• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persoalan Hukum yang dihadapi perusahaan dalam mengunakan mekanisme bipartit dalam penyelesaian perselisihan

B. Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau dari Segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan Keadilan Hukum

3. Persoalan Hukum yang dihadapi perusahaan dalam mengunakan mekanisme bipartit dalam penyelesaian perselisihan

Konsultasi bipartit sebenarnya tidak hanya untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya masalah. Banyak aspek lain, termasuk upaya peningkatan produktivitas dan partisipasi pekerja/buruh dalam perusahaan dapat dibicarakan secara bipartit. Oleh karena itu fungsi konsultasi bipartit dapat mencakup berbagai hal di perusahaan yang lebih luas.

Perlu dipahami bahwa adanya Lembaga Kerjasama Bipartit sama sekali tidak mengganti fungsi serikat pekerja/serikat buruh di dalam perundingan. Lembaga Kerjasama Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi bukan merupakan forum musyawarah atau perundingan. Forum musyawarah atau perundingan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan sedangkan forum konsultasi/komunikasi tidak dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan.

Dengan fungsi tersebut, maka di perusahaan dapat dibentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Keanggotaannya meliputi wakil dari pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan manajemen. Khusus wakil dari pekerja/buruh dapat dilengkapi dengan pekerja/buruh yang mewakili satuan kerja tertentu di luar serikat pekerja/serikat buruh. Hal ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan masing- masing. Proses mekanisme kerja Lembaga Kerjasama Bipartit juga dapat bervariasi dimana dari satu perusahaan ke lain perusahaan dapat berbeda. Tetapi satu prinsip yang perlu dipegang adalah bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit dapat berfungsi

dengan optimal apabila didukung dan mendapatkan komitmen dari manajemen puncak.

Masalah ketenagakerjaan adalah masalah hukum. Semakin maju suatu industri di suatu negara maka masalah hubungan kerja menjadi masalah sosial dan hukum. Hukum suatu bangsa senantiasa merupakan bagian dari suatu proses sosial yang lebih besar, yang dijalankan oleh bangsa tersebut. Khusus membicarakan perkembangan hukum, sama sekali tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan proses-proses yang berlangung dalam masyarakat itu sendiri. Proses-proses seperti perubahan terjadi oleh karena berbagai bidang atau segi kehidupan masyarakat tengah mengadakan penyesuaian atau mencari bentuknya yang tepat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang baru, baik tuntutan fisik maupun idiil83.

Objek ilmu hukum tidak hanya norma hukum, tetapi juga perilaku manusia yang ditentukan oleh norma hukum sebagai syarat atau konsekuensi, dengan kata lain, perilaku yang terkandung dalam norma hukum. Hubungan antar manusia merupakan objek ilmu hukum hanya dalam konteks hubungan hukum, yakni sebagai hubungan yang diatur oleh norma-norma hukum84.

Tidak jauh berbeda dengan hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha ada hubungan antara atasan dengan bawahan yang setiap harinya terjadi karena ada pekerjaan kecuali hari libur dan diluar jam kerja. Hubungan antara pekerja/buruh

83

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1997), hlm. 137.

84

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007), hlm. 80-81.

dengan pengusaha pada mulanya adalah hubungan yang ditimbulkan karena adanya perjanjian kemudian diawasi ole hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu hukum ketenagakerjaan.

Hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah hubungan kerja yang diatur hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah (heteronom). Hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak cukup mengatur seluruh hubungan kerja, syarat kerja dan kondisi kerja. Oleh karena itu pengusaha dengan pekerja/buruh membuat perjanjian kerja, pengusaha membuat peraturan perusahaan, pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh mengadakan perjanjian kerja bersama (otonom).

Kebebasan antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan perjanjian atau kesepakatan tetap berpedoman kepada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 52. Dari segi norma hukum, budaya hukum dan masalah sosial/non hukum yang berhubungan dengan masalah perselisihan hubungan industrial dan mekanisme bipartit maka berdasarkan wawancara dengan pengusaha berpendapat bahwa 85:

a. Pengusaha selalu beranggapan apabila sesuatu perselisihan diselesaikan melalui bipartit maka akan menjadi contoh kepada pekerja/buruh yang lain bahwa apabila pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh kemudian ditindak oleh pengusaha janganlah diselesaikan melalui bipartit dan pengusaha merasa kurang wibawanya

85

Wawancara dengan Bapak Simon Lumban Tobing selaku APK (Asisten Personalia Kebun) pada tanggal 14 September 2015 di Kantor PTPN III Kebun Sei Putih, Galang.

di perusahaan. Apalagi penyelesaian bipartit itu mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar kompensasi kepada pekerja seperti pesangon dan penghargaan masa kerja akan mempermalukan pengusaha. Pengusaha lebih bersedia membayar pesangon dan penghargaan masa kerja di Kantor Dinas Tenaga Kerja dengan sebutan pesangon dan penghargaan masa kerja diganti namanya menjadi uang pisah atau good will atau nama lain dengan tidak menyebut pesangon dan penghargaan masa kerja walaupun besar dan nilainya sama dengan pesangon dan penghargaan masa kerja.

b. Pengusaha beranggapan pembayaran dengan cepat melalui bipartit akan membuat pekerja tidak jera dan akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut di tempat kerja yang baru. Pengusaha juga beranggapan bahwa hal ini tidak mendidik.

c. Pengusaha juga mengatakan bahwa pengusaha menyukai mekanisme bipartit ini karena merupakan sistem yang perlu dibudayakan menjadi suatu budaya hukum dalam hubungan kerja. Akan tetapi dapat berdampak sosial bagi pekerja/buruh lain sehingga kurang takut berbuat tidak disiplin di lingkungan perusahaan. Bila pekerja/buruh tidak disiplin di lingkungan perusahaan akan menurunkan produktivitas kerja. Demikian hasil wawancara dengan perusahaan.

Bipartisme dapat dilihat dari dua segi :86

a. Sebagai “lembaga” di mana di dalam perusahaan terdapat lembaga secara fisik yang melaksanakan berbagai fungsi di luar keserikatpekerjaan/keserikatburuhan.

86

b. Sebagai “mekanisme” di mana di perusahaan tidak terdapat lembaga secara fisik dan apabila timbul berbagai masalah yang memerlukan pembahasan maka konsultasi/pembahasan dilakukan oleh wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan wakil manajemen yang merupakan dua pihak yang berkepentingan. Salah satu contohnya ialah perundingan penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh atau organisasinya dengan manajemen.

Keberadaan bipartit baik dari segi lembaga yang dikenal dengan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit maupun dari segi mekanisme atau sistemnya merupakan kedua hal yang sangat penting dibudayakan dalam hubungan industrial dan dalam lingkungan perusahaan khususnya. Bipartit sebagai lembaga yang diwujudkan dalam Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit di perusahaan adalah sebagai forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah bagi pekerja/buruh dengan pengusaha. Sebagaimana fungsi dari LKS Bipartit itu sendiri yakni :

1. Sebagai forum komunikasi, konsultasi untuk musyawarah antara pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan. 2. Sebagai forum untuk membahas masalah dan persoalan hubungan industrial di

perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh yang menjamin kelangsungan usaha dan kesempatan kerja.

3. Sebagai forum kerjasama dalam hal konsepsi pemikiran dan penyamaan persepsi87. Melihat dari fungsi LKS Bipartit tersebut maka unsur komunikasi dan partisipasi merupakan unsur yang paling hakiki di dalam kerjasama di tempat kerja.

87

LKS Bipartit dipakai sebagai wadah dimana pekerja/buruh dan pengusaha satu sama lain dapat menyampaikan masalah atau persoalannya. Kedua belah pihak juga dapat memberikan informasi tentang masalah yang sedang dihadapi atau mungkin yang akan terjadi pada waktu yang akan datang yang berdampak pada satuan kerja maupun perusahaan. LKS Bipartit yang secara rutin mengadakan pertemuan memungkinkan terjadinya pertukaran pendapat secara teratur yang dapat menghasilkan rasa saling pengertian, konsensus, dan penyelesaian masalah untuk kepentingan bersama diantara kedua belah pihak.

Dengan demikian LKS Bipartit sebagai forum/wadah komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah upaya pecegahan/preventif terhadap timbulnya perselisihan hubungan industrial.

Bipartit bila dipandang dari segi sistem atau mekanisme adalah merupakan perundingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Mekanisme ini melibatkan 2 (dua) unsur yaitu pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha. Sebagaimana pesan dari Undang-undang Ketenagakerjaan dan Undang- Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa di dalam penyelesasian perselisihan hubungan industrial mewajibkan penyelesaian secara bipartit. Penyelesaian perselisihan ini membahas, mendiskusikan dan menyelesaikan masalah hubungan industrial termasuk penyelesaian perselisihan berdasarkan musyawarah mufakat.

Bipartit dari segi lembaga maupun sistem sangat perlu dibudayakan di perusahaan. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. LKS Bipartit sebagai

forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah sedangkan bipartit sebagai sistem adalah prosedur atau cara yang digunakan dalam mendiskusikan, membahas dan menyelesaikan masalah hubungan industrial yang timbul antara kedua belah pihak.

Keberadaan LKS Bipartit di suatu perusahaan akan mendukung bipartit itu sendiri. Sebagai upaya preventif terhadap timbulnya perselisihan hubungan industrial maka LKS Bipartit akan mengurangi perbedaan pendapat yang timbul antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

BAB IV

SANKSI DAN PELAKSANAAN SANKSI PASAL 190 UNDANG-UNDANG