• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bahaya Dan Risiko Tanah Longsor Dan Hubungannya Dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Bahaya Dan Risiko Tanah Longsor Dan Hubungannya Dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN

HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH

KABUPATEN BOGOR

WINDA DIAH PUSPASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bahaya dan Risiko Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

WINDA DIAH PUSPASARI. Analisis Bahaya dan Risiko Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BOEDI TJAHJONO.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan kondisi morfologi wilayah yang bervariasi, sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung api yang mempunyai sifat meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Kondisi fisik wilayah yang berpotensi terjadi longsor dan bencana longsor yang terus meningkat memerlukan analisis bahaya dan risiko longsor untuk mempertimbangkan pola ruang wilayah.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis dan memetakan bahaya (hazard) longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor dari kejadian longsor yang ada; (2) Menganalisis risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara penggunaan lahan, RTRW dan Bahaya Longsor; (3) Merumuskan arahan sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis spasial, analisis atribut dan analisa AHP-SWOT. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan skor dan bobot untuk setiap parameter, yang selanjutnya di klasifikasikan ke dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Semakin tinggi skor dan bobot, maka pengaruhnya akan semakin tinggi terhadap kejadian longsor, begitu juga sebaliknya. Analisis spasial dan atribut meliputi pembuatan peta suseptibilitas, peta bahaya longsor dan peta risiko longsor. Analisa AHP-SWOT dilakukan untuk strategi pengendalian longsor.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memiliki: (1) kelas bahaya longsor cukup variatif, mulai dari kelas bahaya longsor rendah sampai dengan sangat tinggi, dengan persentase terbesar berada pada kelas bahaya rendah (33.68%) untuk daerah yang dianalisis; (2) kelas risiko longsor terbesar berada pada kelas risiko rendah (55.95%) untuk daerah yang dianalisis; (3) Strategi pengendalian longsor untuk arahan prioritas pertama adalah membuat pola ruang yang sudah mempertimbangkan kondisi bahaya longsor dan menerapkannya dengan lebih teliti dan ketat dalam memberikan ijin penggunaan lahan, bantuan desa untuk lebih peduli melihat perubahan lingkungan dan bantuan bidang pengawasan jika ada perubahan penggunaan lahan terutama di daerah rawan longsor

(5)

SUMMARY

WINDA DIAH PUSPASARI. Analysis Of Landslide Hazards And Risk And Connection With Spatial Planning Area Bogor Regency. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and BOEDI TJAHJONO.

Bogor Regency is area with varying morphology conditions, mostly in the form of high land, hills and mountains with rock constituent dominated by volcanic eruption that has relatively high rain absorbing capacity. This rock type is relatively vulnerable to soil movement when it is splash by high rainfall. The soil is dominatly formed by loose volcanic materials which are susceptible to erosion, such as Latosol, Alluvial, Regosol, Podsolic and Andosol. This physical condition with highly landslides potential as well as the keep increasing landslides occurence makes an analysis of landslide hazard and risk is required.

The purpose of this study are : (1) to analyze and map landslide hazard area based on determinant factors of existing landslide disaster, (2) to analyze risk of landslides based on the correlation between land use, spatial planning and landslide hazard, (3) to formulate a spatial plan arrangement as an attempt to minimize the impact of landslide disaster.

The methods used in this study are spatial analysis, attribute analysis and AHP-SWOT analysis. Spatial and attribute analysis were conducted by utilizing Geographic Information Systems (GIS) with the scores and weights for each parameter, which is further classified into five classes, namely very low, low, moderate, high, and very high class. The higher the score and the weight, the higher the impact of the landslide cases, and vice versa. Spatial and attribute analysis included the mapping of susceptibility, the mapping of landslide hazard and the mapping of lanslide risk. AHP-SWOT analysis done for landslides control strategies.

The results of the study showed that the Bogor Regency has: quite varieable classes of landslide hazard, ranging from low to very high class, of which low class occupies the largest portion (33.68%); in term of landslide risk low occupies a largest porstion (55.95%) of the analyzed area; the priority to control landslide to revise spatial pattern by taking in to account landslide hazard, apply more carefully and strictly permission for landuse alocation, help community to care more obout environment at change and provide supervision if there is any landuse change especially in the landslides hazards.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN

HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH

KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu

wa ta’ala karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Analisis Bahaya dan Risiko Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr, selaku ketua komisi pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang juga dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr Khursatul Munibah, M.Sc, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Wilayah IPB

4. Dr Ir Baba Barus, M.Sc, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini.

5. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi.

6. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

7. Bapak Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Pengawasan Bangungan dan Permukiman Kota Bogor yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 8. Mama Bapak Ibu terkasih serta Suami dan Putra Putri tercinta yang telah

memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis.

9. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Pemikiran 4

Kerangka Pemikiran 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Tanah Longsor 5

Ruang dan Penataan Ruang 10

Analisis Faktor 12

Analytical Hierachy Process (AHP) 12

Analisis A’WOT 13

Sistem Informasi Geografis 14

Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian 16

BAHAN DAN METODE 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Pengumpulan Data 17

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor 18

Analisis Risiko Longsor 24

Arahan Penataan Ruang 27

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 31

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian 31

Rencana Tata Ruang Wilayah 37

HASIL DAN PEMBAHASAN 39

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor 39

Analisis Risiko Longsor 48

Arahan Penataan Ruang 52

SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 62

Saran 63

LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor 3 Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik

analisis, dan keluaran 19

Tabel 3 Skor parameter suseptibilitas longsor 22

Tabel 4 Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor 24

Tabel 5 Klasifikasi kelas kerentanan longsor 25

Tabel 6 Klasifikasi kelas kapasitas longsor 25

Tabel 7 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas 26

Tabel 8 Klasifikasi kelas risiko longsor 27

Tabel 9 Skala pembobotan AHP 28

Tabel 10 Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP 30

Tabel 11 Matriks strategi hasil analisis SWOT 30

Tabel 12 Urutan/ranking strategi pengendalian longsor 31

Tabel 13 Sebaran Luasan Satuan Tanah 36

Tabel 14 Frekuensi kejadian longsor menurut kelas faktor-faktor penyebab

longsor 39

Tabel 15 Total Variance Explained 41

Tabel 16 Hasil komponen parameter 41

Tabel 17 Pembobotan parameter suseptibilitas longsor 42 Tabel 18 Klasifikasi kelas suseptibilitas longsor 42 Tabel 19 Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor 44

Tabel 20 Klasifikasi kelas bahaya longsor 44

Tabel 21 Luas Wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor eksisting pada

masing-masing kecamatan 47

Tabel 22 Perhitungan validasi peta bahaya longsor 48 Tabel 23 Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)

berdasarkan kelas bahaya longsor. 52

Tabel 24 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran bahaya longsor 53 Tabel 25 Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan

lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) 54

Tabel 26 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran risiko longsor 55 Tabel 27 Hubungan Kelas Risiko, Kelas Bahaya, Kelas Kerentanan, dan

Kelas Kapasitas 55

Tabel 28 Faktor internal dan eksternal pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 56 Tabel 29 Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 58

Tabel 30 Hasil pembobotan komponen SWOT 59

Tabel 31 Urutan / ranking arahan dan strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 60

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 5

Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran 6

(13)

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975) 8

Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975) 8

Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen

penyebabnya (Karnawati 2005) 10

Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor) 17

Gambar 8 Bagan Alir Penelitian 20

Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor 29

Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor 32

Gambar 11 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran curah hujan di

Kabupaten Bogor 32

Gambar 12 Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor 33

Gambar 13 Luas (ha) dan Luas persentase (%) kemiringan lereng di

Kabupaten Bogor 33

Gambar 14 Geologi Kabupaten Bogor 34

Gambar 15 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran geologi di

Kabupaten Bogor 35

Gambar 16 Sebaran Satuan Tanah Kabupaten Bogor 35

Gambar 17 Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor 36

Gambar 18 Luas (ha) dan Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan di

Kabupaten Bogor 37

Gambar 19 Pola Ruang Kabupaten Bogor 39

Gambar 20 Sebaran Titik Kejadian Longsor Hasil Survey 40 Gambar 21 Sebaran Suseptibilitas Longsor di Kabupaten Bogor 43 Gambar 22 Luas (ha) dan persentase (%) kelas suseptibilitas Kabupaten

Bogor 43

Gambar 23 Sebaran Bahaya Longsor Kabupaten Bogor 45 Gambar 24 Luas (ha) dan persentase (%) kelas bahaya longsor Kabupaten

Bogor 45

Gambar 25 Grafik hubungan antara titik longsor dengan kelas bahaya

longsor eksisting 48

Gambar 26 Sebaran kerentanan dengan menggunakan penggunaan lahan 49 Gambar 27 Sebaran kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan 50 Gambar 28 Sebaran risiko longsor di Kabupaten Bogor 51

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data hasil survey lapangan 68

Lampiran 2 Foto-foto hasil survey 70

Lampiran 3 Kuesioner untuk mendapatkan data Analisis A’WOT (dalam penentuan strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor) 72 Lampiran 4 Perhitungan kelas suseptibilitas longsor 81

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis, klimatologis dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus dalam bidang ekonomi namun sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang sangat dinamis yang mengakibatkan potensi bencana, seperti gempa, tsunami, dan gerakan tanah/longsor (BNBP 2012).

Secara morfografis Indonesia mempunyai banyak daerah dengan potensi terjadinya bencana longsor. Bencana tersebut mengancam penduduk yang tinggal di lembah atau lereng bawah gunungapi dan pengunungan terutama pada lereng yang terjal. Pada daerah berlereng terjal dengan struktur batuan tidak kompak perlu diwaspadai terutama jika terjadi hujan lebat atau hujan beberapa hari, karena dapat diperkirakan bencana longsor dapat terjadi (Asriningrum 2001).

Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan umumnya terjadi pada musim hujan. Bencana ini berkaitan dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak, penggundulan hutan, pembangunan permukiman dengan topografi yang curam ( Pramita et. al, 2014)

Tanah longsor yang banyak terjadi di Indonesia terjadi pada topografi terjal dengan sudut lereng 15o – 45o dan pada batuan vulkanik lapuk dengan intensitas hujan sangat lebat (> 100 mm/hari). Faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya tanah longsor adalah : kondisi geologi, kondisi tataguna lahan, aktivitas manusia dan kegempaan ( Prawiradisastra 2013).

Data kejadian bencana di Indonesia tahun 2014 menurut laporan BNBP menyebutkan ada 248 jiwa orang tewas akibat longsor. Jumlah ini hampir dua per tiga dari korban tewas akibat bencana di Indonesia selama 2014. Bencana tanah longsor selalu berulang setiap tahun. Di Indonesia ada sekitar 40.9 juta jiwa penduduk yang terpapar bahaya longsor pada tingkat sedang hingga tinggi. Masyarakat terpapar adalah masyarakat beserta perumahan, sistem, atau elemen

lain yang berada pada zona bahaya dan berujung pada potensi

(16)

2

Grobogan, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Malang, Jember, dan lainnya sering terjadi longsor (BNBP 2014).

Kondisi iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah terutama di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2 500 – 5 000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur yang mempunyai curah hujan kurang dari 2 500 mm/tahun. Sementara itu suhu rata-rata tiap bulan adalah 20o - 30oC, dengan rata-rata tahunan sebesar 25oC.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga pegunungan di bagian selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke utara. Klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta prosentasenya terhadap luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor menurut RTRW adalah sebagai berikut:

Dataran rendah (15 - 100 m dpl) sekitar 29.28 %, merupakan kategori ekologi hilir

Dataran bergelombang (100 - 500 m dpl) sekitar 42.62 %, merupakan kategori ekologi tengah

Pegunungan (500 – 1 000 m dpl) sekitar 19.53 %, merupakan kategori ekologi hulu

Pegunungan tinggi (1 000 – 2 000 m dpl) sekitar 8.43 %, merupakan kategori ekologi hulu

Puncak-puncak gunung (2 000 – 2 500 m dpl,) sekitar 0.22 %, merupakan kategori ekologi hulu

Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunungapi, terdiri dari batuan andesit, tufa, dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol (Perda Kabupaten Bogor 2008).

Dampak perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat di kawasan puncak dan sekitarnya selama 10 tahun terakhir terhadap kelestarian lingkungan semakin nyata. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh peningkatan suhu udara di kawasan Bogor, fluktuasi aliran sungai Ciliwung yang tinggi dan keruhnya sungai-sungai yang bermuara di wilayah ini. Salah satu akibat perubahan ini adalah terjadinya gerakan tanah, khususnya longsoran dangkal (shallow landslide). Gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai sifat alami seperti : struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infra-struktur ( Barus 1999)

(17)

3 Perumusan Masalah

Kabupaten Bogor sudah memiliki peta bahaya longsor yang seharusnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pola ruang wilayah. Kenyataan yang ada pada wilayah yang mempunyai kondisi longsor paling tinggi direncanakan sebagai perumahan padat penduduk dan belum ada analisis untuk meminimumkan besarnya bahaya longsor tersebut. Selain itu Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor juga sudah melakukan antisipasi kejadian longsor dengan memasang alat untuk tanda bahaya di beberapa lokasi yang mengalami pengulangan kejadian longsor sehingga diharapkan bisa mengurangi jumlah korban jiwa jika ada kejadian longsor. Meskipun sudah ada peta bahaya longsor dan alat pendeteksi longsor dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Bogor tetap saja meningkat. Kejadian longsor yang terus meningkat dapat dilihat pada laporan kejadian longsor pada BPBD Kabupaten Bogor yang tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor

No Jenis Kejadian Jumlah Kejadian Bencana

Tahun 2012 2013 2014

1 Tanah Longsor 74 95 161

2 Banjir 22 32 43

3 Kebakaran 166 225 374

4 Angin ribut/kencang 140 101 96

5 Lain-lain (kekeringan,

tenggelam, tersambar petir, dll 67 0 55

Sumber : BPBD Kabupaten Bogor (Tahun 2013, 2014, 2015)

Mengingat frekuensi longsor di Kabupaten Bogor cukup tinggi, maka penelitian terhadap longsor masih tetap diperlukan terutama dengan menggunakan pendekatan baru yang disesuaikan dengan kondisi lokasi bencana tanah longsor yang sudah terjadi. Pengamatan langsung di lapangan diperlukan untuk mendapatkan data untuk analisis determinan faktor bahaya tanah longsor. Determinan faktor yang baru digunakan sebagai bahan pembuatan peta bahaya tanah longsor yang hasilnya diharapkan lebih mendekati dengan kondisi aktual lapangan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Belum diketahui dan dipetakan bahaya (hazard) tanah longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor.

2. Belum diketahuinya besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan bahaya longsor.

(18)

4

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor dan diharapkan mampu memperbaiki pemanfaatan ruang dan pengendalian longsor. Dari uraian tersebut di atas selanjutnya dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana peta bahaya (hazard) tanah longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor?

2. Berapa besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan bahaya longsor?

3. Bagaimana arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor berdasarkan analisis bahaya tanah longsor?

Tujuan Penelitian

Memperhatikan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, berikut dirumuskan tujuan dari penelitian ini:

1. Menganalisis dan memetakan bahaya (hazard) longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor dari kejadian longsor yang ada. 2. Menganalisis besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara

penggunaan lahan, RTRW, dan bahaya longsor.

3. Merumuskan arahan untuk menekan dampak dari bencana longsor. Manfaat Pemikiran

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Memberikan informasi tentang sebaran bahaya tanah longsor kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

2. Membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam memikirkan perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang ke depan.

Kerangka Pemikiran

Penelitian tentang tanah longsor di Jawa Barat secara umum dan Kabupaten Bogor secara khusus sudah ada dengan menggunakan skoring dan pembobotan dari literatur yang berbeda-beda. Berbagai hasil penelitian akan digunakan untuk membuat pembobotan dan parameter baru sebagai dasar pembuatan peta bahaya tanah longsor di Kabupaten Bogor.

Kejadian tanah longsor di Kabupaten Bogor pada musim penghujan tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menimbulkan banyak kerugian, baik kerugian ekonomi, kerugian harta benda, maupun korban jiwa. Hal ini menggambarkan bahwa penanganan bahaya tanah longsor di Kabupaten Bogor belum tertangani secara optimal. Peta bahaya longsor yang ada di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata belum dapat menurunkan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor. Penelitian ini di tahap awal bermaksud membuat data dan informasi terkait bahaya tanah longsor dengan pendekatan baru berdasarkan kondisi lokasi kejadian longsor yang sudah terjadi sehingga diharapkan bisa memberikan hasil optimal.

(19)

5 terjadi tanah longsor. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan arahan penataan ruang yang lebih baik.

Secara skematis kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram alir Gambar 1.

Kondisi Fisik Wilayah :

Curah hujan, tanah, geologi, kemiringan lereng

Aktivitas manusia : Perubahan penggunaan lahan Data bencana longsor BPBD :

Determinan faktor

BAHAYA LONGSOR Rendahnya tingkat kapasitas wilayah Tingginya tingkat kerentanan

masyarakat (sosial, ekonomi, fisik, lingkunga)

RISIKO LONGSOR (Kerugian ekonomi, fisik dan

lingkungan)

Tindakan Pencegahan/ antisipasi

Penyediaan data dan informasi mengenai :

Peta bahaya longsor, peta risiko longsor, tingkat konsistensi penggunaan lahan dengan peruntukkan lahan, serta keterkaitan penataan ruang dengan bahaya dan risiko longsor

Upaya menekan dampak akibat bencana dengan merumuskan arahan penataan

ruang yang aman dan nyaman

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Longsor Definisi Tanah Longsor

(20)

6

menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng (Nandi 2007). Menurut Permen PU No.22/PRT/M/2007, longsor adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi.

Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia (Hardiyatmo 2006).

Tipe-tipe Longsor

Karakteristik gerakan massa/longsor pembentuk lereng dapat dibagi menjadi lima macam (Gambar 2), yang meliputi: jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), sebaran (spreads) dan aliran (flows) (Curden and Varnes, 1996 dalam Hardiyatmo, 2006)

a. Jatuhan (falls) adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah atau batuan) di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). Jatuhan batuan dapat terjadi pada semua jenis batuan dan umumnya terjadi akibat oleh pelapukan, perubahan temperatur, tekanan air, atau penggalian/penggerusan bagian bawah lereng. Contoh-contoh gerakan jatuhan batuan dapat dilihat pada Gambar 3.

.

(21)

7 b. Robohan (topples) adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang diskontinuitas yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan adalah air yang mengisi retakan.

c. Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah.

Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan dalam dua jenis, (Gambar 4) yaitu:

Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotasional slides) mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material yang relatif homogen seperti timbunan buatan (tanggul). Longsoran rotasional dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: penggelinciran (slips), longsoran rotasional berganda (multiple rotational slides), dan penggelinciran berurutan (successsive slips).

Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)

(22)

8

atau bidang lemah yang terjadi sejajar dengan permukaan lereng, sehingga bentuk gerakan tanah berjalan secara translasi. Longsoran translasional dibedakan menjadi: longsoran blok translasional (translational block slides), longsoran pelat (slab), longsoran translasi berganda (multiple translational slides), dan longsoran sebaran (spreading failurse).

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975)

d. Sebaran (spreads) yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak dibawahnya.

Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975)

(23)

9 Faktor-Faktor Penyebab Tanah Longsor

Karakteristik area rawan longsor berdasarkan Kementrian Pekerjaan Umum (2012) sebagai berikut :

1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi;

Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah sehingga tanah permukaan retak dan merekah. Ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke bagian yang retak membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan dapat terakumulasi di bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan lateral dan terjadi longsoran.

2. Area yang mempunyai lereng/tebing yang terjal;

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.

3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal;

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan mudah pecah ketika hawa terlalu panas.

4. Memiliki batuan yang kurang kuat;

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan merupakan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan terhadap tanah longsor.

5. Jenis tata lahan yang rawan longsor;

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan dan perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air, oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. 6. Adanya pengikisan;

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu, penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran.

7. Merupakan area bekas longsoran lama;

Area bekas longsoran lama memiliki ciri sebagai berikut :

adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur

adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah adanya tebing-tebing yang relatif terjal

(24)

10

8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras);

Bidang ini merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor dan memiliki ciri:

bidang perlapisan batuan

bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar

bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air)

bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat Karnawati (2005), menggambarkan proses dan tahapan terjadinya gerakan tanah secara skematik seperti pada Gambar 6. Menurut Karnawati (2005), faktor-faktor pengontrol gerakan tanah merupakan fenomena alam yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk bergerak, baru akan bergerak apabila terdapat suatu gangguan yang memicu terjadinya gerakan massa tanah (dapat berupa faktor alamiah maupun non alamiah).

Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati 2005)

Ruang dan Penataan Ruang

(25)

11 Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Menurut Suranto (2008) potensi bencana alam tanah longsor merupakan salah satu pertimbangan yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama diperlukan dalam proses penyusunan tata ruang baik pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan Pedoman Penataan Ruang dan Pengembangan Kawasan, untuk keperluan perencanaan wilayah dan kota pada tingkat nasional perlu disusun suatu “kriteria nasional” untuk kawasan rawan bencana, khususnya yang berkaitan dengan kawasan rawan bencana :

a. yang mutlak “harus” dihindari untuk pemanfataan apapun

b. yang masih dapat dikembangkan yang bergradasi dengan memanfaatkan konsep mitigasi.

Berdasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, bahwa kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung yang perlu dijaga untuk melindungi manusia dan berbagai kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia. Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah merupakan kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunungapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Sebagai salah satu upaya pengendalian kawasan lindung, maka pada kawasan rawan bencana dilarang melakukan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.

(26)

12

Analisis Faktor

Menurut Supranto (2010) analisis faktor dipergunakan dalam situasi sebagai berikut :

1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying dimensions) atau faktor yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel. 2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak

berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariat selanjutnya.

3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu set variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam analisis multivariat selanjutnya.

Analytical Hierachy Process (AHP)

Menurut Saaty (1980) AHP merupakan alat pengambil keputusan yang menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP merupakan sebuah alat pengambilan keputusan yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan pengambilan keputusan yang kompleks dengan menggunakan struktur hirarki yang terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif (Triantaphyllou dan Mann 1995). Firdaus et al. (2011) menyebutkan bahwa, AHP digunakan pada kondisi dimana terdapat proses pengambilan keputusan secara kompleks yang melibatkan berbagai kriteria, seperti prioritas diantara beberapa alternatif kebijakan dan sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan dalam penggunaan analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian terhadap tingkat kepentingan faktor yang dianalisis harus yang benar-benar memahami situasi yang sedang ditelaah.

Makkasau (2012) mengemukakan AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif dimana atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode pengambilan keputusan lainnya lebih ditekankan karena adanya struktur yang berhirarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan (Saaty 1980).

(27)

13 Analisis A’WOT

Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan menggunakan metode A’WOT. Metode A’WOT adalah gabungan (integrasi) antara AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) yang dikembangkan untuk perencanaan hutan di Finlandia (Kangas et al. 1996 dalam Johan 2011). Menurut Leskinen et al. (2006) A’WOT merupakan metode yang menunjukan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat diverifikasi dan digunakan selanjutnya untuk menyusun strategi.

Analisis AHP maupun analisis SWOT lazim digunakan untuk merumuskan kebijakan. Bila dilihat dari subjektifitasnya maka analisis AHP lebih baik dari analisis SWOT. Oleh karena itu, dengan menggabungkan kedua teknik analisis AHP dan SWOT diharapkan dapat saling menyempurnakan dan meminimalkan tingkat subjektifitas dari suatu kebijakan yang dihasilkan (Rosdiana 2011)

Menurut Nasdan et al. (2008) metode SWOT disebut juga sebagai metode analisis situasi yang digolongkan ke dalam faktor lingkungan internal (Kekuatan dan Kelemahan) atau sering dikatakan dampak secara langsung dan faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) atau dampak secara tidak langsung. Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan kekuatan serta dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Matriks SWOT dapat mengambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti 2009).

Dalam analisis SWOT agar keputusan lebih tepat, maka perlu melalui tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Marimin 2004):

1. Tahapan evaluasi faktor eksternal dan internal

Tahapan ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dengan analisis data yang relevan dalam penelitian. 2. Tahapan Analisis yaitu dengan pembuatan matrik internal dan matrik

eksternal SWOT. Bobot (B) setiap unsur faktor internal dan eksternal merupakan kunci keberhasilan pembangunan (Key Success Factor/KSF) yang memiliki nilai antara 0 (tidak penting) sampai dengan 1 (sangat penting). Bobot KSF ini ditentukan dengan membandingkan derajat kepentingan (urgensi) antar KSF. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut kemudian diberi peringkat/rating (R) dimana menunjukkan nilai dukungan masing-masing faktor dalam pencapaian tujuan. Pemberian rating dimulai dari 5 (sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh) dan 1 (Kurang berpengaruh). Bobot faktor dan ratting akan menentukan skor (BxR) yang menunjukan nilai dukungan terhadap pencapaian tujuan. Selanjutnya dilakukan perhitungan selisih skor dalam setiap faktor SWOT sehingga diperoleh total skor faktor internal dan eksternal. Hal ini akan dijadikan sebagai penentuan posisi strategi pengembangan pada posisi kuadran tertentu pada kuadran strategi SWOT dalam penetapan bobot.

3. Tahapan pengambilan keputusan

(28)

14

kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan untuk menghadapi ancaman yang ada (WT).

Penggabungan analisis AHP dengan analisis SWOT ini dikarenakan analisis SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berapa bobot antara masing-masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antar faktor dalam komponen tersebut, perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang berkompeten.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses, dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis. (Setiadi 2013).

Menurut Setiadi (2013) SIG mempunyai beberapa kemampuan, yaitu : a. Memetakan Letak

Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk mencari dimana letak suatu daerah, benda, atau lainnya di permukaan bumi. Fungsi ini dapat digunakan seperti untuk mencari lokasi rumah, mencari rute jalan, mencari tempat-tempat penting dan lainnya yang ada di peta.

b. Memetakan Kuantitas

Pemetaan penyebaran kuantitas dapat mencari tempat-tempat yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan digunakan untuk pengambilan keputusan, ataupun juga untuk mencari hubungan dari masing-masing tempat tersebut. c. Memetakan Kerapatan

Pemetaan kerapatan dapat dengan mudah membagi konsentrasi daerah kedalam uni-unit yang lebih mudah untuk dipahami dan seragam, misalkan dengan memberikan warna yang berbeda pada daerah-daerah yang memiliki konsentrasi tertentu. Pemetaan kerapatan ini biasanya digunakan untuk data-data yang berjumlah besar seperti sensus penduduk.

d. Memetakan apa yang ada di luar dan di dalam suatu area

SIG digunakan juga untuk memonitor apa yang terjadi dan keputusan apa yang akan diambil dengan memetakan apa yang ada pada suatu area dan apa yang ada diluar area.

Menurut Prahasta (2005) kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, sesuai dengan datanya, terdapat dua jenis fungsi analisis di dalam SIG; fungsi analisis spasial dan atribut (basis data atribut). Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basisdata (DBMS) dan perluasannya, yaitu :

1. Operasi dasar basisdata yang mencakup : a. Membuat basis data baru (create database) b. Menghapus basis data (drop database) c. Membuat tabel basis data ( create table) d. Menghapus tabel basis data (drop tale)

(29)

15 2. Perluasan operasi basisdata :

a. Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain (export dan import).

b. Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.

c. Dapat menggunakan bahasa basisdata standart SQL (structured query language)

Fungsi analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain terdiri dari:

1. Klasifikasi (reclassify) : fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.

2. Overlay : fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya.

3. Buffering : fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya.

SIG banyak dimanfaatkan dalam memetakan bahaya longsor di beberapa daerah, di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Nurhayati (2009), memanfaatkan SIG dalam penyusunan peta rawan longsor Kabupaten Cianjur. Peta tersebut dibuat dengan menggunakan operasi intersect dengan SIG, dimana pada setiap parameter longsor (peta-peta kemiringan lereng, curah hujan, tanah, dan penggunaan lahan) diberi skor dan bobot. Hasil proses SIG menunjukkan bahwa SIG dapat dimanfaatkan untuk memetakan risiko kerawanan longsor dengan cepat.

2. Rahmat (2010), memanfaatkan SIG untuk memetakan rawan longsor di Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka. Proses tumpang susun dilakukan pada parameter penyebab longsor (peta geologi, peta curah hujan, peta lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah) yang sebelumnya telah diberi skor pada masing-masing parameter. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknologi SIG untuk pemodelan spasial tingkat kerawanan bencana longsor dapat diperoleh dengan akurasi hasil yang cukup baik.

(30)

16

Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik pada penelitian ini di antaranya adalah :

1. Utomo (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Identifikasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor Jawa Barat, mengidentifikasi kemungkinan dan penyebab terjadinya longsor pada daerah – daerah yang berbahan induk vulkanik, mempelajari bentuk dan karakteristik longsor, dan memetakan daerah – daerah yang berpotensi terjadinya longsor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa longsor akan meningkat seiring dengan bertambahnya kemiringan lereng yang dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti penggunaan lahan dan kerapatan vegetasi. Regression Analyisis merupakan salah satu metode yang digunakan untuk membuat 3 model prediksi longsor yaitu; jenis longsor, luas areal longsor dan luas hamparan material longsor. Tiap – tiap parameter mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap model prediksi longsor. Jenis longsor yang ditemukan terdiri dari longsoran rotasi (slump) dan longsoran translasi (sliding), dimana lereng dengan kemiringan ≥ 30% akan berpotensi terjadinya longsor. Proporsi areal longsor lebih dipengaruhi oleh kemiringan lereng, sedangkan luas material hamparan longsor dan tipe longsoran lebih dipengaruhi oleh tipe penggunaan lahan (landuse).

(31)

17

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang memiliki luas ± 298.838 ha dan secara geografis terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur. Lokasi penelitian mencakup semua kecamatan dan desa/kelurahan yang ada yaitu 40 kecamatan, 434 desa/kelurahan. Penelitian dilaksanakan pada Bulan April - Desember 2015, sedangkan lokasi penelitian (Peta Wilayah Kabupaten Bogor) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor)

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengamatan berbagai kejadian tanah longsor di lokasi kajian. Lokasi kajian dipilih berdasarkan data titik-titik longsor / kejadian tanah longsor dari BPBD Kabupaten Bogor. Penentuan titik-titik survei lapangan berdasarkan kejadian terbesar dan pertimbangan aksesibilitas (jaringan jalan yang tersedia).

(32)

18

dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang terdiri dari : Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

Secara ringkas, data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Hasil survei titik longsor di lapangan,

2. Hasil pengolahan data SRTM (DEM) resolusi 90 meter, 3. Hasil wawancara (dengan menggunakan kuesioner). Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi:

1. Peta Administrasi Kabupaten Bogor skala 1 : 25.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor skala 1 : 25.000, Tahun 2013, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

3. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor 2005 – 2025, Skala 1: 100.000, Tahun 2008, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

4. Peta Curah Hujan skala 1 : 25.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

5. Peta Satuan Tanah skala 1 : 250.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

6. Peta Geologi lembar Bogor, Skala 1:100.000, Tahun 1998, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. 7. Data bencana tanah longsor tahun 2012 – 2014 dari Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kabupaten Bogor.

8. Citra SRTM resolusi 90 m yang digunakan untuk membuat peta kemiringan lereng

Peralatan yang digunakan antara lain Global Positioning System (GPS), kamera digital dan seperangkat komputer dengan software pengolah data spasial, SPSS dan Microsoft Office 2007.

Matriks analisis penelitian yang menggambarkan hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, metode analisis, dan keluaran yang diharapkan, disajikan pada Tabel 2.

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor

(33)

19 Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis,

dan keluaran

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Keluaran 1 Menganalisis

(34)

20

Data bencana kejadian longsor

Karakteristik wilayah bekas kejadian longsor

Analisis Faktor

Penggunaan lahan Curah Hujan Tanah Kemiringan lereng Geologi

Skoring

Determinan faktor

Curah Hujan Tanah Geologi Kemiringan lereng

Skoring dan pembobotan

Peta Suseptibilitas

Penggunaan Lahan Eksisting Penggunaan

lahan 2013

Google Earth 2015

Peta Bahaya Longsor Validasi

Skoring dan pembobotan

Digitasi dan klasifikasi

Skoring

Peta Kapasitas Peta Kerentanan

Skoring

Overlay & Klasifikasi

Peta Risiko Longsor

Peta RTRW Pola Ruang Penggunaan

Lahan Eksisting

Overlay & Klasifikasi

Peta Konsistensi

Data Responden

A’WOT

Arahan Penataan Ruang

Gambar 8 Bagan Alir Penelitian

(35)

21 Titik-titik lokasi longsor yang ada dibuat zonasi berdasarkan kondisi lahan apa yang mempengaruhi untuk menentukan pengambilan titik sampel. Setelah itu dilakukan pengamatan langsung pada beberapa lokasi kejadian longsor. Hasil pengamatan di berbagai lokasi kejadian longsor diolah dengan GIS dengan menggunakan intersect peta satuan tanah, peta curah hujan, peta geologi dan peta kemiringan lereng untuk mengetahui karakteristik wilayah titik longsor. Hasil intersect titik-titik kejadian longsor kemudian di skoring menggunakan skor parameter dari Puslitanak. Selanjutnya dengan bantuan SPSS hasil skoring di analisis faktor ditentukan determinan faktor penyebab longsor.

Pemetaan Suseptibilitas Longsor (Landslide Susceptibility Mapping)

Suseptibilitas longsor (landslide susceptibility) menggambarkan potensi kondisi alami dari fisik lahan untuk mengalami longsor. Pembuatan peta suseptibilitas longsor dilakukan dengan membuat satuan peta yang merupakan satuan analisis melalui operasi tumpang tindih (overlay) dari peta-peta parameter longsor yang bersifat statis yaitu peta curah hujan, peta satuan tanah, peta kemiringan lereng dan peta geologi.

Nilai parameter pada setiap satuan analisis tersebut diberi skor. Nilai skor total untuk setiap satuan analisis merupakan penjumlahan dari skor parameter dikalikan bobot dengan rumus sebagai berikut :

Nilai Total = (SCHxBCH) + (STxBT) + (SGxBT) + (SLxBT) Keterangan :

SCH : Skor Curah Hujan BCH : Bobot Curah Hujan ST : Skor Tanah

BT : Bobot Tanah SG : Skor Geologi BG : Bobot Geologi SL : Skor Lereng BL : Bobot Lereng

Bobot dari setiap parameter ditentukan dari hasil analisis faktor yang sudah dilakukan sebelumnya. Pemberian bobot terhadap masing-masing parameter pemicu longsor merujuk pada rumusan yang digunakan Davidson dan Shah (1997) dalam Ikqra (2012) sebagai berikut:

Dimana : wj = nila bobot yang dinormalkan n = jumlah parameter (1,2,3,....n) rj = posisi urutan parameter

(36)

22

Tabel 3 Skor parameter suseptibilitas longsor

No Parameter Skor

1 Curah Hujan (mm/tahun) Sangat basah (>3.000 mm)

Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols, Litosols, Renzina Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran

Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol, Lateritik air tanah, Latosol terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)

Untuk menentukan kelas suseptibilitas longsor, dilakukan perhitungan terlebih dahulu besarnya nilai suseptibilitas melalui perkalian skor dan bobot. Kemudian nilai tersebut digunakan untuk menentukan nilai interval kelas yang didasarkan pada jumlah kelas yang ditentukan, dengan menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999) sebagai berikut:

Dalam penelitian ini, peta suseptibilitas longsor dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas suseptibilitas longsor yaitu: (i) sangat rendah (zona kelas suseptibilitas longsor sangat rendah); (ii) rendah (zona kelas suseptibilitas longsor rendah); (iii) sedang (zona kelas suseptibilitas longsor menengah); (iv) tinggi (zona kelas suseptibilitas longsor tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas suseptibilitas longsor sangat tinggi).

Pemetaan Bahaya Longsor (Landslide Hazard Mapping)

(37)

23 Dengan demikian parameter – parameter yang digunakan untuk memetakan bahaya longsor meliputi : curah hujan, kemiringan lereng, geologi, penggunaan lahan dan jenis tanah. Penentuan parameter-parameter yang menjadi pemicu terjadinya longsor dapat dijelaskan sebagai berikut :

Curah hujan

Pengaruh curah hujan dalam memicu longsor melalui tiga cara, yaitu melalui penambahan beban lereng (shear stress), peningkatan nilai tekanan air pori tanah, dan memperkecil daya tahan tanah (shear strength) terhadap lapisan kedap (bidang luncur) yang terletak di bawahnya. Dengan demikian semakin tinggi curah hujan, maka akan semakin tinggi tingkat bahaya longsor.

Kemiringan lereng

Kondisi kemiringan lereng di Kabupaten Bogor sangat beragam, mulai dari landai (1-8%) sampai dengan terjal (>45%). Faktor kemiringan lereng menjadi salah satu parameter penyebab longsor karena longsor hanya terjadi pada daerah yang memiliki kemiringan lereng menengah hingga besar (bidang miring). Kemiringan lereng dianggap berpengaruh terhadap longsor karena kestabilan lereng terletak pada kemiringannya dimana kendali utamanya adalah gaya gravitasi, sehingga gravitasi mampu memisahkan massa (batuan/tanah) yang telah terbentuk secara mantap. Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut berpotensi menyebabkan longsor, namun jika tidak terdapat pada lereng yang miring, maka longsor tidak mungkin terjadi.

Geologi

Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Bogor ada beberapa jenis. Kondisi Kabupaten Bogor yang berada di beberapa kaki gunung membuat batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung berapi, yaitu terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi.

Jenis tanah

Keberadaan Kabupaten Bogor yang dikelilingi gunung membuat jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap longsor, antara lain latosol, aluvial, regosol, podsolik dan andosol. Penggunaan lahan

Perubahan penggunaan lahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia, terbukti berdampak terhadap kejadian bahaya longsor, seperti: pembukaan hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam yang terlalu rapat, penambangan yang tidak berwawasan lingkungan, dan pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman. Dengan demikian, semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kabupaten Bogor, akan meningkatkan potensi penurunan kestabilan lereng.

Penggunaan skor pada setiap parameter, mengacu pada skor parameter bahaya dari PUSLITANAK (2004) yang dimodifikasi sesuai dengan Tabel 3, sedangkan skor untuk penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4.

(38)

24

Tabel 4 Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor

No Parameter Skor terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)

Untuk penentuan bobot pada parameter penyebab longsor dan menentukan kelas bahaya longsor menggunakan cara yang sama seperti pemetaan suseptibilitas.

Verifikasi dan Pengujian Peta

Untuk melihat peta bahaya longsor dengan metode yang sudah dikembangkan maka dilakukan pengujian dengan dilakukan dengan overlay antara peta bahaya longsor dengan peta lokasi kejadian longsor. Peta lokasi kejadian longsor dibuat dengan menggunakan data bencana longsor dari BPBD Kabupaten Bogor. Proses verifikasi ini dilakukan pada semua kelas bahaya longsor (Faizana et al. 2015).

Analisis Risiko Longsor

Analisis risiko longsor dilakukan dengan melihat sebaran bahaya longsor yang dikaitkan dengan kerentanan masyarakat dan kapasitas wilayah dalam menghadapi longsor. Data yang digunakan dalam pembuatan peta risiko longsor, meliputi peta bahaya longsor, peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 dan peta Penggunaan Lahan Eksisting. Operasi tumpang tindih dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks antara penggunaan lahan eksisting, pola ruang, dan bahaya longsor. Analisis peta risiko berdasarkan matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat dihindari kesalahan dalam analisis.

Kerentanan

(39)

25 Demikian sebaliknya dengan tipe penggunaan lahan hutan, semak/belukar, dan tubuh air yang memiliki nilai kerentanan paling rendah, dimana hal tersebut dikarenakan pada tipe penggunaan lahan tersebut memiliki potensi kerugian yang paling rendah dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan lainnya apabila terjadi longsor. Kerentanan fisik jalan, potensi dampak dan potensi kerugian akibat bahaya digunakan sebagai dasar untuk menentukan skor dan kelas kerentanan. Klasifikasi kelas kerentanan bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi kelas kerentanan longsor

Penggunaan Lahan Kelas Kerentanan Longsor Skor

Hutan, Semak belukar, Tubuh Air Tegalan/Ladang

Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan tingkat ancaman/bahaya dan tingkat kerugian akibat bencana (BNBP 2012). Dalam penelitian ini pembuatan peta kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan yang bisa menggambarkan usaha antisipasi bencana secara fisik. Meminimalkan bencana dengan penggunaan lahan yang sesuai dengan kondisi rawan longsor. Permukiman mempunyai kapasitas sangat rendah karena diasumsikan tidak ada pengamanan untuk mengurangi risiko longsor. Tegalan dan ladang memiliki kapasitas rendah karena diasumsikan adanya tanaman yang bisa mengurangi risiko longsor. Sawah masuk dalam kelas kapasitas sedang dengan asumsi penggunaan terasering pada lahan sawah dengan kemiringan lereng curam sehingga bisa meminimalkan risiko longsor. Perkebunan dan hutan masuk dalam kelas kapasitas tinggi dan sangat tinggi diasumsikan kondisi lahan yang dipenuhi pohon bisa mengikat tanah untuk mengurangi risiko longsor. Klasifikasi kelas kapasitas bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Klasifikasi kelas kapasitas longsor

Penggunaan Lahan Kelas Kapasitas Skor

Permukiman Tegalan/Ladang Sawah

Perkebunan

Hutan, Semak belukar, Tubuh Air

Sangat Rendah

Pembuatan peta risiko longsor mengacu pada rumusan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 02 Tahun 2012 (BNBP 2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana sebagai berikut :

(40)

26 Dimana :

R : Disaster Risk : Risiko Bencana H : Hazard : Bahaya V : Vurnerabilty : Kerentanan C : Capacity : Kapasitas

Berdasarkan rumusan tersebut, peta risiko longsor dibuat berdasarkan operasi tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor, peta kerentanan dan peta kapasitas. Peta bahaya merupakan hasil tumpang tindih dari parameter-parameter penyebab longsor, sedangkan peta kerentanan merupakan peta yang menunjukkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap bahaya longsor. Adapun peta kapasitas merupakan peta yang menunjukkan nilai kapasitas suatu wilayah dalam menghadapi bahaya longsor. Dengan demikian terlihat bahwa tingkat risiko longsor amat tergantung pada : (a) tingkat bahaya, (b) tingkat kerentanan masyarakat yang terancam, dan (c) tingkat kapasitas wilayah yang terancam. Tahapan pembuatan peta risiko dapat dilihat pada diagram alir tahapan penelitian (Gambar 8 terdahulu). Sebelum perhitungan risiko dengan menggunakan persamaan di atas dilakukan, terlebih dahulu ditentukan nilai masing-masing kelas dari ketiga peta tersebut (bahaya, kerentanan dan kapasitas). Nilai tersebut diperoleh dengan cara membagi nilai urutan kelas dengan nilai urutan kelas maksimum (Tabel 10). Setelah itu operasi tumpang tindih (overlay) untuk memperoleh poligon-poligon baru dilakukan.

Tabel 7 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas

Kelas

Dari hasil perhitungan risiko, selanjutnya ditentukan kelas risiko longsor. Dalam penelitian ini, kelas risiko longsor dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas tingkat risiko yaitu: (i) sangat rendah (zona kelas risiko sangat rendah); (ii) rendah (zona kelas risiko rendah); (iii) sedang (zona kelas risiko menengah); (iv) tinggi (zona kelas risiko tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas risiko sangat tinggi).

(41)

27 Klasifikasi kelas risiko longsor berdasarkan nilai interval kelas disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Klasifikasi kelas risiko longsor

Kelas Risiko Longsor Nilai

Sangat Rendah

Arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak bencana longsor dirumuskan dengan melihat keterkaitan antara penataan ruang dengan sebaran daerah bahaya longsor, pola penggunaan lahan, dan sebaran daerah risiko longsor yang di analisis dengan menggunakan : (1) operasi tumpang tindih (SIG) antara peta bahaya longsor dengan peta pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 untuk melihat aspek perencanaan penataan ruang, (2) konsistensi penggunaan lahan untuk melihat aspek pemanfaatan ruang, (3) operasi tumpang tindih (SIG) antara peta risiko dengan peta rencana pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 untuk melihat aspek pengendalian pemanfaatan ruang, dan (4) teknik analisis penggabungan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan analisis Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) yang lazim disebut A’WOT untuk pengendalian pemanfaatan ruang.

Keterkaitan Sebaran Bahaya Longsor dengan Pola Ruang Kabupaten Bogor Untuk melihat sebaran bahaya longsor dengan pola ruang Kabupaten Bogor dengan melakukan overlay antara peta bahaya longsor dengan peta pola ruang Kabupaten Bogor

Keterkaitan Konsistensi Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang Kabupaten Bogor

Data yang digunakan dalam pembuatan peta konsistensi penggunaan lahan, meliputi peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 dan peta Penggunaan Lahan Eksisting. Operasi tumpang tindih dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks antara penggunaan lahan yang terjadi terhadap pola ruang. Analisis konsistensi (kesesuaian isi) pada matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat dihindari kesalahan dalam analisis. Tahapan pembuatan peta konsistensi dapat dilihat pada diagram alir tahapan penelitian (Gambar 8 terdahulu).

(42)

28

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan Analisa A’WOT A’WOT (AHPSWOT) adalah metode yang dibangun sebagai upaya penggabungan metode AHP dengan SWOT untuk dapat mendukung pengambilan keputusan melalui analisis AHP dengan memperhatikan unsur (analisis SWOT). Proses analisis A’WOT pada prinsipnya sama dengan proses analisis AHP konvensional, mulai dari perumusan dan penguraian masalah menjadi kriteria-kriteria, membangun struktur hirarki, melakukan perbandingan berpasangan antar komponen kriteria dan proses sintesis pendapat untuk memperoleh prioritas alternatif keputusan yang akan diambil. (Permata 2015)

Menurut Permata (2015) analisis A’WOT dilakukan dengan dua tahapan. Pertama, mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dengan metode SWOT untuk pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Kedua, melakukan AHP terhadap komponen-komponen SWOT yang telah ditetapkan. Pada dasarnya tahap dua ini merupakan pembobotan atau skoring pada komponen-komponen analisis SWOT, sehingga pada akhirnya dapat ditentukan prioritas pengendalian longsor berdasarkan skor tertinggi.

Tahapan proses A’WOT hampir sama dengan AHP konvensional, dimana terdapat modifikasi dalam menetapkan tujuan, faktor dan alternatif pilihan. Tujuan yang ditetapkan merupakan pemilihan prioritas strategi pengendalian longsor, sedangkan faktor dan alternatif-alternatif merupakan hasil dari analisis SWOT. Pembobotan dalam analisis A’WOT ini hasil perbandingan berpasangan (pairwise comparison) berdasarkan pendapat para ahli dengan menggunakan Saaty’s Scale seperti pada Tabel 12.

Tabel 9 Skala pembobotan AHP

Skala Definisi dari “Importance”

1 Sama pentingnya (Equal importance)

3 Sedikit lebih penting (Slightly more importance) 5 Jelas lebih penting (Materially more importance) 7 Sangat jelas penting (Significantly more importance) 9 Mutlak lebih penting (Absolutely more importance)

2,4,6,8 Ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan (Compromise values) Sumber : Saaty (1980)

(43)

29

Dimana,

Keterangan

CI = Consistency Index RI = Random Index

Q = Rata-rata transpose matrik perbandingan berpasangan relatif terhadap vektor kolom dari bobot matrik perbandingan berpasangan tersebut

N = banyaknya faktor atau alternatif pilihan

Hirarki dalam penentuan pemilihan strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 9.

PENENTUAN ARAHAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN LONGSOR

Kekuatan

Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor Bahan dan data yang digunakan dalam analisis A’WOT merupakan hasil perbandingan berpasangan berdasarkan pendapat para ahli. Responden ahli ditetapkan berdasarkan purposive sampling yang mewakili unsur Praktisi/Pejabat Kabupaten Bogor yang mengetahui kondisi lokasi penelitian. Nilai skor yang diperoleh dari pendapat para ahli diolah dengan menggunakan Software Expert Choice 2000.

Selanjutnya dengan hasil yang diperoleh dari teknik analisis AHP, kemudian dihitung bobot dari masing unsur SWOT. Setelah masing-masing unsur SWOT diketahui nilainya, maka unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa strategi (SO, ST, WO, WT). Pembobotan unsur-unsur SWOT dapat dilihat pada Tabel 14.

Gambar

Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor)
Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran
Gambar 8 Bagan Alir Penelitian
Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

MATERI RELASI

Untuk mengetahui bentuk mapping pada storage dari suatu string, perlu diketahui beberapa hal yang menyangkut ruang untuk string yang bersangkutan antara lain :. - letak

Aturan perundang-undangan di Indonesia menyebutkan dengan jelas dalam pasal 31 ayat 1 bahwa, “ setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

Buku tersebut akan berisikan gambar dengan cerita yang berkaitan langsung dengan kehidupan keseharian anak; resep makanan olahan ikan yang dapat dibuat bersama orang tua dan

pangan.Dari Gambar 10dapat dilihat bahwa semakin lama penyimpanan pada suhu ruang maka nilai uji organoleptik aroma tahuakan semakin menurun.Hal ini dikarenakan

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh analisis fundamental yang meliputi inflasi, kurs dan suku bunga BI secara simultan ( bersama – sama ) mempunyai pengaruh terhadap

Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi umum (anestesi total) yaitu hilangnya kesadaran secara keseluruhan, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa hanya

Dilihat dari aspek ekonomis secara rata-rata selama tahun 2007 sampai 2011 pemerintah kabupaten Gresik berada pada kriteria yang tidak ekonomis karena hasil perhitungannya