• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Persepsi masyarakat terhadap pelaksanann Pemilu Tahun 1977 di Boyolali

Suatu pemerintahan atau organisasi Negara dibentuk adalah dengan maksud untuk kepentingan masyarakat, sehingga karenanya segala tindak-tanduk dari pemerintahan Negara haruslah diarahkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat tersebut ( R.Wiyono,1982:6). Masyarakat Boyolali pada Pemilu tahun 1977 membutuhkan sosok pemimpin atau kader yang mampu melindunginya dari kecaman-kecaman oknum yang tidak berhati nurani. Karena berdasarkan teori tersebut kepentingan masyarakatlah yang harus diutamakan dan bukan kepentingan dari Pemerintah Negara untuk mendapatkan suara terbanyak dalam Pemilu 1977. Kepentingan Pemerintah lebih diutamakan dan tidak dapat menjalankan tugas pemerintah yang semestinya dalam kegiatan Pemilu sehingga tidak ada tanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung oleh Organisasi kekuatan social Politik.

Syarat mutlak agar suatu Negara dapat disebut Negara demokrasi adalah terdapatnya dan berfungsi beberapa kekuatan social politik (R.Wiyono, 1982:7). Teori ini tidak cocok dengan keadaan Boyolali ketika terjadi Pemilu 1977, karena di Boyolali hanya Parpol yang mendominasi saja yang

mempunyai kekuatan politik terbesar. Parpol yang tidak memiliki masa banyak hanya menjadi Parpol pendamping (wawancara). Kondisi yang dibuat tenang ini sebenarnya hanya Nampak diluarnya saja. Hati masyarakat Boyolali menjerit karena pemaksaan dan kekerasan terjadi dimana-mana.

Pelaksanaan pemilu pada tahun 1977 adalah pemilu yang tidak berdasarkan keikhlasan hati masyarakat untuk memilih. Pemilu yang dianggap hanya sebagai melindungi diri dari rezim Orde Baru, namun disuatu kondisi dapat dilihat tidak ada partai politik yang berani memberikan suap menyuap, serangan fajar dan semacamnya, semua tampak bersatu dan rukun, walaupun mereka sadar bahwa kondisi itu memang dibuat seperti itu agar tidak terlihat gelagat yang mencurigakan. Seluruh Pegawai Negeri Sipil mau tidak mau harus memilih partai yang mendominasi pada saat itu. Namun ketika saya bertanya pada beliau apakah nyaman dengan keadaan pada waktu itu dibandingkan dengan keadaan sekarang ini beliau berterus terang semua ada segi positif dan negatifnya.

Positifnya, pada pemilu 1977 semua hadir dalam pemilu dari persiapan, kampanye, pencoblosan dan penghitungan suara, semua warga rukun dan tenang, tidak ada yng berani gontok-gontokan dan melawan. Beliau menganggap perangkat desa adalah tokoh yang memang patut ditiru dalam apa yang dia perintahkan, karena itu memang amanat.

Negatifnya, tidak adanya hak kebebasan untuk memilih dan pemaksaan yang kejam dari perangkat-perangkat desa membuat trauma yang mendalam bagi masyarakat yang menjalani pada pemilu tahun 1977, sehingga membuat

batin mereka tetap tersiksa sampai sekarang, bahkan ada yang tidak berani menceritakan keadaan yang sesungguhnya.

Fungsi-fungsi yang akan dilakukan Golongan Karya :

a. Sebagai pengamal serta pengaman Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

b. Menyelenggarakan pendidikan politik.

c. Komunikasi politik dengan masyrakat dan pemerintah secara timbal balik.

d. Pemaduan kepentingan dan pengajuan kepentingan masyarakat sesuai dengan cita-cita pembaharuan dan pembangunan bangsa (Rusli Karim,1983: 165).

Berdasarkan fungsi tersebut seharusnya Golongan Karya mampu merangkul masyarakat Boyolali untuk tetap menjalankan Pemilu secara Demokrasi, bukan malah memanfaatkan situasi. Banyak Parpol merangkul masyarakat sesuai dengan tujuan Parpol tersebut. Golongan Karya merangkul ABRI dan Pegawai Negeri Sipil dalam menjadi kader-kadernya. Merangkul disini menurut masyarakat Boyolali mengajak secara paksa, sedangkan masyarakat sendiri juga mempunyai pilihan tersendiri untuk Parpol yang dikehendakinya.

Pegawai Negeri Sipil yang suka dengan Partai Golkar menganggap tidak menjadikan itu suatu masalah jika memang harus memilih Golkar, karena pada waktu pemilu 1977 gaji pegawai masih sangatlah sulit sehingga itu salah satu hal yang membuat tetap memilih partai dominasi.

Tidak semua sependapat dengan hal tersebut,hal ini terbukti ketika sa;ah satu pensiunan guru di SMP negeri di Boyolali, sampai sekarang ini masih merasakan bagaimana keadaan pemilu 1977 di Boyolali. Beliau ingat sekali ketika Partai itu berkampanye ke kantor tempat beliau bekerja, para tokoh pemerintahan (beliau tidak mau menyebutkan namanya) mereka memaksa para guru itu bertanda tangan untuk memilih partai yang mendominasi. Satu persatu berbaris di ruangan kantor untuk menandatangani kertas yang sudah disiapkan. Ketidakhadiran ketika kampanye akan mendapatkan sangsi yang tegas sehingga membuat beliau mengikut sertakan semua anggota keluarganya untuk memilihnya dan mengkampanyekannya. Namun beliau sangat senang bisa berlindung dibawah kaki partai yang mendominasi sehingga membuatnya aman dan tentram.

Pemilu1977 itu adalah masa lalu yang kelam yang hanya untuk dijadikan pelajaran buat masa depan agar tidak terulang kembali. Pelanggaran dan keputusan-keputusan tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat oleh Presiden. Perangkat desa yang dengan sengaja menolak untuk tidak mengikuti perintah dan akhirnya perangkat desa itu hilang entah dimana, beliau tidak mau menyebutkan siapa korban-korban pemaksaan pada pemilu 1977.

Ciri yang menonjol didalam periode perkembangan Partai Politik yang terakhir ini ialah adanya penciutan jumlah partai politik, yakni tinggal tiga saja: Partai Perstuan Pembangunan; Partai Demokrasi Indonesia;

Golongan Karya (Ahmad Syafii, 1983: 172). Adanya 3 partai membuat masyarakat tidak kebingungan akan pilihan mereka, masyarakat bisa dengan mudah disatukan, dan tidak menghabiskan dana Negara seperti sekarang ini yang Negara harus membiayai bermacam-macam partai untuk dana kampanye. Kekuatan –kekuatan dengan sistem partai yang hanya terdiri dari tiga saja bisa menjadikan wadah masyarakat Boyolali untuk mereka masuk kedalam Partai mana, namun hal itu kembali lagi bahwa itu semua hanya syarat tertulis yang tidak sesuai dengan kenyataan. Seseorang yang beragama muslim ingin memilih Partai Perstuan Pembangunan tidak bisa lantaran dia berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Dokumen terkait