• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM AL-QUR’AN MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH SHIHAB : SURAT AL-KAHFI AYAT 66-82.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENAFSIRAN KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM AL-QUR’AN MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH SHIHAB : SURAT AL-KAHFI AYAT 66-82."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

x

Nur Laili Abdul Azis. Penafsiran Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir

dalam al-Qur’an Menurut Hamka dan M. Quraish Shihab (Surat al-Kahfi Ayat

66-82).

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82? Kedua, apa persamaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82? Ketiga, apa perbedaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82?

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memaparkan dan memproporsionalkan data penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab sebagai salah satu wacana bagi umat Islam terkait dengan berbagai macam penafsiran yang muncul pada zaman dulu sampai sekarang. Agar nantinya dapat mengembangkan penafsiran ayat al-Qur‟an yang tidak dapat diterima oleh masyarakat untuk dirasionalkan. Kemudian dalam menafsirkannya tidak mengabaikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu tafsir yang telah disepakati oleh para ulama tafsir.

Dalam menjawab permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan metode penyajian data secara

deskriptif dan analitis. Deskriptif analitis adalah menggambarkan bagaimana

kedua mufasir menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82. Kemudian membandingkan pendapat keduanya dalam menafsirkan kisah tersebut.

Penelitian ini dilakukan karena melihat fenomena yang terjadi sekarang, semakin teknologi berkembang, semakin pula seseorang –terutama murid– jiwanya kering dari nilai-nilai spiritual. Kenyataannya, murid tidak lagi memiliki rasa khidmat dan patuh kepada gurunya. Apalagi gurunya, ia juga tidak lagi memiliki rasa tanggung jawab yang besar kepada muridnya. Padahal dalam al-Qur‟an telah disebutkan bahwa seorang murid haruslah patuh dan khidmat kepada gurunya. Gurunya juga harus memiliki tanggung jawab yang besar untuk memberikan arahan dan menuntun muridnya supaya kelak menjadi orang yang dapat memimpin dirinya sendiri dan keluarganya serta bangsa yang sesuai dengan al-Qur‟an dan hadis. Demikianlah yang dicontohkan dalam al-Qur‟an surat al -Kahfi ayat 66-82 melalui kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah seseorang yang masih dalam proses belajar; baik yang telah memiliki pengetahuan, hendaknya patuh dan khidmat kepada gurunya. Seorang guru harus dapat mengetahui watak muridnya, supaya ia dapat mengarahkannya untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan potensi yang ia miliki. Selain itu, dia harus menuntun dan memberi tahu muridnya tentang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya saat mempelajari sesuatu.

(7)

xiii

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifiksai Masalah dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kajian Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II : KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN A. Pengertian Kisah ... 17

B. Macam-macam Kisah dalam al-Qur‟an ... 18

(8)

xiv

E. Karakteristik Kisah-kisah dalam al-Qur‟an ... 32

BAB III : PENAFSIRAN AYAT KISAH NABI MU<SA< DAN NABI KHIDIR MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH SHIHAB A. Ayat dan Terjemah... 35

B. Penafsiran Hamka ... 37

a. Biografi Singkat Hamka ... 37

b. Karya-karya Hamka ... 40

c. Penafsiran Hamka tentang Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam Surat al-Kahfi Ayat 66-82... 41

C. Penafsiran M. QuraishShihab ... 58

a. Biografi Singkat M. Quraish Shihab... 58

b. Karya-karya M. Quraish Shihab ... 60

c. Penafsiran M. Quraish Shihab tentang Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam Surat al-Kahfi ayat 66-82 61 D. Persamaan kedua mufasir dalam menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82 ... 73

E. Perbedaan kedua mufasir dalam menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82 ... 75

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

(9)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an sebagai sumber inspirasi dan wawasan serta pandangan hidup yang bersifat universal memberikan motivasi kepada manusia untuk berpikir,

menelaah, dan mengembangkan ilmu pengetahuannya melalui rasio (akal pikiran) sejauh mungkin.1 Dalam pandangan Islam, akal pikiran harus di fungsikan untuk menemukan hakikat hidup manusia sebagai hamba Allah, makhluk sosial, dan

khalifah di dalam bumi. Dengan akal pikiran yang sehat, Allah mendorong manusia untuk berpikir analitis dan sintetis melalui proses berpikir induktif dan

deduktif, sehingga manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil, memilih alternatif yang benar atau salah, baik atau buruk, serta berguna atau tidak bergunanya suatu perbuatan. Melalui kisah, al-Qur‟an memberikan pelajaran berharga bagi manusia agar mengoptimalkan potensi nalar dalam setiap amal.2



Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan

1

M. Arifin¸ Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 65.

2Novita Siswayanti, “Dimensi Edukatif pada Kisah

-kisah Al-Qur‟an,” Jurnal Kajian

(10)

tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.3

Kisah merupakan suatu metode pembelajaran yang ternyata memiliki daya

tarik tersendiri yang dapat menyentuh perasaan dan kejiwaan serta daya pikir seseorang. Kisah memiliki fungsi edukatif yang sangat berharga dalam sebuah

proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam. Islam menyadari sifat alamiah manusia, yaitu menyukai seni dan keindahan yang mampu memberikan pengalaman emosional yang mendalam, dapat menghilangkan kebosanan dan kejenuhan, dan

memunculkan kesan yang mendalam. Oleh karena itu, Islam menjadikan kisah sebagai salah satu metode dalam pembelajaran.4

Suatu peristiwa yang berkaitan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar atau pembaca. Jika dalam sebuah peristiwa terselip berbagai pesan dan pelajaran mengenai berita bangsa terdahulu, maka rasa ingin

tahu menjadi faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati manusia. Perlu diketahui bahwa nasihat dengan tutur kata yang di

sampaikan tanpa variasi tidak mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi, jika sebuah nasihat dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan suatu peristiwa dalam bentuk realita

kehidupan, maka tujuannya akan terwujud dengan jelas. Seseorang akan merasa senang ketika mendengarnya dan ia akan memperhatikannya dengan penuh

3

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 249.

4

(11)

kerinduan dan rasa ingin tahu. Kemudian ia akan terpengaruh dengan nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.5

Jika dikaji lebih dalam, kisah dalam al-Qur‟an mencakup tiga kategori di antaranya sebagai berikut:

1. Kisah para Nabi (qas}as} al-Anbiya>’). Al-Qur‟an mengandung cerita tentang dakwah para Nabi dan mukjizat-mukjizat para Rasul, sikap para umatnya yang menentang, marh}alah-marh}alah dakwah dan perkembangannya, menerangkan berbagai akibat yang dihadapi orang mukmin dan

golongan-golongan yang mendustakan. Contohnya kisah Nabi Nu>h} [QS. 11:25-49], Ibrahi>m [QS. 37:38-99], Mu>sa> [QS. 05:21-26], „Isa> [QS. 05:110-120], dan sebagainya. 6

2. Kisah tentang peristiwa masa lalu dan beberapa orang yang tidak dipastikan

kenabiannya, seperti kisah T{alu>t dan Ja>lu>t [QS. 02:246-251], As}h}a>b al-Kahfi>

[QS. 18:10-26], Zulkarnai>n [QS. 18:9-26], Luqman [QS. 31: 12-13], Qaru>n [QS. 28:76-81], dan lain-lain.7

3. Kisah tentang peristiwa pada masa Rasulullah SAW, seperti perang Badar

dan Uhud yang diterangkan dalam surat Ali> „Imran, perang Hunain dan Tabuk yang diterangkan dalam surat al-Taubah, perah Ah}zab yang diterangkan dalam surat al-Ah}zab, kisah tentang peristiwa Hijrah [QS. 47:13],

5Manna>„ al-Qat}t}a>n,

Maba>h}ith fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n (t.k.t.: Maktabah Wahbah, 2000), 300.

6

Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, ed. Fuad Hasbi Ash Shidieqy, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 191-192. Lihat juga Amru Kholid,

Romantika Yusuf (Bandung: Pustaka Maghfirah, 2007), 7.

7

(12)

perjalanan Isra„-Mi„raj Nabi Muhammad SAW. diterangkan dalam surat al-Isra>‟, dan lain-lain.8

Kisah al-Qur‟an tidak semuanya tersusun secara hierarki. Karena, sebagian kisah tersebut merupakan penggalan-penggalan cerita yang berserakan pada

berbagai surat. Sebagai metode dalam penyampaian sebuah nasihat, maka yang demikian itu sangat tepat dalam membawa pendengar atau pembaca pada situasi pemikiran, perhatian, kondisi kejiwaan dan perasaan, sesuai pesan dan ajaran yang

ingin disampaikan.9

Penyampaian kisah dengan metode pemenggalan sangat efektif untuk

memancing rasa ingin tahu pendengar atau pembaca. Hal tersebut dapat memotivasi mereka untuk mengetahui kisah secara lengkap.10 Jika dikaitkan dengan seseorang yang sedang belajar, maka semangat membaca dan tekad yang

kuat dalam menuntut ilmu sangat diharapkan tumbuh dalam jiwanya. Teladan

yang demikian telah dicontohkan dalam al-Qur‟an tentang kisahnya Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir. Kisah tersebut sangatlah efektif apabila dijadikan sebagai

teladan atau contoh bagi seorang murid dan guru. Karena di dalam sebuah kisah atau peristiwa terdapat sebuah pelajaran atau hikmah di balik kisah tersebut.11

Pada kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir, terdapat beberapa ‘ibrah (pelajaran) yang dapat dijadikan contoh untuk semua orang, khususnya bagi seorang guru dan murid. Salah satunya adalah bagaimana menjadi seorang guru

8

Lihat ibid.

9

Lihat Siswayanti, “Dimensi Edukatif pada Kisah-kisah Al-Qur‟an,” 75.

10

Lihat Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Misaka Galiza, 1999), 95-96.

11

(13)

yang bijak dan dapat mengetahui apa tugas guru yang sebenarnya. Selain itu, disinggung pula bagaimana seharusnya sikap atau perilaku seorang murid kepada

gurunya, agar ilmu yang di dapatkan menjadi manfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

Hubungan guru dan murid hendaknya selalu ada dan harus terjalin secara baik. Supaya nantinya murid tersebut menjadi pribadi yang bijak, berakhlak mulia, dan berilmu tinggi yang sesuai dengan keahlian yang di milikinya. Karena,

setiap hal yang lahir ada pula sisi batiniahnya, yang memiliki peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal lahiriah.12 Hal ini sesuai dengan apa yang dikisahkan

Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk bagiku?” Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”13

Dalam ayat di atas, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seorang pelajar

harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya terhadap apa yang akan dipelajarinya. Seorang pelajar juga harus

berkata dengan sangat halus kepada gurunya ataupun orang lain. Ia juga harus mengakui keluasan ilmu yang dimiliki oleh gurunya dan memiliki harapan kepada

12

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 97.

13

(14)

gurunya supaya mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan oleh Allah SWT. kepadanya. Di sisi lain, seorang guru hendaknya menuntun muridnya dan

memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu. Bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang guru

mengetahui bahwa potensi muridnya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.14

Sedangkan menurut Hamka, ayat tersebut mengisyaratkan bahwa seorang

murid harus penuh hormat ketika berkata kepada gurunya. Ia juga harus mengakui di hadapan gurunya bahwa banyak hal yang belum ia mengerti atau ketahui. Oleh

karenanya, kelebihan ilmu guru itu diharapkan supaya diterangkan kepadanya sampai guru tersebut mengerti bahwa dia termasuk seorang murid yang setia dan selalu patuh kepadanya. Di sisi lain, seorang guru harus dapat mengenal jiwa

muridnya. Apakah dia seorang yang sabar, tenang, atau bahkan mudah marah, dan lain sebagainya. Karena hal tersebut akan menentukan kualitas kepribadian

muridnya untuk masa depannya.15

Pada kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir, Hamka menjelaskan bahwa sikap atau jiwa Nabi Mu>sa> adalah sikap yang mudah marah. Oleh karena itu, ketika Nabi Mu>sa> bertemu dengan Nabi Khidir –sebagai gurunya– ia langsung mendapat sindiran halus atau teguran atas sikap jiwanya yang lekas meluap. Inilah yang dinamakan sebagai guru yang mengetahui atau dapat mengenal jiwa muridnya.

14

Lihat Shihab, Tafsir Al-Misba>h, 98-99.

15

(15)

Tujuannya adalah supaya jiwa murid yang kurang baik dapat diluruskan hatinya atas izin Allah SWT.16

Dari latar belakang penafsiran kedua mufasir tersebut tampak jelas

perbedaan dalam menafsirkan ayat kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir. Tentu yang demikian itu menjadi hal yang menarik untuk di kaji lebih dalam berkaitan dengan

penafsiran kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 66-82. Dengan harapan dapat diketahui bagaimana masing-masing mufasir menafsirkan kisah tersebut. Oleh karenanya, karya ilmiah ini diberi judul

Penafsiran Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur’an Menurut Hamka

dan M. Quraish Shihab (Surat al-Kahfi Ayat 66-82).

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, agar pembahasan lebih

terarah dan mudah untuk dipahami. Oleh karena itu, penulisan karya ilmiah ini perlu adanya identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Penafsiran hikmah dari kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir menurut berbagai ulama tafsir.

2. Penafsiran kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir menurut semiotika dalam bahasa yang digunakan.

3. Penafsiran ‘ibrah kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir menurut ibn Kathir. 4. Persamaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi

Mu>sa> dan Nabi Khidir.

16

(16)

5. Perbedaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi

Mu>sa> dan Nabi Khidir.

Dan masih banyak lagi permasalahan yang muncul berkaitan dengan Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir.

Dalam karya ilmiah ini tidak akan dibahas semua yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi penelitian ini difokuskan pada permasalahan perbandingan

penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir. Selain itu, di dalam karya ilmiah ini juga mengangkat permasalahan tentang apakah ada ‘ibrah (pelajaran) dari kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir yang dapat dijadikan contoh bagi keseharian semua orang.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, perlu adanya perumusan masalah

agar pembahasan dapat lebih terarah dan tidak melebar sangat jauh dari tujuan awal yang ingin dicapai dari penelitian ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi

Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82?

2. Apa persamaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi

Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82?

(17)

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah

Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 66-82. 2. Untuk menjelaskan persamaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab

tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidi dalam surat al-Kahfi.

3. Untuk menjelaskan perbedaan penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab

tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidi dalam surat al-Kahfi.

E. Telaah Pustaka

Sejauh ini belum menemukan penelitian yang berfokus pada Penafsiran

Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam Perspektif Hamka dan M. Quraish

Shihab. Adapun penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah

sebagai berikut:

1. Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir dalam Al-Qur’an¸ skripsi Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1998 yang di tulis oleh Suparman. Penelitian tersebut merupakan sebuah penelitian yang

memfokuskan untuk mengetahui kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an dan untuk mengetaui apa saja hikmah dari kisah tersebut.

Adapun kitab tafsir yang dipakai dalam menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> tersebut ialah Al-Qur’an dan Tafsirnya karya Universitas Islam Indonesia,

(18)

Tafsir Al-Qur’an) karya Bachtiar Surin, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka,

tafsir al-Qur’an al-Majid (an-Nur) karya M. Hasby al-Shiddiqi, dan

Terjemahan Singkat Tafsir Ibn Kathir karya Salim Bahreisy dan Said

Bahreisy. Pada penelitian ini tidak menekankan adanya fokus antara

pemikiran dua tokoh, sehingga penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Suparman.

2. Kisah Perjalanan Studi Nabi Musa dalam Al-Qur’an (QS. Al-Kahfi: 60-82),

skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2001 yang di tulis oleh Khosimah. Tulisan ini memfokuskan pada bagaimana

kisah perjalanan Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam QS. Al-Kahfi ayat 60-82 menurut kecenderungan para mufassir dan apakah hikmah di balik perjalanan studi Nabi Mu>sa> tersebut.

Adapun kitab yang dipakai dalam menafsirkan kisah perjalanan studi

Nabi Mu>sa> tersebut ialah tafsir al-Khazin karya Ala‟uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, tafsir al-Qur’an al-‘Azim karya Abi al-fida‟ al-Hafidz ibn Kathir al-Dimasyqi, tafsir al-Munir karya Wahbah

Zuhaili, fi dzila> al-Qur’a>n karya Sayyid Qut}ub tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustofa al-Maraghi, tafsir al-Qur’an al-Majid (an-Nur) karya M.

Hasby al-Shiddiqi, dan al-Asas fi al-Tafsir karya Sa‟id Hawa.

Selain menafsirkan dengan memberikan penafsiran dari berbagai

(19)

Qut}ub. Disana tidak dijelaskan perbandingan penafsiran di antara dua mufassir yang dijadikan opini tentang perjalanan studi Nabi Mu>sa> tersebut, sehingga penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Khosimah.

3. Kisah Nabi Musa AS dalam Perspektif Studi Stilistika Al-Qur’an, skripsi

Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2010

yang di tulis oleh Moh. Fahrur Rozi. Penelitian ini terfokus untuk mengetahui gaya pemaparan kisah Nabi Mu>sa> AS dalam Al-Qur‟an dalam perspektif studi stilistika Al-Qur‟an dan bagaimana pengulangan daripada kisah Nabi Mu>sa> AS dalam Al-Qur‟an. Moh. Fahrur Rozi tidak memanfaatkan kitab tafsir yang ada dalam penelitian yang dilakukannya.

4. Nilai-nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir; Analisis

Surat al-Kahfi Ayat 60-82, skripsi Pendidikan Agama Islam Fakultas

Tarbiyah IAIN Wali Songo Semarang tahun 2006. Penelitian ini

memfokuskan pada nilai-nilai pendidikan dalam pandangan pendidikan Islam dan yang terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 60-82.

Sepengetahuan penulis, belum ada yang meneliti secara rinci atau spesifik

(20)

F. Metodologi Penelitian

1. Model dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah penelitian

kualitatif, yaitu suatu pendekatan penelitian yang menghasilkan data

deskriptif tentang Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam perspektif Hamka dan M. Quraish Shihab.17

Penelitian ini merupakan penelitian non-empirik yang menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Dimana sumber-sumber datanya dipeoleh dari buku, jurnal, penelitian terdahulu dan literatur-literatur

lain yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.18

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber, yaitu sumber data primer dan

sekunder.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah rujukan utama yang akan dipakai, yaitu

al-Qur’a>n al-Kari>m, Tafsir al-Azhar karya Abdul Malik Abdul Karim

Amrullah dan tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an

17

Lihat Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 4.

18

(21)

karya M. Quraish Shihab. Karena, objek utama dalam penelitian ini adalah teks al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 66-82 dan perbandingan penafsiran antara dua tokoh tafsir tersebut.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber sekunder yang merupakan sebagai pelengkap dalam penelitian ini diantaranya:

1) Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Abi> al-Fida>‟ Isma>„i>l bin „Umar bin Kathi>r al-Qurshiyy al-Dimashqi.

2) Ulumul Qur’an karya Abdul Djalal.

3) Maba>h}ith fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n karya Manna>„ al-Qat}t}a>n.

4) Memahami Al-Qur’an; Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin

karya M. Ridlwan Nasir.

5) Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nashruddin Baidan.

6)

Kamus Bahasa Indonesia karya Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.

7) Dan karya-karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan objek

penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode

(22)

atauvariable terkait penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang sebelumnya telah dipersiapkan.19

4. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh adalah menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode deskriptif, yaitu menggambarkan keadaan atau status fenomena.20 Maksudnya adalah menggambarkan bagaimana kedua mufasir

menafsirkan kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surat al -Kahfi ayat 66-82.

2. Metode komparatif, yaitu membandingkan persamaan dan perbedaan pandangan orang terhadap kasus, peristiwa, ide-ide seseorangatau dalam

hal ini membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an.21 Terutama anatara penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat 66-82.

Setelah semua data terkumpul, baik primer maupun sekunder

diklasifikasikan dan di analisis sesuai dengan sub-bahasan masing-masing secara objektif.

19

Lihat Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi

(Bidang Ilmu Agama Islam) (Jakarta: Logos, 1998), 60-61.

20

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1993), 211.

21

(23)

G. Sistematika Pembahasan

Karya ilmiah ini terdiri dari empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, yang isinya mencakup latar belakang

masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sitematika pembahasan.

Bab kedua menjelaskan tentang kisah-kisah dalam al-Qur‟an. Di dalamnya meliputi pengertian kisah, macam-macam kisah dalam al-Qur‟an, teknik pemaparan kisah, tujuan adanya kisah, dan karakteristik kisah dalam al-Qur‟an.

Bab ketiga adalah penafsiran kisah nabi Mu>sa> dan nabi Khidir menurut Hamka dan M. Quraish Shihab. dalam baba tiga ini terdiri dari ayat dan terjemah,

penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang kisah nabi Mu>sa> dan nabi Khidir dalam surat al-Kahfi ayat 66-82, sebuah analisis yang berisi tentang

persamaan kedua mufasir dalam menafsirkan kisah tersebut dan perbedaaan kedua mufasir dalam menafsirkan kisah tersebut.

(24)

16

KISAH-KISAH DALAM AL-QUR

AN

Kisah merupakan suatu metode pembelajaran yang ternyata memiliki daya tarik tersendiri yang dapat menyentuh perasaan dan kejiwaan serta daya pikir

seseorang. Kisah memiliki fungsi edukatif yang sangat berharga dalam suatu proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam. Islam menyadari sifat alamiah manusia

yang menyenangi seni dan keindahan. Sifat alamiah tersebut mampu memberikan pengalaman emosional yang mendalam dan dapat menghilangkan kebosanan serta kejenuhan dan menimbulkan kesan yang sangat mendalam. Oleh karena itu, Islam

menjadikan kisah sebagai salah satu metode dalam sebuah pembelajaran.1

Suatu peristiwa yang berkaitan dengan sebab dan akibat dapat menarik

perhatian para pendengar. Apabila dalam peristiwa tersebut terselip berbagai pesan dan pelajaran yang berkaitan dengan berita orang terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan sebuah peristiwa ke

dalam hati seseorang. Perlu diketahui, nasihat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak akan mampu menarik perhatian akal. Bahkan semua isinya

tidak akan mudah untuk dipahami. Akan tetapi, jika nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan, maka akan terwujud dengan jelas tujuannya. Orang akan merasa senang mendengar dan

1

(25)

memperhatikan dengan penuh kerinduan serta rasa ingin tahu. Pada gilirannya ia akan terpengaruh dengan nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.2

A. Pengertian Kisah

Dan dia (ibunya Mu>sa>) berkata kepada saudara Mu>sa> perempuan, “Ikutilah dia (Mu>sa>).”5

Sungguh, ini adalah kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain Allah.6

2Manna>„ Al-Qat}t}a>n,

Maba>h}ith fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n (t.k.t.: Maktabah Wahbah, 2000), 300.

3

Lihat Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), 293-294.

4

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 302.

5

Ibid., 387.

6

(26)



Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.7

Menurut istilah, qas}as} al-Qur’a>n adalah pemberitaan al-Qur‟an tentang hal ihwal umat yang lalu, kenabian yang terdahulu, dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur‟an banyak mengandung kejadian pada masa lalu, sejarah berbagai bangsa, Negeri, dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.8

B. Macam-macam Kisah dalam al-Qur’an

Kisah dalam al-Qur‟an memiliki berbagai macam kategorinya. Di antaranya ialah menceritakan para Nabi dan umat terdahulu, mengisahkan berbagai macam peristiwa dan keadaan dari masa lampau, masa kini, ataupun

masa yang akan datang. Pembagian kisah ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi waktu dan materi.9

7Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an,

Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:

CV Darus Sunah, 2011), 249.

8Al-Qat}t}a>n,

Maba>h}ith, 300.

9

(27)

a. Ditinjau dari Segi Waktu

Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur‟an, maka dapat di bagi menjadi tiga macam. Tiga macam kisah tersebut

ialah sebagai berikut:

a) Kisah ghaib pada masa lalu

Kisah ghaib pada masa lalu ialah kisah yang menceritakan

kejadian-kejadian ghaib yang sudah tidak bisa di tangkap oleh panca

indera yang terjadi pada masa lampau, seperti kisah Maryam (surat A<li „Imra>n [03]: 44), kisah Nabi Nu>h{ (surat Hu>d [11]: 25-49), dan kisah as}ha>b al-Kahf (surat al-Kahf [18]: 10-26).10

b) Kisah ghaib pada masa kini

Kisah ghaib pada masa kini adalah kisah yang menerangkan keghaiban pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan yang menyingkap

rahasia orang-orang munafik, seperti kisah yang menerangkan kaum munafik (surat at-Taubah [09]: 107), kisah yang menerangkan keadaan

manusia saat terjadinya hari akhir (surat al-Qa>ri„ah [101]: 1-6), dan pencabutan nyawa manusia oleh para malaikat (surat an-Na>zi„a>t [79]: 1-9).11

10

Djalal, Ulumul Qur’an, 296-297.

11

(28)

c) Kisah ghaib pada masa yang akan datang

Kisah ghaib pada masa yang akan datang ialah kisah-kisah yang

menceritakan beberapa peristiwa yang akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur‟an. Kemudian peristiwa tersebut benar -benar terjadi. Oleh karena itu, pada masa sekarang merupakan peristiwa yang di kisahkan telah terjadi, seperti jaminan Allah SWT. terhadap

keselamatan Nabi Muh}ammad SAW. dari penganiayaan orang –banyak orang yang mengancam akan membunuhnya pada saat itu– (surat al-Ma>‟idah [05]: 64), kemenangan bangsa Romawi atas Persia (surat ar-Ru>m [30]: 1-4), dan kebenaran mimpi Nabi SAW. yang dapat masuk Masjidil Haram bersama para sahabat dalam keadaan sebagian dari

mereka bercukur rambut dan yang lain tidak (surat al-Fath} [48]: 27).12

b. Ditinjau dari Segi Materi

Jika ditinjau dari segi materi yang diceritakan, maka kisah al-Qur‟an di bagi menjadi tiga macam, yaitu:

a) Kisah para Nabi, tahapan dan perkembangan dakwahnya, berbagai mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang

memusuhinya, dan akibat-akibat yang di terima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakannya, seperti kisah Nabi

Mu>sa (surat al-Ma>‟idah [05]: 21-26; T{a>ha> [20]: 57-73; dan al-Qas}as} [28]:

12

(29)

7-35), kisah Nabi „Isa (surat al-Ma>‟idah [05]: 110-120), dan kisah Nabi Ibra>hi>m (as}-S{affa>t [37]:38-99).

b) Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan sekelompok manusia

tertentu, seperti kisah umat Nabi Mu>sa> yang memotong sapi (surat al-Baqarah [02]: 67-73, kisah Qa>ru>n yang mengkufuri nikmat (surat al-Qas}as} [28]:76-81), kisah Maryam [surat Maryam [19] 16-30), kisah as}ha>b al-Kahf (surat al-Kahf [18]: 10-26), dan kisah T{a>lu>t (surat al-Baqarah [02]: 246-252).

c) Kisah peristiwa dan kejadian pada masa Rsulullah SAW, seperti Perang

Badar dan Uhud (surat A<li „Imra>n), Perang Hunain dan Tabuk (surat at-Taubah), dan perjalanan Isra‟ Mi„raj Nabi Muh}ammad SAW. (surat al-Isra>‟).13

C. Teknik Pemaparan Kisah

Pemaparan kisah dalam al-Qur‟an memiliki cara yang spesifik, salah satunya ialah aspek seni. Di samping aspek seni, perhatian aspek-aspek

keagamaan sangat mendominasi di dalam kisah. Teknik pemaparan ini dapat di pilah-pilah, seperti berawal dari kesimpulan, ringkasan cerita, adegan klimaks, tanpa pendahuluan, adanya keterlibatan imajinasi manusia, dan penyisipan nasihat

keagamaan.14

13Must}afa Muh}ammad Sulaima>n,

al-Qis}s}ah fi al-Qur’a>n al-Kari>m wa Thara H{aula> min

Syabbaha> wa ar-Radd ‘Alaiha>(Mesir: Mat}ba„ al-Amanah, 1994), 21-22.

14

(30)

a. Berawal dari sebuah Kesimpulan

Di antara berbagai kisah yang dipaparkan dalam al-Qur‟an, ada yang di mulai dari kesimpulan. Kemudian di ikuti dengan perinciannya, yaitu dari fragmen15 pertama hingga fragmen terakhir. Sebagai contoh adalah kisah

Nabi Yusuf yang di awali dengan mimpi dan di pilihnya Nabi Yusuf sebagai Nabi [QS. 12:6-7]. Kemudian dilanjutkan dengan fragmen pertama, yaitu

Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya [ayat 8-20]. Fragmen kedua, Nabi Yusuf di Mesir [ayat 21-33]. Fragmen ketiga, Nabi Yusuf di penjara [ayat 34-53]. Fragmen keempat, Nabi Yusuf mendapat kepercayaan dari raja [ayat

54-57]. Fragmen kelima, Nabi Yusuf bertemu dengan saudara-saudaranya [ayat 58-93]. Fragmen keenam, Nabi Yusuf bertemu dengan orangtuanya [ayat

94-101].16

b. Berawal dari sebuah Ringkasan Kisah

Dalam hal ini kisah di mulai dari ringkasan, kemudian di ikuti dengan rincian dari awal hingga akhir. Kisah yang menggunakan pola ini antara lain

asha>b al-Kahfi dalam surat al-Kahfi yang di mulai dengan ringkasan secara

garis besar.

15

Dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia, kata fragmen diartikan sebagai cuplikan atau petikan (dari sebuah cerita, lakon dan sebagainya). Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 418.

16

(31)



(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini). Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).17

Demikian ringkasan kisah asha>b al-Kahfi. Kemudian dalam ayat selanjutnya diceritakan rinciannya, yaitu dalam ayat 14-16 tentang latar belakang mengapa mereka masuk gua. Pada ayat 17-18 menceritakan

keadaan mereka di dalam gua. Pada ayat 19-20 menceritakan saat mereka bangun dari tidur. Pada ayat 21 menjelaskan tentang sikap penduduk kota

setelah mengetahui mereka. Terakhir, pada ayat 22 menceritakan perselisihan penduduk kota tentang jumlah pemuda-pemuda tersebut.18

c. Berawal dari sebuah Adegan yang paling Penting

Pola pemaparan kisah lainnya dalam al-Qur‟an adalah kisah yang berawal dari adegan klimaks. Kemudian dikisahkan rinciannya dari awal

hingga akhir. Kisah yang menggunakan pola ini antara lain kisah Nabi Mu>sa> dengan Fir„aun dalam surat al-Qas}as}.

17

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 295.

18Lihat Sayyid Qut}b,

(32)

 benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).19

Itulah awal kisah yang menjadi adegan klimasknya, yaitu tentang keganasan Fir„aun. Kemudian di kisahkan secara rinci mulai Nabi Mu>sa> AS. dilahirkan dan dibesarkan [ayat 7-13]. Pada ayat 14-19 menceritakan ketika ia

dewasa. Ayat 20-22 tentang meninggalnya (Nabi Mu>sa>) di Mesir. Ayat 23-28 menceritakan pertemuannya dengan dua anak perempuan. Ayat 29-32

menceritakan Nabi Mu>sa> mendapatkan wahyu dari Allah SWT. untuk menyeru Fir„aun. Ayat 33-37 menceritakan pengangkatan Harun sebagai

pembantunya. Ayat 38-42 menceritakan tentang kesombongan dan keganasan Fir„aun. Terkahir menceritakan tentang Nabi Mu>sa> yang mendapatkan wahyu (Taurat), terdapat pada ayat 43.20

Dengan dipilihnya pola pertama, kedua, dan ketiga ini pembaca atau

pendengar dapat mengetahui terlebih dahulu gambaran secara umum tentang

19

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 386.

20

(33)

suatu kisah. Selain itu mendorong mereka untuk segera mengetahui rinciannya.

d. Tanpa Pendahuluan

Pada umumnya kata-kata pendahuluan digunakan pada berbagai kisah

dalam al-Qur‟an. Apakah itu dengan menggunakan pola pertama, kedua, ketiga, atau dengan bentuk pertanyaan. Sebagai contoh kisah tentara bergajah

pada surat al-Fi>l [105] ayat 1-5 di dahului dengan pertanyaan, “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah.” Kemudian kisah Nabi Ibrahi>m AS. dengan malaikat dalam surat al-Dha>riya>t [51] ayat 24-30 juga di mulai dengan pertanyaan, “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahi>m (malaikat) yang dimuliakan?” Selain itu, kisah Nabi Mu>sa> AS. dalam surat al-Na>zi„a>t [79] ayat 15-26 juga di mulai dengan sebuah pertanyaan, “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah Mu>sa>?”21

Meskipun demikian, terdapat juga beberapa kisah yang tidak didahului pendahuluan. Tetapi kisah tersebut di mulai secara langsung dari inti materi.

Sebagai contohnya adalah kisahnya Nabi Mu>sa> AS. mencari ilmu dalam surat al-Kahfi [18] ayat 60-82. Dalam kisah tersebut dijelaskan secara langsung ke inti materi kisah, tanpa didahului dengan pendahuluan.22

Sekalipun pemaran kisah di atas tanpa di mulai pendahuluan. Di

dalamnya dimuat dialog atau peristiwa yang mengandung minat pembaca

21

Lihat Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, 70.

22

(34)

atau pendengar untuk mengetahui kisah tersebut sampai tuntas. Pada kisah

Nabi Mu>sa> AS ditampilkan adegan Nabi Khidir melubangi perahu yang di tumpanginya [ayat 71]. Selanjutnya Nabi Khidir membunuh seorang pemuda

[ayat 74] dan Nabi Khidir membetulkan dinding rumah –yang masyarakatnya sangat pelit– [ayat 77]. Pembaca atau pendengar kisah akan terus bertanya-tanya mengapa Nabi Khidir berbuat demikian. Perbertanya-tanyaan itu baru terjawab pada akhir kisah tersebut.23

e. Keterlibatan Imajinasi Manusia

Kisah dalam al-Qur‟an banyak yang di susun secara garis besarnya. Adapun kelengkapannya diserahkan kepada imajinasi manusia. Menurut

penelitian W. Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Qur’an, al-Qur‟an di susun dalam ragam bahasa lisan (oral). Untuk

memahaminya hendaklah dipergunakan (tambahan) daya imajinasi yang

dapat melengkapi gerakan yang dilukiskan oleh lafal-lafalnya. Ayat-ayat yang mengandung unsur bahasa ini, jika dibaca dengan penyertaan dramatic action

yang tepat, niscaya akan dapat membantu pemahaman. Sebenarnya, gambaran dramatika yang berkualitas ini merupakan ciri khas gaya bahasa al-Qur‟an.24

Lihat Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, 70-71.

24

(35)

Dan (ingatlah), ketika Ibra>hi>m meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Isma>„i>l (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui.”25

Pada kalimat wa idh yarfa‘ Ibra>hi>m al-Qa>‘id min al-bait wa Isma>‘i>l dalam imajinasi seseorang tergambar suatu pentas yang terdiri dari dua tokoh,

yaitu Ibra>hi>m dan Isma>„i>l. Dengan background Baitullah (Ka‟bah).26

Adegan di mulai dengan pemasangan batu oleh seorang tukang

bernama Ibra>hi>m. Dalam pemasangan batu itu digunakan campuran yang bagus. Imajinasi ini tergambar dari kalimat wa idh yarfa‘ Ibra>hi>m al-Qa>‘id

min al-bait. Isma>„i>l berperan sebagai laden tergambarkan sedang mencari

batu, mengaduk bahan campuran yang dapat merekatkan batu, lalu

memberikannya kepada tukang (Ibra>hi>m). Imajinasi ini tergambar dari peng‘at}afan lafa Isma>„i>l ke lafal Ibra>hi>m yang di antarai oleh lafal al-Qawa>‘id. Kemudian mereka berdoa. Antara susunan kalimat berita dengan doa tidak digunakan kata penghubung ataupun lafal yad‘uwa>n yang dapat menghubungkan doa dengan kalimat berita sebelumnya. Hal ini menggambarkan adegan yang berlangsung itu semacam siaran langsung, sehingga penonton dapat menyaksikan adegan-adegan tersebut secara

hidup.27

25

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 21.

26

Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, 71-72.

27

(36)

f. Penyisipan Nasihat Keagamaan

Pemarapan kisah dalam al-Qur‟an sering sekali disisipi nasihat keagamaan. Nasihat ini antara lain berupa penegasan Allah SWT. dan keharusan percaya adanya kebangkitan manusia dari kubur.28

Adapun contoh dalam pola ini adalah ketika al-Qur‟an menuturkan kisah Nabi Mu>sa> AS. dalam surat T{a>ha> [20], dari ayat 9-98. Di tengah-tengah kisah ini, yaitu pada ayat 50-55 disisipkan tentang kekuasaan Allah SWT,

ilmu-Nya, kemurahan-Nya, dan kebangkitan manusia dari kubur. Kemudian di akhiri dengan pengesaan Allah SWT, pada ayat 98.29

Contoh lainya adalah kisahnya Nabi Yu>suf AS. dalam surat Yu>suf [12] ayat 1-111. Pada kisah ini juga disisipkan ajaran beriman kepada Allah SWT. [ayat 37], tidak mempersekutukann-Nya dan bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya [ayat 38], pahala di akhirat dan Allah adalah Maha Penyayang

[ayat 64], Allah akan mengangkat derajat orang yang dikehendaki-Nya dan di akhiri dengan penjelasan bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman [ayat 111].30

Dengan demikian, tema sentral dari ayat-ayat yang memuat kisah dalam al-Qur‟an adalah kisah para Nabi dan umat terdahulu. Namun, secara perlahan, para pembaca atau pendengar digiring ke berbagai ajaran agama

28

Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, 72.

29

Lihat ibid., 72.

30

(37)

yang bersifat universal. Hal ini bisa dijadikan bukti bahwa komitmen kisah dalam al-Qur‟an terhadap tujuan keagamaan sangat tinggi sekali.31

D. Tujuan Kisah

Tujuan kisah dalam al-Qur‟an menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur‟an sangat sesuai dengan kondisi mereka. Karena sejak kecil sampai dewasa dan tua sangat suka dengan kisah. Apalagi jika kisah itu memiliki tujuan

yang ganda, yakni di samping pengajaran dan pendidikan juga berfungsi sebagai hiburan. Bahkan di samping tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut

diungkapkan dalam bahasa yang sangat indah dan menarik. Menjadikan orang yang mendengar dan membacanya sangat menikmatinya.32

Pengungkapan yang demikian sengaja Allah buat dengan tujuan yang amat

mulia, yakni menyeru umat ke jalan yang benar demi keselamatan dan kebahagian mereka di dunia dan akhirat. Apabila di kaji secara saksama, maka diperoleh

gambaran bahwa dalam garis besarnya tujuan pengungkapan kisah dalam al-Qur‟an ada dua macam, yaitu tujuan pokok dan tujuan sekunder.33

Menurut Nashruddin Baidan, maksud dari tujuan pokok ialah merealisir

tujuan umum yang dibawa oleh al-Qur‟an untuk menyeru dan memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar. Agar mereka selamat di dunia dan akhirat.34

Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki menyatakan bahwa kisah dalam al-Qur‟an

31

Qalyubi, Stilistika al-Qur’an, 73.

32

Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 230.

33

Ibid.

34

(38)

mempunyai tujuan yang tinggi. Tujuan tersebut ialah menanamkan nasihat dan pelajaran yang dapat di ambil dari peristiwa masa lalu.35

Sedangkan yang di maksud dengan tujuan sekunder kisah dalam al-Qur‟an adalah:

1. Untuk menetapkan bahwa Nabi Muh}ammad SAW. benar-benar menerima wahyu dari Allah, bukan berasal dari orang-orang ahli kitab seperti Yahudi dan Nasrani. Hal ini dapat di lihat dari firman-Nya surat A<li „Imra>n ayat 44, Yu>suf ayat 10, dan T{a>ha> ayat 99.36

2. Untuk pelajaran bagi umat manusia. Hal ini tampak dalam dua aspek. Pertama, menjelaskan besarnya kekuasaan Allah dan kekuatan-Nya,

memperlihatkan bermacam-macam azab dan siksaan yang pernah ditimpakan kepada umat-umat terdahulu akibat kesombongan, keangkuhan, dan

pembangkangan terhadap kebenaran.37

Aspek kedua ialah menggambarkan kepada manusia bahwa misi agama yang di bawa oleh para Nabi sejak dulu sampai sekarang adalah sama. Misi

tersebut ialah mentauhidkan Allah dimanapun ia berada. Kaidah tauhid yang disampikannya tidaklah berbeda satu sama lain dan tidak pula berubah sedikit

pun.38

3. Membuat jiwa Rasululla>h Muh}ammad SAW. tenteram dan tegar dalam berdakwah. Dengan dikisahkan kepadanya berbagai bentuk keingkaran dan

35

Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an, ter. Nur Faizin, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), 46.

36

Baidan, Wawasan Baru, 231-232.

37

Ibid., 232.

38

(39)

kedurhakaan yang dilakukan oleh umat-umat di masa silam terhadap para

Nabi dan ajaran-ajaran yang di bawa mereka. Maka Nabi Muh}ammad SAW. merasa lega karena apa yang dialaminya dari bermacam-macam cobaan,

ancaman, dan siksaan dalam berdakwah juga pernah dirasakan oleh para Nabi sebelumnya. Bahkan cobaan tersebut terasa lebih keras dan kejam daripada

yang dialami Nabi SAW.39

Dengan demikian, akan timbul imajinasi dalam dirinya bahwa kesukaran tersebut tidak hanya dia yang merasakannya. Melainkan para Nabi

sebelumnya juga merasakannya dan bahkan ada di antara mereka yang di bunuh oleh kaumnya, seperti Nabi Zakariya, Yahya, dan lain sebagainya.40

Selain itu, mereka tetap sabar dan ulet serta tetap semangat dalam menyeru umat ke jalan yang benar. Oleh karena itu, Allah SWT. menasihati Nabi

Muh}ammad SAW. agar senantiasa bersikap sabar dan berlapang dada dalam menghadapi berbagai halangan dan hambatan yang ditujukan oleh umat

kepadanya.41

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.42

39Ahmad Must}afa> al-Mara>ghi>,

Tafsi>r al-Mara>ghi>(Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), juz I, 132.

40al-Mara>ghi>,

Tafsi>r al-Mara>ghi>, 132.

41

Baidan, Wawasan Baru, 236.

42

(40)

4. Mengkritik para ahli kitab terhadap berbagai keterangan yang mereka

sembunyikan tentang kebenaran Nabi Muh}ammad SAW. dengan mengubah isi kitab mereka. Oleh karena itu al-Qur‟an menantang mereka supaya mengemukakan kitab Taurat dan membacanya jika benar, seperti tercantum dalam surat A<li „Imra>n ayat 93.43

5. Menanamkan pendidikan akhlak al-Karimah dan mempraktikkannya. Karena

keterangan kisah-kisah yang baik itu dapat meresap dalam hati nurani dengan mudah dan baik. Selain itu dapat mendidik seseorang untuk meneladani yang baik dan menghindari yang buruk.44

E. Karakteristik Kisah-kisah dalam Al-Qur’an

Kisah al-Qur‟an memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan cerita dan dongeng pada umumnya. Karakteristik yang di maksud adalah sebagai berikut:

1. Gaya bahasanya indah, mempesona, dan sederhana, sehingga mudah dipahami dan mampu mengundang rasa penasaran para pembaca untuk

mengetahuinya secara lengkap. Hal ini di dukung oleh penyampaian kisah Qur‟ani yang biasanya di awali dengan tuntutan, ancaman, atau peringatan

akan suatu bahaya. Kadang-kadang sebelum sampai pada pemecahannya,

masalah-masalah tersebut berakumulasi dengan tuntutan atau masalah lain. Demikian itu menjadikan kisah sebagai jalinan cerita yang kompleks,

43

Baidan, Wawasan Baru, 237.

44

(41)

membuat pembaca menjadi semakin penasaran dan ingin segera mencapai penyelesaian.45

2. Materinya bersifat universal, sesuai dengan sejarah perkembangan kehidupan manusia dari masa ke masa, sehingga menyentuh hati nurani pembaca di

setiap masa. Kisah-kisah dalam al-Qur‟an bukanlah kisah yang asing bagi manusia. Sebab settingnya bukan alam malaikat, melainkan dunia, dan menampilkan realitas hidup manusia.46

3. Materinya hidup, aktual, mampu menerangi jalan menuju masa depan yang cemerlang, tidak membosankan, dan mampu menggugah emosi pembaca.47

4. Kebenarannya dapat dibuktikan secara filosofis dan ilmiah melalui bukti-bukti sejarah.48

Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami

Itu adalah sebahagian dan berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.50

45

Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 239.

46

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 175.

47S{ala>h al-Kha>lidi,

Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang terdahulu

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 301-327.

48Novita Siswayanti, “Dimensi Edukatif pada Kisah

-kisah Al-Qur‟an,” Jurnal Kajian

Al-Qur’an dan Kebudayaan, Vol. 3 No. 1 (2010), 73.

49

(42)

  

 

 

     

 

Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.51

5. Penyajiannya tidak pernah lepas dari dialog yang dinamis dan rasional, sehingga merangsang pembaca untuk berpikir.

50

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 234.

51

(43)

35

PENAFSIRAN AYAT KISAH NABI MU

<

SA

<

DAN NABI KHIDIR

MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH SHIHAB

(44)



Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan

kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi)

petunjuk?” Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar

bersamaku. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun.” Dia (Khidir) berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu

apapun, sampai akau menerangkannya kepadamu.” Maka berjalanlah keduanya,

hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu, dia (Khidir) melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” Dia (Khidir) berkata, “Bukankah aku sudah mengatakan bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?” Dia (Musa) berkata, “Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan anak muda, maka dia (Khidir) membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.” Dia (Khidir) berkata, “Bukankah aku sudah mengatakan bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?” Dia

(Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka

(45)

Tuhanmu. Apa yang aku perbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”1

B. Penafsiran Hamka

a. Biografi Singkat Hamka

Hamka merupakan nama singkat dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Tanah Sirah, Sungai

Batang yang terletak di tepi danau Maninjau pada tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal tanggal 23 Juli 1981 di Jakarta.2 Hamka lahir dari keluarga

yang taat beragama, yaitu dari pasangan suami istri Haji Abdul Karim Amrullah dan Siti Safiyah. Ayahnya dikenal sebagai Haji Rasul, seorang

pelopor Gerakan Islah (tajdi>d) di Minangkabau.3

Haji Abdul Karim Amrullah sangat berharap agar Hamka menuruti jejak para leluhurnya, yakni menjadi seorang ulama. Dia mengajari Hamka pendidikan al-Qur‟an di rumah. Kemudian ia dimasukkan ke Sekolah Desa ketika berusia 7 tahun. Pada usia 9 tahun, Hamka berpindah sekolah di Sekolah Diniyah yang didirikan oleh sahabat ayahnya, yaitu guru kedua

Hamka yang bernama Zainudin Labay el Yunus. Di usia ini juga Hamka dibesarkan dan dididik oleh Syeikh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Hamka mendapat pendidikan dasar di Sekolah Dasar Maninjau sampai kelas dua.

Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera

1

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 302-303.

2

M. Abdul Manar, Pemikiran Hamka; Kajian Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Prima Aksara, 1993), 32.

3

(46)

Thawalib di Padang Panjang. Di sini Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di

surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus

Hadikusumo.4

Hamka lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, kesusasteraan,

sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka sangat terkesan dengan harapan dan keperibadian ayahnya. Ketika ayahnya

memasukkannya ke Sekolah T{awalib, justru menjadikan Hamka cepat bosan dalam belajar. Karena sistem pendidikannya merupakan sebuah pendidikan klasik. Selain itu, perceraian yang disebabkan adat, antara ayah dan ibunya turut menjadikan Hamka bersikap kritis dengan adat Minangkabau. Hal ini

menjadikan Hamka memberontak kepada ayahnya yang kemudian menjauhkan dirinya pergi ke tanah Jawa untuk tinggal dengan ayah saudara

tirinya, yaitu Ja‟far Amrullah.5

Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Di tanah Jawa ia mempelajari gerakan Islam

modern dari Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH.

Fakhfuddin. Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo,

4

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, 99.

5

(47)

Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, dia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya yang bernama Ahmad Rasyid Sutan

Mansur. Pada waktu itu Ahmad Rasyid Sutan Mansur menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini Hamka berkenalan dengan

tokoh-tokoh ulama setempat. Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padang Panjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.6

Pada bulan Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk

menunaikan ibadah haji dan bermukim ± 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air

dengan tujuan Medan. Disana ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan.7

Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,

Abbas Al-‟Aqqad, Must}afa Al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arabnya, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, seperti Albert Camus, William James, Freud, Tonybee, Jean Sartre, Karl Marx dan

Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta (HOS Cokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto,

6

Yunan, Corak Pemikiran Kalam, 101.

7

(48)

Haji Fakhrudin) sambil mengasah ketrampilannya, sehingga menjadi seorang orator yang handal.8

Tahun 1928, Hamka menjadi ketua cabang Muhammadiyah di cabang Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan da‟i

Muhammadiyah, dua tahun kemudian dia menjadi penasehat organisasi yang didirikan Muhammad Dahlan tersebut di Makasar. Tidak lama kemudian, Hamka terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera

Barat pada Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Dia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres

Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1957, Menteri Agama Indonesia Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua

umum Majlis Ulama Indonesia. Namun, dia kemudian mengundurkan diri pada tahun 1981 karena fatwanya dikesampingkan oleh pemerintah

Indonesia.9 Disebutkan dalam Ensiklopedi Muhammadiyah, fatwa tersebut adalah tentang perayaan Natal bersama. MUI menentang perayaan Natal bersama yang dipelopori oleh pemerinta.10

b. Karya-karya Hamka

Meskipun Hamka mempunyai aktifitas yang sangat padat, ia cukup produktif dalam menghasilkan karya-karya tulis, diantaranya Khatibul

8

Yunan, Corak Pemikiran Kalam, 78.

9

Ibid.

10

(49)

Ummah, Pembela Islam (1929), Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929), Kepentingan Melakukan Tabligh (1929), Hikmat Isra‟ dan Mikraj, Revolusi Agama (1946), Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950), Mengembara di Lembah Nil (1950), Ditepi Sungai Dajlah (1950), Kenangan-kenangan Hidup (4

series, Hamka‟s autobiography) (1950), Sejarah Ummat Islam /Sejarah Umat Islam edisi Baru tulisan dan kajian Prof Dr.Hamka (4 seri), 1001 Soal Hidup (1950), Pelajaran Agama Islam (1956), Sayid Jamaluddin Al-Afghani (1965),

Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri) (1963), Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968), Falsafah Ideologi Islam (1950), Keadilan Sosial

Dalam Islam (1950), Studi Islam (1973), Himpunan Khutbah-khutbah, Muhammadiyah di Minangkabau (1975), Pandangan Hidup Muslim (1960), Kedudukan perempuan dalam Islam (1973), Tafsir Al-Azhar, Falsafah hidup,

dan Falsafah ketuhanan.11

c. Penafsiran Hamka tentang Kisah Nabi Mu>sa> dan Nabi Khidir dalam Surat al-Kahfi Ayat 66-82

1. Ayat 66-70

Setelah bertemu dengan seorang di antara banyak hamba Allah yang

dianugerahi rahmat.12 Kemudian Nabi Mu>sa> menegur hamba Allah itu

11

http://ibnubahr.wordpress.com/2012/09/06/al-azhar-vs-al-misbah/ di akses 03 Mei 2014.

12

Lihat pada ayat 65 surat al-Kahfi.

Rahmat paling tinggi yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya ialah rahmat

ma‘rifat, yaitu kenal akan Allah, dekat dengan Tuhan, sehingga hidup mereka berbeda

(50)

dengan penuh hormat.13 Sebagaimana yang telah dipaparkan pada firman-Nya ayat 66.

Suatu pertanyaan yang di susun sedemikian rupa sehingga saat Nabi

Mu>sa> menyediakan diri sebagai murid dan mengakui di hadapan gurunya tentang banyak hal yang belum dia mengerti. Maka dia mengharapkan

kelebihan ilmu gurunya untuk diterangkan kepadanya sampai dia mengerti sebagai murid yang setia.14

Pada pangkal ayat 67 tidak dijelaskan secara spesifik siapakah guru

Nabi Mu>sa>. Akan tetapi, pada beberapa hadis disebutkan bahwa guru Mu>sa> bernama Khidir. Kebanyakan para ahli tafsir juga membawakan hadis tersebut dalam tafsirannya15

Sayyid Qut}b –pengarang kitab tafsir fi> z}ila>lil qur’a>n– tidak menyebut

Khidir ketika menafsirkan ayat ini. Dia hanya menyebut hamba Allah yang

saleh. Dia berpendirian demikian karena di dalam ayat itu tidak menyebut

nama Khidir. Maka Sayyid Qut}b merasa lebih baik jalan cerita yang penuh misteri dan rahasia itu dibiarkan dalam keghaibannya dan supaya tidak di tambah lagi dengan berbagai cerita yang lain. Menurutnya cerita lain itu terkadang telah tercampur dengan dongeng atau cerita Israiliyat yang akal

sehat tidak dapat mempertanggungjawabkannya.16

13Tidaklah heran jika Nabi Mu>sa> langsung menegurnya dengan penuh hormat. Hal ini

dikarenakan pancaran nur I<la>hi> dalam dirinya. Kemudian membuat Nabi Mu>sa> saat pertama kali melihat orang itu, ia telah mengetahui dan merasakan bahwa orang itulah yang di suruh Tuhan untuk mencarinya.

14

Hamka, Tafsir al-Azhar, 232.

15

Lihat ibid.

16

(51)

Setelah Nabi Mu>sa> berjumpa dengan guru yang dicarinya dan menyatakan kesediaannya untuk belajar dan menjadi murid. Justru Nabi

Mu>sa> mendapat sambutan yang mengejutkan hatinya dari perkataan guru yang ia jumpai. Sambutan gurunya adalah sesungguhnya engkau tidak akan

sanggup jika engkau berkeinginan menjadi muridku. Karena engkau tidak akan bersabar saat berjalan dan mengikutiku kemanapun aku pergi.17

Dengan perkataan seperti ini, guru kelihatannya telah mengenal akan jiwa muridnya. Meskipun baru pertama kali bertemu. Hal ini dikarenakan teropong dari ilmu laduni18 yang ia miliki. Kebanyakan orang yang telah

membaca kisah Nabi Mu>sa> di dalam al-Quran, pasti sudah mengetahui bahwa Nabi Mu>sa> mempunyai sikap jiwa yang mudah marah dan spontan. Oleh sebab itu guru tersebut telah menyatakan dari permulaan bertemu bahwa muridnya tidak akan sabar mengikutinya.19

        

“Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”20

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa ucapan guru itu merupakan sebuah sindiran yang sangat halus akan jiwa murid yang baru ia kenal.

Sebagaimana diketahui, sikap Nabi Mu>sa> adalah keras, mudah marah, dan

17

Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, 232.

18

Ilmu laduni ialah ilmu yang langsung diterima dan diajarkan langsung oleh Allah SWT.

19

Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, 233.

20

(52)

spontan ketika melihat suatu kejadian yang tidak sesuai dengan

pengetahuannya. Dari sini sikap (tabiat) pengeras Nabi Mu>sa> selama ini mendapat teguran yang pertama. Meskipun demikian, berkat Nu>r Nubuwwat yang memancar dari dalam rohaninya menjadikan ia tidak mundur untuk

belajar karena teguran tersebut. Bahkan ia berjanji untuk bersabar dan dapat menahan dirinya (emosinya) untuk dapat menerima bimbingan dari

gurunya.21

  

 

... 

Dia (Mu>sa>) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar.”22

Perkataan Nabi Mu>sa> di atas menunjukkan bahwa telah mengakui untuk patuh. Meskipun demikian, sebagaimana seorang manusia yang insaf

akan kelemahan dirinya dan kebesaran Tuhannya, maka dicantumkannya kata Insya Alla>h. Setelah berjanji untk bersabar sebagai diri pribadinya, maka sebagai seorang murid ia juga harus berjanji di hadapan gurunya bahwa ia

akan bersabar sesuai dengan yang diminta gurunya.23

 ...

   

Dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun.”24

21

Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, 233.

22Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:

CV Darus Sunah, 2011), 302.

23

Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, 233.

24

Referensi

Dokumen terkait

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian penambahan tepung porang sebagai pengemulsi pada keju olahan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur, intensitas

Penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari responden kepada kepala Desa, Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan orang yang melaksanakan tradisi nyuguh

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diameter umbi, panjang umbi, jumlah anakan, berat umbi dan berat total umbi

Bank Rakyat Indonesia KCP Bahu melakukan analisis kredit untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah sehingga akan mempengaruhi profit bank analisis yang di gunakan

Sesuai dengan teori identifikasi meskipun dalam kenyataan secara fisik partai politik tidak bisa melakukan perbuatan dan partai politik tidak memiliki sikap batin seperti

kelapa sawit milik petani Desa Pagaruyung disetiap tahapan yang dilalui TBS pada proses pasca panen kehilangan produksi berupa brondolan (di lahan), buah mentah

Dengan demikian bahwa dampak kemampuan inkuiri guru terhadap hasil belajar keterampilan proses sains siswa pada materi perubahan lingkungan fisik antara yang

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah dijabarkan pada BAB IV, diperoleh simpulan bahwa penerapan media alat bantu tali dan audio visual sangat baik