• Tidak ada hasil yang ditemukan

pemberian bobot pada masing-masing kategori pun sama (33.33). Penentuan nilai kelas (kolom 4) dihitung berdasarkan nilai urutan kelas dibagi dengan nilai urutan kelas maksimum. Adapun Nilai pada kolom 6 diperoleh dengan mengalikan kolom 2, kolom 4, dan kolom 5.

Untuk penentuan kelas kapasitas terlebih dahulu ditentukan nilai interval kelas kapasitas berdasarkan jumlah kelas yang ditentukan dengan menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999):

Nilai interval kelas kapasitas = nilai tertinggi – nilai terendah Jumlah kelas

Dalam penelitian ini, peta kapasitas dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas kapasitas, diantaranya: (i) sangat rendah (zona kelas kapasitas sangat rendah); (ii) rendah (zona kelas kapasitas rendah); (iii) sedang (zona kelas kapasitas menengah); (iv) tinggi (zona kelas kapasitas tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas kapasitas sangat tinggi). Dengan menggunakan persamaan tersebut di atas maka perhitungan nilai interval kelas kapasitas adalah sebagai berikut:

Nilai interval kelas kapasitas = 100 – 20 5 = 16

Klasifikasi kelas kapasitas berdasarkan nilai interval kelas, disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Klasifikasi kelas kapasitas

Kelas Kapasitas Nilai Keterangan

1 < 36 Kapasitas sangat rendah

2 >36 – 52 Kapasitas rendah

3 >52 – 68 Kapasitas sedang

4 >68 – 84 Kapasitas tinggi

5 >84 Kapasitas sangat tinggi

Pembuatan Peta Konsistensi Penggunaan Lahan

Data yang digunakan dalam pembuatan peta konsistensi penggunaan lahan, meliputi peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 dan peta Penggunaan Lahan (Bappeda Kabupaten Bogor Tahun 2010). Operasi tumpang tindih dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks antara penggunaan lahan yang terjadi terhadap pola ruang. Analisis konsistensi (kesesuaian isi) pada matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat dihindari kesalahan dalam analisis. Tahapan pembuatan peta konsistensi dapat dilihat pada diagram alir tahapan penelitian (Gambar 8 terdahulu).

40

Arahan Penataan Ruang

Arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor dirumuskan dengan melihat keterkaitan antara penataan ruang dengan sebaran daerah bahaya longsor, pola penggunaan lahan, dan sebaran daerah risiko longsor yang dianalisis dengan menggunakan: (1) operasi tumpang tindih (SIG) antara peta bahaya longsor dengan peta rencana pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 untuk melihat aspek perencanaan penataan ruang, (2) konsistensi penggunaan lahan untuk melihat aspek pemanfaatan ruang, dan (3) operasi tumpang tindih (SIG) antara peta risiko longsor dengan peta rencana pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 untuk melihat aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Pada tahap ini pembahasan dilakukan secara deskriptif.

41

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian

Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dalam penelitian ini dibuat dari peta kontur dengan interval 12.5 meter yang diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000. Kelas kemiringan lereng dibedakan menjadi 5 kelas, yaitu kelas kemiringan lereng 0% - 8% (datar hingga landai), kelas kemiringan lereng 8% - 15% (agak curam), kelas kemiringan lereng 15% - 30% (curam), kelas kemiringan lereng 30% - 45% (sangat curam), dan kelas kemiringan lereng diatas 45% (terjal). Peta kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Peta kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulu

Berdasarkan Gambar 10, dapat diketahui bahwa kemiringan lereng terjal (> 45%) banyak ditemukan di kawasan lereng atas Gunung Pangrango (52.87%), kemudian di kawasan pegunungan Gunung Kencana dan Gunung Limo (28.59%) dan sebagian kecil berada di kawasan Gunung Gegerbentan (18.54%), adapun kelas kemiringan lereng landai (0 – 8%) lebih banyak ditemukan di kawasan lereng bawah Gunung Pangrango (60.27%) dan di perbukitan Gunung Kencana dan Gunung Limo (12.23%). Berdasarkan Gambar 11, luas wilayah tertinggi

berada pada kelas kemiringan lereng curam (15% - 30%) dengan luas wilayah ±4 341 ha atau sekitar 33% dari luas daerah penelitian, sedangkan luas wilayah

terendah berada pada kelas kemiringan lereng landai yaitu ±1 925 ha atau sekitar 14% dari luas daerah penelitian.

42

(a) Luas (ha) berdasarkan kelas

kemiringan lereng (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas kemiringan lereng Gambar 11 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas

kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta kemiringan lereng)

Iklim

Berdasarkan peta curah hujan yang bersumber dari Badan Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Ciliwung-Cisadane, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, curah hujan di DAS Ciliwung Hulu masuk dalam kategori curah hujan sedang, yaitu sekitar 5 –10 mm/jam atau 20 ‐ 50 mm/hari (Gambar 12) dengan perbedaan bulan basah dan kering yang sangat besar yaitu 10,9 bulan basah dan 0,9 bulan kering (Rezainy 2011).

43

Geologi

Berdasarkan Peta Geologi yang bersumber dari Puslitbang Geologi Bandung, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). DAS Ciliwung hulu dibangun oleh formasi geologi vulkanik (Gambar 13). Terdapat tiga jenis formasi geologi vulkanik yaitu:

- Qvpo, batuan vulkanik dari gunung Pangrango

- Qvk3, batuan vulkanik dari gunung Gede/Gunung Kencana dan Limo - Qvba, batuan vulkanik yang merupakan basal dari gunung Gegerbentan.

Gambar 13 Peta geologi DAS Ciliwung Hulu

Sifat fisik dan keteknikan untuk masing-masing formasi geologi di DAS Ciliwung Hulu adalah sebagai berikut (Suhari et al. 1991 dalam Dewi 2010): - Batuan volkanik G. Pangrango (Qvpo)

Endapan breksi volkanik hasil erupsi Gunung Pangrango terdiri dari kerikil sampai bongkah yang tertanam dalam masa dasar tufa berbutir pasir, sifatnya lepas. Batuan ini agak sulit dipotong atau digali, sehingga untuk penggalian atau pemotongan skala besar diperlukan peralatan mekanik.

- Breksi volkanik dan lava G. Kencana dan G. Limo (Qvk3)

Sifat fisik dan keteknikan breksi volkanik dan lava hampir sama, sifatnya padu dan keras. Batuan menunjukkan sifat kaku dan keras sehingga pemotongan atau penggalian dalam skala besar harus menggunakan peralatan mekanik.

- Lava Basal dari G. Gegerbentan (Qvba)

Pada kelompok ini lava berasal dari gunung Gegerbentan. Tufa umumnya telah lapuk menjadi lempung atau lempung pasiran tebal yang sifatnya cukup padu namun lunak. Batuan menunjukkan sifat lunak, sehingga mudah digali atau dipotong dengan peralatan sederhana.

44

Jenis Tanah

Berdasarkan peta tanah skala 1:50.000 (PUSLITANAK, 1992), jenis tanah di DAS Ciliwung Hulu umumnya terbentuk dari bahan induk tuff andesit dan abu volkan, dan hanya sebagian kecil yang berbahan induk pasir volkan dan alluvium. Sebaran bahan induk di DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Peta bahan induk DAS Ciliwung Hulu

Tanah di DAS Ciliwung Hulu, dijumpai dalam 4 ordo tanah, di antaranya adalah Ordo: Andisol, Entisol, Inseptisol, dan Ultisol. Keempat ordo ini menurunkan 9 Great group (jenis tanah) dan 11 Sub-group (macam tanah).

Andisol berasal dari hasil pelapukan bahan induk volkan yang menghasilkan bahan amorf. Bahan amorf ini terdiri atas alofan, ferrihidrit, dan senyawa kompleks humus-aluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam dan dikenali seperti terasa berminyak karena mengandung bahan organik yang tinggi. Andisol banyak ditemukan di daerah berelevasi tinggi atau lereng atas dan umumnya berada dalam bentuk Konsosiasi Typic Hapludands, dan Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments.

Entisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai tingkat perkembangan relatif baru. Di DAS Ciliwung Hulu, Entisol dijumpai dalam bentuk kompleks Typic Troporthents-Typic Fluvaquents.

Inceptisol merupakan tanah yang mulai berkembang tetapi belum matang. Tanah ini ditandai dengan perkembangan profil yang lemah dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Inceptisol di DAS Ciliwung Hulu dijumpai dalam bentuk Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts, Konsosiasi Typic Dystropepts dan Konsosiasi Typic Eutropepts.

Ultisol merupakan tanah yang memiliki horison argilik yang terbentuk di daerah dengan bahan induk yang berumur lebih tua. Ultisol di DAS Ciliwung

45 Hulu dijumpai dalam bentuk konsosiasi Typic Hapludults. Sebaran dari masing- masing ordo tanah dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Peta Ordo tanah DAS Ciliwung Hulu

Berdasarkan Gambar 15, Ordo Inceptisol dan Andisol mendominasi di DAS Ciliwung Hulu. Ordo Inceptisol menempati luas wilayah tertinggi yaitu ±6 054 ha atau sekitar 46% dari luas wilayah keseluruhan, sedangkan Ordo Entisol menempati luas wilayah terendah yaitu ± 166 ha atau sekitar 1% dari luas wilayah keseluruhan. Luas dan persentase masing-masing Ordo tanah dapat dilihat pada Gambar 16.

(a) Luas berdasarkan Ordo tanah (b) Luas persentase (%) berdasarkan Ordo tanah

Gambar 16 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan Ordo tanah di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta tanah PUSLITANAK, 1992)

46

Bentuklahan

Berdasarkan hasil penelitian bentuklahan (landform) yang telah dilakukan, luas dan persentase klasifikasi bentuklahan di DAS Ciliwung Hulu dapat dilihat pada Tabel 17, sedangkan sebaran bentuklahan dapat dilihat pada Gambar 17.

Tabel 17 Luas dan persentase klasifikasi bentuklahan di DAS Ciliwung Hulu

Simbol Keterangan Luas (ha) %

VDg1 Kerucut vulkano denudasional Gunung Gegerbentan, tertoreh lemah 561.52 4.25

VDg Kawah denudasional Gunung Gegerbentan 350.12 2.65

VDk2 Perbukitan vulkano denudasional Gunung Kencana, tertoreh sedang 767.25 5.81

VDk3 Pegunungan vulkano denudasional Gunung Kencana, tertoreh kuat 4 212.94 31.91

Vpp1 Lereng puncak kerucut vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh lemah 967.35 7.33

Vpp2 Lereng puncak kerucut vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh sedang 241.12 1.83

Vpa1 Lereng atas vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh lemah 448.85 3.40

Vpa2 Lereng atas vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh sedang 259.85 1.97

Vpt2 Lereng tengah vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh sedang 1 005.54 7.62

Vpt3 Lereng tengah vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh kuat 680.57 5.16

Vpb1 Lereng bawah vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh lemah 592.76 4.49

Vpb2 Lereng bawah vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh sedang 1 352.60 10.25

Vpb3 Lereng bawah vulkanik Gunung Pangrango, tertoreh kuat 539.81 4.09

Vplt Lembah lereng tengah vulkanik Gunung Pangrango 614.51 4.66

Vplb Lembah lereng bawah vulkanik Gunung Pangrango 606.07 4.59

Gambar 17 Peta bentuklahan DAS Ciliwung Hulu

Dari Tabel 17 dan Gambar 17, terlihat bahwa bentuklahan yang paling mendominasi di DAS Ciliwung Hulu adalah bentuklahan pegunungan vulkano

47 denudasional Gunung Kencana tertoreh kuat (VDk3), yaitu dengan luas wilayah ±4 211.94 ha atau sekitar 31.91% dari luas daerah penelitian. Adapun bentuklahan lereng puncak kerucut vulkanik Gunung Pangrango yang tertoreh sedang (Vpp2) merupakan bentuklahan yang memiliki luas wilayah terkecil ±241.12 ha atau sekitar 1.83% dari luas daerah penelitian.

Pengunaan Lahan

Berdasarkan peta penggunaan lahan dari Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2010, jenis penggunaan lahan yang ada di DAS Ciliwung Hulu terdiri dari hutan, kebun, ladang/tegalan, pemukiman, sawah, semak belukar dan tubuh air (Gambar 18).

Gambar 18 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2010

Berdasarkan peta tersebut, penggunaan lahan paling dominan di DAS Ciliwung Hulu adalah hutan, yaitu seluas ±5 263 ha atau sekitar 40% dari luas daerah penelitian. Hal tersebut karena DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah konservasi air yang berfungsi memberikan perlindungan bagi daerah di bawahnya, seperti Kota Bogor dan DKI Jakarta. Kebun serta ladang/tegalan menempati urutan luasan kedua dan ketiga, yaitu ± 2 742 ha dan ±2 654 ha atau sekitar 21% dan 20% dari total luas daerah penelitian, dan permukiman menempati luasan keempat yaitu ±1 525 ha atau sekitar 11% dari total luas daerah penelitian. Luasan permukiman ini relatif cukup tinggi jika mengingat bahwa DAS Ciliwung Hulu seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan pertanian. Luas dari masing-masing penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 19.

48

(a) Luas (ha) jenis penggunaan lahan

DAS Ciliwung Hulu (b) Luas penggunaan lahan DAS Ciliwung persentase (%) jenis Hulu

Gambar 19 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta penggunaan lahan Kabupaten Bogor tahun 2010)

Sosial Demografi Penduduk

Berdasarkan data BPS (2011b, 2011c, 2011d), jumlah penduduk di DAS Ciliwung Hulu khususnya di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung yang masuk di DAS Ciliwung Hulu adalah ±206 598 jiwa dengan kepadatan penduduk ±61 886 jiwa/Km2. Jumlah penduduk yang paling banyak terdapat di Desa Cipayung Datar, Kecamatan Megamendung, yaitu ±22 911 jiwa atau sekitar 11.4% dari jumlah penduduk total, sedangkan bagian dari Desa Bojong Murni Kecamatan Ciawi yang masuk pada daerah penelitian ini, tidak memiliki penduduk karena wilayahnya berupa hutan. Kepadatan penduduk yang paling tinggi berada di Desa Cilember, Kecamatan Cisarua dengan kepadatan ±4 848 jiwa/Km2, selanjutnya Desa Leuwimalang, Kecamatan Cisarua, dengan kepadatan ±4 671 jiwa/Km2, dan Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua dengan kepadatan ±4 492 jiwa/Km2 (Gambar 20 dan Gambar 21).

Gambar 20 Jumlah penduduk per desa di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari data BPS 2011b, 2011c, 2011d)

49

Gambar 21 Kepadatan penduduk per desa di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari data BPS 2011b, 2011c, 2011d)

Pendidikan

Pendidikan di DAS Ciliwung Hulu, berdasarkan data BPS (2011b, 2011c, 2011d), didominasi oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan dasar/tidak sekolah yaitu sekitar 59%, kemudian tingkat pendidikan menengah (SMP dan SMA) sekitar 39%, dan terakhir tingkat pendidikan tinggi sekitar 2%. Persentase tingkat pendidikan secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Persentase tingkat pendidikan di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari data BPS 2011b, 2011c, 2011d)

Mata Pencaharian Utama

Berdasarkan data BPS (2011a), mata pencaharian utama (dominan) penduduk di DAS Ciliwung Hulu dikelompokkan ke dalam 7 jenis mata pencaharian utama, yaitu: pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, pedagang besar/ecaran dan rumah makan, angkutan dan pergudangan komunikasi, jasa-jasa, dan lainnya (PNS, ABRI, POLRI, dan lain-lain). Jenis mata pencaharian utama untuk tiap desa dapat lihat pada Tabel 18.

50

Tabel 18 Jenis mata pencaharian utama di DAS Ciliwung Hulu

No Desa Jenis Mata Pencaharian Utama

1 Bojong Murni -

2 Pandansari Industri/pengolahan

3 Citeko Pedagang

4 Cibeureum Jasa

5 Tugu Selatan Jasa

6 Tugu Utara Petani

7 Batu Layang Petani

8 Cisarua Pedagang 9 Kopo Lainnya 10 Leuwimalang Jasa 11 Jogjogan Petani 12 Cilember Petani 13 Sukaresmi Petani 14 Sukagalih Petani 15 Kuta Petani 16 Sukakarya Petani 17 Sukamanah Petani 18 Sukamaju Petani 19 Gadog Lainnya

20 Cipayung Datar Lainnya

21 Cipayung Girang Jasa

22 Megamendung Lainnya

Sumber diolah dari data BPS (2011a)

Rencana Tata Ruang Wilayah

Batasan lokasi penelitian untuk menganalisis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di DAS Ciliwung Hulu, meliputi Kecamatan-Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua yang ada di Kabupaten Bogor. Dengan demikian, RTRW DAS Ciliwung Hulu berpedoman pada RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. RTRW Kabupaten Bogor telah diperdakan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten pada tahun 2008 dengan No. 19/2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor (Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor 2008b).

Berdasarkan Peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 DAS Ciliwung Hulu memiliki 10 peruntukan lahan yang terbagi ke dalam dua tipe kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

Peruntukan lahan yang termasuk di dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi, sedangkan peruntukan lahan yang termasuk kawasan budidaya, yaitu kawasan perkebunan, kawasan pertanian lahan kering, kawasan tanaman tahunan, kawasan permukiman perkotaan (hunian rendah), kawasan permukiman perkotaan (hunian sedang),

51 kawasan permukiman perdesaan (hunian rendah), dan kawasan permukiman perdesaan (hunian jarang). Peta pola ruang RTRW kabupaten Bogor 2005-2025 disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Peta pola ruang DAS Ciliwung Hulu

Berdasarkan peta pola ruang RTRW 2005-2025, peruntukkan lahan yang

paling dominan di DAS Ciliwung Hulu adalah kawasan hutan lindung yaitu ±4 826.76 ha atau sekitar 37% dari luas daerah penelitian dan peruntukkan lahan

yang paling kecil adalah kawasan hutan produksi yaitu ± 29.84 ha atau sekitar 0.23% dari luas daerah penelitian (Gambar 24).

(a) Luas (ha) peruntukkan lahan DAS

Ciliwung Hulu (b) Luas persentase (%) peruntukkan lahan DAS Ciliwung Hulu Gambar 24 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) peruntukkan lahan DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025)

52

Berdasar pengertian pada Perda Kabupaten Bogor No. 19/2008 (Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor 2008b) tentang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005- 2025, Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan permukiman perdesaan di luar kawasan yang berfungsi lindung, adalah kawasan untuk permukiman/hunian kepadatan rendah yang mendukung kegiatan jasa perdagangan dan industri berbasis bahan baku lokal dan berorientasi tenaga kerja. Kawasan permukiman perdesaan yang berada didalam kawasan lidung di luar kawasan hutan diarahkan untuk hunian kepadatan rendah (jarang), bangunan yang tidak memiliki beban berat terhadap tanah, dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa maupun terhadap potensi lingkungannya (pertanian, peternakan, kehutanan, pariwisata/agrowisata). Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan permukiman perkotaan kepadatan sedang diarahkan untuk permukiman/hunian sedang, industri berbasis tenaga kerja non polutan, jasa, dan perdagangan. Kawasan permukiman perkotaan kepadatan rendah merupakan kawasan permukiman perkotaan yang berada dalam kawasan lindung di luar kawasan hutan, yang diarahkan untuk hunian rendah sampai sangat rendah/jarang, merupakan bangunan tunggal, yang berorientasi terhadap lingkungannya (pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan, agrowisata dan pariwisata) melalui rekayasa teknologi dan serta bangunan yang tidak memiliki beban berat terhadap tanah. Kawasan Pertanian Lahan Kering (LK) dapat berupa sawah tadah hujan dan lahan yang tidak berpengairan irigasi.

53

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahaya Longsor

Seperti telah diuraikan pada metode penelitian, analisis bahaya longsor yang dilakukan dalam penelitian ini memakai tiga model pendugaan, yaitu dari Tim sebelas, DVMBG, dan dari Penulis. Selanjutnya dipilih yang terbaik sesuai dengan kondisi lapangan dan peta bahaya terpilih akan digunakan untuk analisis risiko longsor.

Bahaya Longsor Berdasarkan Model Pendugaan Tim Sebelas

Tim Sebelas merupakan tim yang beranggotakan 11 orang, terdiri atas para ahli lingkungan dari berbagai institusi, termasuk akademisi (IPB), swasta, LSM dan media massa (Nurhayati 2009). Model pendugaan Tim Sebelas digunakan untuk menganalisis bencana longsor yang terjadi di Gunung Mandalawangi Kabupaten Garut. Pada model pendugaan Tim Sebelas, curah hujan merupakan parameter penyebab longsor yang paling berpengaruh dibandingkan dengan parameter lainnya, seperti lereng, penggunaan lahan, geologi dan jenis tanah. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian bobot terbesar pada parameter curah hujan yaitu sebesar 40%, kemudian lereng 30%, dan penggunaan lahan, tanah dan geologi mempunyai bobot yang sama, masing-masing 10%. Hasil analisis dengan menggunakan metode Tim Sebelas disajikan pada Gambar 25 dan Gambar 26.

(a) Luas (ha) kelas bahaya longsor (b) Luas persentase (%) kelas bahaya longsor

Gambar 25 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas bahaya longsor dengan model pendugaan Tim Sebelas

Dari Gambar 25, terlihat bahwa DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah yang memiliki kelas bahaya longsor bervariasi dari sangat rendah sampai dengan tinggi, namun dengan metode ini tidak terdapat kelas bahaya longsor sangat

tinggi. Luas wilayah tertinggi berada pada kelas bahaya longsor sedang, yaitu ±8 104 ha atau 61.39 % dari luas keseluruhan daerah penelitian (±13 200 ha),

kemudian kelas bahaya longsor rendah 23.07% (±3 045 ha), kelas bahaya longsor

tinggi 15.51% (±2 047 ha), dan kelas bahaya longsor sangat rendah 0.03% (±4 ha).

Berdasarkan peta bahaya longsor yang dihasilkan (Gambar 26) terlihat bahwa bahaya kelas tinggi tersebar di lereng-lereng atas (upper slopes) dari DAS, kelas sedang tersebar hampir merata di dalam DAS, sedangkan kelas rendah dan

54

sangat rendah menempati lereng-lereng bawah (lower slopes) DAS, atau dengan kata lain hampir berada pada lereng-lereng datar hingga agak miring.

Gambar 26 Peta bahaya longsor berdasarkan model pendugaan Tim Sebelas

Bahaya Longsor Berdasarkan Model Pendugaan DVMBG

Model pendugaan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) telah digunakan untuk menganalisis 8 kejadian tanah longsor di Jawa Barat (Nurhayati 2009). Pada model ini parameter yang menjadi paling berpengaruh terhadap terjadinya bahaya longsor sama dengan parameter yang digunakan oleh Tim Sebelas, yaitu curah hujan dengan bobot 30%, kemudian geologi dengan bobot 20%, jenis tanah dengan bobot 20%, penggunaan lahan dengan bobot 15%, dan lereng dengan bobot 15%. Dari hasil analisis yang telah dilakukan melalui operasi tumpang tindih (overlay) diperoleh hasil seperti yang tersaji pada Gambar 27 dan Gambar 28.

(a)Luas (Ha) kelas bahaya longsor (b) Luas persentase (%) kelas bahaya longsor

Gambar 27 (a) Luas (Ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas bahaya longsor dengan model pendugaan DVMBG

55 Dari Gambar 27, terlihat bahwa DAS Ciliwung Hulu memiliki kelas bahaya longsor berkisar dari rendah sampai dengan tinggi, dimana untuk kelas bahaya sangat rendah dan sangat tinggi tidak ada. Luas wilayah terbesar berada pada kelas bahaya longsor sedang, yaitu ±9 002 ha atau 68.20 % dari luas keseluruhan daerah penelitian (±13 200 ha), kemudian kelas bahaya longsor tinggi 23.80% (±3 141 ha), dan kelas bahaya longsor rendah 8.00% (±1 056 ha).

Berdasarkan peta bahaya longsor yang diperoleh (Gambar 28), terlihat bahwa untuk kelas bahaya tinggi persebarannya lebih terkonsentrasi pada lereng- lereng atas (upper slopes) di bagian Selatan, kelas bahaya sedang tersebar agak merata di semua lereng, sedangkan kelas bahaya rendah tersebar agak terbatas pada lereng-lereng bagian bawah (lower slopes) dari DAS.

Gambar 28 Peta bahaya longsor berdasarkan model pendugaan DVMBG

Bahaya Longsor Berdasarkan Model Pendugaan Hasil Rumusan Peneliti

Model pendugaan hasil rumusan peneliti (penulis) menggunakan parameter kemiringan lereng sebagai parameter pertama yang berpengaruh terhadap bahaya longsor, ditentukan dengan pemberian bobot sebesar 33%, kemudian kedalaman tanah 27%, jenis batuan permukaan 20%, curah hujan 13%, dan penggunaan lahan 7%. Berdasarkan hasil analisis dari metode ini didapatkan hasil kelas bahaya longsor seperti yang tersaji pada Gambar 29 dan Gambar 30.

Dari Gambar 29, terlihat bahwa dengan model ini DAS Ciliwung Hulu memiliki kelas bahaya longsor bervariasi, dari kelas rendah sampai dengan kelas sangat tinggi, sedangkan untuk kelas sangat rendah tidak ada. Luas wilayah tertinggi berada pada kelas bahaya longsor sedang, yaitu ±7 245 ha atau 54.89 % dari luas keseluruhan daerah penelitian (±13 200 ha), kemudian kelas bahaya

56

longsor tinggi 34.77% (±4 590 ha), kelas bahaya longsor rendah 10.08% (±1 330 ha), dan kelas bahaya longsor sangat tinggi 0.27% (±35 ha).

(a) Luas (ha) kelas bahaya longsor (b) Luas persentase (%) kelas bahaya longsor

Gambar 29 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas bahaya longsor dengan model pendugaan hasil rumusan peneliti

Berdasarkan peta bahaya longsor (Gambar 30), terlihat bahwa kelas bahaya tinggi persebarannya relatif berada mengelilingi di hampir semua lereng atas (upper slopes) dari DAS, kelas bahaya sedang cukup merata di hampir semua bagian lereng DAS, kelas bahaya rendah secara dominan berada pada lereng bagian bawah (lower slopes) DAS dan sebagian kecil berada pada bagian lereng- lereng tengah dan atas, sedangkan kelas bahaya sangat tinggi hanya terdapat pada salah satu bagian dari lembah sungai besar di sisi Barat dari DAS.

Gambar 30 Peta bahaya longsor berdasarkan model pendugaan hasil rumusan peneliti

57

Pemilihan Peta Bahaya Longsor Dari Berbagai Model Pendugaan

Berdasarkan ketiga hasil analisis dan pemetaan di atas, selanjutnya

Dokumen terkait