SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)
ABDUL HAMID RAHMAT
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)
ABDUL HAMID RAHMAT
Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka). Di bawah bimbingan Lilik Budi Prasetyo dan Omo Rusdiana.
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan umumnya sering terjadi di wilayah pegunungan, musim hujan serta berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan bencana tanah longsor serta menganalisis resiko bencana tanah longsor di kawasan kaki gunung Ciremai Kabupaten Majalengka.
Untuk menganalisis kerawanan longsor digunakan model pendugaan yang mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan formula : Skor Total =0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT. Tingkat resiko longsor dianalisis dengan mengacu pada penelitian Alhasanah (2006) melalui overlay skor peta properti dengan peta tingkat kerawanan longsor.
Pada lokasi penelitian, kelas kerawanan longsor rendah didominasi pemukiman dengan topografi datar, jenis batuan dominan Qa (Aluvial) dan tanah Latosol serta curah hujan 2500-3000 mm/tahun. Kerawanan longsor sedang didominasi oleh batuan Qyu, tanah Latosol dengan curah hujan 2500-3000 mm/tahun dan sebagian besar berada pada topografi datar. Pada kerawanan longsor tinggi, penutupan lahan berupa hutan mendominasi dengan topografi terjal (15-30 %), didominasi batuan Qvu dan tanah Andosol dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun. Kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar pada areal hutan dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun dengan kemiringan dominan lebih dari 45 %, serta didominasi satuan batuan Qyu dan jenis tanah Andosol.
Berdasarkan hasil analisis peta kerawanan, kelas kerawanan longsor rendah memiliki luas 2160,45 Ha, kerawanan longsor sedang 15319,71 Ha, kerawanan longsor tinggi 21992,49 Ha serta kerawanan longsor sangat tinggi 6191,91 Ha. Kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar berada di Argapura dengan luas 2811,78 Ha (45,41%). Wilayah dengan tingkat resiko rendah memiliki luas 13212,36 Ha (28,93%), tingkat resiko sedang 31507,38 Ha (69,00%), tingkat resiko tinggi 806,94 Ha (1,77%) dan tingkat resiko sangat tinggi 137,88 Ha (0,30%). Maja merupakan wilayah yang memiliki areal tingkat resiko sangat tinggi yang paling luas yaitu 32,67 Ha (23,69%).
Analysis of Landslide Disaster with Geographic Information Systems (GIS) (Case Study in Ciremai Foothills Region, Majalengka District). Under Supervision of Lilik Budi Prasetyo and Omo Rusdiana.
Landslide disaster is one of the natural disasters that often occur in Indonesia and is generally common in mountainous regions, the rainy season and is closely related to natural conditions such as soil type, rock type, rainfall, land slope and land cover. The aim of this study is to mapping hazard landslide areas and to analyze the risk of landslides in the Ciremai foothills region Majalengka district.
Puslittanak (2004) is using to be a model of analyzing landslide susceptibility prediction in study area, the formula is Total Score = 0,3 FRain Falls +0,2 FGeology +0,2 FLand Slope +0,2 FLand Cover +0,1 FSoil Types. Risk analysis was analyzed by quantitative models based on research of Alhasanah (2006) through the overlaying property map score (infrastructure map, road map and land cover) with landslide vulnerability map.
In study area, low landslide susceptibility class dominated by flat topography, the dominant rock type is Qa (Aluvium), soil type is Latosol and rainfall intensity 2500-3000 mm/year. Medium landslide susceptibility occur in flat to a relatively steep slope with the type soil dominated by Andosol and level of rainfall intensity is 2500-3000 mm/year. At high landslide susceptibility, dominated land cover is forest with steep topography (15-30%), rock type is dominated by Qvu and the soil type is Andosol with rainfall 3000-3500 mm / year. Very high vulnerability to landslides mostly located in forest areas with very steep slope (>45%), high rainfall intensity 3000-3500 mm/year and dominated by Qyu rock type and Andosol soil type.
Based on the analysis of vulnerability map, in area study obtained low vulnerability covered area 2160,45 hectares, medium vulnerability with covered 15319,71 hectares, 21992,49 hectares of high landslide vulnerability and very high vulnerability covered 6191, 91 hectares. Very high vulnerability mostly located in Argapura with 2811,78 hectares (45,41%). Based on the analysis of risk maps, the area of research has a low risk area with a wide level of 13212,36 hectares (28,93%), medium risk level covered 31507,38 hectares (69,00%), high risk level covered 806,94 hectares ( 1,77%) and very high risk level covered 137,88 hectares (0,30%). Areal distribution of very high risk level areas are the largest in the Maja with covered area 32,67 hectares (23,69%).
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
”Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki
Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)”
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan
sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi
yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data
yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua
sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2010
Abdul Hamid Rahmat
(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)
Nama : Abdul Hamid Rahmat
NIM : E34102014
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Menyetujui :
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Prof Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc
NIP. 196203161988031002 NIP. 196301191989031003
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 196111261986011001
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah
diberikan kepada penulis, skripsi yang berjudul ”Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten
Majalengka)” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai prasyarat kelulusan.
Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap
perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat
bermanfaat di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan datang. Semoga
tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang dapat
berguna bagi kita semua. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc. dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
Penulis sadar betul skripsi yang disusun ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis berharap banyak atas masuknya saran dan kritik yang
bersifat membangun. Terlepas dari segala kekurangan, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi siapapun yang berkepentingan.
Bogor, September 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Nopember 1983 di Maja. Anak ke-4
dari pasangan Aton Nadjib (Alm.) dan Siti Sarah.
Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Langensari pada tahun
1996. Kemudian penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Maja dan lulus
pada tahun 1999. Pendidikan formal selanjutnya diselesaikan penulis di SMU
Negeri 1 Maja pada tahun 2002. Selepas SMU, penulis melanjutkan studinya pada
tahun 2002 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan.
Selama masa studi di IPB, penulis tinggal di Asrama Sylvalestari dan
terlibat dalam kepengurusan Sylvalestari dan beberapa kegiatan seperti
Sylvalestari Futsal 2003, Festival Film Indonesia Baru @ Bogor 2005 serta
beberapa kegiatan lain. Selama kuliah penulis telah melaksanakan Praktek
Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Timur, Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Agustus – September 2005 dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) pada tahun 2006 di Taman Nasional Baluran Jawa
Timur.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
menyusun Skripsi dengan judul “Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis
(SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Omo
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam proses penyelesaian studi untuk mendapatkan gelar sarjana
Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.
2. Ibu, Bapak (Alm.), Kakak-kakakku serta semua saudaraku, yang selalu
memberikan dukungan dan doa
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Omo
Rusdiana, M. Sc. selaku dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan
waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan
saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.
4. Bapak Ir. Sucahyo Sadiyo, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil
Hutan dan Ibu Dra. Sri Rahayu, M.Si. selaku dosen penguji dari Departemen
Manajemen Hutan.
5. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya telah
membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan ucapan
terima kasih.
6. Keluarga Besar Sylvalestari atas motivasi dan dorongannya dalam berbagai
bentuk dan metode.
7. Bapak dan ibu Staff Departemen KSH dan Fakultas Kehutanan IPB yang
dengan ketulusannya memberikan motivasi.
8. Rekan-rekan KSH 39 atas kebersamaannya.
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang... 1
I.2. Tujuan Penelitian ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Tanah Longsor ... 3
2.2. Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor ... 8
2.3. Penginderaan Jauh... 9
2.4. Sistem Informasi Geografis ... 10
III. METODE PENELITIAN ... 14
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14
3.2. Alat dan Bahan... 14
3.3. Metode Penelitian ... 15
3.3.1. Pengumpulan Data ... 15
3.3.2. Penyiapan Data... 15
3.3.3. Analisis Data Kerawanan Bencana Tanah Longsor ... 17
3.3.4. Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor ... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
4.1. Kondisi Biofisik ... 24
4.1.1. Lokasi... 24
4.1.2. Iklim dan Curah Hujan ... 24
4.1.3. Jenis Batuan ... 28
4.1.4. Jenis Tanah ... 31
4.1.5. Kemiringan Lahan ... 33
4.2. Analisis Kerawanan Tanah Longsor... 39
4.2.1. Model Pendugaan Kerawanan Tanah Longsor ... 39
4.2.2. Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor ... 40
4.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Tanah Longsor ... 44
4.3. Analisis Resiko Tanah Longsor ... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50
5.1. Kesimpulan ... 54
5.2. Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
1. Daftar jenis data dasar ...15
2. Klasifikasi Curah Hujan (mm/tahun) ...18
3. Klasifikasi Jenis Batuan ...19
4. Skor Parameter Kemiringan Lahan ...20
5. Kelas Penutupan Lahan ...20
6. Klasifikasi Kondisi Tanah ...21
7. Skor parameter pembentuk Peta Properti ...23
8. Intensitas dan Distribusi Curah Hujan ...26
9. Luas dan Distribusi Jenis Batuan ...30
10. Luas dan Distribusi Jenis Tanah ...31
11. Luas dan Distribusi Kemiringan Lahan ...34
12. Luas dan Distribusi Penutupan Lahan ...36
13. Interval Skor Kelas Tingkat Kerawanan Tanah Longsor ...40
14. Luas dan Distribusi Tingkat Kerawanan Longsor ...40
15. Tabulasi Tingkat Kerawanan dengan Parameter dalam Hektar ...44
16. Interval Skor Kelas Properti ...48
17. Distribusi Kelas Properti per Kecamatan ...50
18. Interval Skor Kelas Resiko ...51
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ... 14
2. Bagan Alir Pembuatan Peta Digital ... 16
3. Peta Lokasi Penelitian ... 25
4. Peta Curah Hujan ... 27
5. Peta Jenis Batuan ... 29
6. Peta Jenis Tanah ... 32
7. Peta Kemiringan Lahan ... 35
8. Peta Penutupan Lahan ... 38
9. Peta Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor ... 41
10. Peta Properti ... 49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Report Hasil Akurasi ... 59
I.1. Latar Belakang
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia dan umumnya sering terjadi di wilayah pegunungan serta pada
musim hujan. Bencana ini berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah,
jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu
faktor manusia juga sangat menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih
fungsi lahan yang tidak bijak, penggundulan hutan, pembangunan pemukiman
pada wilayah dengan topografi yang curam.
Menurut Naryanto (2009), Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang
mempunyai tingkat resiko bencana tanah longsor paling tinggi dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia. Daerah yang terletak di tengah dan selatan Jawa
Barat memiliki tingkat kerawanan bencana tanah longsor tinggi, yaitu meliputi
Kabupaten Garut, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Bandung, Bogor,
Sukabumi, Sumedang dan Cianjur.
Surono (2009) menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Geologi, pada
tahun 2008 di Jawa Barat terjadi 76 kali longsor dengan jumlah korban meninggal
dunia 27 orang dan 13 orang luka-luka. Banyaknya jumlah kejadian dan korban
itu membuat Jawa Barat menempati posisi pertama dalam jumlah kasus dan
korban longsor, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara Jawa Barat
berada di posisi kedua setelah Jawa Tengah dalam kerugian akibat longsor dengan
jumlah rumah rusak 448 unit dan hancur 61 unit.
Kawasan kaki gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten
Majalengka merupakan kawasan sentra produksi pertanian hortikulura serta
memiliki beberapa tempat tujuan wisata yang cukup penting di kawasan
Ciayumajakuning. Penutupan lahan di wilayah tersebut terdiri dari hutan (hutan
alam dan hutan tanaman), lahan pertanian (ladang, sawah, kebun), pemukiman,
semak belukar. Topografi wilayah tersebut sebagian besar berbukit-bukit dengan
kemiringan 20-45% serta curah hujan yang tinggi antara 2000-4500 mm/tahun.
Perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan pembangunan di suatu
longsor yang akan terjadi di wilayah tersebut. Identifikasi dan pemetaan kawasan
rawan bencana tanah longsor bisa menjadi salah satu bahan panduan dalam
pemanfaatan sumber daya alam.
I.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan bencana tanah
longsor serta menganalisis resiko bencana tanah longsor di kawasan kaki gunung
2.1. Tanah Longsor
2.1.1. Definisi Tanah Longsor
Tanah longsor adalah gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai
sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase,
lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis
seperti penggunaan lahan dan infra-struktur (Barus 1999).
Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana
pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang
relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan
atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan
sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru
akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan
terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah
(Anonim 2002). Kamus wikipedia menambahkan bahwa tanah longsor merupakan
suatu peristiwa geologi di mana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya
bebatuan atau gumpalan besar tanah.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan
bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan
sebagai masa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal
serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng
karena faktor gravitasi bumi. Ditinjau dari kenampakannya jenis gerakan tanah
longsor dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain :
a. Jenis jatuhan
Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas
tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng yang
terjal.
b. Longsoran
Longsoran yaitu masa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan
bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan
tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran
mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan
meruntuhkan bangunan di atasnya.
c. Jenis aliran
Jenis aliran yaitu masa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air dan jenis materialnya. Umumnya
gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan
meter, di beberapa tempat bahkan sampai ribuan meter seperti di daerah aliran
sungai daerah gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
d. Gerakan tanah gabungan
Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran
dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang
banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup
tinggi.
Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau
kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya
merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya
gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya
pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim 2002).
2.1.2. Penyebab Tanah Longsor
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005)
tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu
terjadinya tanah longsor, yaitu :
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit
bumi, erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan
bersifat lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena
proses alam (gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat,
banjir, aliran air bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air
b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air
saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan
basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan,
beban masa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat tebing,
tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada
semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran
untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai
penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air
berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak
tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga
semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah
tanah tersebut meloloskan air dan semakin dan semakin cepat ke dalam tanah.
Semakin tebal tumpukan tanah, maka semakin besar juga volume massa tanah
yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah
menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor menimbulkan suara gemuruh.
Menurut Arsyad (1989), longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan
sebagai berikut :
Adanya lereng yang cukup curam sehingga masa tanah dapat bergerak
atau meluncur ke bawah.
Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur.
Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di
atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi
Secara umum ada dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia yaitu tipe
hujan deras (misalnya dengan intensitas 50 mm sampai 70 mm per hari) dan tipe
hujan normal tapi lama. Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran
pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, seperti misalnya tanah
lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi
pada bulan-bulan awal musim hujan. Sedangkan tipe hujan normal tapi lama akan
lebih efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tersusun oleh tanah yang
lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung dan biasanya terjadi pada
pertengahan musim hujan.
Hermawan dan Darmawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran
disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik /mekanik tanah tidak baik
sehingga pada saat musim hujan telah terjadi peresapan air yang berlebihan
mengakibatkan tingkat kejenuhan kejenuhan air tinggi sehingga dapat
menimbulkan peningkatan tekanan air. Dan disertai penurunan kekuatan dan
tahanan geser tanah sehingga terjadi longsoran.
Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981), faktor-faktor
penyebab terjadinya gerakan tanah khususnya tanah longsor antara lain sebagai
berikut:
a. Topografi atau lereng
b. Keadaan tanah atau batuan, termasuk struktur dan pelapisan
c. Keairan, termasuk curah hujan
d. Gempa bumi
e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor penyebab tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama
lain dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu
daerah terhadap tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan
faktor-faktor ini satu sama lainnya.
Faktor-faktor penyebab tanah longsor menurut Sadisun (2005) adalah
kondisi morfologi (sudut lereng, relief), kondisi geologi (jenis batuan/tanah,
karakteristik keteknikan batuan/tanah, proses pelapukan, bidang-bidang
diskotinuitas seperti perlapisan dan kekar, permeabilitas batuan/tanah, kegempaan
guna lahan (hidrologi dan vegetasi) dan aktivitas manusia ( penggemburan tanah
untuk pertanian dan perladangan dan irigasi).
2.1.3.Jenis-jenis Tanah Longsor
Nandi (2007) mengklasifikasikan tanah longsor menjadi 6 jenis yaitu :
1. Longsoran Translasi
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata.
4. Runtuhan Batu
Runtuhan batuan terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang
terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai,
5. Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak
dapat dikenal. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bias
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
6. Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh
air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air
serta jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu
mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter
seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api.
Menurut Eckel (1958) dalam Febriana (2004) tanah longsor dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu :
-Lawina bahan rombakan (debris avalanche)
-Peluncuran bahan rombakan (debris slide)
-Peluncuran batuan (rock slide)
-Aliran bahan rombakan (debris flow)
-Robohan batuan (rock fall)
-Aliran tanah lambat (slow earth flow)
-Robohan tanah (soil fall)
-Aliran Lumpur (mud flow)
-Pengocoran pasir (sand run)
-Nendat/batuan dasar (bed rock slump)
-Nendat (slump)
-Rayapan (creep)
-Erosi ke hulu (headward erosion)
2.2. Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor
Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta resiko (risk ) yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari
tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut.
Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) pembuatan peta bahaya dan
resiko atas suatu bencana dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. UNDRO
(1991) menyatakan bahwa resiko merupakan gabungan dari unsur-unsur resiko itu
sendiri dan bahaya serta kerentanan.
Hubungan antara resiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan
secara metematis diformulasikan sebagai berikut :
Rt= (E)(Rs) = (E)(HxV)
Rt : Resiko H : Bahaya
V : Kerentanan E : Unsur-unsur dari Resiko
Resiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas
dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis resiko
tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan
disebut dengan rencana mitigasi.
2.3. Penginderaan Jauh
Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of
Photogrammetry 1983) dalam Howard (1996), dalam pengertian yang lebih luas Penginderaan Jauh adalah pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa
sifat objek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik
tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan objek atau fenomena
yang dikaji.
Lo (1995) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik
untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak
jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra
yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang
bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi,
geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lain.
Untuk mendeteksi energi elektromagnetik di alam diperlukan berbagai
macam alat penginderaan jauh yang berbeda, tipe alat penginderaan jauh yang
menghasilkan citra mengenai lingkungan dalam bentuk yang sesuai dengan
interpretasi visual, yaitu : kamera fotografik, detektor elektro optikal, kamera
televisi vidicom, penyiam inframerah termal, penyial multi spektral, pencitra
gelombang mikro pasif, dan pencitra gelombang mikro aktif (Lo 1995).
Citra satelit Landsat merupakan salah satu hasil rekaman penginderaan
jauh hasil rekaman suatu wilayah menggunakan satelit Landsat yang mengorbit
pada ketinggian tertentu yang biasa digunakan untuk kepentingan pemantauan
penutupan lahan permukaan bumi, pemetaan tanah, pemetaan struktur batuan,
pemetaan suhu permukaan laut, pemetaan dan pemantauan daerah bencana dll.
Citra satelit Landsat TM 5 merupakan salah satu jenis citra yang banyak
digunakan untuk pemantauan sumberdaya alam, dengan resolusi spasial 30x30 meter dan luas liputan satuan citra 175x185 km pada permukaan bumi.
Berdasarkan karakteristiknya, citra satelit Landsat TM 5 cukup layak untuk
digunakan sebagai dasar pembuatan peta penutupan lahan untuk pemetaan
2.4. Sistem Informasi Geografi
2.4.1. Definisi SIG
Sistem Informasi Geografi (SIG) menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2001) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk
menyimpan dan memanipulasikan informasi-informasi geografis. SIG dirancang
untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena
dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang memiliki empat kemampuan
berikut dalam menangani data yang bersifat geografi: (a) masukan, (b) manajemen
data (penyimpanan dan pengambilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d)
keluaran. Selain itu juga, Barus (1999) mengatakan bahwa SIG sebagai sarana
untuk menyimpan, menggali, dan memanipulasi data serta menghasilkan produk.
SIG banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan
sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran.
Menurut Purwadhi (1999) dalam Purwonegoro (2005) Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mentranformasikan, menampilkan, memanipulasi,
dan memadukan informasi dari berbagai sektor sehingga dapat dihasilkan
informasi berharga yang diperoleh dari mengkolerasikan dan menganalisis data
spasial dari fenomena geografis suatu wilayah.
Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam
menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format, dan tingkat
ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang
sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat
dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam
pemetaan bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpang-tindihkan
longsoran dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif
melalui pendekatan geomorfologi, deterministik, penyebaran, multivariate dll
(Barus 1999).
Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri
dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan
informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan
keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi
memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.
Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan
dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk
memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah
input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada 3 kategori data
secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu : alfanumerik, piktorial atau grafik
dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).
Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain
ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
a. Perangkat keras
SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC
desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan
tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG
tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras
ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat
keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer,
printer, plotter, dan scanner. b. Perangkat lunak
SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular
dengan basis data memegang peranaan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan
dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga
tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul
program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.
c. Data dan Informasi Geografi
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang
mendigitasi data spasial-nya dari peta dan memasukkan data atributnya dari
tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard. d. Manajemen
Suatu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dan diatur dengan baik dan
dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua
tingkatan.
Johnston (1985) dalam Geertman dan Eck (1995) menyatakan bahwa model adalah sesuatu yang diidealkan dan dibentuk untuk menggambarkan suatu
bagian realita.
Menurut Geertman dan Eck (1995), dalam SIG suatu model dapat
dibangun dengan dua cara, yaitu: (1) model dibangun dalam SIG dengan
menggunakan fungsi standar SIG, dan (2) model dibangun dengan menggunakan
bahasa pemrograman di luar paket SIG.
2.4.2. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Studi Pemetaan Tanah
Longsor dan Banjir
Sistem Informasi Geografi saat ini telah banyak berkembang dan
digunakan untuk berbagai hal dalam berbagai disiplin ilmu.Hal tersebut
dikarenakan penggunakannya yang cukup mudah untuk dipelajari dan prosesnya
cukup cepat. SIG dapat diterapkan dalam bidang perencanaan (pemukiman,
transmigrasi, rencana tata ruang wilayah, perencanaan kota, relokasi industri, dan
pasar), bidang kependudukan dan demografi, bidang lingkungan dan
pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evaluasi pengendapan lumpur
atau sedimen baik disekitar danau, sungai/pantai, permodelan pencemaran udara,
limbah berbahaya), bidang sumberdaya alam (inventarisasi manajemen dan
kesesuian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tata guna
lahan dan analisis daerah bencana alam) dan lain-lain (Prahasta 2001).
Aplikasi SIG dan penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Adapun
diantaranya adalah berkaitan dengan lahan kritis baik itu longsor maupun banjir,
yaitu Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor dengan
Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Studi Kasus Kawasan Gunung
Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut). Di daerah sekitar
(3.860,29 Ha/47,99%) dari tujuh tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah
penelitian. Enam diantaranya adalah hutan, kebun campuran, sawah, pemukiman,
semak belukar dan tanah kosong. Parameter yang digunakan dalam penentuan
kawasan rawan bencana tanah longsor terdiri dari 5 parameter yaitu: penggunaan
lahan, jenis tanah, geologi (bahan induk), curah hujan dan kemiringan lereng.
Berdasarkan parameter tersebut diperoleh peta kerawanan tanah longsor yang
dibagi menjadi 4 kelas yaitu kelas kerawanan tanah longsor sangat rendah (408,96
Ha/5,08%), kelas kerawanan tanah longsor rendah (2.340,63 Ha/29,10%), kelas
kerawanan tanah longsor menengah (4.901,95 Ha/60,93%), dan kelas kerawanan
tanah longsor tinggi (393,02 Ha/4,89%). Model penggunaan yang digunakan
dalam menentukan kerawanan tanah longsor adalah bersumber dari DVMG tahun
2004 (Febriana 2004).
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS
dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi (Studi kasus DTA Cipopokol sub DAS
Cisadane Hulu, Kab Bogor). Penggunaan aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh
dapat dikombinasikan ke dalam Model Hidrologi ANSWERS untuk
mempermudah dalam memperoleh data masukan. Berdasarkan hasil keluaran
ANSWERS penyebaran luas nilai erosi dan sedimentasi terbesar adalah untuk
sedimen 0 – 0.5 ton/Ha dengan luas 19,84 Ha dan erosi 1-5 ton/Ha dengan luas 72,80 Ha. Kelas penutupan lahan berupa perkebunan dan lahan kering memiliki
luas terbesar untuk kehilangan tanah/erosi. Sedangkan penutupan lahan berupa
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2008 - Agustus 2009.
Lokasi penelitian terletak di kawasan gunung Ciremai wilayah administrasi
Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Secara administrasi wilayah tersebut
meliputi 9 kecamatan yaitu : Argapura, Banjaran, Cikijing, Cingambul, Maja,
Rajagaluh, Sindangwangi, Sukahaji dan Talaga dengan gambaran lokasi seperti
pada Gambar 1.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat TM
5 path/row 121/065 tahun 2005, Peta Kontur, Peta Jenis Tanah Kabupaten Majalengka, Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya, Peta Rupa
Bumi Indonesia. Program yang digunakan adalah Arc View 3.3, Erdas Imagine
9.1, dan MS Office serta satu set Komputer, Scanner, Printer, GPS, kamera dan alat tulis.
3.3. Metode Penelitian
3.3.1.Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam proses penelitian terdiri dari beberapa jenis
data dasar berupa peta seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar jenis data dasar
Selain itu juga diperlukan data atribut yang menyatakan posisi suatu lokasi
atau kondisi di permukaan bumi dalam bentuk koordinat atau data Ground Check Points (GCP). Data tersebut didapatkan dengan melakukan survei langsung di
lapangan, serta merupakan salah satu acuan interpretasi citra satelit Landsat TM 5
dengan klasifikasi terbimbing untuk membuat peta penutupan lahan.
3.3.2. Penyiapan Data
a. Pengolahan Data Spasial
Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
yaitu data peta analog dan data digital. Data analog berupa Peta RBI, Peta Jenis
No Jenis Data Sumber Data Keterangan
1. Peta RBI Lembar 1309-112, 1309-121, 1309-123, 1309-114, 1308-443
Bakosurtanal Skala 1:25.000
2. Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya
4. Peta Curah Hujan Kabupaten Majalengka BMG Skala
Tanah, Peta Curah Hujan dan Peta Geologi. Sedangkan yang berupa data digital
adalah citra Landsat TM dan Peta Kontur. Dalam pengolahan tahap awal setiap
data harus dijadikan peta digital. Data digital format vektor berupa Peta RBI, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta Kontur serta Peta Curah Hujan, sedangkan data
format raster berupa citra satelit Landsat (path/row: 121/065). Tahapan dalam pengolahan data spasial tersebut meliputi:
- Pembuatan Peta Digital
Data analog berupa Peta RBI, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi serta Peta
Curah Hujan diolah dan masing-masing dijadikan peta digital format vektor .Peta digital format vektor merupakan salah satu jenis data masukan yang disimpan dalam bentuk garis, titik dan poligon. Proses pengolahan data analog dijadikan
peta digital dapat dilihat pada Gambar 2.
Proses pemasukan data-data dilakukan melalui seperangkat komputer
dengan software Arc View 3.3. Data keluaran ini kemudian digunakan sebagai data acuan penentuan wilayah penelitian serta untuk koreksi geometrik pada
pengolahan citra.
Gambar 2 Bagan Alir Pembuatan Peta Digital.
- Pembuatan DEM (Digital Elevation Model)
DEM merupakan gambaran 3 dimensi permukaan bumi atau citra yang
memetakan ketinggian suatu wilayah pada permukaan bumi. DEM dihasilkan dari
Peta Kontur digital melalui proses surfacing pada Arc View, konversi TIN ke grid
dan dilanjutkan dengan operasi pemodelan pada Model Maker Arc View. Output dari proses ini adalah Peta Ketinggian serta Peta Kemiringan Lahan.
b. Pengolahan Citra
Data raster adalah salah satu jenis data masukan untuk pengolahan data yang dinyatakan dalam baris dan kolom dengan satuan pixel. Data raster ini berupa citra satelit Landsat TM 5 (path/row: 121/065). Citra kemudian diolah dengan menggunakan ERDAS Imagine 9.1 untuk menentukan tipe penutupan
lahan daerah dengan tahapan sebagai berikut:
- Koreksi Geometri
Koreksi geometri atau rektifikasi (rectification) merupakan proses memproyeksi peta ke dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman
data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna
mempermudah proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan adalah
proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zona 48 South dan sistem koordinat geografik Lintang Bujur. Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan
dengan mengambil titik-titik ikat/kontrol di lapangan atau menggunakan peta/citra
acuan yang telah terkoreksi.
- Pemotongan citra
Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi
obyek penelitian, Peta Rupa Bumi hasil digitasi (peta digital) dapat dijadikan
acuan pemotongan citra untuk mendapatkan peta daerah penelitian hasil
pemotongan.
- Klasifikasi citra
Sebelum melakukan pengklasifikasian persiapan yang harus dilakukan
adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit. Pembagian
kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan dilapangan dan
dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Proses tersebut dilakukan dengan
teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification), sehingga diperoleh peta penutupan lahan (landcover).
- Akurasi
Point) dari GPS. Pengukuran akurasi dilakukan untuk melihat keterwakilan kondisi di lapangan dengan hasil klasifikasi.
3.3.3 Analisis Data Kerawanan Bencana Tanah Longsor
Analisis peta kerawanan tanah longsor dilakukan setelah peta-peta tematik
parameter yaitu Peta Curah Hujan, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta
Kemiringan Lahan dan Peta Penutupan Lahan wilayah tersebut tersedia dan siap
dalam bentuk peta digital. Setiap jenis peta tersebut dilakukan klasifikasi
berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay).. Berdasarkan model pendugaan Puslittanak 2004, parameter-parameter
yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan
(landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan dan formasi geologi (batuan induk). Overlay tersebut dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.3 . Pada proses overlay setiap parameter memiliki klasifikasi skor yang dikalikan dengan bobot masing-masing parameter, kemudian hasil perkalian skor
dan bobot tersebut dijumlahkan berdasarkan kesesuaian lokasi geografisnya.
Dalam penentuan skor curah hujan Puslittanak membagi menjadi 5 (lima)
kelas, semakin besar curah hujan yang turun maka semakin tinggi skor curah
hujan tersebut seperti tercantum pada Tabel 2. Curah hujan yang turun akan
mempengaruhi kondisi air tanah, tanah yang kandungan air tanahnya meningkat
maka akan meningkat massanya dan semakin rendah tingkat kepadatan dan
kekompakannya.
Hermawan dan Darmawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran
disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik/mekanik tanah yang tidak
menimbulkan peningkatan tekanan air tanah (pore water pressure), penurunan
kekuatan dan tahanan geser tanah akan menyebabkan longsoran.
Jenis batuan diklasifikasikan berdasarkan asal bentuknya yaitu batuan
vulkanik, batuan sedimen serta batuan aluvial. Batuan vulkanik merupakan batuan
gunung api yang tidak teruraikan dan terdiri dari tufa, breksi dan lava. Jenis ini
memiliki sifat lulus air dan biasanya merupakan akuifer atau daerah imbuhan air
yang baik. Batuan vulkanik di lokasi penelitian merupakan batuan gunung api
muda yang mudah tererosi dan rawan longsor jika jenuh air. Dalam kejadian tanah
longsor batuan vulkanik biasanya merupakan bidang gelincir karena sifatnya yang
kompak apabila tanah di atasnya jenuh air. Skoring dan pembobotan pada tiap
jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi Jenis Batuan
Parameter Bobot Skor
Jenis Batuan 20 %
a. Batuan Vulkanik 3
b. Batuan Sedimen 2
c. Batuan Aluvial (Berbahan Resent) 1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi merupakan
faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air, sehingga bisa
menjadi bidang gelincir untuk terjadinya longsor.
Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut
dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan
tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Umumnya batuan ini memiliki
permeabilitas kecil bahkan kedap air kecuali jika batuan banyak mempunyai
rekahan atau telah mengalami pelarutan, maka dapat bersifat lulus air sehingga
menjadi akuifer (batuan penyimpan air tanah) atau dapat berfungsi sebagai
imbuhan air.
Batuan aluvial merupakan batuan berbahan resent atau hasil endapan
proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Jenis batuan ini
merupakan akuifer serta bisa berfungsi sebagai imbuhan tanah air dangkal.
Dalam bencana tanah longsor faktor kemiringan lahan sangat berpengaruh,
semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam
lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga
makin tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh gravitasi bumi.
Skor dan bobot parameter kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Skor Parameter Kemiringan Lahan
Kondisi penutupan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor
berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air serta kekuatan
ikatan partikel tanah. Tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa
menjaga stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem
perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakan partikel tanah.
Tabel 5 Kelas Penutupan Lahan
d. Kota/pemukiman, bandara, lapangan golf 2
e. Tambak, waduk, perairan 1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Untuk penentuan skor jenis tanah dilakukan berdasarkan tingkat
permeabilitas jenis tanah tersebut, semakin lambat permeabilitasnya maka
semakin tinggi skor yang diberikan. Hal tersebut berhubungan dengan tingkat
kemampuan tanah menahan dan melepaskan air yang masuk, tanah dengan
permeabilitas sangat lambat sangat kuat menahan air yang masuk dan sangat sulit
untuk melepaskannya, hal itu akan meyebabkan tanah menahan beban yang lebih
besar dan apabila curah hujan semakin tinggi serta tanah tersebut berada pada
wilayah yang memiliki topografi yang terjal sampai sangat curam maka longsor
terbalik dengan kepekaan terhadap erosi, semakin lambat permeabilitasnya maka
semakin peka terhadap erosi.
Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga
stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga
kekompakan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa
mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Pemukiman dan lahan kosong
memiliki andil yang lebih kecil karena limpasan air lebih banyak terjadi di
banding genangan dan resapan karena sifat permukaan yang kedap air baik
kondisi tanah permukaan maupun karena penutup tanah berupa beton atau
sejenisnya.
Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada hasil penelitian
yang dilakukan oleh Puslittanak (2004). Skor dari yang paling tinggi sampai yang
paling rendah sebanding dengan tingkat bahaya yang tanah longsor yang akan
ditimbulkan. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi pula potensi tanah longsor
yang akan terjadi.
Model yang digunakan untuk menganalisis kerawanan kongsor adalah
model pendugaan yang mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan
Besarnya bobot parameter ditentukan berdasarkan pada penelitian
Savitri (2007) dengan menggunakan rumus :
Wj =
n – rj+1
∑ (n-rj+1)
Keterangan: W j = nilai yang dinormalkan (bobot nilai)
n = jumlah kriteria ( k=1,2,3…n)
rj = posisi urutan kriteria
Klasifikasi hasil akhir overlay dilakukan dengan membuat 4 kelas kerawanan longsor yaitu : -rendah, -sedang, -tinggi dan -sangat tinggi berdasarkan
jumlah skor akhir, semakin besar jumlah skor maka semakin tinggi tingkat
kerawanan, dengan penentuan selang skor :
Selang Skor = Skor Tertinggi - Skor Terendah Jumlah Kelas Klasifikasi
3.3.4. Analisis Resiko Tanah Longsor
Resiko bencana tanah longsor sangat berkaitan erat dengan aktifitas
manusia di wilayah tersebut, semakin tinggi aktifitas manusia di suatu wilayah
maka akan semakin tinggi pula resiko yang akan terjadi. Analisis resiko atas
terjadinya bencana tanah longsor secara spasial bisa di dapatkan dengan cara
menganalisis peta resiko bencana tanah longsor. Menurut Alhasanah (2006) peta
resiko bencana tanah longsor merupakan hasil overlay antara peta properti dengan
peta kerawanan. Secara matematis, nilai resiko longsor dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
R = H + P
Dimana: R = Resiko
H = Hazard (bahaya)
P = Properti
Peta properti merupakan peta yang menggambarkan model pendekatan
nilai manfaat ekonomi dari suatu bentang alam/lahan baik dengan atau tanpa
aktifitas manusia pada wilayah tersebut. Peta properti dihasilkan melalui
penggabungan peta penutupan lahan, peta infrastuktur dan peta jaringan jalan.
Skor akhir yang dihasilkan atas tumpang susun setiap parameter
empat kelas properti yaitu properti rendah, properti sedang, properti tinggi dan
properti sangat tinggi.
Tabel 7 Skor parameter pembentuk Peta Properti
Sumber: Alhasanah (2006)
Penentuan kelas properti dilakukan berdasarkan interval kelas yang
didapatkan dengan persamaan :
Untuk membuat peta resiko, peta properti yang dihasilkan dengan metode
di atas ditumpangsusunkan dengan peta kerawanan tanah longsor yaitu dengan
menjumlahkan bobot nilai pada tiap kelas pada peta properti dengan bobot nilai
tiap kelas kerawanan pada peta kerawanan tanah longsor sehingga menghasilkan
bobot nilai baru untuk menentukan kelas resiko. Skor akhir hasil tumpang susun
peta properti dengan peta kerawanan diklasifikasi menjadi empat kelas tingkat
resiko tanah longsor yaitu kelas resiko rendah, kelas resiko sedang, kelas resiko
tinggi dan kelas resiko sangat tinggi.
No Parameter/Jenis Buffering (meter)
Skor Kriteria Penilaian
Fisik Manusia Manfaat Total
4.1. Kondisi Biofisik
4.1.1. Lokasi
Secara geografis lokasi penelitian berada pada 108o12’45” – 108o24’41”
Bujur Timur (BT) dan 6o04’09”– 6o44’16” Lintang Selatan (LS). Daerah
penelitian memiliki luas 45.665,6 Ha yang meliputi 9 kecamatan yaitu Maja,
Sukahaji, Rajagaluh, Cikijing, Talaga, Argapura, Sindangwangi, Banjaran dan
Cingambul seperti tertera pada Gambar 3 dengan batas wilayah sebagai berikut :
-sebelah Utara : Kecamatan Cigasong, Leuwimunding, Palasah, dan Jatiwangi
-sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis
-sebelah Barat : Kecamatan Majalengka, Bantarujeg dan Kabupaten Sumedang
-sebelah Timur : Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon.
Daerah penelitian merupakan kawasan gunung Ciremai sebelah Barat yang
secara administrasi merupakan wilayah Kabupaten Majalengka dan meliputi
wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai serta Wilayah Kerja Perum Perhutani
KPH Majalengka. Wilayah tersebut menjadi penghubung antara Kabupaten
Bandung dan Cirebon dengan Kabupaten Kuningan.
4.1.2. Iklim dan Curah Hujan
Lokasi penelitian termasuk dalam wilayah yang memiliki iklim tropis tipe
C dengan suhu udara antara 21,4-30 ºC. Rata-rata hari hujan sebanyak 11
hari/bulan. Angin pada umumnya bertiup dari arah Selatan dan Tenggara, kecuali
pada bulan April sampai dengan Juli bertiup dari arah Barat Laut dengan
kecepatan antara 3-6 knot (1 Knot = 1.285 m/jam).
Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dipengaruhi oleh
faktor gunung Ciremai. Angin musim yang membawa awan hujan di sekitar
gunung Ciremai akan menjatuhkan hujan dengan intensitas serta ketinggian curah
mengikuti bentang alamnya. Hal itu akan menyebabkan tingginya curah hujan di
Ga
mbar
3
P
eta
L
oka
si
P
ene
li
ti
Berdasarkan data BMG, curah hujan di lokasi penelitian termasuk tinggi
yaitu antara 2500-4500 mm/tahun. Sebagai salah satu parameter untuk
menentukan wilayah rawan longsor, faktor-faktor curah hujan seperti besarnya
curah hujan, intensitas hujan dan distribusi curah hujan akan menentukan
seberapa besar peluang terjadinya longsoran dan di mana longsor itu akan terjadi.
Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel
8 dan Gambar 4.
Tabel 8 Luas dan Distribusi Curah Hujan
Kecamatan Luas Curah Hujan (mm/tahun) dalam Hektar
2500-3000 3000-3500 3500-4000 4000-4500
Sukahaji 702,45 2683,35 3199,32 162,90
Argapura 0,00 4141,08 3462,39 749,16 Sumber : Peta Curah Hujan Jawa Barat
Berdasarkan klasifikasi kelas curah hujan Puslittanak, lokasi penelitian
memiliki empat kelas curah hujan yaitu 2500-3000 mm/th, 3000-3500 mm/th,
3500-4000 mm/th dan 4000-4500 mm/th.
Curah hujan dengan intensitas 2500-3000 mm/th merupakan intensitas
curah hujan yang memiliki luasan terbesar yaitu meliputi luasan 16.717,41 Ha
dengan presentase 36,61 % dari luas lokasi penelitian. Kecamatan Cikijing
merupakan wilayah yang seluruh wilayahnya memiliki intensitas curah hujan
2500-3000 mm/th serta merupakan wilayah yang memiliki liputan curah hujan
dengan intensitas ini yang paling luas yaitu 3931,56 Ha dengan presentase 23,52
% dari luas liputan wilayah dengan intensitas curah hujan 2500-3000 mm/th.
Kecamatan Maja dan Talaga adalah wilayah yang tidak memiliki liputan curah
Ga
mbar
4
P
eta
C
ur
ah
Huja
n
Curah hujan dengan intensitas 3000-3500 mm/th meliputi 31,99 % dari
luas lokasi penelitian dengan luas 14.607,18 Ha. 28,35 % dari liputan curah hujan
ini berada di Kecamatan Argapura dengan luas 4141,08 Ha atau meliputi 49,58 %
dari luas wilayah Kecamatan Argapura. Curah hujan ini tidak terdapat di
Kecamatan Cikijing dan Cingambul.
Wilayah seluas 11.958,93 Ha atau 26,19 % dari luas lokasi penelitiaan
memiliki intensitas curah hujan 3500-4000 mm/th. 28,96 % dari luasan tersebut
berada di Kecamatan Argapura dengan luas 3462,39 Ha serta sisanya di
Kecamatan Sukahaji, Maja, Sindangwangi dan Rajagaluh serta tidak terdapat di
Kecamatan Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.
Curah hujan dengan intensitas paling tinggi (4000-4500 mm/th) memiliki
luasan 2382,12 Ha (5,22 %). Sebagian besar berada di Kecamatan Rajagaluh
dengan luas 814,23 Ha atau 34,18 % dari total liputan wilayah curah hujan ini.
Sisanya terdapat di Kecamatan Sindangwangi, Sukahaji dan Argapura serta tidak
terdapat di Kecamatan Maja, Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.
4.1.3. Jenis Batuan
Secara geologi lokasi penelitian merupakan wilayah dengan struktur
batuan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi gunung Ciremai. Sifat-sifat teknis
batuan berbeda-beda tergantung pada asal-usulnya. Secara umum sifat-sifat teknis
batuan dipengaruhi oleh : struktur dan tekstur, kandungan mineral, kekar/bentuk
gabungan lapisan bidang dasar, kondisi cuaca, dan sedimentasi/rekatan.
Berdasarkan pengklasifikasian Puslittanak batuan pembentuk yang
terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 3 jenis batuan yaitu batuan Vulkanik,
batuan Sedimen dan batuan Aluvial. Batuan Vulkanik terdiri atas satuan batuan
Qvb, Qyl, Qvl, Qyu, Qvu, Qyi, Qvk, dan ha. Batuan Sedimen terdiri atas satuan
batuan Tmhl, Tomcu, Tmhu, Tpc, Tomcl, Tpk, Tmph, Tpkw dan Tpa. Satuan
batuan Aluvial yang terdapat di lokasi penelitian adalah Qa. Distribusi spasial
Ga
mbar
5
P
eta
Je
nis
B
Tabel 9 Luas dan Distribusi Jenis Batuan Sumber : Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya
Berdasarkan hasil tabulasi antara jenis batuan dengan wilayah administrasi
kecamatan seperti tertera pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jenis batuan Vulkanik
merupakan jenis batuan yang paling dominan di lokasi penelitian yaitu 74,32 %
(33.936,30 Ha) dari luas total lokasi penelitian merupakan jenis batuan Vulkanik.
Jenis satuan batuan yang paling luas adalah Qyu seluas 12.128,94 Ha dan yang
paling sempit adalah satuan batuan Ha seluas 26,28 Ha. Kecamatan Argapura
merupakan wilayah yang memiliki jenis batuan Vulkanik paling luas yaitu
7346,70 Ha atau 21,65 % dari luasan batuan Vulkanik, sedangkan Kecamatan
Cingambul memiliki liputan batuan Vulkanik yang paling sempit yaitu 366,66 Ha
dan sisanya tersebar merata di setiap kecamatan.
Jenis Batuan Sedimen memiliki luas 9313,20 Ha yaitu 20,39 % dari luas
total lokasi penelitian. Tomcl merupakan satuan batuan sedimen yang memiliki
luasan paling luas yaitu 3103,04 Ha, sedangkan yang paling sempit adalah satuan
batuan Tpa seluas 90,45 Ha. Kecamatan Maja merupakan wilayah yang memiliki
batuan Sedimen paling luas yaitu 3772,71 Ha atau 40,51 % dari luas total jenis
batuan Sedimen. Jenis batuan yang ketiga adalah jenis Aluvial, jenis ini Hanya
memiliki satu satuan batuan yaitu Qa. Batuan Aluvial memiliki luas 2416,14 Ha
atau 5,29 % dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Cingambul merupakan
wilayah dengan luasan batuan Aluvial paling luas yaitu 1131,21 Ha (46,82 %),
Cikijing dengan luas 876,78 Ha serta Talaga dengan luas 408,15 Ha dan jenis
batuan ini tidak terdapat di Kecamatan Sukahaji, Argapura, Maja, Banjaran,
4.1.4. Jenis Tanah
Jenis Tanah di lokasi penelitian berdasarkan Peta Tanah Tinjau terdiri dari
tanah Podsolik, Grumosol, Latosol, Regosol, Mediteran, Aluvial, Andosol dan
Glei. Mengacu pada klasifikasi Puslittanak berdasarkan kepekaan terhadap erosi,
maka jenis tanah di lokasi penelitian terbagi menjadi kelas Sangat Peka
Erosi/Permeabilitas sangat Lambat (Regosol), Peka Erosi/Permeabilitas Lambat
(Podsolik, Grumosol dan Andosol), Agak Peka Erosi/Permeabilitas Cepat
(Latosol), Kurang Peka Erosi/Permeabilitas Sedang (Mediteran) dan Tidak Peka
Erosi/Permeabilitas Sangat Cepat (Aluvial dan Glei). Distribusi spasial jenis tanah
di lokasi penelitian terlihat pada Gambar 6.
Tabel 10 Luas dan Distribusi Jenis Tanah
Kecamatan
Luas Jenis Tanah dalam Hektar
Podsolik Grumosol Latosol Regosol Mediteran Aluvial Andosol Glei
Sukahaji 0,00 0,00 0,00 1840,77 2227,77 0,00 1546,92 1132,56
Total (Ha) 4898,88 563,76 15552,09 5530,59 2233,08 1516,95 14237,73 1132,56 0
Sumber : Peta Tanah Tinjau Kab. Majalengka
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jenis tanah Regosol yang
merupakan tanah sangat peka erosi memiliki areal penyebaran seluas 5530,59 Ha
atau 12,11% dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Sukahaji merupakan
yang memiliki areal penyebaran tanah ini yang paling luas yaitu 1840,77 Ha yaitu
33,28 % dari luas areal jenis tanah ini serta jenis tanah ini tidak terdapat di
Kecamatan Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.
Jenis tanah Latosol yang memiliki sifat agak peka erosi merupakan jenis
tanah dengan areal penyebaran paling luas yaitu dengan luas 15.552,09 Ha (34,06
%). Areal penyebaran jenis tanah ini yang paling luas terdapat di Kecamatan
Sindangwangi yaitu 3403,17 Ha atau 21,88 % dari luas total penyebaran jenis
Ga
mbar
6
P
eta
J
enis
T
ana
h
Jenis tanah peka erosi yaitu Podsolik memiliki areal penyebaran seluas
4898,88 Ha (10,728 %). Penyebaran paling luas berada di Kecamatan Maja yaitu
3212,82 Ha (65,58 %) dan sisanya tersebar di Kecamatan Cingambul 1032,84 Ha
dan Talaga seluas 653,22 Ha. Jenis Grumosol tersebar seluas 563,76 Ha atau 1,24
% dari luas total lokasi penelitian, serta 65,57 % (369,63 Ha) areal
penyebarannya berada di Kecamatan Maja, kemudian di Kecamatan Talaga
164,43 Ha dan Banjaran dengan luas 29,70 Ha.
Jenis tanah Mediteran memiliki luas 2233,08 Ha atau 4,89 % dari luas
lokasi penelitian. Areal penyebaran sebagian besar terdapat di Kecamatan
Sukahaji dengan luas 2227,77 Ha yaitu 99,76 % dari luas total areal tanah ini dan
sisanya terdapat di Kecamatan Rajagaluh dengan luas 5,31 Ha. Jenis tanah ini
memiliki sifat kurang peka terhadap erosi.
Jenis tanah yang tidak peka terhadap erosi yang memiliki areal penyebaran
paling luas adalah Aluvial yaitu 1516,95 Ha atau 3,32 % dari luas total lokasi
penelitian kemudian jenis tanah Glei yang hanya terdapat di Kecamatan Sukahaji
dengan luas 1132,56 Ha (2,48 %). Tanah Aluvial memiliki areal penyebaran di
Kecamatan Cikijing yaitu seluas 627,03 Ha, Talaga dengan luas 482,85 Ha dan
Kecamatan Cingambul dengan luas 407,07 Ha.
4.1.5. Kemiringan Lahan
Kemiringan Lahan di lokasi penelitian bervariasi mulai dari datar sampai
sangat curam. Berdasarkan hasil klasifikasi DEM (Digital Elevation Model) lokasi
penelitian didapatkan klasifikasi kemiringan lahan Datar (kemiringan <8 %),
Landai (8-15 %), Terjal (15-30 %), Curam (30-45 %) dan Sangat Curam (>45 %)
seperti terlihat pada Gambar 7. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa tipe
wilayah yang memiliki topografi Datar dengan kemiringan kurang dari 8%
memiliki areal penyebaran paling luas yaitu 13.596,84 Ha atau 29,775 % dari luas
total lokasi penelitian. Tipe topografi ini paling banyak terdapat di Kecamatan
Sukahaji dengan luas 3692,79 Ha sebanding dengan 19,30 % dari luas total area
penyebaran tipe topografi ini, sedangkan Argapura merupakan kecamatan yang
paling sedikit memiliki wilayah dengan topografi datar yaitu hanya 761,31 Ha.
Tabel 11 Luas dan Distribusi Kemiringan Lahan
Wilayah dengan kemiringan 8-15% (kategori Landai) memiliki areal
penyebaran dengan luas 8265,96 Ha (18,10 %). Wilayah dengan tipe topografi ini
paling banyak terdapat di Kecamatan Maja dengan luas 1348,11 Ha atau 16,31%
dari luas total area penyebarannya. Sedangkan Kecamatan Cingambul merupakan
yang paling sedikit memiliki tipe wilayah dengan topografi landai yaitu hanya
489,42 Ha.
Wilayah terjal dengan kemiringan 15-30% tersebar seluas 12.452,49 Ha
(27,69 %). Kecamatan Argapura merupakan yang paling banyak memiliki
wilayah dengan topografi terjal, 19,30% dari luas total areal penyebaran tipe
topografi lahan ini berada di Kecamatan Argapura dengan luas 2403,81 Ha.
Sisanya menyebar di setiap kecamtan dan yang paling sempit berada di
Kecamatan Cikijing yaitu 931,14 Ha.
Wilayah dengan kemiringan 30-45% (Curam) memiliki luas areal
penyebaran 6090,57 Ha atau 13,38% dari luas total lokasi penelitian. Areal
penyebaran paling luas terdapat di Kecamatan Argapura dengan luas 1693,17 Ha (
27,78 % luas total areal penyebaran). Sedangkan yang paling sempit berada di
Ga
mbar
7
P
eta
Ke
mi
ringan
L
aha