• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of landslide hazard and risk in the upstream of Ciliwung Watershed and its relationship with spatial planning

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of landslide hazard and risk in the upstream of Ciliwung Watershed and its relationship with spatial planning"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO LONGSOR

DI DAS CILIWUNG HULU DAN KETERKAITANNYA

DENGAN PENATAAN RUANG

RATU VIVI SILVIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Bahaya dan Risiko Longsor di DAS Ciliwung Hulu dan Keterkaitannya dengan Penataan Ruang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

RATU VIVI SILVIANI. Analisis Bahaya dan Risiko Longsor di DAS Ciliwung Hulu dan keterkaitannya dengan Penataan Ruang. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan KUKUH MURTILAKSONO.

Geomorfologi DAS Ciliwung Hulu dicirikan dengan relief perbukitan dan pegunungan yang dibentuk oleh proses vulkanik. Lereng-lereng curam yang mendominasi wilayah ini serta tingginya tingkat aktivitas manusia yang tercermin dari perubahan penggunaan lahan yang dinamis, menyebabkan DAS Ciliwung Hulu menjadi daerah bahaya longsor. Beberapa kejadian longsor terus terjadi di musim penghujan di setiap tahunnya yang menimbulkan banyak kerugian. Hal ini menyiratkan bahwa penanggulangan bahaya dan risiko longsor dari pemerintah tampak belum optimal.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis dan memetakan daerah bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan beberapa model pendugaan; (2) Menganalisis dan memetakan daerah risiko longsor berdasarkan tingkat bahaya longsor, kerentanan masyarakat dan kapasitas wilayah di DAS Ciliwung Hulu; (3) Menganalisis konsistensi penggunaan lahan dengan peta pola ruang (RTRW); dan (4) Merumuskan arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor.

Metode analisis yang digunakan meliputi analisis spasial, analisis atribut dan analisis deskriptif. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan skor dan bobot untuk setiap parameter, yang selanjutnya di klasifikasikan ke dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Semakin tinggi skor dan bobot, maka pengaruhnya akan semakin tinggi terhadap kejadian longsor, begitu juga sebaliknya. Analisis spasial dan atribut meliputi pembuatan peta bahaya longsor, peta kerentanan, peta kapasitas, peta risiko longsor, dan peta konsistensi penggunaan lahan. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kaitan antara penataan ruang dengan bahaya longsor, konsistensi, dan risiko longsor.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa DAS Ciliwung Hulu memiliki: (1) kelas bahaya longsor cukup variatif, mulai dari kelas bahaya longsor rendah sampai dengan sangat tinggi, dengan persentase terbesar berada pada kelas bahaya sedang (54.89%); (2) kelas kerentanan masyarakat yang sangat variatif, mulai dari kelas kerentanan sangat rendah sampai dengan sangat tinggi, didominasi oleh kelas kerentanan sedang (53.25%); (3) kelas kapasitas daerah penelitian tergolong tinggi dan sangat tinggi; (4) kelas risiko longsor yang hampir menyebar secara merata pada kelas sangat rendah (39.75%), rendah (32.02%), dan sedang (27.16%); (5) peruntukan lahan (RTRW) yang masih berada pada kelas bahaya dan risiko longsor sedang hingga sangat tinggi; dan (6) tingkat konsistensi penggunaan lahan terhadap RTRW masih rendah (69,22%).

(5)

SUMMARY

RATU VIVI SILVIANI. Analysis of Landslide Hazard and Risk in the Upstream of Ciliwung Watershed and its Relationship with Spatial Planning. Supervised by BOEDI TJAHJONO and KUKUH MURTILAKSONO.

The upstream of Ciliwung watershed geomorphology was characterized by hills and mountains relief which were formed by volcanic processes. The steep slopes dominating the region and the high rate of human activities reflected by the dynamic land use change had turned the upstream of Ciliwung watershed region into landslide hazard area. Some landslide cases continue to occur in the rainy season every year, causing a lot of losses. This indicates that the mitigation of landslide hazard and risk by the government has not optimal yet.

This study aims: (1) to analyze and map the landslide hazard in the upstream of Ciliwung watershed based on several estimation models, (2) to analyze and map the landslide risk area based on the level of landslide hazard, the society vulnerability, and the region capacity in the upstream of Ciliwung watershed, (3) to analyze the consistency of land use with spatial planning map, (4) to formulate the spatial plan/spatial arrangement guidance as an attempt to minimize the landslide disaster.

The methods used in this study were spatial analysis, attribute analysis and descriptive analysis. Spatial and attribute analysis were conducted by utilizing geographic information systems (GIS) with the score and weight for each parameter, which is further classified into five classes, namely very low, low, moderate, high, and very high class. The higher the score and the weight, the higher the impact of the landslide cases, and vice versa. Spatial and attribute analysis included the mapping of landslide hazard, the mapping of vulnerability, the mapping of capacity, the mapping of landslide risk and the mapping of land use consistency. Descriptive analysis was performed to determine the relationship between spatial arrangement and landslide hazard, consistency level and landslide risk.

The results of the study showed that the upstream of Ciliwung watershed has: (1) quite varied classes of landslide hazard, ranging from low to very high class, with the largest percentage is at the moderate class (54.89%); (2) very varied classes of society vulnerability, ranging from very low to very high class, dominated by the moderate class (53.25%); (3) high and very high region capacity classes; (4) the landslide risk classes which are spread almost evenly in very low class (39.75%), low class (32.02%), and moderate class (27.16%); (5) the land use of spatial plan is still at moderate to very high class of landslide risk and hazard; (6) the level of land use consistency toward spatial plan is still low (69.22%). Keywords: landslide, hazard, risk, vulnerability, capacity, spatial planning, the

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO LONGSOR

DI DAS CILIWUNG HULU DAN KETERKAITANNYA

DENGAN PENATAAN RUANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)

ii

(9)

iii Judul Tesis : Analisis Bahaya dan Risiko Longsor di DAS Ciliwung Hulu dan

Keterkaitannya dengan Penataan Ruang Nama : Ratu Vivi Silviani

NIM : A156110364

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc

Ketua Prof. Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P.Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berupa tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Desember 2012 ini adalah Analisis Bahaya dan Risiko Longsor di DAS Ciliwung Hulu dan Keterkaitannya dengan Penataan Ruang.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya ini, terutama;

1. Dr. Boedi Tjahjono, selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus dan Dr. Khursatul Munibah, M.Sc, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 3. Seluruh staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu

Perencanaan Wilayah IPB.

4. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc, selaku penguji luar komisi.

5. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Keluarga Besar H. TB. Suwardjo dan Keluarga Besar Aris Suprapto (alm), atas segala doa dan didikannya selama ini.

7. Terima kasih yang teramat istimewa kepada suamiku Candra Trikaya dan putri-putriku Nadif Gita Selaras, Falisha Noor Azizah, dan Sabrina Rahman atas dukungan dan doa selama ini.

8. Rekan-rekan PWL Bappenas dan Regular angkatan 2011, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas dukungan dan doanya selama penulisan tesis ini.

Akhirnya semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat. Amin

(11)

v

Daerah Aliran Sungai ... 6

Longsor... 6

Bencana (Disaster) ... 12

Bahaya (Hazard) ... 12

Kerentanan (Vulnerability) ... 13

Kapasitas (Capacity) ... 13

Risiko Bencana (Disaster Risk) ... 13

Penataan Ruang... 15

Sistem Informasi Geografis ... 16

Penelitian Terdahulu ... 17

METODE PENELITIAN ... 19

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19

Ruang Lingkup dan Batasan Lokasi Penelitian ... 19

Peralatan Penelitian ... 20

Pengumpulan Data ... 21

Metode Analisis ... 23

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 41

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian ... 41

Sosial Demografi ... 48

Rencana Tata Ruang Wilayah ... 50

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

Bahaya Longsor ... 53

Kerentanan Masyarakat ... 65

Kapasitas Wilayah ... 68

Risiko Longsor... 69

Konsistensi Penggunaan Lahan ... 71

(12)

vi

SIMPULAN DAN SARAN ... 85

Simpulan ... 85

Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN ... 91

RIWAYAT HIDUP ... 103

(13)

vii

DAFTAR TABEL

1 Luas perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1990, 2001 dan

2010 ... 2

2 Luas wilayah DAS Ciliwung Hulu ... 20

3 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran ... 22

4 Skor parameter bahaya longsor untuk model pendugaan Tim Sebelas dan DVMBG ... 26

5 Skor parameter bahaya longsor untuk model pendugaan hasil rumusan peneliti (penulis) ... 29

6 Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor hasil rumusan peneliti (penulis) ... 30

7 Klasifikasi kelas bahaya longsor berdasarkan model pendugaan Tim Sebelas ... 31

8 Klasifikasi kelas bahaya longsor berdasarkan model pendugaan DVMBG ... 31

9 Klasifikasi kelas bahaya longsor berdasarkan model pendugaan hasil rumusan peneliti ... 31

10 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas ... 32

11 Klasifikasi kelas risiko longsor ... 33

12 Pembobotan dan skoring untuk masing-masing indikator kerentanan pada tingkat desa ... 36

13 Skor dan nilai kerentanan untuk penggunaan lahan ... 37

14 Klasifikasi kelas kerentanan ... 37

15 Kategori isi kuesioner dan bobot untuk masing-masing komponen responden ... 38

16 Klasifikasi kelas kapasitas... 39

17 Luas dan persentase klasifikasi bentuklahan di DAS Ciliwung Hulu ... 46

18 Jenis mata pencaharian utama di DAS Ciliwung Hulu ... 50

19 Sebaran titik longsor pada kelas bahaya berdasarkan model pendugaan .... 57

20 Luas wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor pada masing-masing desa ... 61

21 Luas wilayah bahaya longsor berdasarkan kelas lereng ... 62

22 Luas wilayah bahaya longsor berdasarkan kedalaman tanah ... 63

23 Luas wilayah bahaya longsor berdasarkan jenis batuan permukaan ... 63

24 Luas wilayah bahaya longsor berdasarkan penggunaan lahan ... 64

25 Persentase sebaran bahaya longsor berdasarkan Bentuklahan (landform) ... 65

26 Luas kelas kerentanan pada masing-masing desa... 67

27 Luas dan persentase kelas risiko longsor ... 69

28 Luas wilayah risiko longsor pada masing-masing desa ... 71

29 Inkonsistensi penggunaan lahan saat ini dengan peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) ... 72

(14)

viii

31 Luas desa/kelurahan pada Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) berdasarkan kelas bahaya longsor ... 77 32 Arahan peruntukkan ruang (RTRW) berdasarkan daerah bahaya

longsor ... 79 33 Luas desa/kelurahan pada Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten

(15)

ix

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian... 5

2 Tipe-tipe gerakan longsoran. a. jatuhan (falls), b. robohan (topples), c. longsoran (slides), d. sebaran (spreads) dan e. aliran (flows). (Cruden dan Varnes 1996) ... 7

3 Contoh-contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)... 8

4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975) ... 8

5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975) ... 9

6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati 2005) ... 11

7 Peta administrasi DAS Ciliwung Hulu ... 19

8 Diagram alir tahapan penelitian... 24

9 Komposisi indikator kerentanan tingkat desa ... 33

10 Peta kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulu ... 41

11 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas kemiringan lereng DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta kemiringan lereng) ... 42

12 Peta curah hujan DAS Ciliwung Hulu ... 42

13 Peta geologi DAS Ciliwung Hulu ... 43

14 Peta bahan induk DAS Ciliwung Hulu ... 44

15 Peta Ordo tanah DAS Ciliwung Hulu ... 45

16 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan Ordo tanah di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta tanah PUSLITANAK, 1992) ... 45

17 Peta bentuklahan DAS Ciliwung Hulu ... 46

18 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2010 ... 47

19 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta penggunaan lahan Kabupaten Bogor tahun 2010) ... 48

20 Jumlah penduduk per desa di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari data BPS 2011b, 2011c, 2011d) ... 48

21 Kepadatan penduduk per desa di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari data BPS 2011b, 2011c, 2011d) ... 49

22 Persentase tingkat pendidikan di DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari data BPS 2011b, 2011c, 2011d) ... 49

23 Peta pola ruang DAS Ciliwung Hulu ... 51

24 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) peruntukkan lahan DAS Ciliwung Hulu (sumber diolah dari peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025) ... 51

25 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas bahaya longsor dengan model pendugaan Tim Sebelas ... 53

26 Peta bahaya longsor berdasarkan model pendugaan Tim Sebelas ... 54

27 (a) Luas (Ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas bahaya longsor dengan model pendugaan DVMBG ... 54

(16)

x

29 (a) Luas (ha) dan (b) Luas persentase (%) berdasarkan kelas bahaya

longsor dengan model pendugaan hasil rumusan peneliti... 56

30 Peta bahaya longsor berdasarkan model pendugaan hasil rumusan peneliti ... 56

31 Sebaran titik longsor pada peta bahaya longsor model pendugaan Tim Sebelas ... 57

32 Sebaran titik longsor pada peta bahaya longsor model pendugaan DVMBG ... 58

33 Sebaran titik longsor pada peta bahaya longsor model pendugaan hasil rumusan peneliti ... 58

34 Gambaran titik longsor di lokasi penelitian ... 59

35 Peta kerentanan masyarakat DAS Ciliwung Hulu ... 68

36 Peta kapasitas wilayah DAS Ciliwung Hulu ... 69

37 Peta risiko longsor DAS Ciliwung Hulu ... 70

38 Peta konsistensi penggunaan lahan terhadap peruntukan lahan RTRW DAS Ciliwung Hulu ... 73

(17)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner untuk Masyarakat ... 91

2 Kuesioner untuk Pemerintah Daerah ... 95

3 Data kerentanan ... 99

4 Titik koordinat kejadian tanah longsor di DAS Ciliwung Hulu ... 100

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberadaan Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng IndoAustralia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik, (Ikqra 2012; Mukti 2012) yang bergerak saling menumbuk/konvergen menjadikan negara Indonesia memiliki bentuklahan (landform) yang variatif mulai dari pegunungan, dengan kemiringan lereng yang curam, perbukitan, dataran, hingga wilayah yang landai di sepanjang pantai. Gerak-gerak lempeng tektonik tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai jenis proses geodinamik seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang, yang sebenarnya merupakan peristiwa alam yang terjadi secara periodik. Proses geodinamik ini apabila terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia dan menimbulkan kerugian sosial ekonomi yang tinggi, maka proses tersebut disebut sebagai bencana geologi (Karnawati 2010). Bencana (disaster) menurut Noor (2011), merupakan fungsi dari kondisi yang tidak normal yang terjadi pada masyarakat dan mempunyai kecenderungan kehilangan kehidupannya, harta benda dan lingkungan sumberdayanya, serta kondisi dimana masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk keluar dari dampak/akibat yang ditimbulkannya.

Bencana alam yang sering ditemui di DAS Ciliwung Hulu adalah bencana longsor dan gerakan tanah (Dewi 2010). Gerakan massa tanah/batuan atau sering disebut longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah (Hardiyatmo 2006). Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam dimana alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya. Gangguan ini menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Suryolelono 2002). Bencana longsor selain diakibatkan oleh kondisi fisik wilayah, juga disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pemenuhan kebutuhannya yang tercermin dalam perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya alam.

Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali tanpa mengindahkan kesesuaian atau kemampuan lahannya sering terjadi secara marak di berbagai tempat di Indonesia, jika terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS), maka dapat berdampak buruk bagi kondisi DAS baik di hulu maupun di hilir. Intervensi dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis. DAS Ciliwung yang merupakan salah satu DAS yang ada di Indonesia, yang terletak mulai dari tugu puncak (Hulu DAS) sampai Teluk Jakarta (Outlet DAS), termasuk satu dari beberapa DAS yang tergolong kritis.

(20)

2

2007d) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, DAS Ciliwung Hulu merupakan bagian dari andalan Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR) dengan sektor andalan pariwisata dan agribisnis. Dengan demikian kegiatan ekonomi yang diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan, menjadikan proses konversi lahan di DAS Ciliwung Hulu tidak dapat dihindari.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Holipah (2012), dengan menganalisis perubahan luas penutupan/penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu pada tahun 1990, 2001, dan 2010, menunjukkan bahwa peningkatan luas penutupan/ penggunaan lahan terjadi pada lahan-lahan permukiman, tegalan, dan kebun teh, sedangkan penurunan luas penutupan/penggunaan lahan terjadi pada lahan hutan, semak/belukar, kebun campuran, hutan lebat dan sawah (Tabel 1). Perubahan kondisi ekologis ini tentunya banyak berpengaruh terhadap kerentanan wilayah terhadap proses longsor.

Tabel 1 Luas perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 1990, 2001 dan 2010

Penutupan/

Penggunaan Lahan Luas (ha)

Luas Perubahan penelitian Rezainy (2011), ditemukan setidaknya terdapat 15 titik kejadian longsor yang berada di sekitar permukiman dan jalan raya. Titik-titik longsor tersebut terletak di Desa Citeko, Pensiunan, Hegarsari, Kampung Baru, dan Naringgul yang berlokasi di Kecamatan Cisarua, sedangkan berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor (BPBD 2012) dan data dari Potensi Desa (BPS 2011a), juga menunjukkan terdapat 15 kejadian longsor di DAS Ciliwung Hulu yang tersebar di beberapa desa di antaranya: Bojong Murni, Citeko, Cibeureum, Tugu Selatan, Tugu Utara, Jogjogan, Cilember, Sukaresmi, Kuta, Gadog, Cipayung Datar, dan Cipayung Girang.

(21)

3 Megamendung (Tempo 2013). Kejadian longsor tersebut mengakibatkan 6 orang tewas, 2 orang menderita luka-luka, serta empat rumah dan sebuah rumah ibadah (mushola) rusak berat.

Melihat cukup seringnya kejadian longsor di wilayah tersebut dan besarnya kerugian yang ditimbulkan, maka studi tentang bahaya dan risiko longsor mutlak diperlukan untuk DAS Ciliwung Hulu, agar data dan informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan baik oleh pemerintah maupun para pihak yang berkepentingan dengan perencanaan tata ruang dan penanggulangan bencana.

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi spasial yang mempunyai kemampuan untuk memasukkan, mengelola, memanipulasi dan melakukan analisis data ruang spasial, sehingga dimungkinkan proses tumpang tindih dari berbagai basis data dan informasi yang dikumpulkan melalui peta, citra satelit, maupun survai lapangan. Operasi tumpang tindih (overlay) pada SIG yang disertai pemberian skor dan bobot untuk setiap parameter penyebab longsor, membuat informasi mengenai peta sebaran bahaya dan risiko longsor dapat ditampilkan dengan cepat dan efisien.

Perumusan Masalah

Bencana longsor tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik fisik wilayah tetapi juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang dapat menimbulkan penambahan beban pada lereng sebagai akibat pembukaan hutan, meningkatnya penggunaan lahan untuk permukiman, dan pemotongan tebing/lereng untuk infrastruktur.

Tingginya kejadian longsor di DAS Ciliwung Hulu, terutama pada saat musim penghujan, mencerminkan upaya-upaya pemerintah daerah dalam meminimalkan bahaya longsor masih belum optimal. Hal ini tentunya akan menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat terutama yang bermukim/tinggal pada kawasan bahaya longsor. Oleh karena itu upaya-upaya terencana dan terorganisasi dalam rangkaian meminimalisasi risiko/kerugian akibat bencana sangat diperlukan. Dalam konteks perencanaan dan pembangunan wilayah, upaya penanggulangan risiko longsor memerlukan data dan informasi spasial mengenai karakteristik bahaya longsor (meliputi parameter penyebab longsor), karakteristik risiko longsor (meliputi bahaya, kerentanan masyarakat dan kapasitas wilayah), keserasian atau keselarasan antara perencanaan dan pelaksanaan, serta arahan penataan ruang yang mempertimbangkan sebaran daerah bahaya dan risiko longsor.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, berikut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan riset sebagai berikut:

1. Bagaimana sebaran daerah bahaya dan risiko longsor di DAS Ciliwung Hulu?

2. Bagaimana konsistensi penggunaan lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)?

(22)

4

Kerangka Pemikiran

Kondisi geomorfologi wilayah DAS Ciliwung Hulu yang didominasi oleh relief perbukitan dan pegunungan yang dibentuk oleh proses vulkanik dan kemiringan lereng yang curam (Rezainy 2011), serta tingginya tingkat aktivitas manusia yang tercermin dari perubahan penggunaan lahan yang dinamis, menyebabkan DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah bahaya longsor. Bahaya longsor akan sangat berisiko apabila kerentanan masyarakat terhadap ancaman bahaya longsor tinggi (dari segi sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan) dan kapasitas wilayah dalam menghadapi ancaman bahaya longsor rendah (baik dari sisi masyarakat maupun pemerintah daerah).

Kejadian longsor yang terus terjadi di musim penghujan di setiap tahunnya, menimbulkan banyak kerugian, baik kerugian ekonomi, kerugian harta benda, maupun korban jiwa, menyiratkan bahwa penanggulangan bahaya dan risiko longsor perlu untuk terus dioptimalkan. Kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan mudah dimengerti mengenai bahaya dan risiko longsor bisa menjadi salah satu dari penyebab kondisi tersebut. Oleh karena itu, penyediaan data dan informasi berupa peta bahaya dan risiko longsor maupun tingkat inkonsistensi penggunaan lahan, merupakan hal penting yang harus disediakan untuk dapat menekan dampak yang ditimbulkan oleh kejadian longsor. Selain itu informasi-informasi seperti ini dapat pula dimanfaatkan untuk merumuskan arahan penataan ruang yang lebih baik.

Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam diagram alir Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis dan memetakan daerah bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan beberapa model pendugaan.

2. Menganalisis dan memetakan daerah risiko longsor berdasarkan tingkat bahaya longsor, kerentanan masyarakat, dan kapasitas wilayah di DAS Ciliwung Hulu.

3. Menganalisis konsistensi penggunaan lahan dengan peta pola ruang (RTRW).

4. Merumuskan arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah:

(23)

5 2. Membantu Pemerintah dalam memikirkan perencanaan dan pembangunan

wilayah maupun penyempurnaan tata ruang ke depan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

BAHAYA LONGSOR

RISIKO LONGSOR

BENCANA LONGSOR (Kerugian ekonomi, fisik dan

lingkungan) Tingginya tingkat kerentanan

masyarakat (sosial, ekonomi,fisik,lingkungan)

Rendahnya tingkat kapasitas wilayah (masyarakat dan

pemerintah daerah)

Tindakan Pencegahan/antisipasi

Upaya menekan dampak akibat bencana dengan merumuskan arahan penataan ruang yang aman dan nyaman Kondisi Fisik Wilayah :

Geomorfologi, Kemiringan lereng, tanah, geologi dan curah hujan

Aktivitas manusia: perubahan penggunaan lahan

Penyediaan data dan informasi mengenai: Peta bahaya longsor, peta risiko longsor

tingkat konsistensi penggunaan lahan

(24)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.37/Menhut-V/2010 (Kemenhut 2010) tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang bersifat menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Berdasarkan pada pengertian tersebut, batas-batas permukaan DAS menjadi jelas, dan mudah untuk dibatasi baik di lapangan maupun di dalam peta. Dengan demikian DAS juga merupakan satu unit sistem hidrologi, yaitu satuan daerah pengaliran air mulai dari curah hujan jatuh di permukaan tanah mengalir sampai di titik patusan.

Longsor Definisi Longsor

Longsor adalah suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2007). Noor (2011), mendefinisikan longsoran tanah atau gerakan tanah sebagai proses perpindahan masa batuan/tanah akibat gaya berat (gravitasi), sedangkan Karnawati (2005), mendefinisikan longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan ataupun bahan rombakan yang menuruni lereng. Pada definisi ini lebih ditekankan bahwa gerakan massa tanah/batuan tersebut terjadi akibat terganggunya kestabilan lereng. Proses longsoran atau gerakan massa tanah erat kaitannya dengan proses-proses yang terjadi secara alamiah pada suatu bentang alam.

Tipe-tipe Longsor

Curden dan Varnes (1996), membagi karakteristik gerakan massa/longsor pembentuk lereng menjadi lima macam (Gambar 2), yang meliputi: jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), sebaran (spreads) dan aliran (flows)

(25)

7 temperatur, tekanan air atau penggalian/penggerusan bagian bawah lereng. Contoh-contoh gerakan jatuhan batuan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran. a. jatuhan (falls), b. robohan (topples), c. longsoran (slides), d. sebaran (spreads) dan e. aliran (flows). (Cruden dan Varnes 1996)

b. Robohan (topples) adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang diskontinuitas yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan mengguling hingga roboh dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan adalah air yang mengisi retakan.

c. Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah.

Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan dalam dua jenis, (Gambar 4) yaitu:

- Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotasional slides) mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasional dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: penggelinciran (slips), longsoran rotasional berganda (multiple rotational slides), dan penggelinciran berurutan (successsive slips). - Longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran translasional

(26)

8

berganda (multiple translational slides), dan longsoran sebaran (spreading failurse)

Gambar 3 Contoh-contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975)

(27)

9 e. Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan

mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi pada bidang geser yang relatif sempit. Material yang terbawa aliran dapat terdiri dari berbagai macam partikel tanah (termasuk batu besar), kayu-kayuan, ranting dan lain-lain. Beberapa istilah yang membedakan tipe-tipe aliran, yaitu: aliran tanah (earth flow), aliran lumpur/lanau (mud flow), aliran debris (debris flow) dan aliran longsoran (flow slide), seperti ditunjukan oleh Gambar 5.

Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975)

Noor (2011), mengelompokkan longsoran tanah berdasarkan tipenya menjadi 3 yaitu:

1. Longsoran tanah tipe aliran lambat (slow flowage ) terdiri dari:

- Rayapan tanah (soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng dengan pergerakan yang sangat lambat.

- Rayapan talus (talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material talus/scree dengan pergerakan yang sangat lambat.

- Rayapan batuan (rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-blok batuan dengan pergerakan yang sangat lambat.

- Rayapan batuan glacier (rock-glacier creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari limbah batuan dengan pergerakan yang sangat lambat.

- Solifluction/liquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air.

2. Longsoran tanah tipe aliran cepat (rapid flowage) terdiri dari :

- Aliran lumpur (mud flow): perpindahan dari material lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai.

- Aliran massa tanah dan batuan (earth flow): perpindahan secara cepat dari material debris batuan yang jenuh air.

- Aliran campuran massa tanah dan batuan (debris avalanche): suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal.

3. Longsoran tanah tipe luncuran (landslides) terdiri dari :

(28)

10

- Luncuran dari campuran massa tanah dan batuan (debris slide): luncuran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya.

- Gerakan jatuh bebas dari campuran massa tanah dan batuan (debris fall): adalah luncuran material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi. - Luncuran massa batuan (rock slide): luncuran dari massa batuan melalui

bidang perlapisan, kekar (joint), atau permukaan patahan/sesar.

- Gerakan jatuh bebas massa batuan (rock fall): adalah luncuran jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang sangat terjal.

- Amblesan (subsidence): penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pemadatan dan gravitasi.

Faktor- Faktor Penyebab Longsor

Menurut Naveen et al. (2011), terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah atau batuan secara bersama-sama yang terjadi karena proses alamiah maupun aktivitas manusia pada suatu bidang luncur yang kedap air. Selain itu, bahaya longsor dipengaruhi oleh lima faktor utama diantaranya: jenis batuan permukaan, kemiringan lereng, kondisi iklim, tanah, dan penggunaan/penutupan lahan. Faktor-faktor tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama lain, dan menentukan besar dan luasnya bencana longsor.

Karakteristik area rawan longsor berdasarkan Kementrian Pekerjaan Umum (2012) sebagai berikut:

1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi;

Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah sehingga tanah permukaan dapat menjadi retak dan merekah. Ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke bagian yang retak membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan dapat terakumulasi di bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan lateral dan terjadi longsoran.

2. Tergolong sebagai area lereng/tebing yang terjal;

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.

3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal;

Jenis tanah yang kurang padat seperti tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan mudah pecah ketika suhu terlalu panas.

4. Memiliki batuan yang kurang kuat;

(29)

11 5. Jenis tata guna lahan yang rawan longsor;

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata guna lahan persawahan dan perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air, oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

6. Adanya pengikisan/erosi;

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu, penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran.

7. Merupakan area bekas longsoran lama;

Area bekas longsoran lama memiliki ciri sebagai berikut:

- adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda - umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena

tanahnya gembur dan subur

- adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah

- adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil

8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras);

Bidang ini merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor yang memiliki ciri:

- bidang perlapisan batuan

- bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar

- bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat - bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan

yang tidak melewatkan air (kedap air)

- bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.

Karnawati 2005, menggambarkan proses dan tahapan terjadinya gerakan tanah secara skematik seperti pada Gambar 6.

Gambar 2.5 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (karnawati, 2005)

Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati 2005)

Menurut Karnawati (2005), faktor-faktor pengontrol gerakan tanah merupakan suatu fenomena alam yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk bergerak,

Faktor-faktor

STABIL TERJADI GERAKAN

(30)

12

baru akan bergerak, apabila terdapat suatu gangguan yang memicu terjadinya gerakan (dapat berupa faktor alamiah maupun non alamiah).

Bencana (Disaster)

Berdasarkan UU No. 24/2007 (Setneg 2007b) tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Selanjutnya dijelaskan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam, yang antara lain berupa: gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Bahaya (Hazard)

Bahaya (hazard) merupakan ancaman yang dihadapi masyarakat yang berasal dari peristiwa alam (seperti banjir, gempa bumi dan lain-lain) yang bersifat ekstrim yang dapat berakibat buruk atau keadaan yang tidak menyenangkan seperti yang ditunjukkan dengan tingkat kerusakan pada suatu lokasi tertentu (Bollin et al. 2003; Noor 2011). Dalam buku Metode Pemetaan Risiko Bencana Provinsi DIY (Bappenas-Bappeda Provinsi DIY-UNDP 2008), bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan. Jenis-jenis kejadian yang termasuk dalam ancaman dapat dibagi menjadi lima aspek, yaitu:

1. bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunungapi, gerakan tanah (mass movement) atau sering dikenal sebagai tanah longsor. 2. bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain: banjir, kekeringan, angin

topan, gelombang pasang.

3. bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewan/ternak.

4. bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi.

(31)

13

Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan/kerawanan (vulnerability) dapat diartikan sebagai suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan dalam menangkal/menahan dampak dari kejadian/peristiwa alam atau ancaman bencana (BNPB 2012; Noor 2011). ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) 2002 dalam Bollin et al. (2003) mendefinisikan kerentanan sebagai serangkaian kondisi dan proses yang dihasilkan dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, yang menyebabkan rawannya suatu komunitas atau masyarakat terhadap ancaman bahaya.

Buku Metode Pemetaan Risiko Bencana Provinsi DIY (Bappenas-Bappeda Provinsi DIY-UNDP 2008), mendefinisikan kerentanan sebagai suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia (hasil dari proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain kerentanan infrastruktur dan kerentanan sosial demografis. Kerentanan infrastruktur menggambarkan kondisi dan jumlah bangunan infrastruktur pada daerah yang terancam. Kerentanan sosial demografis menggambarkan karakteristik penduduk pada daerah yang terancam. Indikatornya antara lain jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio umur tua-muda, dan rasio wanita.

Kapasitas (Capacity)

Kapasitas adalah kebijakan dan sistem kelembagaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya mengurangi potensi kerusakan akibat bencana serta mengurangi kerentanan terhadap bencana (Noor 2011). Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 (BNPB 2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan tingkat ancaman dan tingkat kerugian akibat bencana. Menurut Bollin et al. (2003), kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana.

Risiko Bencana (Disaster Risk)

(32)

14

Perhitungan risiko merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan sebelum kegiatan-kegiatan pengurangan risiko dilaksanakan. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat bahaya dan mengevaluasi kondisi kerentanan yang ada yang secara bersama-sama berpotensi membahayakan manusia, properti yang dimiliki, mata pencaharian dan kondisi lingkungan tempat manusia bergantung. Penilaian risiko yang menyeluruh tidak hanya mengevaluasi besaran dan kemungkinan terjadinya kerugian potential, namun juga menyediakan pemahaman secara penuh mengenai penyebab dan dampak dari kerugian yang dialami. Di Kerala, India, pengurangan kerentanan masyarakat menjadi program utama dalam mengurangi risiko bencana, karena secara langsung berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat kapasitas wilayah (Santha dan Sreedharan 2010).

Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, UU No. 24/2007 (Setneg 2007b), dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. Kegiatan tersebut meliputi:

a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana;

d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 (BNPB 2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

Kapasitas Kerentanan Bahaya

Risiko 

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada:

a. Tingkat ancaman bahaya kawasan;

b. Tingkat kerentanan kawasan yang terancam; c. Tingkat kapasitas kawasan yang terancam.

Upaya pengkajian risiko tersebut pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 (tiga) komponen risiko dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana dapat digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Upaya pengurangan risiko bencana berupa:

a. Memperkecil ancaman bahaya kawasan;

(33)

15

Penataan Ruang

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 (Setneg 2007c) tentang Penataan Ruang, Pasal 1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

Dalam Pasal 3 dari Undang-Undang tersebut, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya, sedangkan struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan ruang yang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan.

Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang.

Secara normatif dalam Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 (Setneg 2007a) tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Pasal 33 menyatakan bahwa kriteria kawasan rawan bencana alam, sebagai salah satu kawasan lindung, adalah kawasan yang diidentifikasi sering berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung.

(34)

16

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS), adalah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data yang mana data tersebut secara spasial (keruangan) terkait dengan muka bumi (BNPB 2012).

Menurut Prahasta (2009), Sistem informasi geografis mencerminkan hubungan dari tiga unsur pokok yaitu: sistem, informasi, dan geografis. SIG merupakan suatu sistem yang menekankan unsur “informasi geografis”. Istilah informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, atau informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) objek penting yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui. Prahasta (2009), juga menyatakan bahwa kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, sesuai dengan datanya, terdapat dua jenis fungsi analisis di dalam SIG; fungsi analisis spasial dan atribut (basis data atribut). Fungsi analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain terdiri dari:

1. Klasifikasi kembali (reclassify): mengklasifikasikan kembali suatu data hingga menjadi data spasial baru berdasarkan kriteria (atribut) tertentu. 2. Overlay: fungsionalitas ini menghasilkan layer data spasial baru yang

merupakan hasil kombinasi dari minimal dua layer yang menjadi masukannya.

3. Buffering: fungsi ini akan menghasilkan layer spasial baru yang berbentuk poligon dengan jarak tertentu dari unsur-unsur spasial yang menjadi masukannya.

Sementara itu, fungsi analisis atribut (non spasial) menurut prahasta (2009) terdiri dari operasi-operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) yang antara lain:

1. Pembuatan basis data baru (create database) 2. Penghapusan basis data (drop database) 3. Pembuatan tabel baru (create table) 4. Penghapusan tabel (drop table)

5. Pengisian dan penyisipan data (record) baru ke dalam tabel (add record atau insert record)

6. Penambahan field baru dan penghapusan field lama (add field, delete field) 7. Pembacaan dan pencarian data (field atau record) dari tabel basis data (seek,

find, search, retrieve)

8. Peng-update-an dan peng-edit-an data yang terdapat didalam tabel basis data (update record atau edit record)

9. Penghapusan (beserta mengkonsolidasikannya) data (record) dari suatu tabel basis data (delete, record, zap, pack)

10. Membuat indeks untuk setiap tabel basis data

(35)

17 contoh beberapa penelitian yang memanfaatkan SIG dalam pemetaan bahaya longsor:

1. Isnawati (2009), memanfaatkan SIG dalam penyusunan peta rentan bencana alam longsor dengan teknologi penginderaan jauh melalui interpretasi citra satelit di Propinsi DIY. Peta tersebut dibuat dengan menggunakan operasi intersect dengan SIG, dimana pada setiap parameter longsor (peta-peta kemiringan lereng, curah hujan, tanah, dan penggunaan lahan) diberi skor dan bobot. Hasil proses SIG menunjukkan bahwa SIG dapat dimanfaatkan untuk memetakan risiko kerawanan longsor dengan cepat.

2. Subagio dan Riyadi (2008), memanfaatkan SIG untuk memetakan rawan longsor di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur. Proses tumpang susun dilakukan pada parameter penyebab longsor (peta geologi, peta curah hujan, peta lereng, peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta bentuklahan) yang sebelumnya telah diberi skor pada masing-masing parameter. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknologi SIG untuk pemodelan spasial tingkat kerawanan bencana longsor dapat diperoleh dengan akurasi hasil yang cukup baik.

3. Penelitian oleh Mukhlisin et al. (2010) memanfaatkan SIG dalam memetakan bahaya longsor di Ulu Klang, Malaysia, yang merupakan wilayah yang memiliki potensi tinggi terhadap kejadian longsor. Penggunaan SIG pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan operasi tumpang tindih (overlay) pada setiap parameter penyebab longsor di antaranya yaitu: kemiringan lereng, geologi, tanah, dan curah hujan. Keempat Parameter tersebut sebelumnya diberi bobot dan skor, dimana semakin tinggi bobot dan skor untuk setiap parameter maka semakin tinggi pula bahaya terhadap kejadian longsor, demikian sebaliknya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa model pendekatan dengan menggunakan SIG sangat cocok untuk memperkirakan daerah bahaya longsor yang dihasilkan dalam bentuk peta bahaya longsor.

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik pada penelitian ini di antaranya adalah:

(36)

18

dengan penggunaan lahan pemukiman sebesar 626.40 ha atau 4.29% dari total luas daerah penelitian, dan peruntukan perkebunan dengan penggunaan lahan pemukiman sebesar 361.94 ha atau 2.48% dari total luas daerah penelitian. Adapun Inkonsistensi penggunaan lahan terbesar terhadap peruntukan lahan RTRW terjadi pada penggunaan lahan pemukiman sebesar 1 409.30 ha atau 39% dari total luas inkonsistensi, diikuti oleh penggunaan lahan kebun/perkebunan dengan luas 1 234.67 ha atau 34% dari total luas inkonsistensi, dan penggunaan lahan sawah tadah hujan sebesar 414.04 ha atau 12% dari total luas inkonsistensi.

(37)

19

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Desember 2012. Lokasi penelitian meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu yang sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor (6 kecamatan, 27 desa) dan sebagian kecil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur (1 kecamatan, 3 desa) dan Kabupaten Sukabumi (1 kecamatan, 2 desa). Secara geografis daerah penelitian terletak pada 6°37’30”- 6°46’5” LS dan 106°51’58” - 107°00’14” BT dengan luas wilayah ±13 200 ha. Peta Administrasi DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta administrasi DAS Ciliwung Hulu

Ruang Lingkup dan Batasan Lokasi Penelitian

Ruang lingkup dan batasan lokasi untuk analisis bahaya longsor meliputi DAS Ciliwung Hulu yang mengacu pada peta administrasi DAS Ciliwung Hulu dari BPDAS Citarum-Ciliwung Kementerian Kehutanan. Luas wilayah yang

digunakan dalam melakukan analisis dan pemetaan bahaya longsor adalah ±13 200 ha, dimana masing–masing luas untuk tiap kecamatan dan desa dapat

(38)

20

dari ketiga kecamatan tersebut, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kondisi kerentanan masyarakat, kapasitas wilayah, serta penataan ruang di DAS Ciliwung Hulu.

Tabel 2 Luas wilayah DAS Ciliwung Hulu

No Kecamatan Desa (ha) Luas %

(39)

21 digital, alat tulis, kuesioner, dan perangkat lunak komputer seperti Microsoft Office 2007, Microsoft Excel 2007, ArcGIS 9.x, dan Global Mapper v.12.

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer

Data primer diperoleh secara langsung melalui survei lapangan dan wawancara dengan penduduk melalui kuesioner (Lampiran 1). Data yang dikumpulkan meliputi titik-titik longsor/lokasi kejadian longsor, pengecekan jenis batuan permukaan, kedalaman tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan serta pengambilan dokumentasi berupa foto. Penentuan titik-titik survei lapangan, ditentukan berdasarkan pertimbangan aksesibilitas yang mudah, yaitu melalui jaringan jalan yang telah tersedia.

Penggunaan kuesioner dalam wawancara bertujuan untuk memudahkan dalam mendapatkan informasi mengenai penyebab kejadian longsor, persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap penataan ruang, serta kapasitas wilayah dalam menghadapi bencana longsor. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang terdiri dari: Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, Unit Pelayanan Teknis Tata Bangunan wilayah Ciawi Kabupaten Bogor, Unit Pelayanan Teknis Tata Ruang wilayah Ciawi Kabupaten Bogor, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, dan masyarakat.

Secara ringkas, data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Hasil wawancara (dengan menggunakan kuesioner),

2. Hasil survei lapangan, dan

3. Hasil pengolahan data SRTM (DEM) resolusi 30 meter. Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen dan literatur dari lembaga atau instansi terkait berupa catatan hasil pengukuran, hasil analisis, peta, buku-buku laporan kegiatan dan peraturan kebijakan daerah.

Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi:

1. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor, Skala 1:25.000, Tahun 2010, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

2. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor 2005 – 2025, Skala 1: 100.000, Tahun 2008, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

3. Peta Hirarki Jalan Kabupaten Bogor, Skala 1: 50.000, Tahun 2006, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

4. Peta Tanah DAS Ciliwung Hulu, Skala 1:50.000, Tahun 1992, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.

(40)

22

6. Peta Administrasi Ciliwung Hulu, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Citarum-Ciliwung Kementerian Kehutanan.

7. Peta Geologi lembar Bogor, Skala 1:100.000, Tahun 1998, Puslitbang Geologi Bandung, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) 8. Data statistik: Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Mega Mendung Dalam Angka

Tahun 2011, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

9. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2011, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

10. Data Potensi Desa tahun 2011, Badan Pusat Statistik Jakarta.

Matriks analisis penelitian yang menggambarkan hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, metode analisis, dan keluaran yang diharapkan, disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Keluaran

1 Menganalisis

Bogor Overlay SIG Peta Konsistensi

(41)

23

Metode Analisis

Analisis data yang dilakukan meliputi analisis spasial, atribut, dan deskriptif. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG), dengan memakai pembobotan dan pemberian skor pada setiap parameter yang ditentukan. Dalam hal ini semakin tinggi skor dan bobot dari parameter, maka pengaruhnya akan semakin besar terhadap bahaya atau risiko longsor, dan begitu juga sebaliknya. Klasifikasi untuk bahaya, kerentanan, kapasitas dan risiko dibagi ke dalam 5 kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Adapun analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kaitan antara penataan ruang dan risiko longsor yang digunakan untuk merumuskan arahan penataan ruang sebagai upaya menekan dampak dari bencana longsor.

Pembuatan Peta Satuan Lahan (Land Unit)

Peta satuan lahan (landunit) merupakan peta yang berisi penggolongan/ pengelompokkan lahan berdasarkan tingkat kesamaan (keragaman) tertentu dalam hal kemiringan lereng, batuan, dan bentuk lahannya. Peta ini digunakan sebagai peta kerja dalam melakukan observasi/survei lapangan. Pembuatan peta satuan lahan dibangun dari peta bentuklahan (landform) dan peta kemiringan lereng. Dalam interpretasi bentuklahan, digunakan SRTM resolusi 30 m, peta kontur dengan interval 12.5 meter, dan peta geologi.

Bentuklahan (landform) mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya (Dwiyanti 2009). Morfologi bentuklahan dapat dibedakan menjadi morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsikan bentuk permukaan bumi, sedangkan morfometri berkaitan dengan ukuran-ukuran bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian, arah lereng, dan sebagainya. Morfogenesis mencakup kajian terhadap proses geomorfik atau proses geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Morfokronologi menyangkut kronologi atau waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek struktur dan litologi penyusunnya mengkaji mengenai struktur geologi dan jenis batuan/mineral. Tahapan pembuatan peta land unit dapat dilihat pada diagram alir tahapan penelitian (Gambar 8).

Pembuatan Peta Bahaya Longsor

(42)

24

(43)
(44)

26

A. Pembuatan peta bahaya longsor dengan berbagai model pendugaan

Sesuai dengan tujuan satu dalam penelitian ini, model pendugaan untuk menentukan daerah bahaya longsor digunakan beberapa model pendugaan yang sudah dikembangkan, yaitu model pendugaan Tim Sebelas yang diacu dari Nurhayati (2009), model pendugaan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang diacu dari Efendi (2008) dan Nurhayati (2009), serta model pendugaan hasil perumusan peneliti (penulis).

Model pendugaan Tim Sebelas, menggunakan beberapa parameter penyebab longsor yang meliputi: curah hujan, lereng, geologi, jenis tanah dan tutupan lahan. Penggunaan skor parameter bahaya longsor untuk model pendugaan Tim Sebelas mengacu pada skor parameter PUSLITANAK (2004) dan Mukti (2012) yang disajikan pada Tabel 4. Besarnya bobot masing-masing parameter penyebab longsor pada model pendugaan Tim Sebelas adalah sebagai berikut:

Bahaya Longsor = (40% x faktor curah hujan) + (30% x faktor lereng) + (10% x faktor geologi) + (10% x faktor jenis tanah) + (10% x faktor penggunaan lahan)

Tabel 4 Skor parameter bahaya longsor untuk model pendugaan Tim Sebelas dan DVMBG

Batuan vulkanik (tuf, pasir) 3

Batuan sedimen (liat, napal) 2

Batuan berbahan resent (alluvial) 1

4 Jenis Tanah

Podsolik dan regosol 5

Andosol dan regosol 4

Regosol dan litosol 3

Latosol dan renzina 2

(45)

27 Model pendugaan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), menggunakan parameter dan skor yang sama dengan model pendugaan Tim Sebelas yang tersaji pada Tabel 4. Perbedaan antara model pendugaan Tim Sebelas dengan DVMBG adalah terletak pada nilai bobot untuk masing-masing parameter. Nilai bobot masing-masing parameter penyebab longsor pada model pendugaan DVMBG adalah sebagai berikut:

Bahaya Longsor = (30% x faktor curah hujan) + (20% x faktor geologi) + (20% x faktor jenis tanah) + (15% x faktor penggunaan lahan) + (15% x faktor lereng)

Model pendugaan Hasil Rumusan Peneliti (Penulis), menggunakan beberapa parameter penyebab longsor yang sedikit berbeda dengan model pendugaan sebelumnya. Parameter-parameter yang digunakan untuk memetakan bahaya longsor di lapangan ditentukan berdasarkan hasil diskusi dengan nara sumber yang ahli di bidangnya, wawancara dengan penduduk mengenai kejadian longsor, dan pengamatan terhadap kondisi fisik wilayah DAS Ciliwung Hulu. Parameter-parameter tersebut meliputi: kemiringan lereng, kedalaman tanah, jenis batuan permukaan, curah hujan, penggunaan lahan, kemiringan dip/lapisan kedap air, pengaruh getaran kendaraan, dan garis sesar/lineament. Dari beberapa parameter di atas, tiga parameter, yaitu kemiringan dip/lapisan kedap air, pengaruh getaran kendaraan, dan garis sesar/lineament tidak digunakan dalam memetakan bahaya longsor di daerah penelitian, dikarenakan ketidaktersediaan data dan sulitnya melakukan pengamatan di lapangan terhadap kemiringan dip/lapisan kedap air. Adapun penggunaan skala semi detail (1:50.000) untuk penelitian ini menyebabkan parameter pengaruh getaran kendaraan dan garis sesar/lineament tidak terpetakan pada peta bahaya hasil rumusan peneliti, kecuali pemetaan bahaya dilakukan pada skala lebih besar atau detail (1:5.000 s/d 1:10.000). Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, parameter yang digunakan untuk memetakan bahaya longsor hasil rumusan peneliti menggunakan parameter: kemiringan lereng, kedalaman tanah, jenis batuan permukaan, curah hujan, dan penggunaan lahan.

Penentuan parameter-parameter yang menjadi pemicu terjadinya longsor dapat dijelaskan sebagai berikut:

- Kemiringan lereng.

(46)

28

pada lereng yang miring, maka longsor tidak mungkin terjadi. Dengan kata lain semakin besar kemiringan lereng, maka semakin besar potensinya untuk melahirkan longsor, disebabkan kestabilan lereng yang semakin kecil.

- Kedalaman tanah

Faktor kedalaman tanah merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap terjadinya longsor. Hal ini berkaitan dengan jumlah massa atau bahan yang dilongsorkan. Semakin tebal kedalaman tanah pada suatu bidang/lahan yang miring, maka semakin besar potensi lahan untuk mengalami longsor, karena beban tanah dan tarikan gravitasi menjadi lebih tinggi. Faktor kedalaman tanah digunakan sebagai parameter kedua yang menyebabkan terjadinya bahaya longsor, karena kedalaman tanah di DAS Ciliwung Hulu tergolong dalam, sehingga potensi terjadinya longsor menjadi tinggi.

- Jenis batuan permukaan,

Jenis batuan yang terdapat di DAS Ciliwung Hulu merupakan batuan vulkanik. Dalam perhitungan longsor, batuan vulkanik sering diberi skor tertinggi dibandingkan dengan jenis batuan lainya. Jenis batuan yang digunakan dalam analisis bahaya longsor didekati dengan jenis batuan permukaan karena batuan pada bagian ini yang menyediakan material untuk dilongsorkan. Jenis batuan permukaan di DAS Ciliwung Hulu dibedakan menjadi dua yaitu: jenis batuan piroklastik dan lava. Jenis batuan piroklastik memiliki potensi longsor lebih besar daripada lava, karena jenis batuan ini bersifat klastis sehingga lebih rentan untuk bergerak apabila menerima pemicu seperti getaran atau curah hujan. Selain itu daya ikat (kohesi) tanah/batuan juga relatif lemah pada tipe batuan piroklastik, dimana butiran-butiran tanah/batuan mudah terlepas dari ikatannya dan dapat bergerak ke lereng bawah dengan menyeret butiran/batuan yang lainnya sehingga membentuk massa yang lebih besar.

- Curah Hujan,

Pengaruh curah hujan dalam memicu longsor melalui tiga cara, yaitu melalui penambahan beban lereng (shear stress), peningkatan nilai tekanan air pori tanah, dan memperkecil daya tahan tanah (shear strength) terhadap lapisan kedap (bidang luncur) yang terletak di bawahnya. Dengan demikian semakin tinggi curah hujan, maka akan semakin tinggi tingkat bahaya longsor.

- Penggunaan lahan

Perubahan penggunaan lahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia, terbukti berdampak terhadap kejadian bahaya longsor, seperti: pembukaan hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam yang terlalu rapat, penambangan yang tidak berwawasan lingkungan, dan pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman. Dengan demikian, semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu, akan meningkatkan potensi penurunan kestabilan lereng.

(47)

29 Tabel 5 Skor parameter bahaya longsor untuk model pendugaan hasil

rumusan peneliti (penulis)

3 Jenis Batuan Permukaan

Batuan piroklastik 2 terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)

Pemberian bobot terhadap masing-masing parameter pemicu bahaya longsor dihitung melalui persamaan yang digunakan oleh Savitri (2007) dan Ikqra (2012) sebagai berikut:

Gambar

Gambar 7 Peta administrasi DAS Ciliwung Hulu
Tabel 2  Luas wilayah DAS Ciliwung Hulu
Tabel 3 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik
Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai dosis N dari pupuk anorganik (urea) dan pupuk organik (pupuk kandang) terhadap pertumbuhan dan produksi rumput

Pembuatan aplikasi ini adalah bertujun untuk mempermudah perusahaan CV.Latumara dalam pendataan barang yang di kirim dari perusahaan yang bekerja sama dengan CV.Latumara

membacakan puisi lama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang sesuai. Penyajian rekaman ini adalah untuk memberikan contoh pembacaan mantra yang.. dibacakan oleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bokhasi tandan kosong kelapa sawit dengan dosis yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan hasil

Audit atas pemerintah pusat ditujukan pada perolehan bukti audit yang cukup dan tepat. Sebagai contoh, akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan pemerintah pusat

pengertian register yang akan menjadi kajian penelitian ini. Kelima, semantik yang menjelaskan tentang pengertian semantik dan komponen makna. Keenam, sosiolinguistik

[r]

Adakah pengaruh secara signifikan dimensi kualitas pelayanan (responsiveness, assurance, tangible, empathy dan reliability) terhadap kepuasan konsumen pada Marcellino Variasi,