• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2. Persepsi Pedagang

4.2.8. Persepsi Teritorialitas

Pada subbab ini akan dibahas mengenai temuan penelitian tentang persepi pedagang yaitu pedagang formal maupun pedagang informal terhadap sikap teritorialitasnya. Teritori dikaitkan dengan kepemilikan suatu area, penggunaan suatu area, kesadaran orang lain akan teritori seseorang , kedekatan dengan kehidupan sehari-hari serta frekwensi penggunaan terhadap teritorinya (Altman dalam Haryadi dan Setiawan,2010). Maka dari itu, peneliti menggunakan elemen- elemen ini sebagai indikator penelitian, di mana data lapangan dikumpulkan melalui kuisioner. Adapun hasil tabulasi data mengenai kepemilikan dapat dilihat pada tabel 4.12.

Tabel 4.12 Jawaban Responden terhadap kepemilikan tempat Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Tempat ini dimiliki

sendiri

Pedagang Formal Pedagang Informal

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%)

Ya 30 75% 13 32.5%

Tidak 10 25% 27 67.5%

Total 40 100 % 40 100 %

Dari Tabel di atas dapat dikatakan bahwa kebanyakan pedagang formal menjawab bahwa tempat usaha mereka dimiliki sendiri. Sebanyak 30 orang (75%) menjawab milik sendiri dan 10 orang menjawab bukan milik sendiri. Sedangkan mayoritas pedagang informal menjawab bahwa tempat ini bukan milik sendiri yaitu sebanyak 27 orang (67.5%) dan yang menjawab milik sendiri sebanyak 13 orang (32.5%). Meskipun hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa tempat usaha pedagang kaki lima bukan milik sendiri, akan tetapi mayoritas mereka mengatakan bahwa mereka tidak menyewa lahan tersebut dengan siapapun. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden dalam wawancara.

"Kalau tempat saya ini gak nyewa. Saya dan mamak saya udah 15 tahun berjualan disini. Jadi, ruko yang barusan pindah pun karena lihat kios saya udah berjualan lama, ga diapa-apain lagi sama pemiliknya."(Zulkarnaen, pedagang informal di Jalan Iskandar Muda).

Namun demikian, terdapat beberapa pedagang informal yang menyewa dengan pemilik bangunan bahkan ada juga yang menyewa lahan usahanya kepada preman setempat. Seperti yang dituturkan oleh satu satu pedagang informal di Ismud.

"Tempat saya ga nyewa, tiap bulan paling ngasi uang uang keamanan gitu lah sama preman setempat." (Yusuf, pedagang informal).

Setelah melakukan tabulasi data, peneliti mendapatkan kisaran harga sewa lahan usaha pedagang informal adalah dari Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Seperti salah satu pedagang gorengan di Iskandar Muda yang menyewa sebagian dari kavling bangunan hingga ke trotoar (Gambar 4.23). Ia membayar harga sewa sebesar Rp. 60.000,-/bulan kepada pemilik bangunan

Gambar 4.23 Salah satu pedagang informal Sumber: Data Primer Diolah, 2017.

Pada Malam hari, setelah ruko-ruko tutup toko, terdapat pedagang informal yang berjualan di area halaman ruko. Bertolak belakang dengan pedagang informal pada siang hari, area jualan pedagang informal pada malam hari cenderung berbayar/menyewa dengan pemilik bangunan. Seperti yang diutarakan salah satu pedagang informal malam hari di Iskandar Muda.

"Ya nyewa lah kalo kami. Namanya juga di halaman ruko orang. Harga sewanya 600rb per bulan." (Iwan, pedagang informal).

Sementara itu, dapat dilihat hasil tabulasi data mengenai frekwensi penggunaan pedagang terhadap tempat tersebut (Tabel 4.13).

Tabel 4.13 Frekwensi Penggunaan Pedagang Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Frekwensi Penggunaan

Pedagang Formal Pedagang Informal Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%)

Setiap Hari 25 62.5% 23 57.5%

Kecuali Hari

Minggu/ Libur 15 37.5% 14 35%

Pindah-pindah - - 3 7.5%

Total 40 100 % 40 100 %

Berdasarkan tabel 4.13, pedagang formal yang berjualan setiap hari sebanyak 25 orang (62,5%) dan yang tidak berjualan pada hari minggu/libur sebanyak 15 orang (37.5%). Sedangkan pedagang informal yang berjualan setiap hari sebanyak 23 orang (57,5%) ,yang tidak sebanyak 14 orang (35 %), serta juga terdapat pedagang informal yang berpindah-pindah sebanyak 3 orang (7.5%). Dari tabel tersebut, dapat dikatakan bahwa tempat ini digunakan oleh pedagang hampir setiap hari. Hal ini sejalan dengan data responden bahwa mayoritas pedagang baik formal maupun informal, berdagang di Jalan Iskandar Muda sebagai mata pencaharian utama (80 %).

Adapun jawaban responden tentang apakah tempat usaha mereka disadari/ orang lain mengetahui bahwa tempat ini adalah area usaha mereka terlihat pada tabel berikut (Tabel 4.14).

Tabel 4.14 Pengetahuan Seseorang tentang Lahan Usaha Pedagang Sumber: Data Primer Diolah,2017

Orang lain tahu tempat ini adalah lahan usaha penjual

Pedagang Formal Pedagang Informal Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) Tahu 40 100 % 35 92.5% Tidak - - 5 7.5% Total 40 100 % 40 100 %

Berdasarkan tabel 4.14, dapat dilihat bahwa sebanyak 40 orang dari 40 responden pedagang formal yang mengakui bahwa orang lain tahu akan tempat tersebut merupakan lahan usaha mereka. Sedangkan untuk pedagang informal terdapat 5 orang (7.5 %) yang mengatakan bahwa orang lain tidak tahu tempat ini merupakan lahan usahanya. Salah satu penyebab hal ini adalah pedagang kaki lima yang cenderung berpindah-pindah/ tidak menetap. Adapun jawaban responden mengenai eksklusivitas lahan usaha dapat dilihat pada tabel 4.15

Tabel 4.15 Eksklusivitas Lahan Usaha Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Apakah tempat ini dipakai sendiri

Pedagang Formal Pedagang Informal Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) Ya 37 92.5% 31 77.5% Tidak 3 7.5% 9 22.5% Total 40 100 % 40 100 %

Pada umumnya, pedagang formal menjawab bahwa tempat ini dipakai sendiri seperti pada tabel 4.15 bahwa 37 (92.5%) orang mengatakan bahwa tempat ini dipakai sendiri dan 3 orang tidak (7.5%). Sedangkan sebanyak 31 pedagang informal yang mengatakan bahwa tempat tersebut dipakai sendiri.

Adapun jawaban responden khususnya pedagang kaki lima tentang apakah area lahan usaha mereka bersifat permanen atau tidak dapat dilihat pada tabel 4.16

Tabel 4.16 Sifat Lahan Usaha Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Sifat Lahan Usaha Pedagang Informal

Jumlah (orang) Persentase (%)

Permanen 12 30%

Tidak Permanen 28 70%

Total 40 100 %

Berdasarkan tabel 4.16, Lahan usaha pedagang informal pada umumnya adalah tidak permanen yaitu sebesar 28 (70%), dan yang bersifat permanen sebesar 12 (30%). Hal ini juga sejalan dengan hasil observasi peneliti, bahwa mayoritas menggunakan kereta jaja, becak, gerobak, bahkan bongkar pasang terpal sendiri untuk kegiatan berjualannya pada malam hari (Gambar 4.24).

Gambar 4.24 Sifat area berjualan PKL yang tidak permanen Sumber: Dokumen Peneliti, 2017

Selain sifat lahan usaha pedagang, peneliti juga menanyakan tentang apakah penjual selalu berjualan di tempat yang sama atau tidak. Dari hasil kuisioner yang telah ditabulasi, dapat dikatakan bahwa pedagang informal di koridor jalan Iskandar Muda pada umumnya menetap namun beberapa ada yang berpindah- pindah sesuai dengan yang telah disampaikan di bagian frekwensi penggunaan. Alasan pedagang baik pedagang formal maupun pedagang informal untuk berjualan di koridor jalan Iskandar Muda ini mayoritas menganggap tempat ini sebagai tempat strategis yang merupakan area komersial. Beberapa juga menjawab bahwa tempat ini juga dekat dari rumah mereka, sehingga mereka lebih memilih untuk berjualan di koridor ini.

Untuk mengetahui persepsi pedagang terhadap sikap teritorialitasnya, peneliti juga menanyakan beberapa hal yang berkaitan tentang teritori. Adapun pernyataan yang ditanyakan dalam kuisioner disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4.17 Pengetahuan responden tentang teritori Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Pernyataan Pedagang Formal Pedagang Informal

Ya Tidak Ya Tidak

Saya pernah mendengar istilah teritori 15 (37,5%) 25 (62,5%) 8 (20%) 32 (80%)

Saya mengetahui arti teritori 10 (25%) 30 (75%) - - 40 (100%) Total 40 40 40 40

Berdasarkan tabel 4.17, pada umumnya pedagang formal tidak pernah mendengar istilah teritori, hanya sekitar 15 pedagang formal (37,5%) yang pernah mendengar istilah ini. Pedagang formal yang pernah mendengar istilah teritori pun tidak semuanya tahu akan arti dari istilah teritori tersebut. Hanya sebanyak 10 orang (25%) yang mengetahui arti dari teritori tersebut. Sementara itu, hal yang serupa juga terjadi pada pedagang informal, bahkan pedagang informal yang pernah mendengar istilah teritori hanya 8 orang (20%) sedangkan tidak ada yang mengetahui arti istilah teritori. Hal ini menunjukkan bahwa sangat kurangnya pengetahuan pedagang tentang teritori pada ruang publik koridor jalan Iskandar Muda ini. Selain pengetahuan tentang teritori, peneliti juga menanyakan kepada responden tentang pengetahuan akan ruang pribadi dan ruang publik. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.18 Pengetahuan akan ruang pribadi dan ruang publik Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Saya tahu tentang ruang pribadi dan ruang publik

Pedagang Formal Pedagang Informal Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%)

Ya 21 52.5% 17 42.5%

Tidak 19 47.5% 23 57.5%

Total 40 100 % 40 100 %

Berdasarkan tabel 4.18, sebanyak 21 pedagang formal (52,5%) menjawab bahwa mereka tahu akan ruang pribadi dan ruang publik sedangkan pada pedagang informal, yang tahu akan ruang pribadi dan ruang publik sebanyak 17 orang (42,5%). Hal ini menunjukkan pada umumnya responden cenderung lebih memahami tentang ruang pribadi dan ruang publik dibandingkan dengan istilah teritori. Di samping itu, pada umumnya pedagang informal pada siang hari menggunakan sempadan bangunanan, jalur pedestrian hingga badan jalan sebagai area lahan usahanya. Namun mayoritas menggunakan trotoar dan badan jalan (Gambar 4.25).

Gambar 4.25 Pedagang informal yang menggunakan trotoar dan badan jalan Sumber: Dokumen Peneliti, 2017

Berbeda dari siang hari, pada malam hari mayoritas pedagang informal menggunakan sempadan bangunan/ halaman ruko sebagai lahan usahanya (Gambar 4.27). Lahan usaha mereka cenderung lebih besar daripada pedagang informal pada siang hari.

Hal ini wajar bila dibandingkan dengan pedagang informal pada siang hari yang mayoritas tidak membayar uang sewa kepada pemilik bangunan, sedangkan mayoritas pedagang kaki lima yang menggunakan halaman ruko wajib membayar uang sewa kepada pemilik ruko. Luas lahan usaha pedagang kaki lima pada

malam hari bervariasi, ada yang hanya di badan jalan seperti pedagang informal pada siang hari lainnya (4.26), bahkan ada yang mempunyai lahan usaha sampai dengan 3 halaman ruko.

Gambar 4.26 Lahan usaha pedagang informal yang kecil Gambar 4.27 Lahan usaha pedagang informal yang lebih besar

Sumber: Dokumen Peneliti, 2017

Selanjutnya, peneliti membahas tentang bagaimana pedagang menandai batas teritorinya. Kebanyakan pedagang khususnya ruko men-display barang dagangannya sampai dengan halaman ruko (Gambar 4.28) namun pada beberapa kasus peneliti menemukan pedagang formal yang menaruh steling jualan sampai ke trotoar (Gambar 4.29)

Gambar 4.28 Ruko yang mendisplay barang dagangan sampai ke halaman Gambar 4.29 Pedagang formal yang berjualan sampai trotoar

Adapun pedagang formal menandai batas teritorinya dengan ruko sebelah dengan memajang barang dagangannya, membuat median pembatas serta tembok pembatas. Dapat dilihat pada gambar 4.30

Gambar 4.30 Batas teritori salah satu ruko Sumber: Dokumen Peneliti, 2017

Adapun gambar denah di bawah ini merupakan salah satu sampel pedagang formal di koridor jalan Iskandar Muda dengan batas teritorinya pada segmen 2.

Gambar 4.31 Klasifikasi teritori salah satu Ruko Sumber: Olahan Peneliti, 2017

Teritori Primer Teritori Sekunder Teritori Publik Halaman Ruko Di dalam Ruko Pedestrian

Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa di dalam bangunan ruko yang menjadi batas teritori primer. Artinya, tidak semua orang mempunyai izin untuk mengakses masuk ke dalam bangunan ruko, hanya sekelompok orang seperti pemilik, keluarga, karyawan dan calon pembeli yang diizinkan mengakses area teritori tersebut. Sementara itu, pada bagian halaman ruko dapat diklasifikasikan sebagai teritori sekunder karena pada malam hari, pemilik bangunan mengalihfungsikan teritori tersebut yang sebelumnya merupakan tempat untuk memajang barang dagangan,kini berubah menjadi area berdagang penjual informal. Artinya, teritori ini lebih tidak privat dibandingkan dengan teritori di dalam bangunan dimana teritori ini mengizinkan sekelompok orang lain untuk menggunakannya sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik bangunan.

Adapun pendapat pedagang formal tentang sampai manakah ia memajang barang dagangan dipaparkan dalam tabel berikut.

Tabel 4.19 Area memajang barang dagangan Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Batas Pajangan Pedagang Formal

Jumlah (orang) Persentase (%)

Halaman Ruko 21 52.5%

Trotoar 5 12.5%

Tidak sampai halaman 14 35%

Total 40 100 %

Berdasarkan tabel 4.19 dapat dikatakan bahwa kebanyakan pedagang formal di koridor jalan Iskandar Muda menggunakan halaman bangunannya sebagai tempat untuk memajang barang dagangannya, yaitu sebanyak 21 orang (52,5%). Hanya sebanyak 5 orang yang memajang barang dagangannya sampai ke trotoar (12,5%) dan sebanyak 14 orang yang tidak memajang barang dagangannya sampai ke halaman (35%). Hal ini menunjukkan bahwa pedagang formal menganggap halaman ruko masih merupakan hak pemilik untuk menggunakannya sebagai kepentingan pribadi. Hal ini sejalan dengan pendapat mayoritas responden

sebanyak 34 orang (85%) yang mengatakan bahwa semua kavling bangunan adalah milik pribadi yang selanjutnya dipertegas lagi dengan pendapat salah satu pedagang formal dalam wawancara.

"Halaman ruko kami ya milik kami secara pribadi. Sah-sah saja kalau ingin memajang barang dagangan sampai ke halaman ruko toh Kavling tanah ini milik pribadi. Kecuali memajang sampai ke trotoar, itu baru ga boleh, bukan hak kami lagi. Saya rasa pedagang ruko di sekitar sini juga memajang barang dagangannya sampai ke halaman bangunan kok." (Anderson, Pedagang Formal).

Di samping itu, mayoritas pedagang formal juga berpendapat bahwa area pajangan mereka bukanlah teritori publik. Namun bagi yang memajang sampai dengan trotoar setuju bahwa area tersebut merupakan teritori publik. Salah satu pedagang berpendapat bahwa:

”Trotoar di area sini tidak kelihatan lagi batasnya. Jadi saya juga bingung mau sampai dimana saya harus memajang barang dagangan saya. Kalau ada batas trotoar mungkin akan lebih gampang menentukannya."(Amin, Pedagang Formal).

Gambar 4.32 Tidak ada batasnya pedestrian Sumber: Dokumen Peneliti, 2017

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fatimah (2011) dan Gifford dalam Yusra (2014), yaitu persepsi seseorang dalam menggunakan tempat dipengaruhi oleh faktor fisik. Selanjutnya, hampir semua pedagang berpendapat bahwa aktivitas perdagangan mereka sama sekali tidak mengganggu pejalan kaki. Padahal, berdasarkan hasil observasi, meskipun pedagang ruko tidak memajang barang dagangannya sampai dengan trotoar, terdapat aktivitas parkir becak barang dan parkir kendaraan pelanggan yang sampai ke area trotoar. Hal ini secara langsung mengintervensi fungsi seharusnya dari sebuah jalur pedestrian (Gambar 4.33).

Gambar 4.28 Kendaraan yang parkir di trotoar. Sumber: Dokumen Peneliti, 2017

Adapun pendapat pedagang formal tentang kapasitas parkir di sekitar area dagang mereka yaitu sebanyak 30 orang (75%) mengatakan cukup dan sebanyak 10 orang (25%) mengatakan tidak cukup. Seperti yang diutarakan oleh salah satu pedagang formal di jalan Iskandar Muda Medan di bawah.

"Parkir pelanggan warung ini saya rasa cukup, soalnya memang kebanyakan pelanggan merupakan anak sekolahan, kuliah, kantor yang ke sini dengan berjalan kaki" (Ika, Pedagang formal).

Berdasarkan hasil observasi, parkir pelanggan di koridor jalan ini adalah di samping badan jalan. Bagi beberapa bangunan seperti perbankan, kampus, bangunan komersial terdapat lahan parkir sendiri yang disediakan bagi pelanggan. Namun, bangunan ruko di koridor ini cenderung tidak mempunyai lahan parkir

sendiri sehingga mengharuskan pelanggan untuk parkir di badan jalan. Seperti yang diutarakan salah satu pedagang formal.

"Pelanggan kami kalo datang kesini ya parkir di badan jalan lah. Namanya ruko, ga ada tempat parkir khusus yang disediakan. Kan jalan ini memang diperbolehkan untuk parkir di badan jalan. Cukup engganya saya kurang tau, tapi seharusnya cukup, karena selama ini pelanggan yang datang ga pernah komplain. Lagian pelanggan datangnya rata-rata ga sampai 1 jam. Jadi saya rasa parkir di tempat dagang saya cukup- cukup saja." (Anderson, Pedagang Formal).

Sementara itu, pedagang formal pada koridor ini cenderung berpendapat bahwa kemacetan lalu lintas sama sekali tidak berhubungan dengan kegiatan dagang yang mereka lakukan. Seperti yang diutarakan salah satu pedagang.

"Jalan Iskandar Muda ini memang pada dasarnya kan memang banyak aktivitas perdagangan. Namun demikian, aktivitas saya ini engga berkontribusi lah sama kemacetan yang terjadi di sini. Yang buat macet itu paling angkot yang berhenti, keluar masuk parkir, kendaraan yang berbalik arah, itu pun cuman sesekali. Jadi ya pada dasarnya sirkulasi disini itu cenderung lancar-lancar saja." (Tony, Pedagang Formal).

Sementara itu, batas teritori salah satu pedagang informal di koridor Iskandar Muda pada segmen 1 dapat dilihat pada gambar dibawah.

1

2

1

3

4

Gambar disamping menunjukkan salah satu area pada segmen 1 yang dipadati pedagang kaki lima. Dapat dilihat beberapa pedagang kaki lima tersebut berdagang di atas trotoar dan bahkan di badan jalan (nomor 1). Pedagang mie pada foto nomor 1 mengatakan bahwa tempat disini dipakai sendiri dan selalu menetap. Pedagang memilih untuk berjualan tetap disini dikarenakan tempatnya yang strategis dan juga tidak ada biaya sewa lahan dagang kepada pemilik bangunan, bahkan pedagang tersebut mengaku bahwa pemilik bangunanlah yang meminta ia untuk berjualan. Sifat berdagang pedagang ini sebenarnya semi menetap yaitu hanya berjualan pada pagi hari sampai dengan sore menjelang malam hari dan kemudian membawa pulang barang dagangannya beserta becak dagangnya. Cara pedagang tersebut menandai batas teritorinya adalah dengan menempatkan beberapa kursi dan meja seperti terlihat pada foto (2) dan selebar trotoar yaitu sebesar 2m serta menggunakan terpal sebagai penanda area berjualannya. Pedagang mie yang berusia 38 tahun tersebut berpendapat bahwa tempat ini merupakan tempat publik dan ia sadar akan area jualan ini sebenarnya adalah tidak benar. Seperti hasil tabulasi data tentang pendapat pedagang informal tentang area jualan yang digunakan dipaparkan dalam Tabel 4.20. Namun karena ini merupakan mata pencaharian utama dan tempat inilah yang paling cocok digunakan maka pedagang tersebut tetap berjualan di atas trotoar.

Gambar 4.34 Teritori pedagang informal segmen 1 Sumber: Olahan Peneliti, 2017

Tabel 4.20 Area berjualan Sumber: Data Primer Diolah, 2017

Apakah area berjualan termasuk teritori publik?

Pedagang Informal

Jumlah (orang) Persentase (%)

Ya 30 75%

Tidak 10 25%

Total 40 100 %

Berdasarkan tabel di atas, dapat dikatakan bahwa memang rata-rata pedagang berpendapat bahwa area berjualan mereka merupakan teritori publik dan juga semestinya area ini tidak benar untuk berjualan.

Pada foto nomor 3 dan 4 juga terdapat beberapa pedagang informal lainnya yang berjualan di trotoar dan badan jalan. Mereka merupakan pedagang informal keliling yang kebetulan menetap untuk sementara karena banyaknya aktivitas pelajar di sini. Pedagang-pedagang ini juga berpendapat bahwa area ini merupakan area publik dan seharusnya tidak berjualan di sini namun mereka mengeluh tidak ada tempat lain untuk berjualan selain di trotoar ataupun badan jalan. Namun demikian, secara keseluruhan dari segmen 1 sampai segmen 3, terdapat sebanyak 28 pedagang informal ( 70%) yang mengatakan bahwa area jualan mereka sudah benar. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang informal cenderung sudah terbiasa dengan berjualan di area fasilitas publik jalur pedestrian maupun badan jalan. Selanjutnya batas teritori salah satu pedagang informal di koridor Iskandar Muda pada segmen 2 dan segmen 3 juga dapat dilihat pada gambar dibawah.

Pada gambar disamping dapat dilihat salah satu pedagang kaki lima yang berada pada segmen 2 sedang berjualan di trotoar hingga badan jalan. Pedagang tersebut menjual minuman es kelapa. Sifat pedagang tersebut adalah semi menetap dimana waktu berjualan dari pagi hingga sore menjelang malam hari dan akan membawa pulang gerobak dagangnya (bersifat portable) sedangkan meja dan kursi dititipkan. Cara pedagang tersebut menandai batas teritorinya adalah dengan menempatkan kursi dan meja serta terpal. Ia juga mengatakan bahwa lokasi dimana ia berjualan tepat di depan Apotek Peringgan. Luas area berjualan pedagang tersebut dapat dilihat melalui gambar dimensi layout di atas yaitu sekitar 5 m x 3 m. Pedagang berpendapat bahwa area ini merupakan teritori publik dan boleh digunakan siapa saja. Pedagang juga berpendapat bahwa aktivitas berjualan tersebut tidak mengganggu pejalan kaki karena tidak adanya jalur pedestrian yang jelas dan menurutnya tempat berjualan ini sudah benar.

APOTEK

Dokumen terkait