Secara metodologis, Hamka dan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir menggunakan metode tah}lili> >. Metode tah}li>li>
ialah suatu metode yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur„an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.101
Dalam metode ini, Hamka dan M. Quraish Shihab menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur‟an berupa ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan yang ada di dalam mush}af. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (muna>sabah), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi‟in maupun ahli tafsir lainnya.102
Bentuk pendekatan yang digunakan Hamka dan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir sangat jelas bahwa mereka menggabungkan antara riwayah (ma’thur) dan pemikiran (ra’y). Akan tetapi jika dilihat secara saksama, mereka lebih dominan bi al-Ra’ydalam menafsirkan ayat
101„Abd al-H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maudhu‘i> (Mesir: Maktabah Jumhurriyah, 1997), 26-27.
102
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), 31.
kisah tersebut.103 Dalam penafsiran tersebut, al-Qur‟an ditafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tidak ketinggalan menerangkan
asba>b al-Nuzu>l dari ayat-ayat yang ditafsirkan (jika ada). Demikian pula ikut
diungkapkan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi SAW, sahabat, ta>bi‟i>n, ta>bi‟ al-Ta>bi‟in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fikih, bahasa, sastra, dan sebagainya.104
Di dalam metode tah}li>li> (analitis) yang mereka gunakan dalam menafsirkan ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir, mereka relatif mempunyai kebebasan. Dengan kebebasan itu mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan interprestasi dalam memajukan penafsirannya. Mereka juga mempunyai banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru berdasarkan keahliannya, sesuai dengan pemahaman dan kecenderungan dalam penafsirannya.105
Adapun persamaan dari pemahaman ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an menurut Hamka dan M. Quraish Shihab adalah sebagai berikut:
1. Dalam menafsirkan ayat 67 dalam surat al-Kahfi, Hamka dan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa guru Nabi Mu>sa> adalah Khidir. Hal ini terlihat dari beberapa hadis yang mereka diriwayatkan daripada Nabi SAW yang telah menyebutkan nama guru Mu>sa>. Ahli-ahli tafsir juga banyak yang telah membawakan riwayat hadis tersebut. Dalam tafsirannya, mereka tidak
103
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid XV, 231-248. Shihab, Tafsir Al-Misba>h, 97-111.
104
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, 32-33.
105
menyebutkan bahwa Khidir adalah seorang Nabi atau bukan. Melainkan mereka hanya menyebut dengan sebutan guru atau hamba Allah yang saleh.106 Hal ini dikarenakan dalam ayat itu sendiri ataupun hadis tidak ada yang menyatakan bahwa Khidir adalah seorang Nabi. Oleh sebab itu, jalan cerita yang penuh misteri atau rahasia dari ilmu Tuhan, dibiarkan saja dalam keghaibannya.107
2. Ketika menafsirkan ayat 69 surat al-Kahfi, Hamka dan M. Quraish Shihab sama-sama memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut merupakan sebuah teladan yang baik bagi seorang murid di dalam mengkhidmati gurunya. Apapun sikap guru itu, meskipun belum dapat dipahami perkataan ataupun perilakunya, maka ia harus bersabar untuk menunggu jawabannya sampai gurunya menerangkan sesuatu yang menjanggal menurutnya. Karena boleh jadi pengetahuan yang ia miliki tidak sejalan dengan sikap atau dengan apa yang diajarkan oleh gurunya. Terkadang jawabannya ia peroleh di kemudian hari.
E. Perbedaan Kedua Mufasir dalam Menafsirkan Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam Surat al-Kahfi Ayat 66-82
Corak penafsiran Hamka tentang ayat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir termasuk dalam corak kombinasi, yaitu menggabungkan corak adabi> ijtima>‘i
106
Hamka, Tafsir al-Azhar, 232.
107
dengan su>fi.108 Sedangkan penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir termasuk dalam corak adabi> ijtima>‘i, yaitu corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur‟an pada segi-segi ketelitian redaksinya, menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dengan susunan kalimat yang indah dan menarik.109 Selanjutnya seorang mufasir berusaha menghubungkan nas-nas al-Qur'an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.110
Setelah diuraikan secara panjang lebar penafsiran kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terdapat dalam tafsir Azhar karya Hamka dengan tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dari penafsiran mereka ditemukan adanya perbedaan diantara kedua mufasir tersebut. Perbedaan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Dalam menafsirkan ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir, Hamka lebih cenderung ke dalam ajaran tasawuf. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan ayat kisah tersebut langsung mengatakan bahwa kisah itu merupakan suatu kisah antara seorang murid dengan gurunya, suatu teladan bagi umat manusia. Selain itu, yang menonjolkan penafsirannya cenderung kepada tasawuf adalah ketika Hamka menafsirkan ayat 66 dari surat al-Kahfi –yang masih ada kaitannya dengan ayat 65 surat al-Kahfi–. Ia menjelaskan bahwa apabila seseorang telah mencapai martabat muqarrabin, maka ia dapat segera di kenal oleh orang yang telah sama berpengalaman dengan dia. Meskipun mereka
108
Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 431.
109
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2009), 116.
baru pertama kali bertemu. Hal ini dikarenakan sinar dari Nur yang sumber asal tempat datangnya sama. Oleh karena itu, ketika pertama kali melihat, maka ia telah tahu bahwa itulah orang yang harus ditemui saat mendapatkan perintah dari Tuhan untuk menemui seorang hamba yang dilebihkan-Nya dari hamba yang lain.
Berbeda dengan M. Quraish Shihab, dalam menafsirkan ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir ia menjelaskan secara akademisi. Dari penafsirannya dapat dilihat bahwa pemikiran pembaca dibiarkan dapat berkembang dan tidak terpaku pada penafsirannya.
2. M. Quraish Shihab saat menafsirkan ayat 66 surat al-Kahfi, ia menjelaskan kata attabi‘uka asalnya adalah atba‘uka dari kata tabi‘a yang artinya “mengikuti.” Penambahan huruf ta’ pada kata attabi‘uka mengandung makna “kseungguhan” dalam mengikuti itu. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya terhadap apa yang akan dipelajarinya. Sedangkan Hamka tidak menjelaskan sebagaimana M. Quraish Shihab. akan tetapi ia langsung memberikan penafsiran secara singkat, jelas, dan padat berkaitan dengan ayat 66.
3. Secara spesifik, ketika Hamka menafsirkan ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir terlihat lebih singkat dan padat namun sangat jelas. Penafsirannya dapat dikatakan sebagai contoh atau teladan khidmatnya seorang murid kepada guru, begitu sebaliknya. Selain itu, pembaca di ajak menyelami kedalam penafsirannya, sehingga pembaca dapat merasakan seakan-akan
mengalami kejadian itu dan dapat membawa kejadian itu ke masa depan untuk dijadikan sebagai pelajaran. Dari sana jiwa seseorang akan terbuka berkat lantaran penyampaian Hamka dalam tafsirannya berkaitan dengan ayat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang menyentuh hati atau jiwa. Karena, Hamka sendiri memiliki keinginan menyadarkan umat supaya kembali ke jalan yang benar dan hidup tidak hanya dalam lingkup syari‟at saja, melainkan secara hakikat pun juga dilakukan. Sedangkan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat kisah tersebut lebih ke dalam intelektualitas, sehingga penafsirannya berisikan wawasan yang kental dengan pengetahuan akademisi.
4. Ketika M. Quraish Shihab menafsirkan ayat 67 surat al-Kahfi, terlihat sekali ia menjelaskannya secara intelektual atau akademisi dan menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan. Ia memberi penjelasan pada ayat tersebut bahwa pemberitahuan itu (ucapan hamba Allah yang saleh) menunjukkan kepada Nabi Mu>sa> secara dini tentang pengetahuan hamba Allah menyangkut tentang peristiwa-peristiwa masa yang akan datang yang merupakan keistimewaan yang diajarkan Allah kepadanya.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ucapan hamba Allah ini memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu. Bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.
Berbeda dengan Hamka, dalam tafsirnya, ia ingin menyadarkan umat bahwa sikap jiwa yang lekas meluap atau marah sebisa mungkin untuk dihindari atau diperbaiki. Dengan harapan perbaikan tersebut menjadikan jiwa seseorang lebih tenang dan jernih. Selain itu, guru yang baik ialah guru yang dapat mengetahui atau mengenal jiwa muridnya. Supaya jiwa murid yang kurang baik –untuk dirinya sendiri atau orang lain– dapat diperbaiki atas izin Allah SWT.
80 A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas –secara keseluruhan– dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi jawaban daripada rumusan masalah dalam penelitian ini. Jawaban tersebut sebagai berikut:
1. Hamka menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir sebagai teladan yang baik bagi seorang murid di dalam berkhidmat kepada gurunya, baik itu dalam segi perkataan ataupun perbuatan. Selain itu ia juga harus mengakui di hadapan gurunya bahwa banyak hal yang belum ia mengerti atau ketahui. Di sisi lain, seorang guru harus dapat mengenal jiwa muridnya. Apakah dia seorang yang sabar, tenang, atau bahkan mudah marah, dan lain sebagainya. Karena hal tersebut sangat menentukan kualitas kepribadiannya.
Sedangkan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seorang harus berkata dengan sangat halus kepada gurunya ataupun orang lain. Ia juga harus mengakui keluasan ilmu yang dimiliki oleh gurunya dan mengharapkan gurunya mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya. Di sisi lain, seorang guru hendaknya menuntun dan memberi tahu muridnya berkaitan dengan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam proses mencari ilmu. Bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu apabila gurunya mengetahui potensi muridnya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dia pelajari.
2. Persamaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir ialah sama-sama menggunakan metode tah}li>li>. Keduanya sama-sama menggabungkan antara riwayah (ma’thur) dan pemikiran (ra’y) dalam menafsirkan kisah tersebut. Jika dilihat secara saksama, mereka lebih dominan bi al-Ra’y dalam menafsirkannya. Selain itu, dalam menafsirkan siapa itu hamba Allah yang salih (Khidir), mereka sama-sama menggunakan riwayah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukha>ri.
3. Perbedaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir ialah M. Quraish Shihab lebih komprehensif menguraikan pendapat para ulama tafsir daripada pendapatnya sendiri. Berbeda dengan Hamka, ia justru lebih dominan menguraikan pendapatnya sendiri. Adapun pendapat ulama yang lain hanya sebagai pendukung dan penguat pendapatnya.
Corak penafsiran Hamka tentang ayat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir termasuk dalam corak kombinasi, yaitu menggabungkan corak adabi>
ijtima>‘i dengan su>fi. Sedangkan penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat
kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir termasuk dalam corak adabi> ijtima>‘i.
B. Saran
1. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak sekali kekurangannya. Saran dari pembaca selalu penulis harapkan demi tercapainya penulisan dan isi penelitian yang lebih baik lagi.
2. Penulis mengharapkan agar nantinya para murid lebih dapat bersikap khidmat kepada gurunya baik dalam proses pembelajaran ataupun di luar itu. Dupaya ilmu yang dipelajarinya berkah dan memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, keluarga, nusa ataupun bangsa, dan agama. Begitu sebaliknya, seorang guru harus dapat menghormati dan mengerti kemampuan muridnya serta memenuhi kewajibannya sebagai seorang guru yang baik dan benar.
Qur‟an in word. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Versi 1.3
Al-Qur‟an, Yayasan Penyelenggara Penterjemah. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV Darus Sunah, 2011.
Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Arifin¸ M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Renika Cipta, 1993.
al-Naisa>bu>ri>, Abi> al-H{usain Muslim bin al-H{ajjaj al-Qushairi> >. S{ah}i>h} Musli>m. Jilid 4. Al-Qa>hirah: Da>r Al-H{adith. 1991.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, T.t.
______. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Bisri, Cik Hasan. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan
Skripsi (Bidang Ilmu Agama Islam. Jakarta: Logos, 1998.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2008.
al-Dimasyqi, Al-Imam Abu al-Fida Ismail Ibn Kathir. Mukhtas}ar Tafsir ibn
Kathi>r. Ter. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: PT Bina Ilmu,
2002.
______. Tafsir ibn Kathir. Ter. Bahrun Abu Bakar dan Anwar Abu Bakar. Juz 16. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2003.
al-Farma>wi>, „Abd al-H{ayy. al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maudhu‘i>. Mesir: Maktabah Jumhurriyah, 1997.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Juz XV. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. ______. Kenang-kenangan Hidup. Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2009.
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Kholid, Amru. Romantika Yusuf. Bandung: Pustaka Maghfirah, 2007.
al-Maliki, Sayyid Muhammad Alwi. Keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an. Ter. Nur Faizin. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.
Manar, M. Abdul. Pemikiran Hamka; Kajian Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Prima Aksara, 1993.
al-Mara>ghi>, Ahmad Must}afa>.Tafsi>r al-Mara>ghi>. Beirut: Da>r al-Fikr. Juz I. T.t. Mohammad, Herry dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani Press, 2006.
Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
al-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1997.
Qalyubi, Syihabuddin. Stilistika al-Qur’an; Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Qut}b, Sayyid. al-Tas}wi>r al-Fann fi al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Ma‟arif, 1975.
al-Qat}t}a>n, Manna>„. Mabah> }ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. T.k.t.: Maktabah Wahbah, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an. Vol. 8. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
______. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
Sholehan. Relevansi Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern. Surabaya: Alpha, 2006.
Siswayanti, Novita. “Dimensi Edukatif pada Kisah-kisah Al-Qur‟an,” Jurnal
Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan.Vol. 3 No. 1. 2010.
Sulaima>n, Must}afa Muh}ammad. al-Qis}s}ah fi al-Qur’a>n al-Kari>m wa Thara H{aula>
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Watt, W. Montgomery. Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburg: The Uinversity Press, 1970.