PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH
LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2006
ABSTRAK
FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS.
Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu 8.460 Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan laha n, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.
FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS.
© Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk m emperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunaka n Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
Nama : Fauziah Alhasanah
NRP : P052030141
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua
Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam
semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul
“Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam
sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan
terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekan-rekan di P3 -TISDA BPP Teknologi Jakarta.
Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.S c. dan Laju Gandharum, S.Si.
penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya telah banyak
membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do’a dan kesabarannya dalam
mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak
tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal, M.Si., atas kesabarannya dalam mendampingi dan membantu dalam
penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga.
Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini
penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding
dalam pelaksanaan penelitian lanjutan.
Bogor, Juni 2006
RIWAYAT HIDUP
Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari
tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1 Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan
Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten
peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta . Pada Agustus 2003 , penulis
melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah
U ntuk dia yang mampu memberi sepercik asa
PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH
LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2006
ABSTRAK
FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS.
Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu 8.460 Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan laha n, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.
FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS.
© Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk m emperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunaka n Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
Nama : Fauziah Alhasanah
NRP : P052030141
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua
Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam
semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul
“Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam
sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan
terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekan-rekan di P3 -TISDA BPP Teknologi Jakarta.
Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.S c. dan Laju Gandharum, S.Si.
penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya telah banyak
membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do’a dan kesabarannya dalam
mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak
tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal, M.Si., atas kesabarannya dalam mendampingi dan membantu dalam
penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga.
Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini
penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding
dalam pelaksanaan penelitian lanjutan.
Bogor, Juni 2006
RIWAYAT HIDUP
Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari
tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1 Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan
Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten
peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta . Pada Agustus 2003 , penulis
melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah
U ntuk dia yang mampu memberi sepercik asa
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Perumusan Masalah... 4
1.3. Tujuan Penelitian... 5
1.4. Kegunaan Penelitian... 5
1.5. Kerangka Pemikiran... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA... 8
2.1. Proses Terjadinya Longsor ... 8
2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa... 10
2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor... 14
2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor ... 16
2.5. Mitigasi Bencana Tanah Longsor... 16
2.6. Sistem Informasi Geografis... 19
III. METODOLOGI PENELITIAN... 22
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian... 22
3.2. Bahan dan Alat Penelitian... 22
3.3. Metodologi... 22
3.3.1. Persiapan ... 22
3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik ... 23
3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis Pembuatan Peta Bahaya Longsor ... 23
3.3.4. Validasi Lapangan... 26
3.3.5. Analisis Ulang... 26
3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko ... 26
3.3.6.1. Peta Properti ... 27
3.3.6.2. Peta Risiko Longsor... 27
3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian... 31
4.1.1. Administrasi dan Kependudukan... 31
4.1.2. Curah Hujan ... 35
4.1.3. Suhu ... 36
4.1.4. Topografi ... 36
4.1.5. Hidrologi ... 40
4.1.6. Penggunaan Lahan ... 40
4.1.7. Geologi... 43
4.1.8. Jenis Tanah ... 44
4.2. Bencana Longsor... 47
4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor... 49
4.4.3. Jenis Tanah ... 54 4.4.4. Geologi... 55 4.4.5. Tutupan Lahan... 56 4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor ... 57 4.5.1. Peta Infrastruktur... 58 4.5.2. Peta Jaringan Jalan ... 59 4.5.3. Peta Penggunaan Lahan ... 60 4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor... 63 4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor... 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 74 5.1. Kesimpulan... 74 5.2. Saran... 75
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor ... 16 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor... 24
3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor... 26 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang
Tahun 2003 ... 32 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan
Kecamatan Sumedang Selatan ... 33
6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten
Sumedang………... 35 7. Kelas Lereng dan Luasannya ... 37
8. Jenis Penggunaan Lahan Luasannya ... 40 9. Satuan Batuan Beserta Luasannya... 44 10. Jenis Tanah Beserta Luasannya ... 46
11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor. 48 12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang Telah Dilakukan ... 49
13. Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor ... 50 14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor... 50
15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng ... 54 16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor ... 55
17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor ... 56 18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor ... 57 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur... 58
20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan... 60 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan... 61
22. Matriks Penentuan Nilai Risiko ... 63 23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya ... 65
24. Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Desa di Kecamatan Sumedang Utara dan Selatan... 66 25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ... 68 26. Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan
1. Diagram Alir K erangka Pemikiran Penelitian ... 7 2. Diagram Tipe Gerakan Massa... 14
3. ProsesTerjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya ... 15 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana ... 17 5. Manajemen Resiko Bencana Tanah Longsor... 17 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor... 28 7. Diagram Alir Tahap Penelitian... 30
8. Lokasi Penelitian ... 31 9. Peta Wilayah Administrasi Kec. Sumedang Utara dan Sumedang
Selatan ... 34
10. Peta Kontur... 38 11. Peta Kelas Lereng... 39
12. Peta Penggunaan Lahan ... 41 13. Citra ASTER tahun 2003... 42 14. Peta Geologi... 45
15. Peta Tanah Tinjau ... 46 16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor ... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.1. Latar Belakang
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya
faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng
tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut
dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997).
Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi
permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan
kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian,
pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan.
Tanah longsor dikategorikan sebaga i salah satu penyebab bencana alam, di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana
tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia
dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya
tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam.
Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga
pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut me rupakan banjir dan longsor
(Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan
bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah
banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup signifikan.
Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan
struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang
merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan
2
Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan
menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Ba horok (Sumatera Utara) pada 3 November 2003. Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut
menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat
usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka -luka yang mencapai
ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur).
Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling
tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di
Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah.1 Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial
terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan
tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga
menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah
kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik.
Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota,
antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis,
Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1.
Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan pada t penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang
lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut,
diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat
yang akan ditimbulkan . Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material
dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya. Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992)
1
menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai
mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap
suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas
di tempatnya.
Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah
tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem
peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi
penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor.
Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen,
antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum
(2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang
memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat
dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial
menelan korban jiwa dalam jumlah besar.
Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini
dibuat dalam skala 1 : 1.000.0000 . Padahal, idealnya skala yang harus dibuat
adalah 1 : 50.000 supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui secara detail (Asriningrum 2003).
Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan
teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan
identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak
tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model
4
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan
bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah , struktur
geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya,
Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk
menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya.
1.2. Perumusan Masalah
Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah
yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya
Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa
daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.
Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada
umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa
tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan
rata-rata 40 cm per hari pada musim hujan.
Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki
potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka,
Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya
yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan
demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya
dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng
menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang
memungkinkan terjadinya gerakan tanah.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut, yaitu :
a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor
aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan?
b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor?
c. Bagaimanakah mitigasi terhadap daerah rawan longsor dengan menggunakan teknologi SIG?
1.3. Tujuan Penelitian
a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan.
c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah long sor di wilayah
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
1.4. Kegunaan Penelitian
a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat
bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang.
b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk
mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya
mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya.
1.5. Kerangka Pemikiran
Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya
6
kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, d efinisi bencana difokuskan
pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya , jatuhnya korban
manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada
kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak
luar.
Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang
luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi,
batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu
seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh
tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti
yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.
Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui
faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau
hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu
periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut.
Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan.
Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari
banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date.
Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor.
Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan
melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi
bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan tingkat risiko dengan mempertimbangkan penghindaran,
pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan datang.
Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses
gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan secara umum.
Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam
diagram alir berikut.
[image:32.612.171.492.204.542.2]
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses Terjadinya Longsor
Cruden (1991) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya
longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan
berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi
sebagai bidang luncur.
Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno
(1994) membedakan gerakan massa tanah/batuan menjadi tiga tipe, yaitu (i) tipe
gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan,
gletser, dan solifluction); (ii) tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran tanah, debris avalance, longsoran (landslide), nendatan (slump), longsoran
hancuran, batu longsor, dan batu jatuh (rock fall); dan (iii) terban, yakni turunnya
material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal. Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi
yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini,
besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh
besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu
juga sebaliknya.
Secara matematis, Pidwirny (1996) dalam Purnomo (2003) merumuskan persamaan pengaruh gravitasi, sebagai berikut :
α
sin
W
F
=
dimana :
F : Gaya gravitasi (Kg.m/dt²)
W : Berat massa batuan di suatu titik
α
: Sudut lerengPeristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari
dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan
tegangan geser tanah (Suryolelono 2005).
Dalam buku Gerakan Tanah di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat
Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) dinyatakan bahwa kemantapan suatu
lereng untuk dapat mengalami gerakan tanah dievaluasi dengan menghitung
faktor keamanan (Factor ofsafety, disimbolkan dengan Fs). Fs diperoleh dengan cara membandingkan antara gaya yang menahan dengan gaya yang
meluncurkan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Gaya yang menahan
Fs =
Gaya yang meluncurkan
Apabila gaya yang menahan lebih besar daripada gaya yang meluncurkan
(Fs > 1) maka lereng akan mantap. Sebaliknya, apabila gaya yang menahan lebih kecil dari gaya yang meluncurkan (Fs < 1) maka lereng tersebut akan
bergerak (tidak mantap). Setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan
berkurangnya gaya yang menahan atau memperbesar gaya yang meluncurkan, akan menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah.
Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut:
a. Komposisi dan tekstur material.
b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan seragam.
c. Reaksi kimia.
d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung.
e. Pengaruh tekanan air pori.
f. Perubahan struktur material karena pe ngaruh pelapukan. g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.
Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
10
b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan
diatas lereng, dan genangan air di atas lereng. c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.
d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air,
penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah
berlebihan.
e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan
pengembangan tanah.
f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan,
patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring.
g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan
vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau
kurang kompak.
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor.
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat
kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan
sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi lain meskipun
tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng.
Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yan g mendorong terjadinya longsor.
2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan
mass wasting. Mass Wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith dan tanah dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan
Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada
beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air,
gaya kohesi antarmaterial akan semakin lemah, sehingga memungkinkan
partikel-partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan
menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.
Selanjutnya, pengertian dan batasan masing-masing tipe gerakan massa,
menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
a. Jatuhan (Falls)
Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini
sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membentur-bentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini
banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan.
Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang
batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan.
Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls,
yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau
muka teras. Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil.
Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh.
b. Robohan (Topples)
Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan
setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide).
c. Longsoran (Slides)
Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan
12
d. Nendatan (Slump)
Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur
yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu
besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen
kohesif yang tebal seperti lempung.
Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan
cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang
lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang. Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi
karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan
terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material
yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan
melemahkan le mpung yang berada di bawahnya.
e. Aliran (Flow)
Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan
massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis
flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran
material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung.
Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak
menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang
curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia.
Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur,
tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang
besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah
gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas, yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik
sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng.
Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut, adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan
cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air
pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya.
Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada,
mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow leb ih
sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi
dengan slump.
Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan
earthflow dan mudflow jauh berbeda. Karena eartflow agak kental, maka
alirannya tidak secepat mudflow.
f. Kompleks/Campuran (Complex)
Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi
adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls
dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya
mudflows).
g. Avalanches
Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan
yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang lain, karena dalam media yang ada ikut berperan.
h. Solifluction
Gerakan massa tipe ini te rmasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas
es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari
pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan
tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan. Keseluruhan tipe gerakan massa sebagaimana telah dijelaskan di atas
14
2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor
Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya
[image:39.612.132.518.75.540.2]faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang terlihat dalam skema dalam Gambar 3.
Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa
(menurut Varnes 1978 dalam Cooke dan Doornkamp 1990) Translational TOPPLES SLIDES Rotational FLOWS COMPLEX Rock Fall Rock topple Rotational slump Rock slide Rock Avalanche
Rock fragmen flow (flow slide)
Soil fall
Debris topple
Slides
Earth block slide
Debris flow Sand or silt flow
Earth flow
Debris avalanche Sand run
ROCK coarse SOILS fine-grained
Joint opened Original support removed FALLS source area main track depositional area rock fall
flow tongue of rock debris
mixed sediments
undercut by river
clay-gravel clean sand main scarp head graben slip surface toe pressure ridge
failure along faults
dip slope control by bedding planes s c a rp face
control by joints
Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen -komponen Penyebabnya (Karnawati 2004)
Dari gambar di atas, terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna
lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu
kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng
yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat
merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Menurut Goenadi et al. (2003), faktor pemicu terjadinya longsor
dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat tetap (statis), dan faktor
yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini
mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu dinamis ini
adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang bersifat dinamis, sebenarnya ada faktor kegempaan. Namun karena daerah
penelitian tidak terlalu luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap
mempunyai tingkat faktor kegempaan yang sama.
Selanjutnya, faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis
dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun
dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci, faktor-faktor
16
Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor
No. Faktor Penyebab Parameter
1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 1. Faktor Pemicu Dinamis
3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah
6. Permeabilitas Tanah 2. Faktor Pemicu Statis
7. Tekstur Tanah
Sumber: Goenadi et al. (2003)
2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor
Mikrozoning (risk mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan -kegiatan
pengumpulan data (sekunder maupun survai di lapangan), analisis, dan penyajian dalam bentuk peta risiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar
pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman (Naryanto 2001).
Pembuatan peta risiko tanah long sor dapat dilakukan berdasarkan metode
Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode ini, penentuan tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih
kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran (Rengers
dan Soeters 1993 dalam Barus 1999).
2.5. Mitigasi Bencana Tanah longsor
Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang
dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan ke rentanan (vulnerability) terhadap manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab
dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor
umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab
Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana (Kotter 2004)
Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia , diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam
mengindetifikasi langkah -langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut.
[image:42.612.135.507.450.676.2]18
Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena
sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability)
komunitas di pihak lain serta (risk) risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi
bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari
tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut. Risiko merupakan gabungan da ri unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya
serta kerentanan (UNDRO 1991). Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya,
bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut :
) )( ( ) )(
(E Rs E HxV
Rt = =
dimana : Rt : Risiko
E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya
V : Kerentanan
Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu
yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun
unsur-unsur dari risiko (E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang
memiliki risiko pada suatu area.
Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam.
Selanjutnya, kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada
kerusakan) sampai 1 (kerusakan total).
Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas
dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan
disebut dengan rencana mitigasi.
Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan
bersama-sama dan saling memperkuat.
Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan
definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak.
Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.
2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih
komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai
bahan dalam pengambilan keputusan.
SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu (Burrough
1996). Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan.
Aronoff (1989) menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG
dalam pemetaan, antara lain :
a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar,
khususnya dalam peta tematik.
b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer.
c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan
remote sensing.
d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai
media (peta, foto udara, dan citra satelit).
e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi
informasi dari berbagai peta.
Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan.
Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Klasifikasi/Reklasifikasi
20
b. Overlay
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang
menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa
peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta
yang saling beririsan.
Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa
adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi
kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarn ya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah
dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat.2 Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang
tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter
faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah. Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah
penggambaran kondisi daerah yang bersang kutan dan pada domain inilah peran data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan
dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat 'memilah' pantulan gelombang
elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra
satelit.
Peta -peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja
maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor, dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Prose s penggabungan informasi dalam
berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi
(SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan
spasial.
2
Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data
utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi (berupa peta) baru, sedangkan inderaja langsung
membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran
proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi
lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 . Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2004 sampai dengan Desember
2005. Lokasi penelitiannya terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan
Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (P3TISDA BPPT), Jakarta.
3.2 . Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Landsat TM
Kabupaten Sumedang path-row 121-065 akuisisi 18 September tahun 1996,
Landsat ETM7+ path-row 121 -065 akuisisi 12 Agustus tahun 2002, dan ASTER akuisisi 30 Agustus tahun 2003, peta topografi, serta beberapa peta tematik seperti Peta Geologi, Peta Tutupan Lahan, Peta Kontur, Peta Infrastruktur, Peta
Dasar, dan Peta Tanah. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.7, Multispec, Global Mapper 6.05, Arc View 3.3 dan Global Positioning System
(GPS).
3.3 . Metodologi
Secara sistematis, kegiatan penelitian dilaksanakan melalui
tahapan-tahapan berikut, yaitu : a. Persiapan.
b. Penyusunan peta dasar dan peta tematik.
c. Interpretasi, analisis, dan pembuatan peta bahaya longsor.
d. Validasi lapangan.
e. Analisis ulang.
f. Pengolahan data, penyusunan peta properti, dan peta risiko longsor.
g. Penyajian hasil penelitian.
3.3.1. Persiapan
Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan
“historical event” tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke
3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik
Peta dasar (format digital) disiapkan untuk penyajian peta-peta tematik parameter pemicu tanah longso r (peta permeabilitas tanah, kontur, penggunaan
lahan, jaringan jalan, infrastruktur dan geologi).
a. Peta Permeabilitas Tanah (drainase dan tekstur tanah)
Permeabilitas tanah diidentifikasi berdasarkan Peta Tanah Tingkat Tinjau skala 1:50.000 Provinsi Jawa Barat (Puslittanak), dengan memperhatikan
faktor drainase, tekstur tanah, dan posisinya. Peta ini berguna dalam
penyusunan peta bahaya tanah longsor. b. Peta Kontur
Kelerengan (tingkat kecuraman) dan geomorfologi dianalisis menggunakan
Peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal) dengan pendekatan garis
kontur. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. c. Peta Penggunaan Lahan
Peta Penggunaan Lahan/Land Use, skala 1:25.000 (Bakosurtanal) direvisi
dengan citra Landsat, citra ASTER dan hasil pengamatan lapangan. d. Peta Geologi
Peta Geologi, skala 1:100.000 (Direktorat Geologi, Bandung, 1994) dijadikan
dasar untuk pengelompokkan kondisi geologi/litologi sebagai faktor
kerawanan terhadap kestabilan tanah dalam kedudukannya dalam suatu lereng.
e. Peta In frastruktur
Peta Infrastruktur diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal).
f. Peta Jaringan Jalan
Peta Jaringan Jalan diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal).
Peta Permeabilitas Tanah, Lereng, Geologi berguna dalam penyusunan
peta bahaya tanah longsor. Adapun Peta Tutupan Lahan berguna untuk
penyusunan bahaya tanah longsor dan risiko longsor. Adapun Peta Infrastruktur dan Peta Jaringan Jalan berguna untuk pembuatan peta risiko tanah longsor.
3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis, dan Pembuatan Peta Bahaya Longsor Tahap pertama adalah interpretasi citra Landsat dan citra ASTER (FCC
24
objek pada citra atau foto udara dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Citra
Landsat dan ASTER digunakan untuk mengupdate peta tutupan lahan, sehingga akan dihasilkan tutupan lahan terkini.
Adapun cara memperbaharui (up-dating) Peta Tutupan Lahan dilakukan
dengan menafsirkan objek pada citra ASTER tahun 2003. Hal ini diperlukan
karena Peta Tutupan Lahan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini sehingga dengan proses up-dating akan dihasilkan peta yang lebih baru.
Analisis dan pengolahan data selanjutnya dimulai setelah peta-peta tematik
parameter fisik wilayah (permeabilitas tanah, penggunaan lahan, dsb) tersedia. Peta-peta tematik ditumpangtindihkan dengan mempertimbangkan skor untuk
mendapatkan kelas sebaran wilayah rawan tanah longsor. Sifat fisik wilayah
[image:49.612.141.504.327.681.2]yang dijadikan parameter pemicu tanah longsor disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor
No. Parameter Nilai Harkat (Skor )
I Curah hujan (mm/tahun)
a. sangat basah (>3000 mm) 5
b. basah (2501 – 3000 mm) 4
c. sedang/lembab (2001 – 2500 mm) 3
d. kering (1501 – 2000 mm) 2
e. sangat kering (> 1500 mm) 1
II Kelerengan (%)
a. > 45 5
b. 30 – 45 4
c. 15 – 30 3
d. 8 – 15 2
e. < 8 1
III Permeabilitas tanah
a. sangat lambat 5
b. lambat 4
c. agak cepat/sedang 3
d. cepat 2
e. sangat cepat 1
IV Tutupan lahan
a. tegalan, sawah 5
b. semak -belukar 4
c. hutan dan perkebunan 3
d. kota/permukiman, bandara, dan lapangan golf 2
e. tambak, waduk, dan perairan 1
V Geologi
a. batuan volkanik (tuf, pasir) 3
b. batuan sedimen (liat, napal) 2
c. batuan berbahan resent (aluvial) 1
Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat parameter sungai dan jalan yang
dijadikan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena pada penelitian-penelitian terdahulu, bahwa tanah longsor yang terjadi di Kabupaten
Sumedang pada umumnya disebabkan oleh faktor lereng dan curah hujan .
Dasar penggunaan skor da lam pembuatan peta bahaya tanah longsor
mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Puslittanak Bogor mengenai Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di
Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung Berbasis Sistem Informasi
Geografi. Dalam penelitian tersebut, setiap parameter pemicu terjadinya tanah longsor ditentukan dengan bobot dan skor.
Dalam penelitian ini, telah dilakukan simulasi penggunaan skor dan bobot
serta dengan dan tanpa bobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peta bahaya
tanah longsor yang diperoleh dengan dan tanpa bobot relatif sama. Oleh karena itu penggunaan bobot dalam penelitian ini ditiadakan, sehingga yang digunakan
hanya skor.
Diantara kelima parameter pemicu tanah longsor sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2, terdapat satu parameter yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu
permeabilitas tanah. Untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat lambat,
diberikan skor tertinggi, yaitu 5. Adapun untuk tingkat permeabilitas tanah yang
sangat cepat, diberikan skor terendah, yaitu 1.
Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan
bahaya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya
tanah longsor. Hal ini dipengaruhi oleh sifat tanah dan kemiringan lereng. Apabila di bawa h lapisan tanah terdapat lapisan kedap air, maka air yang masuk akan
tertahan dan tanah (pada kemiringan tertentu) akan berpotensi tergelincir menjadi longsor.
Skor dengan overlay dikerjakan mempergunakan perangkat lunak Siste m
Informasi Geografi ArcView versi 3.3. Pada proses tumpang tindih ini, skor
masing-masing data parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir
analisis diperoleh sejumlah zona (pada perangkat lunak berupa poligon-poligon). Kemudian, wilayah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke
dalam empat kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; (iii) kurang rawan; dan (iv) tidak rawan. Klasifikasi wilayah rawan tanah longsor ini mengacu pada klasifikasi gerakan tanah yang digunakan pada Direktorat Vulkanologi dan
26
Bandung, yaitu (i) Rawan Longsor Tinggi; (ii) Rawan Longsor Menengah; (iii)
Rawan Longsor Rendah; (iv) dan Rawan Longsor Sangat Rendah. Di samping itu, juga mengacu kepada hasil-hasil penelitian tentang tanah longsor yang telah
dipublikasikan oleh Puslittanak dan BPPT. Secara terperinci,
parameter-parameter yang membentuk klasifikasi wilayah rawan bahaya tanah longsor
[image:51.612.134.505.215.460.2]disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Poten sial) Tanah Longsor
Kelas Parameter
Sangat Rawan - Kelerengan di atas 30%
- Permeabilitas tanah agak cepat s.d. sangat lambat - Curah hujan >2.000 mm/tahun
- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan
- Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik
Rawan - Kelerengan di atas 15%
- Permeabilitas tanah agak cepat/sedang
- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan
- Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik
Kurang Raw an - Kelerengan di atas 8% - Permeabilitas tanah cepat
- Tutupan lahannya perkebunan dan pemukiman
Tidak Rawan - Kelerengan kurang dari 8% - Permeabilitas cepat
- Satuan batuan pada umumnya berbahan resent
- Penggunaan lahan berupa pemukiman
Sumber : Puslittanak dan BPPT 2004, 2004 (Diolah)
3.3.4. Validasi Lapangan
Validasi lapangan dilakukan untuk mencocokkan hasil analisis peta bahaya tanah longsor dengan keadaan sebenarnya di lapangan (baik secara langsung
maupun melalui informasi dari instansi-intansi terkait). Hasil dari validasi lapangan dan data informasi yang terkumpul dijadikan bahan dalam analisis
ulang.
3.3.5. Analisis Ulang
Analisis ulang dilakukan untuk memperbaiki peta bahaya longsor
berdasarkan dari hasil validasi lapangan. Peta bahaya longsor yang telah dihasilkan pada tahapan awal penelitian, disempurnakan berdasarkan hasil
3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko
Pada tahap ini dilakukan penyelarasan semua data (baik data sekunder maupun survai lapangan) dengan peta rawan longsor. Selanjutnya akan
dibangun peta properti dan peta risiko tanah longsor.
3.3.6.1. Peta Properti
Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan terlantar (lahan tidur) maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi yang
berlangsung diatasnya (pemukiman, industri, sawah, tegalan, kolam/tambak dan infrastruktur lainnya).
Peta properti diperoleh dengan “menggabungkan” peta penggunaan lahan
dan peta infrastruktur serta peta jaringan jalan. Nilai properti suatu wilayah dapat
ditentukan apabila di wilayah yang terkena bencana tanah longsor tersebut menyebabkan kerugian dan kemungkinan hilangnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.
3.3.6.2. Peta Risiko Longsor
Peta ini dihasilkan dari penggabungan antara peta bahaya/rawan longsor
dengan peta properti. Peta risiko tanah longsor ini akhirnya akan menghasilkan informasi wilayah -wilayah yang memerlukan mitigasi bencana. Wilayah yang
memiliki nilai risiko tinggi bukan saja dikarenakan wilayah tersebut memiliki
bahaya longsor tinggi tetapi lebih ditekankan pada wilayah yang memiliki nilai properti yang tinggi. Langkah kerja pembuatan peta risiko tanah longsor secara
28
Gambar 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor
Dari Gambar 6 terlihat bahwa dua jenis peta , yaitu peta infrastruktur dan
peta jalan dilakukan proses buffering. Buffering merupakan upaya yang bertujuan
untuk membentuk suatu area, poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang
berfungsi untuk menutupi objek spasial. Buffering tidak dilakukan pada peta penggunaan lahan dan pet