pembayaran bagi RS; dan (6) reformasi terhadap tuntutan

malpraktik, di mana (selain pasien) organisasi profesi seperti IDI atau POGI (dalam hal ini) dapat mengajukan tuntutan malpraktik kepada dokter yang bertindak melanggar atau menyalahi etika maupun ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, termasuk mengenai masalah bedah sesarea.

Keenam langkah ini memang jelas berpihak kepada pasien, sedangkan dokter (kebidanan) harus benar-benar back to basic untuk dapat menerimanya dengan tulus. Apabila diterapkan, maka keenam langkah tersebut akan mereduksi serta mengurangi hak istimewa dan arogansi dokter secara bermakna. Sebaliknya, memberikan hak yang lebih luas, adil dan proporsional kepada para pasien. Dengan begitu, diperoleh suatu jaminan bahwa bedah sesarea benar-benar merupakan tindakan yang profesional dan sesuai dengan etika medis. Selain itu, terdapat keseimbangan dengan hak pasien dalam proses pengambilan keputusan untuk pembedahan sesarea, sesuatu yang belakangan ini semakin diabaikan dalam hubungan profesional dokter-pasien (Dewi dan Fauzi, 2007).

9. Partisipasi pasien untuk pengendalian angka bedah seksio sesarea

a. Sebelum persalinan : para ibu harus dianjurkan untuk banyak membaca dan mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, kalau perlu ikut mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh bidan, dokter, ataupun Rumah Sakit. Selain itu disarankan pula (bila memungkinkan) untuk melihat fasilitas tempatnya bersalin kelak, lalu bertanya kepada lebih dari satu orang tenaga kesehatan yang mengetahui mengenai persalinan. Jika direncanakan untuk bedah sesarea, mintalah dokter untuk menjelaskan dan membuktikan indikasi medisnya.

b. Dalam persalinan : diusahakan untuk dapat tinggal selama mungkin dirumah, sampai dirasakan bahwa kontraksi rahim sudah sedemikian sering dan kuat sehingga tidak memungkinkan untuk berjalan-jalan atau melakukan aktivitas.

Kedatangan yang terlalu dini ke tempat bersalin seringkali justru menimbulkan stres. Para ibu akan mengalami nyeri atau rasa sakit, tetapi sebaiknya tidak meminta untuk dibius (regional maupun umum). Dalam kaitan ini, dukungan dari suami menjadi salah satu faktor penting. Dukungan tersebut harus diarahkan kepada dorongan agar sang istri yang sedang bersalin itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari bedah sesarea. Semua pihak harus menyadari bahwa persalinan atau kelahiran yang alamiah adalah yang terbaik, sedangkan bedah sesarea sebenarnya merupakan alternatif (Dewi & fauzi, 2007).

Dokumen terkait