• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor

Secara umum, faktor penyebab bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu penggunaan lahan, kelerengan, geologi, dan jenis tanah. Namun, berdasarkan analisis visual terhadap variabel-variabel penyebab bahaya tanah longsor tersebut, di wilayah penelitian bagian utara, faktor kelerengan dan penggunaan lahan merupakan dua variabel dominan yang membentuk sebaran potensi bahaya tanah longsor. Adapun untuk wilayah penelitian bagian selatan, sebaran potensi bahaya tanah longsor secara dominan dibentuk oleh faktor jenis tanah dan penggunaan lahan .

52

Hal ini karena pola sebaran kedua jenis variabel tersebut paling menyerupai pola sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan (Gambar 16). Adapun peta sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Gambar 17 .

4.4.2. Kelerengan

Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam analisis gerakan tanah . Pada umumnya , semakin tinggi kemiringan suatu lereng maka semakin rentan terhadap gerakan tanah. Pada peta potensi rawan bahaya tanah longsor, dihasilkan potensi bahaya longsor yang terjadi pada beberapa tingkat kemiringan lereng . Secara rinci, tingkat potensi bahaya longsor berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Lereng(%) Tidak

Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan

Jumlah (Ha) 1. 0 – 8 67,52 937,8 4 1.508,91 - 2.514 ,27 2. 8 – 15 9,48 186,6 0 270,90 - 466 ,97 3. 15 – 30 8,25 416,6 4 1.865,86 443,6 9 2.734 ,44 4. 30 – 45 0,46 18,26 1.285,64 814,1 0 2.118 ,45 5. > 45 - 10,93 3.529,10 1.540,64 5.080 ,67 Total 85,70 1.570,26 8.460,42 2.798,43 12.914 ,80

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pada kelas lereng >45%, luasan wilayah yang berpotensi rawan dan sangat rawan bahaya longsor masing- masing seluas 3.529,10 Ha dan 1.540,64 Ha. Wilayah yang berpotensi rawan dan sangat rawan bahaya longsor pada kelas lereng >45 % ini merupakan luasan terbesar (5.069 ,74 Ha) dibandingkan dengan kelas lereng lainnya. Kemudian diikuti oleh kelas lereng 15-30% dan 30-45%, masing-masing seluas 2.309 ,55 Ha dan 2 .099,74 Ha.

Meskipun demikian pada kelas lereng <8%, luas wilayah rawan longsor juga cukup besar,yaitu 1 .508,91 Ha. Hal ini disebabkan daerah yang be rlereng datar tersebut merupakan batas peralihan litologi. Wilayah ini terdapat pada sebagian besar Kecamatan Sumedang Utara terutama di daerah perkotaan.

4.4.3. Jenis Tanah

Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya bahaya tanah longsor erat kaitannya dengan kondisi geologi, antara lain jenis tanah dan struktur geologi. Berdasarkan hasil analisis, pengaruh jenis-jenis tanah terhadap potensi bahaya longsor yang dapa t terjadi di wilayah penelitian. Jenis tanah di Kecamatan

55

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri dari sepuluh macam. Di kedua kecamatan tersebut, jenis tanah latosol coklat tua kemerahan memiliki luasan terbesar yaitu 4 .344 ,68 Ha, kemudian diikuti oleh jenis tanah kompleks litosol dan latosol coklat kemerahan, dan aluvial kelabu, masing -masing seluas 2.577 ,54 Ha dan 2.293,53 Ha. Secara rinci jenis tanah dan potensi bahaya longsor disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Jenis Tanah Tidak

Rawan Kurang Raw an Rawan Sangat Rawan Jumlah (Ha) 1. Aluvial Kelabu 236,0 5 863,0 1 1.194,47 2.293,53

2. Aluvial Kelabu Tua 15,37 278,1 2 583,83 877,3 2

3. Asosiasi Latosol Merah dan

Regosol 0,70 14,93 458,7 5 14,42 488,8 1

4. Kompleks Litosol dan

Latosol Coklat Kemerahan 7,27 57,35 2,327,52 185,41 2.577,54

5. Latosol Coklat 14 ,32 145,4 7 343,7 2 8,18 511,6 9

6. Latosol Coklat Kemerahan 6,18 142,9 1 197,4 9 16,62 363,1 9 7. Latosol Coklat Tua

Kemerahan 22 ,57 638,4 6 3.022,20 661,45 4.344,68

8. Latosol Merah 10 ,45 79,14 342,8 0 134,05 566,4 4

9. Latosol Merah Kekuningan - - 261,1 2 - 261,1 2

10 . Regosol Coklat 24 ,21 240,5 7 365,7 0 - 630,4 8

Total 85 ,70 1.570,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Berdasarkan data pada Tabel 16 , dapat dijelaskan bahwa tingkat potensi bahaya tanah longsor tertinggi (sangat rawan) terdapat pada jenis tanah aluvial kelabu seluas 1.194,47 Ha. Besarnya luasan jenistanah ini yang termasuk dalam kategori sangat rawan karena hasil tersebut diperoleh dari agregasi ketiga faktor penyebab tanah longsor lainnya yang dianalisis secara bersamaan .

4.4.4. Geologi

Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat bahaya longsor yang berbeda satu sama lain . Berdasarkan besar butirnya , batuan yang berbutir halus pada umumnya mempunyai potensi yang lebih tinggi terhadap tejadinya bahaya longsor. Apabila dilihat dari kekompakannya, maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan terjadinya potensi tanah longsor.

Berdasarkan peta geologi yang digunakan, geologi daerah penelitian tersusun oleh enam satuan batuan . Hasil analisis yang memiliki potensi bahaya longsor pada berbagai satuan batuan dapat dilihat pada Tabel 17 .

Tabel 17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Dari Tabel 17, terlihat bahwa batuan produk dari gunung api mudah lapuk, sehingga batuan jenis ini memiliki potensi sangat rawan terhadap bahaya tanah longsor. Dari tabel di atas, juga terlihat bahwa jenis satuan batuan hasil gunung api tua tak teruraikan memiliki luasan wilayah terbesar dan potensi bahaya longsor tertinggi pada wilayah penelitian .

4.4.5. Tutupan Lahan

Tutupan lahan di wilayah penelitian terdiri dari beberapa jenis penggunaan lahan . Pada lereng bagian atas sebagian besar wilayah berupa hutan; lereng bagian tengah; pemukiman , jalur jalan, perkebunan, tegalan , dan persawahan; serta pada lereng bagian bawah berupa persawahan dan pemukiman. Pengolahan lahan terutama pada daerah -daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur, sehingga mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil.

Pengaruh tataguna lahan terhadap kestabilan lereng sangat kompleks karena tergantung pada ketebalan tanah setempat, jenis tanaman , dan kemiringan lereng . Secara rinci, tutupan lahan wilayah penelitian dan potensi bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 18.

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Satuan Batuan Tidak

Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan Jumlah (Ha) 1. Endapan Danau (Ql) 43 ,80 160 ,73 60 ,71 265 ,24

2. Hasil Gunungapi Tua Breksi (Qvb) 8,48 140 ,79 706 ,17 118 ,27 973 ,70

3. Hasil Gunungapi Tua Lava (Qvl) 13 ,92 492 ,62 29 ,82 536 ,36

4. Hasil Gunungapi Tua Tak

Teruraikan (Qvu) 28 ,90 1.104 ,09 6.636 ,45 2.315 ,03 10.084 ,47

5. Breksi dan Aglomerat (Qyb) 0,44 2,85 5,58 8,87

6. Hasil Gunungapi Muda Tak

Teruraikan (Qyu) 4,52 150 ,29 561 ,62 329 ,72 1.046 ,16

57

Tabel 18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Tutupan Lahan Tidak

Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan Jumlah (Ha) 1 Air 36,37 27 ,55 1,77 65,70 2 Belukar/Semak 1,80 257 ,32 1.229,89 1.022,64 2.511,64 3 Gedung 0,40 0,11 0,51 4 Hutan 40 ,48 3.929,91 258,97 4.229,35 5 Kebun/Perkebunan 3,58 99 ,64 469,52 11 ,80 584,5 4 6 Pemukiman 38,23 1.020 ,75 267,60 - 1.326,58 7 Rumput/Tanah kosong 13 ,60 22 ,83 - 36,43 8 Sawah Irigasi 5,33 28 ,87 899,76 47 ,99 981,9 5

9 Sawah Tadah Hujan 0,39 62 ,05 1.054,03 562,89 1.679,36

10 Tegalan/Ladang 19 ,59 585,01 894,15 1.498,74

Total 85,70 1.570 ,26 8.460,42 2.798,43 12 .914,80

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tutupan lahan berupa semak belukar memiliki potensi wilayah sangat rawan bahaya longsor tertinggi yaitu sekitar 1.022 ,64 Ha. Selanjutnya , luasan lahan yang memiliki potensi tingkat rawan longsor adalah pada tutupan lahan berupa hutan, yaitu seluas 3.929,91 Ha .

4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor

Dalam membuat peta risiko tanah longsor, harus diawali dengan membuat peta properti. Peta properti merupakan gambaran umum dari keadaan suatu wilayah. Peta properti dibangun dari penggabungan beberapa peta , antara lain peta infrastruktur (point), peta jaringan jalan (line), dan peta penggunaan lahan (poligon).

Dalam peta properti, harus memuat nilai properti dari suatu wilayah yang menggambarkan nilai ekonominya , baik yang tidak digunakan (seperti lahan tidur) maupun berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung di atasnya, seperti pemukiman, industri, sawah, tegalan , kolam/tambak, dan infrastruktur lainnya. Nilai properti tersebut dapat ditentukan dengan memberikan skor untuk masing- masing unsur dari setiap peta.

Selain memberikan skor, unsur-unsur dari peta -peta tersebut juga dilakukan buffering. Dengan buffering akan membentuk suatu area , poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi atau melindungi objek spasial. Buffering hanya dilakukan pada dua peta , yaitu peta infrastruktur dan jaringan jalan, sedangkan peta penggunaan lahan tidak dilakukan buffering karena batasan dari masing -masing penggunaan lahan

sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan garis untuk mendapatkan suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan, yang akan digunakan untuk melakukan analisis keruangan selanjutnya.

4.5.1. Peta Infrastruktur

Peta Infrastruktur diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal pada tahun 1999. Berdasarkan peta Peta RBI tersebut, infrastruktur yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas 17 jenis.

Untuk mengetahui nilai dari masing-masing jenis infrastruktur tersebut guna menentukan nilai propertinya, diberikan skor berdasarkan kriteria penilaian tertentu . Dalam penelitian ini, kriteria penilaian yang dipakai adalah fisik, manusia , dan manfaat (utilitas). Skor dinyatakan dalam angka tertentu berdasarkan nilai kegunaan yang dimilikinya. Skor dari masing -masing jenis infrastruktur secara terperinci disajikan dalam Tabel 19 .

Tabel 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur

No Jenis Infrastruktur Fisik Manusia Manfaat Total Buffering (m)

1 Bangunan Terpencar 3 2 2 7 50 2 Gereja 2 2 2 6 20 3 Kantor Camat 2 2 2 6 20 4 Kantor Desa 2 2 2 6 20 5 Kantor Lurah 2 2 2 6 20 6 Kantor Polisi 2 2 2 6 20 7 Masjid 2 2 2 6 20 8 PLTD 3 1 2 6 50 9 Pasar 3 3 3 9 100 10 Pelayanan Pos 2 2 2 6 20 11 Pelayanan Telepon 2 2 2 6 20 12 Rumah Sakit/Puskesmas 3 3 3 9 50 13 Sekolah 3 3 3 9 50

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan :

1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Terdapat empat jenis infrastruktur yang tidak dima sukkan dalam penilaian, sehingga jumlah infrastruktur dalam Tabel 19 hanya berjumlah 13 jenis. Keempat jenis insfratruktur tersebut adalah Kuburan Islam, Kuburan Kristen, Talang, dan Tonggak Kilometer. Hal ini karena diasumsikan keempat jenis

59

infrastruktur tersebut memiliki agregasi nilai fisik, manusia, dan manfaat yang sangat kecil.

Kriteria penilaian yang meliputi fisik, manusia, dan manfaat (utilitas) ditentukan berdasarkan nilai atau atribut yang dimiliki. Semakin tinggi nilai atau atribut yang dimiliki, semakin tinggi nilai yang diberikan , begitu pula sebaliknya.

Untuk kriteria fisik, atribut yang dipertimbangkan adalah nilai keberadaan dan moneternya. Kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan jumlah manusia yang terlibat/beraktivitas atau berada dalam dan atau di berbagai jenis infrastruktur yang ada. Adapun kriteria penilaian untuk manfaat dipertimbangkan berdasarkan utilitas yang dapat diperoleh dari jenis infrastruktur tersebut.

Pemberian jarak buffering dari masing-masing infrastruktur sebagaimana disajikan dalam Tabel 19 berbeda-beda meskipun beberapa diantaranya ditentukan pada jarak yang sama . Jarak buffering diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan selama survai. Dasar penentuan jarak buffering adalah luasan dari suatu jen is infrastruktur. Semakin luas area suatu infrastruktur, maka jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh. Sebagai contoh, pasar diberikan jarak buffering yang lebih jauh dibandingkan sekolah karena luasan area pasar yang lebih luas.

4.5.2. Peta Jaringan Jalan

Jaringan jalan yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan diperoleh dari Peta RBI skala 1:25 .000 tahun 1999 (Bakosurtanal) dan infomasi yang dikumpulkan dari Bappeda Kabupaten Sumedang . Berdasarkan dua sumber informasi tersebut, jenis jalan yang teridentifikasi meliputi arteri primer, kolektor primer, lokal primer, kolektor, lokal, dan setapak. Skor jenis jalan ditentukan berdasarkan fungsi dan peranannya. Semakin berarti dan besar peranan dari suatu jenis jalan , nilai yang diberikan akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.

Kriteria penilaian dalam memberikan skor dari masing -masing jenis jalan meliputi fisik dan manfaat, minus manusia. Manusia tidak dimasukkan sebagai kriteria penilaian karena jalan hanya berfungsi sebagai prasarana bagi manusia dalam melakukan berbagai aktivitasnya , sehingga keberadaan manusia di jalan (untuk semua jenis) bersifat dinamis. Artinya , tidak berada di jalan dalam jangka waktu yang lama atau tidak menetap.

Sebagaiman a dalam penilaian risiko terhadap jenis-jenis infrastruktur, buffering juga dilakukan untuk jenis jalan, yang ditentukan berdasarkan lebar dan

fungsinya. Skor dan jarak buffering dari masing -masing jenis jalan secara lengkap dan terperinci disajikan dalam Tabel 20 .

Tabel 20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan

No. Jenis Jalan Fisik Manfaat Total Buffering (m)

1 Arteri Primer 3 3 6 100 2 Kolektor Primer 3 2 5 80 3 Lokal Primer 3 2 5 80 4 Kolektor 3 2 5 80 5 Lokal 2 2 4 50 6 Setapak 1 1 2 20

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan :

1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Berdasarkan data dalam Tabel 20 , terlihat bahwa nilai dan jarak buffering

tertinggi terdapat pada jenis jalan arteri primer, masing-masing diberikan Skor 6 dan jarak 100 meter. Hal ini mengingat fungsi dan peranan jenis jalan ini yang lebih penting diantara jenis-jenis jalan lainnya .

Jalan setapak diberikan skor terendah 2 dengan jarak buffering 20 meter karena secara fisik dan manfaat, jenis jalan ini kurang menentukan risiko dari bahaya longsor. Keberadaan jenis jalan ini pada dasarnya adalah tidak termasuk dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah serta muncul dengan sendirinya akibat perlintasan masyarakat. Frekuensi lintasan di jalan ini pun sangat rendah dan relatif hampir tidak ada kerugian apa -apa secara material kalau jalan jenis ini rusak karena longsor.

4.5.3. Peta Penggunaan Lahan

Berbeda dengan dua peta sebelumnya dimana masing -masing jenis infrastruktur dan jalan diberikan skor yang dilanjutkan dengan pemberian

buffering, dalam penilaian jenis penggunaan lahan tidak dilakukan. Hal ini karena dalam Peta Penggunaan Lahan, jenis penggunaan lahan sudah tergambar berupa poligon-poligon dan batas-batas tertentu , sehingga tidak perlu dilakukan buffering. Penetapan skor berdasarkan kriteria fisik, manusia, dan manfaat untuk setiap jenis penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 21.

61

Tabel 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan

No. Penggunaan Lahan Fisik Manusia Manfaat Total

1 Air 1 1 3 5 2 Belukar/Semak 1 1 1 3 3 Gedung 3 2 2 7 4 Hutan 1 1 1 3 5 Kebun/Perkebunan 2 1 2 5 6 Pemukiman 3 3 3 9 7 Rumput/Tanah kosong 1 1 1 3 8 Sawah Irigasi 3 1 3 7

9 Sawah Tadah Hujan 2 1 2 5

10 Tegalan/Ladang 1 1 1 3

Sumber : Data Primer (Diolah), 2005 Keterangan :

1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Berdasarkan data dalam Tabel 21 , tiga jenis penggunaan lahan yang diberikan total skor tertinggi adalah pemukiman, gedung, dan sawah irigasi masing-masing sebesar 9, 7, dan 7. Hal ini sangat beralasan mengingat dari ketiga kriteria yang digunakan, yaitu fisik, manusia , dan manfaat. Ketiga jenis penggunaan lahan ini memiliki risiko kerugian materil dan non-materil yang paling tinggi apabila terjadi tanah longsor.

Berdasarkan kriteria fisik, nilai eko nomi yang dimiliki oleh pemukiman, gedung, dan sawah irigasi lebih besar dari tujuh jenis penggunaan lahan lainnya, sehingga diberikan skor 3 karena nilai propertinya tinggi. Adapun untuk kriteria manusia , ketiga jenis penggunaan lahan diberikan skor yang berbeda, yaitu skor 3 untuk pemukiman, skor 2 untuk gedung, dan skor 1 untuk sawah irigasi. Penentuan skor untuk kriteria manusia didasarkan pada frekuensi aktivitas manusia di ketiga jenis penggunaan lahan tersebut.

Selanjutnya untuk kriteria manfaat, seluruh jenis penggunaan lahan memiliki manfaat yang cukup penting kecuali untuk tiga jenis hutan, rumput/tanah kosong, dan tegalan/ladang. Jenis penggunaan lahan untuk pemukiman, gedung, dan sawah irigasi bersasarkan kriteria manfaat masing-masing diberikan 3, 2, dan 3. Penentuan skor untuk kriteria manfaat didasarkan aspek kegunaan atau utilitas dari masing-masing jenis penggunaan lahan.

Selanjutnya, berdasarkan uraian di atas, diperoleh peta properti yang dihasilkan dari penggabungan peta infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan lahan . Peta properti dapat dilihat pada Gambar 18.

4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor

Penyusunan Peta Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan didasarkan pada Peta Properti dan Peta Bahaya Tanah Longsor. Adapun Peta Properti merupakan penggabungan dari tiga peta, yaitu infrastruktur, jaringan jalan, dan peta penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan analisis keruangan terhadap keempat peta tersebut. Analisis ini dilakukan untuk menentukan wilayah-wilayah yang memiliki risiko tanah longsor melalui buffer

(kecuali untuk peta bahaya dan penggunaan lahan). Setelah dilakukan buffer, keempat peta tersebut diubah ke dalam format raster atau grid.

Nilai risiko tanah longsor dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan). Secara matematis, nilai risiko tanah longsor dihitung dengan persamaan berikut :

P H R= + dimana : R = risiko H = hazard (bahaya) P = properti

Perhitungan berdasarkan persamaan matematis di atas, menghasilkan nilai risiko untuk menentukan kelas risikonya. Matrik perhitungannya secara lengkap disajikan dalam Tabel 22 berikut.

Tabel 22. Matrik Penentuan Nilai Risiko Tanah Longsor Nilai Properti Ting kat Potensi Bahaya

1 2 3 4

Kurang Rawan 1 2 3 4 5

Tidak Rawan 2 3 4 5 6

Rawan 3 4 5 6 7

Sangat Rawan 4 5 6 7 8

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh luasan wilayah risiko tanah longsor yang terdiri atas empat kelas, yaitu tidak berisiko, kurang berisiko , berisiko, dan sangat berisiko. Sebaran wilayah yang memiliki tingkat risiko tanah longsor dapat dilihat dalam Gambar 19. Adapun kelas risiko dan luasan tanah longsor yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 23.

6° 56 '00 " 6°56'00" 6°54'00" 6°54'00" 6°52'00" 6°52'00" 6°50'00" 6°50'00" 6°48'00" 6°48'00" 107°52'00" 107°52'00" 107°54'00" 107°54'00" 107°56'00" 107°56'00" 107°58'00" 107°58'00" CISARUA KEC. SUMEDANG UTARA

GANEAS

CIMANGGUNG RANCAKALONG

KEC. SUMEDANG SELATAN

PAMULIHAN CIMALAKA KEBONJATI SUKAGALIH JATIHURIP PADASUKA GIRIMUKTI MEKARJAYA SIRNAMULYA KOTA KULON TALUN KOTA KALER MARGAMUKTI CIPAMEUNGPEUK MERUYA MEKAR BAGINDA REGOL WETAN JATIMULYA MULYASARI SITU CIHERANG PASANGGRAHAN GUNASARI SUKAJAYA CIPANCAR CITENGAH KAB. GARUT

PETA RISIKO TANAH LONGSOR

KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN

KETERANGAN Proyeksi : Geografis Sangat Berisiko Berisiko Kurang Berisiko Tidak Berisiko Batas Kecamatan Batas Desa N

Gambar 19. Peta Risiko Tanah Longsor

L E G E N D A

LOKASI PENELITIAN

KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT

Tabel 23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya Kelas Risiko Nilai Risiko Jumlah (Ha) Persentase (%)

Tidak Berisiko 2 – 3 883,6 2 6.84

Kurang Berisiko 4 7.962,27 61.67

Berisiko 5 3.496,85 27.08

Sangat Berisiko 6 – 8 568,2 9 4.40

Sumber : Data Primer (Diolah), 2006

Berdasarkan data dalam Tabel 23 dan Gambar 19, diketahui bahwa luasan wilayah yang kurang berisiko terhadap tanah longsor seluas 7.962,27 Ha atau 61,67 % dari total luas wilayah. Luasan wilayah yang termasuk dalam kategori berisiko seluas 3.495,85 Ha atau 27,08 % dari total luas wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . Selanjutnya, seluas 883,62 Ha (6,84%) termasuk wilayah yang tidak berisiko tanah longsor, serta sisanya seluas 568,29 Ha (4,40%) adalah wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor.

Berdasarkan administrasi wilayah, jumlah desa /kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan yang termasuk dalam kategori sangat berisiko terhadap tanah longsor sebanyak 24 desa/kelurahan. Informasi ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah di kedua kecamatan memiliki daerah yang termasuk dalam kategori sangat berisiko terhadap tanah longsor. Rincian wilayah dan luasannya berdasarkan kelas risiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 24 .

Berdasarkan data dalam Tabel 24, terlihat bahwa Kecamatan Sumedang Selatan (401,17 Ha) memiliki luas wilayah sangat berisiko terhadap tanah longsor yang lebih luas dibandingkan dengan Kecamatan Sumedang Utara (167,12 Ha). Wilayah yang sangat berisiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang Selatan secara dominan tersebar di enam desa/kelurahan, yaitu Ciherang, Pasanggrahan, Kota Kulon , Regol Wetan, dan Cipameungpeuk, masing-masing seluas 94,70 Ha, 94,49 Ha, 40,04 Ha , 36,07 Ha, dan 30,69 Ha. Selebihnya, enam desa/kelurahan lainnya hanya memiliki luasan wilayah yang sangat berisiko tanah longsor rata-rata sekitar 12 Ha.

Selanjutnya, wilayah di Kecamatan Sumedang Utara yang sangat berisiko tanah longsor seluas 167,12 Ha, yang sebagian besarnya tersebar di enam desa/kelurahan, yaitu Sirnamulya, Mulyasari, Situ, Kota Keler, Girimukti, dan Margamukti, masing -masing seluas 36,36 Ha, 35,87 Ha, 18,28 Ha, 16,83 Ha,

66

15,66 Ha, dan 12,97 Ha. Adapun enam desa/kelurahan lainnya, hanya memiliki wilayah yang sangat berisiko tanah longsor rata -rata sekitar 5 Ha.

Tabel 24. Tingkat Risiko Tanah Longsor dan Luasannya serta Jumlah Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan

No Kecamatan/Desa Tidak Berisiko (ha) Kurang Berisiko (ha) Berisiko (ha) Sangat Berisiko (ha) S Kejadian Longsor Sumedang Selatan 1 Baginda 17.43 134.68 217.53 13.53 - 2 Ciherang 1.68 105.64 451.63 94.70 1 3 Cipameungpeuk 32.05 329.48 218.75 30.69 1 4 Cipancar 19.96 1,314.00 142.93 10.06 - 5 Citengah 10.78 1,226.60 271.79 4.97 1 6 Gunasari 53.01 594.82 122.57 33.18 2 7 Pasanggrahan 76.91 603.89 435.39 94.49 5 8 Regol Wetan 50.98 374.80 180.96 36.07 - 9 Kota Kulon 37.54 160.94 80.01 40.04 - 10 Meruya Mekar 6.74 502.51 90.39 1.10 - 11 Sukagalih 2.39 44.18 49.94 21.27 - 12 Sukajaya 9.05 916.41 456.94 21.09 - Sumedang Utara 1 Jatihurip 24.00 65.29 25.22 10.61 - 2 Jatimulya 144.42 254.10 74.30 5.26 2 3 Kebonjati 19.13 16.05 7.29 0.08 - 4 Kota Kaler 59.89 191.05 113.60 16.83 - 5 Girimukti 8.36 93.67 29.59 15.66 - 6 Margamukti 62.82 317.67 55.36 12.97 - 7 Mekarjaya 76.54 90.58 26.75 4.86 1 8 Mulyasari 81.14 241.29 158.08 35.87 - 9 Padasuka 27.33 85.48 33.37 3.09 - 10 Sirnamulya 10.51 89.31 140.49 36.36 - 11 Situ 30.89 116.12 63.14 18.28 - 12 Talun 20.09 93.71 50.81 7.26 - Jumlah 883.62 7,962.27 3,496.85 568.29 Persentase (%) 6.84 61.67 27.08 4.40

Sum ber : Data Primer (Diolah) , 2006

Secara umum, berdasarkan pengamatan lapangan dan hasil analisis risiko tanah longsor sebagaimana tercantum dalam Tabel 24, menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan termasuk dalam kelas kurang berisiko terhadap tanah longsor, yaitu seluas 7.962,27 Ha . Luasan ini merupakan 61,67% dari luas wilayah total kedua kecamatan tersebut.

Selain menyajikan data kelas risiko dan luasan wilayah risiko tanah longsor, Tabel 24 juga memuat data mengenai jumlah kejadian longsor

berdasarkan desa/kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Jumlah kejadian tanah longsor tersebut terjadi dalam periode 2002- 2005. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa dari 24 desa/kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, hanya tujuh desa/ kelurahan yang memiliki riwayat kejadian tanah longsor, yaitu Pasanggrahan (5 kali), Gunasari dan Jatimulya (2 kali), serta Ciherang, Cipameungpeuk, Citengah, dan Mekarjaya (masing-masing 1 kali).

Luas wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor dan jumlah kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan berguna untuk upaya mitigasi. Hal ini dimaksudkan agar wilayah yang memiliki jumlah kejadian tanah longsor tertinggi dengan luas wilayah terbesar, perlu prioritas dalam penanganannya, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisir apabila di wilayah tersebut terjadi tanah longsor.

Tingkat risiko longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ditentukan oleh tingkat rawan bahaya dan sebaran properti yang ada di wilayah tersebut. Analisis terhadap daerah yang rawan tanah longsor dan yang berisiko tanah longsor, diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan diantara keduanya. Artinya, daerah yang rawan tanah longsor akan memiliki risiko apabila daerah tersebut terjadinya tanah longsor. Hal ini terlihat untuk wilayah yang sangat rawan tanah longsor, juga merupakan daerah yang sangat berisiko tanah longsor. Fenomena ini berlaku untuk beberapa desa/kelurahan sebagaimana disajikan dalam Tabel 25.

68

Tabel 25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sume dang Selatan

No Desa/Kelurahan Sangat Rawan (Ha) Sangat Berisiko (Ha)

1 Baginda 192.19 13.53 2 Ciherang 480.50 94.70 3 Cipameungpeuk 195.26 30.69 4 Cipancar 106.46 10.06 6 Gunasari 82.69 33.18 7 Pasanggrahan 360.10 94.49 8 Regol Wetan 146.91 36.07 9 Kota Kulon 35.84 40.04 11 Sukagalih 46.00 21.27 12 Sukajaya 416.84 21.09 13 Jatihurip 14.30 10.61 14 Jatimulya 5.39 5.26 16 Kota Kaler 47.28 16.83 18 Margamukti 1.67 12.97 19 Mekarjaya 5.47 4.86 20 Mulyasari 125.50 35.87 22 Sirnamulya 140.44 36 .36 24 Talun 33.25 7.26

Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)

4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kejadian tanah longsor di Indonesia telah menimbulkan kerugian yang tak terhitung nilainya , mulai dari hilangnya harta benda, rumah, dan tempat usaha, sampai dengan korban meninggal yang mencapai angka puluhan bahkan ratusan jiwa. Kelemahan

Dokumen terkait