BAB IV GAMBARAN UMUM SEKOLAH
C. Pembahasan Hasil Penelitian
2. Persepsi Guru Terhadap Sertifikasi Bagi Guru Dalam
Dari hasil pengujian hipotesis kedua diketahui bahwa tidak ada perbedaan persepsi guru terhadap sertifikasi bagi guru dalam jabatan
ditinjau dari masa kerja guru. Artinya guru dengan masa kerja yang berbeda (mengajar 2–4 tahun, lama mengajar 5–7 tahun, lama mengajar 8–10 tahun, lama mengajar 11–13 tahun, lama mengajar 14–16 tahun, lama mengajar 17-19 tahun, lama mengajar 20-22 tahun, lama mengajar 23–25 tahun, lama mengajar lebih dari 25 tahun) memiliki kesamaan persepsi terhadap program sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada hasil perhitungan Anova yang menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 0,992 lebih kecil dari F tabel sebesar 2,030 (lampiran 9, hal 164).
Hasil deskripsi data masa kerja guru menunjukkan bahwa sebagian besar guru (25%) telah memiliki masa kerja di atas 25 tahun (halaman 65). Dalam sertifikasi, seorang guru yang memiliki pengalaman mengajar yang banyak akan mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk lolos uji sertifikasi (masa kerja > 25 tahun dihargai poin 160, dari total minimal kelulusan 850 poin). Oleh sebab itu penulis menduga bahwa guru dengan pengalaman mengajar yang banyak akan memandang sertifikasi adalah baik dan sebaliknya guru dengan pengalaman mengajar yang sedikit akan memandang sertifikasi adalah tidak baik.
Namun pada kenyataannya dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada kesamaan persepsi antara guru dengan masa kerja yang banyak dan guru dengan masa kerja yang sedikit, yaitu kesamaan persepsi yang kurang baik dari program sertifikasi bagi guru dalam jabatan (lampiran 6, hal 149). Hasil penelitian ini ternyata tidak sejalan dengan teori ya ng ada
sebelumnya yang menyatakan bahwa dalam persepsi sekalipun stimulus yang diterima sama tetapi karena pengalaman tidak sama ada kemungkinan hasil persepsi antar individu satu dengan yang lain tidak sama (Walgito,1994:53).
Menurut penulis timbulnya kesamaan persepsi guru ditinjau dari masa kerja guru dikarenakan adanya kesamaan asumsi bahwa bukti portofolio tidak menunjukkan kenyataan yang sebenarnya, khususnya pada bukti pengalaman pendukung profesi guru. Penilaian pengalaman mengajar seorang guru tidak hanya melihat lamanya seorang guru mengajar dalam hitungan tahun, tetapi juga menggambarkan pengalaman pendukung bidang profesi guru, seperti pengalaman mengikuti seminar, pelatihan, kepengurusan organisasi, kejuaraan lomba dan juga menulis artikel ilmiah di media massa. Pengalaman guru tersebutlah yang nantinya akan dinilai dalam sertifikasi bagi guru dalam jabatan dalam bentuk penilaian portofolio. Tetapi kurangnya kesiapan guru menghadapi program sertifikasi ini memungkinkan munculnya “proyek pengadaan” sertifikat untuk keperluan portofolio (aspek profesional). Misalnya pemalsuan dokumen mengikuti seminar dan pelatihan, kepengurusan orga nisasi yang fiktif yang dapat dilakukan dengan bantuan kemajuan teknologi (dengan bantuan komputer, mesin fotokopi, scanner).
Dalam pelaksanaan program sertifikasi bagi guru dalam jabatan ada fakta yang menunjukkan bukti pemalsuan dokumen portofolio dalam sertifikasi (Kompas, Rabu, 19 September 2007). Meskipun tidak semua
peserta uji sertifikasi melakukan pengadaan sertifikat palsu, tetap saja fakta tersebut menimbulkan persepsi yang kurang baik terhadap sertifikasi bagi guru dalam jabatan karena tidak mengambarkan pengalaman guru yang sebenarnya.
3. Persepsi Guru Terhadap Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Ditinjau Dari Beban Mengajar Guru.
Dari hasil pengujian hipotesis ketiga diketahui bahwa tidak ada perbedaan persepsi guru terhadap sertifikasi bagi guru dalam jabatan ditinjau dari beban mengajar guru. Artinya guru dengan beban mengajar yang berbeda (guru yang memiliki beban mengajar di bawah 24 jam pertemuan dan guru yang memiliki beban mengajar lebih atau sama dengan 24 jam pertemuan/minggu) memiliki kesamaan persepsi terhadap program sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada hasil perhitungan Anova yang menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 0,029 lebih kecil dari F tabel sebesar 3,927 (lampiran 9, hal 165).
Hasil deskripsi data ditinjau dari beban mengajar menunjukkan sebagian besar guru (74%) memiliki beban mengajar dibawah 24 jam mengajar (halaman 66). Di pasal 35 ayat (1) UU Guru Dan Dosen disebutkan bahwa guru harus memiliki beban mengajar sekurang- kurangnya 24 JP/minggu dan sebanyak-banyaknya 40 JP/minggu. Adanya aturan tersebut dapat menjadikan beban dan tanggung jawab guru semakin besar. Beban masalah yang dihadapi guru tidak hanya terletak pada
masalah kualifikasi dan dokumentasi saja, tetapi juga persoalan jam mengajar. Meskipun memiliki beban yang berat, tanggung jawab guru untuk mengajar tidak dapat dikesampingkan.
Beban mengajar guru tersebut menunjukkan kompetensi pedagogik yang dimiliki oleh seorang guru, yaitu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Dalam sertifikasi, pengujian kompetensi guru dilakukan dengan penilaian portofolio yaitu, kumpulan bukti fisik atau dokumen yang merupakan pengalaman berkarya guru. Sedangkan persoalan yang terkait dengan tugas mengajar ini menyangkut konsistensi bukti fisik dengan realita yang sebenarnya. Sebagai contoh penilaian terhadap aspek perencanaan, dimana penilaian tidak dilakukan tim assesor dengan melihat langsung proses pembelajaran di kelas. Sehingga mungkin saja terjadi ketidaksesuaian RPP dalam portofolio dengan proses belajar mengajar di kelas.
Dalam penelitian ini guru dengan beban mengajar di bawah 24 JP/minggu maupun dengan beban mengajar di atas 24 JP/minggu menunjukkan adanya kesamaan persepsi yang tidak baik terhadap sertifikasi bagi guru dalam jabatan ini (lampiran 6, hal 149). Adanya kesamaan persepsi ini sekaligus menolak teori yang ada sebelumnya, yang
menyatakan bahwa sekalipun stimulus yang diterima sama tetapi karena
pengalaman (beban mengajar) tidak sama ada kemungkinan hasil persepsi
Menurut penulis munculnya kesamaan persepsi tersebut disebabkan
adanya kesamaan pola pikir guru terhadap penilaian portofolio yang tidak
baik, khususnya penilaian aspek perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Yang dimaksud tidak baik adalah penilaian tidak menunjukkan keadaan yang
sebenarnya seperti dijelaskan di atas. Bukan hanya kekhawatiran akan
penilaian terhadap RPP dalam portofolio yang menimbulkan persepsi tidak
baik terhadap sertifikasi, tetapi juga adanya bukti penemuan sertifikat-
sertifikat palsu atau aspal (asli tapi palsu) yang tidak menggambarkan
pengalaman berkarya guru yang sebenarnya semakin menambah persepsi
yang tidak baik terhadap sertifikasi bagi guru dalam jabatan ini.
4. Persepsi Guru Terhadap Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Ditinjau Dari
Status Guru.
Dari hasil pengujian hipotesis keempat diketahui bahwa tidak ada
perbedaan persepsi guru terhadap sertifikasi bagi guru dalam ja batan ditinjau
dari status guru. Artinya guru dengan status guru yang berbeda (status PNS
dan pegawai tetap yayasan, serta status pegawai bantu dan kontrak) memiliki
kesamaan persepsi terhadap program sertifikasi bagi guru dalam jabatan.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada hasil perhitungan Anova yang
menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 2,638 lebih kecil dari F tabel
sebesar 3,927 (lampiran 9, hal 166).
Hasil deskripsi data status guru menunjukkan bahwa sebagian besar
guru (93%) memiliki status sebagai guru PNS dan tetap (halaman 67). Status
guru menggambarkan tingkat pendidikan, pengalaman, dan juga prestasi guru.
menjadi PNS dan tetap dianggap telah memiliki kompetensi guru yang baik.
Oleh sebab itu dalam sertifikasi bagi guru dalam jabatan, hanya guru dengan
status PNS dan tetap yang dapat mengikuti uji kompetensi guru (selain
persyaratan lainnya yaitu, tingkat pendidikan = S1, masa kerja yang
diutamakan adalah yang banyak/berumur 50 tahun, beban mengajar = 24
JP/minggu, dan lain sebagainya).
Sama halnya dengan persepsi guru terhadap sertifikasi bagi guru
ditinjau dari tingkat pendidikan, masa kerja, beban mengajar. Persepsi guru
ditinjau dari status guru juga menunjukkan adanya kesamaan persepsi yang
negatif terhadap sertifikasi bagi guru dalam jabatan (lampiran 6, hal 149).
Berarti hasil penelitian ini juga menolak teori yang ada sebelumnya yang
menyebutkan bahwa sekalipun stimulus yang diterima sama tetapi karena
pengalaman, kerangka acuan kemampuan berpikirnya tidak sama ada
kemungkinan hasil persepsi antar individu satu dengan yang lain tidak sama.
Melihat adanya kesamaan persepsi guru, yaitu: kesamaan memahami
informasi (tingkat pendidikan), kesamaan asumsi bahwa bukti portofolio yang
tidak menunjukkan kenyataan yang sebenarnya (pengalaman mengajar), dan
pola pikir guru terhadap penilaian portofolio yang tidak baik (perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran) , hal tersebut menunjukkan bahwa guru-guru
belum memahami tujuan utama program sertifikasi bagi guru dalam jabatan,
yaitu peningkatan mutu dan penentuan kelayakan guru sebagai agen
pembelajaran(http:jalan-mendaki.blogspot.com/2007/07sertifikasi-guru.com).
Dengan penilaian sertifikasi portofolio yang hanya mensyaratkan
guru), maka guru pun akan memenuhinya dari aspek kuantitatif saja. Disinilah
“ujian moral” yang sesungguhnya bagi guru, apakah ia ingin memperoleh
kesuksesan dalam sertifikasi dengan kejujuran atau penyimpangan. Dalam
pelaksanaan program sertifikasi bagi guru dalam jabatan ada fakta yang
menunjukkan bukti penyimpangan dalam dokumen portofolio (Kompas,
Rabu, 19 September 2007). Bukti penyimpangan (secara moral) yang terjadi,
seperti: membuat sertifikat sendiri dengan bantuan software komputer,
memfotokopi sertifikat guru lain discan dan diganti namanya, sertifikat
seminar, pendidikan dan pelatihan aspal (asli tapi palsu), mengganti jadwal
pelajaran untuk mendapatkan beban mengajar lebih dari 24 JP/minggu.
Menilik semua faktor yang menimbulkan persepsi negatif guru
terhadap sertifikasi di atas, menurut penulis disebabkan adanya kesamaan
memandang pentingnya tujuan sertifikasi. Tujuan sertifikasi adalah untuk
meningkatkan kompetensi guru secara keseluruhan yang tergambar pada
tingkat pendidikan, pengalaman mengajar, kemampuan guru merencanakan
dan melaksanakan pembelajaran, sampai dengan prestasi guru. Sedangkan
peningkatan kompetensi guru yang merupakan tujuan dari sertifikasi masih
91
BAB VI