• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang Chapter III V"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

A. Bipartit Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga

mengutamakan bipartit sebagai penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti

yang disebutkan pada Pasal 136 :

(1) Penyelesaian perselisishan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Kemudian didalam Pasal 151 ayat (2) dan (3) disebutkan :

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(2)

Dari Pasal 136 dan 151 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan sangat jelas dinyatakan mengutamakan bipartit dalam penyelesaian

perselisihan.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial

menganut prinsip-prinsip dalam menyelesaikan perselisihan yaitu sebagai berikut 60: 1. Musyawarah untuk mufakat

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui musyawarah

untuk mufakat secara bipartit adalah wajib sebelum menempuh penyelesaian lebih

lanjut. Dan begitu pula dalam penyelesaian melalui mekanisme diluar pengadilan

adalah mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

2. Bebas memilih lembaga penyelesaian perselisihan

Para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka

hadapi berdasarkan kesepakatan bebas memilih penyelesaian melalui lembaga

arbitrase, konsiliasi ataupun mediasi untuk menyelesaikan perselisihan yang

mereka hadapi sebelum melakukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan

Industrial.

3. Cepat adil dan murah

60

(3)

Penyelesaian perselisihan melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial

menganut prinsip cepat, adil dan murah. Hal tersebut dapat dilihat dari segi waktu

penyelesaian yaitu : bipartit 30 hari, bila memilih salah satu dari lembaga arbitrase,

konsiliasi atau mediasi dimana melalui lembaga tersebut waktu penyelesaiannya

30 hari kerja. Apabila kedua belah pihak ataupun salah satu tidak dapat menerima

anjuran konsiliasi atau mediasi dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan

Hubungan Industrial. Waktu penyelesaian pada Pengadilan Hubungan Industrial

adalah 50 hari kerja dimana untuk perselisihan kepentingan dan antar serikat

pekerja/serikat buruh putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah final.

Sementara perselisihan hak dan PHK para pihak atau salah satu pihak dapat

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung apabila tidak dapat menerima putusan

Pengadilan Hubungan Industrial. Mahkamah Agung mengambil keputusannya

paling lama 30 hari kerja. Disamping dari segi waktu, undang-undang memberikan

kesempatan kepada para pihak untuk meminta putusan sela dan pemeriksaan acara

cepat agar pemeriksaan sengketa dipercepat. Prinsip adil tercermin dari

penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dan serta bila dilihat dari segi

putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung yang

diputus oleh Hakim majelis terdiri dari Hakim karir dan Hakim Ad-Hoc

diharapkan dapat mengambil keputusan mencerminkan rasa keadilan. Prinsip

murah, bahwa beracara di Pengadilan Hubungan Industrial pihak yang berperkara

tidak dikenakan biaya perkara hingga pada pelaksanaan eksekusi yang nilai

(4)

pengadilan tinggi serta pembatasan perselisihan hubungan industrial yang dapat

dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial membagi 4 jenis Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana

disebut pada Pasal 1 angka 1sampai angka 5 sebagai berikut :

1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial juga mengutamakan penyelesaian bipartit yang berpedoman

kepada musyawarah dan mufakat antara pekerja/buruh dengan pengusaha

sebagaimana disebut pada Pasal 3 sebagai berikut :

(5)

2. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

3. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Penyelesaiaan perselisihan hubungan industrial menganut penyelesaian di luar

pengadilan dan melalui pengadilan. Undang-undang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial menganut penyelesaian di luar pengadilan dan melalui

Pengadilan Hubungan Industrial. Adapun pengaturan tersebut dimaksudkan adalah

untuk mencegah terjadinya pelimpahan perselisihan kepada pengadilan. Oleh karena

penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengutamakan penyelesaian win-win

solution yaitu melalui musyawarah untuk mufakat. Dengan harapan timbulnya

perselisihan hubungan industrial tidak akan mengganggu proses produksi barang

maupun jasa di perusahaan.

1. Penyelesaian Diluar Pengadilan

Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Indutrial,

penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

Oleh karena apabila gugatan tidak dilampiri risalah tersebut, hakim wajib

mengembalikan gugatan kepada penggugat. Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita

tarik kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar

pengadilan sifatnya adalah wajib.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dilakukan

(6)

a. Bipartit;

b. Mediasi;

c. Konsiliasi;

d Arbitrase.

a. Penyelesaian Melalui Mekanisme Bipartit

Penyelesaian melalui perundingan bipartit adalah perundingan antara

pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian melalui perundingan

bipartit adalah wajib, oleh karenanya apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak

mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan, tanpa melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui

perundingan bipartit telah dilakukan maka instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan akan mengembalikan berkasnya untuk dilengkapi.

Berbeda dengan Lembaga Kerjasama Bipartit sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dimana Lembaga

Kerjasama Bipartit adalah sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya

terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat pada

institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

Kerjasama bipartit adalah suatu bentuk kerjasama antara pengusaha dengan

pekerja/buruh yang telah dilembagakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 106

(7)

istilah Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Kerjasama bipartit ini tidak dapat

diartikan secara fisik tetapi lebih banyak dalam bidang konsepsi dan pemikiran serta

persamaan persepsi. Penyelesaian secara bipartit maupun LKS Bipartit memiliki

tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaiakan persoalan yang timbul antara

pekerja/buruh dengan pengusaha. LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan

konsultasi yang juga bertujuan untuk mengantisipasi perbedaan pendapat antara

pekerja/buruh dengan pengusaha. Dengan kata lain bahwa LKS Bipartit sebagai

upaya preventif dalam mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial.

Keberadaan LKS Bipartirt sebagai upaya preventif terhadap timbulnya

perselisihan hubungan industrial akan mendukung jalannya bipartit. Artinya LKS

Bipartit maupun mekanisme bipartit sama-sama perlu dibudayakan. LKS Bipartit

sebagai pencegah dan bipartit sebagai mekanismenya. Pada saat terjadi perselisihan

hubungan industrial di suatu perusahaan maka kedua belah pihak (pengusaha dan

pekerja/buruh) dapat langsung menyelesaikannya dengan cara bipartit (mekanisme)

karena sudah terbentuk LKS Bipartit. Maka dengan demikian tujuan akhirnya dari

mekanisme bipartit dan LKS Bipartit adalah menciptakan hubungan industrial yang

harmonis di perusahaan.

Pada dasarnya pekerja/buruh dengan pengusaha memiliki tujuan yang sama

yaitu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Untuk mencapai tujuan ini

masalah bipartit perlu dilembagakan supaya kedua belah pihak memperoleh manfaat

(8)

Kerjasama (LKS) Bipartit ini maka mekanisme bipartit akan semakin mudah untuk

dijalankan.

Perundingan bipartit, diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal

dimulainya perundingan dan setiap perundingan harus dibuat risalah perundingan,

sekurang-kurangnya memuat61 :

(f) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Penyelesaian melalui perundingan sebagaimana dimaksud diatas, apabila

mencapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh para

pihak dimana sifatnya adalah mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan

oleh para pihak62.

Untuk keperluan pelaksanaannya, para pihak wajib didaftarkan pada

pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak

mengadakan perjanjian bersama dan Pengadilan Hubungan Industrial memberikan

“Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama” dan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari Perjanjan Bersama63. Melalui Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada

(9)

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian

Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi64. b. Penyelesaian Melalui Mediasi

Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah

penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang

ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator disini adalah

pegawai institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk

bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis

kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Mediator berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang harus memenuhi syarat sebagai berikut65 : (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(b) Warga Negara Indonesia;

(c) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

(d) Mengetahui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; (e) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak bercela;

(f) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata 1 (S1); dan (g) Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

64

Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

65

(10)

Penyelesaian perselisihan melalui mediasi, mengutamakan penyelesaian

musyawarah untuk mufakat, dan apabila dalam perundingan tersebut dicapai

kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan

disaksikan oleh Mediator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk

mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.

Penyelesaian melalui mediasi, bila tidak tercapai kesepakatan proses

penyelesaiaan selanjutnya adalah66 :

(a) Mediator mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat atau saran yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.

(b) Anjuran tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.

(c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran.

(d) Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak anjuran.

(e) Namun apabila para pihak menyetujui anjuran, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.

Waktu penyelesaian pada mediator adalah dalam waktu selambat-lambatnya

30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan. Pada dasarnya penyelesaian

perselisihan hubungan industrial melalui mediasi adalah wajib, dalam hal ketika

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para

pihak yang berselisih tidak memilih lembaga konsiliasi atau arbitrase untuk

menyelesaikan perselisihan yang dihadapi para pihak.

66

(11)

c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan

antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui

musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai

konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib

memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila telah terdaftar pada kantor

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Syarat

menjadi konsiliator adalah67 :

(a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Warga Negara Indonesia;

(c) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; (d) Pendidikan minimal lulusan strata satu (S1); (e) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; (f) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

(g) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;

(h) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan (i) Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh menteri.

Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan kesepakatan para

pihak yang berselisih yang dibuat secara tertulis untuk diselesaikan oleh konsiliator.

67

(12)

Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari

daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi

pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial pada

dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam perundingan yang

mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para

pihak dan disaksikan oleh konsiliator, untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan

Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai

kesepakatan, maka 68:

(a) Konsiliator menggunakan anjuran tertulis;

(b) Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak;

(c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima anjuran;

(d) Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya dianggap sebagai menolak anjuran;

(e) Terhadap anjuran konsiliator apabila para pihak menyetujui, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.

(f) Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.

d. Penyelesaian Melalui Arbitrase

\ Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah

penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat

68

(13)

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan

Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk

menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbitrase yang putusannya mengikat

para pihak dan bersifat final.

Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para

pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk

memberikan keputusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat

final.

Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter adalah 69: (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(b) Cakap melakukan tindakan hukum; (c) Warga Negara Indonesia;

(d) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; (e) Pendidikan minimal lulusan strata satu (S1); (f) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

(g) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase;

(h) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 tahun.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas

dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan tersebut dibuat dalam

bentuk Surat Perjanjian Arbitrase, rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak

69

(14)

mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Adapaun Surat

Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya memuat70 :

(a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; (b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada

arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan; (c) Jumlah arbiter yang disepakati;

(d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;

(e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, tanda tangan para pihak yang berselisih.

Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa

arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Untuk penunjukan arbiter tunggal, para

pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari

kerja, tentang nama arbiter dimaksud. Namun apabila penunjukan beberapa arbiter

(majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter

dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk arbiter ketiga

sebagai Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk

selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditunjuk oleh para pihak.

Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud diatas dilakukan secara tertulis

dalam bentuk Perjanjian Penunjukan Arbiter dengan para pihak yang berselisih.

Perjanjian Penunjukan Arbiter sekurang-kurangnya memuat hal sebagai berikut 71:

(a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;

70

Pasal 32ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

71

(15)

(b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;

(c) Biaya arbitrase dan honorarium arbiter;

(d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;

(e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;

(f) Pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan

(g) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.

Para pihak yang berselisih ada kalanya tidak sepakat untuk menunjuk arbiter

tunggal maupun beberapa arbiter, maka atas permohonan salah satu pihak Ketua

Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh mentri.

Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter, harus memberitahukan secara

tertulis mengenai penerimaan penunjukannya kepada para pihak yang berselisih.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase, arbiter harus

mengupayakan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila

upaya perdamaian dicapai kesepakatan arbiter atau majelis arbiter wajib membuat

akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau

majelis arbiter.

Akta perdamaian dimaksud didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri dimana wilayah arbiter mengadakan perdamaian untuk

mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran, yang akan dapat digunakan sebagai dasar

permohonan eksekusi, apabila Akta Perdamaian yang telah dicapai tidak

dilaksanakan oleh salah satu pihak melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada

(16)

Upaya mencapai perdamaian adakalanya tidak mencapai kesepakatan (gagal),

maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase yang dilakukan secara

tertutup, kecuali pihak yang berselisih menghendaki lain dimana setiap kegiatan

pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau

majelis arbiter.

Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter,

apabila telah dianggap cukup, arbiter atau majelis arbiter mengambil putusan yang

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan,

keadilan, dan kepentingan umum. Adapun putusan arbitrase memuat 72:

(a) Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.

(b) Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter; (c) Nama lengkap dan alamat para pihak;

(d) Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;

(e) Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut dari para pihak yang berselisih;

(f) Pertimbangan yang menjadi dasar putusan; (g) Pokok Putusan;

(h) Tempat dan tanggal putusan; (i) Mulai berlakunya putusan; dan

(j) Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.

Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak

yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Putusan

tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di

wilayah arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan arbitrase yang tidak

72

(17)

dilaksanakan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi

melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan para pihak terhadap siapa putusan itu harus

dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. Pengadilan Negeri, dalam

waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja harus sudah menyelesaikan perintah

pelaksanaan eksekusi terhitung setelah permohonan didaftarkan pada Panitera

Pengadilan Negeri dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan

arbitrase.

Putusan arbitrase, oleh salah satu pihak dapat mengajukan permohonan

pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja

sejak ditetapkan putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur sebagai

berikut73 :

(a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;

(b) Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menetukan yang disembunyikan oleh pihak lain;

(c) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;

(d) Putusan melampaui kekuasaan arbitrase hubungan industrial; atau (e) Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung

sejak menerima permohonan, memutuskan permohonan pembatalan dan menetapkan

akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Penyelesaian

perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan dalam waktu

73

(18)

lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter

dan atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka

waktu penyelesaian 1(satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja.

Suatu perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat

diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

2. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial

Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

pekerja/buruh bekerja yang sekarang ada di ibukota propinsi. Pengajuan gugatan

dimaksud harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak

penggugat apabila gugatan penggugat tidak melampirkan risalah penyelesaian

melalui mediasi atau konsiliasi.

Penggugat dapat sewaktu waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat

memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan,

pencabutan gugatan akan dikabulkan pengadilan apabila disetujui tergugat.

Tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan

memutus 74:

a. tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

b. tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

74

(19)

c. tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

d. tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruh hanya dalam satu perusahaan.

Majelis hakim dalam mengambil putusannya mempertimbangkan hukum,

perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan yang dibacakan dalam sidang terbuka

untuk umum, dimana putusan pengadilan harus memuat :

a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha

Esa”;

b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para

pihak yang berselisih;

c. Ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/tergugat yang jelas;

d. Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan, hal yang terjadi dalam

persidangan selama sengketa itu diperiksa;

e. Aturan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. Amar putusan tentang sengketa;

g. Hari, tanggal putusan, nama hakim, Hakim Ad hoc yang memutus, nama panitera,

serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.

Majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan dalam

waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. Putusan dimaksud

dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan dibacakan, panitera

pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang

(20)

panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan serta dalam waktu

selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan

salinan putusan kepada para pihak. Apabila perselisihan hak dan/atau perselisihan

kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka pengadilan

wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan

kepentingan.

3. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mahkamah Agung

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan

perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila

tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu

selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung :

a. Bagi pihak yang hadir, sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis hakim;

b. Bagi pihak yang tidak hadir, sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui sub.

kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat, dan dalam

waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan

permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh sub kepaniteraan pengadilan

kepada ketua Mahkamah Agung.

Di dalam Pasal 115 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan hak

(21)

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan

kasasi.

Sanksi administrasi diberlakukan kepada mediator dan panitera muda

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 yaitu sebagai berikut:

(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil.

(2). Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sanksi adminstratif juga diberikan kepada konsiliator dan arbiter yaitu

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 sampai dengan Pasal 121 Undang-Undang

No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai

berikut :

(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.

(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimkasud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.

(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. (4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk

(22)

Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai

konsiliator dalam hal :75

(a) konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;

(b) terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; (c) menyalahgunakan jabatan; dan atau

(d) membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)

Pasal 119 :

(1) arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis (2) arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.

(3) sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.

(4) sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 120 :

(1) arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal :

a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut; b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;

c. menyalahgunakan jabatan;

75

(23)

d. arbiter telah dijatuhi sanksi adminstratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.

(2) sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.

Pasal 121 :

(1) sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 dijatuhkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.

Sanksi pidana diberlakukan kepada :

a. barang siapa yang diminta keterangan oleh mediator, tidak memberikan keterangan

termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan;

b. barang siapa yang diminta keterangan oleh konsiliator, tidak memberikan

keterangan termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang

diperlukan;

c. barang siapa yang diminta keterangan oleh arbiter tidak memberikannya, termasuk

membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan;

d. konsiliator yang tidak manjaga kerahasiaan;

e. arbiter yang tidak merahasiakan semua keterangan yang diminta;

f. setiap orang yang tidak bersedia menjadi saksi atau saksi ahli untuk memenuhi

panggilan untuk memberikan kesaksian yang dipanggil majelis hakim;

g. barang siapa yang tidak bersedia memberikan keterangan temasuk membuka buku

(24)

Sanksi pidana tersebut diatur pada pasal yang berbunyi sebagai berikut 76:

(1) barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran

B. Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau dari Segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan Keadilan Hukum

Didalam sila ke 4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, telah menggambarkan bahwa

sebelum diambil suatu keputusan yang menyangkut kepentingan bersama maka

haruslah didahulukan musyawarah mufakat.

Dengan sila kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga

masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam

menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan

mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.

Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada

dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain.

Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu

diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk

76

(25)

mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas

bangsa Indonesia.

Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil

keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus

menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di

sini kepentingan bersamalah yang diutamakan diatas kepentingan pribadi dan

golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai

dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat

dipertanggungjawbakan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan,

mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.

Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada

wakil-wakil yang dipercayainya.77Secara institusional dalam bidang kehidupan berbangsa , Pancasila telah diwujudkan dengan kesediaan beberapa ratus suku menjadi satu

bangsa, bangsa Indonesia, dengan derajat yang sama bagi tiap-tiap suku. Persatuan

suku-suku menjadi satu bangsa itu dibuktikan dengan nyata dengan diterimanya

bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di atas bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap

suku. Disamping itu dapat disebut juga pengakuan bendera merah putih sebagai

bendera kebangsaan serta lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

77

(26)

Di dalam bidang kehidupan bernegara telah pula melembaga unsur-unsur

Pancasila yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia

sebagai wadah Pancasila telah membentuk dan mengoperasikan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jabatan

presiden, wakil presiden dan menteri, Badan Pemeriksa Keuangan dan

lembaga-lembaga negara lainnya. Lagipula daerah Republik Indonesia telah dibagi-bagi

menjadi daerah propinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom, sedang puluhan ribu

desa telah dikukukan dengan pemerintahan yang diberi wewenang menyelenggarakan

pemerintahan langsung bagi masyarakat desa.

Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara

Indonesia, Pancasila telah dinyatakan kedudukannya oleh para pendiri negara ini

sebagaimana terlihat dalam UUD 1945 dalam penjelasan umum. Di sana ditegaskan,

bahwa Pancasila adalah cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar

negara, baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis.

Hukum ketenagakerjaan adalah salah satu hukum yang berlaku di Indonesia

yang mengatur masalah hubungan industrial. Dalam Pasal 102 Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan :

1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi

menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan

melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan

(27)

2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat

pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan

kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan

aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya serta

ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta

keluarganya.

3. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha mempunyai fungsi

menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan

memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan

berkeadilan.

Hubungan industrial (industrial relation) di Indonesia merupakan hubungan

yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang

terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, yang didasarkan pada

nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam proses produksi di perusahaan

pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan

pemerintah termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena

berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat

keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada

akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan

kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

Peran pemerintah dalam hubungan indsutrial ini diwujudkan dengan

(28)

oleh para pihak, serta mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga dapat

berjalan secara efektif, serta membantu dalam penyelesaian perselisihan hubungan

industrial. Dengan demikian, kepentingan pemerintah dalam hubungan industrial

adalah menjamin keberlangsungan proses produksi secara lebih luas.78

Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan

hubungan industrial berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,

menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasinya secara

demokratis, mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta ikut memajukan

perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Pengusaha/organisasi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial

mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas

lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,

demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu hubungan industrial tidak hanya dilihat

dari konteks hubungan antara pekerja dan pengusaha semata, peraturan-peraturan

ketenagakerjaan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, ekonomi

dan politik karena di dalamnya mencakup pola konsep keadilan, kekuasaan, hak dan

tanggung jawab. Pada akhirnya tujuan hubungan industrial adalah untuk

meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, tujuan ini

saling berkaitan dan terkait satu dengan yang lainnya yang berarti bahwa

pengurangan terhadap yang satu akan mempengaruhi yang lain. Tingkat produktivitas

78

(29)

perusahaan misalnya sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas pekerja,

produktivitas yang tinggi hanya dimungkinkan jika perusahaan tersebut

memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Peningkatan kesejahteraan pekerja

hanya layak jika produktivitas perusahan meningkat.

Semua pihak yang terlibat dalam proses produksi terutama pengusaha, perlu

menciptakan lingkungan kerja yang kondusif melalui bipartit untuk mencapai

produktivitas yang diinginkan. Melalui bipartit dapat dibangun kemitraan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh sehingga tercipta damai di tempat kerja.

Hubungan kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha akan terganggu jika

salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain, sehingga

pemenuhan kebutuhan atau kepentingan salah satu pihak dirugikan. Untuk

mengarahkan dan mengembalikan hubungan kerja sama antara pekerja dan

pengusaha dalam kegiatan tersebut, hukum ketenagakerjaan sebagai pedoman dalam

hubungan industrial mempunyai kedudukan dan peranan yang penting. Melalui

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang aspiratif diharapkan dapat

memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.

Kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan konsep yang harus

dikembangkan dalam hubungan industrial, jika pihak pekerja/buruh dan pengusaha

menginginkan perusahaannya maju dan berkembang serta dapat bersaing dalam

tataran nasional dan internasional. Dengan demikian, hubungan kemitraan antara

(30)

perusahaan. Untuk itu masing-masing pihak harus konsisten melaksanakan

kewajibannya masing-masing.

Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasari adanya

kesepakatan kedua belah pihak tentu tidak selamanya harmonis adakalanya terjadi

perselisihan dan bahkan terjadi pemutusan hubungan kerja. Betapapun harmonisnya

hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh tetap ada perselisihan, yang

perlu menjadi perhatian pengusaha dan pekerja/buruh adalah bahwa penyelesaian

perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih dengan

musyawarah mufakat (bipartit) yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Penyelesaian musyawarah mufakat (bipartit) ini tidak ada kalah menang tetapi

sama-sama menang.

Ditinjau dari beberapa perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang

pernah berlaku dan yang sedang berlaku di Indonesia tetap mendahulukan sistem

bipartit. Seperti yang pernah berlaku antara lain :

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan : bila terjadi perselisihan

perburuhan, maka serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan

itu secara damai dengan jalan perundingan. Dalam memori penjelasan

Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

disebutkan : “perlu ditegaskan bahwa yang menjadi pokok pikiran dari Undang

-Undang ini ialah bahwa adalah tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus

(31)

dengan jalan perundingan yang langsung antara kedua belah pihak”. Bila

perundingan antara kedua belah pihak itu menghasilkan persetujuan-persetujuan

itu disusun menjadi suatu perjanjian perburuhan.

Dalam memori penjelasan Undang-Undang No 22 Tahun 1957 Tentang

Perselisihan Perburuhan sangat jelas memakai sistem bipartit dalam

meyelesaikan persoalan perselisihan hubungan industrial.

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di

Perusahaan Swasta pada Pasal 2 menyatakan : “ bila setelah diadakan segala usaha

pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus

merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi

buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak

menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh”. Dari pasal ini sangat jelas

menyatakan bahwa yang diutamakan dalam penyelesaian perselisihan pemutusan

hubungan kerja adalah dengan cara musyawarah mufakat (bipartit).

Pada penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan

Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta di dalam pokok-pokok pikiran yang

diwujudkan dalam Undang-Undang ini dalam garis besarnya antara lain adalah

sebagai berikut :

1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan

hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus

(32)

2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang

berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan daripada

penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah, maka dalam sistem

undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya

dan upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.

Baik pada Pasal 2 maupun dalam pokok-pokok yang terkandung pada

Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di

Perusahaan Swasta menginginkan penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara

bipartit yaitu musyawarah mufakat. Walaupun undang-undang tersebut tidak berlaku

lagi semenjak berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial, akan tetapi undang-undang tersebut tetap

mengutamakan sitem bipartit.

3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang ini dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial selalu

mengutamakan sistem bipartit. Dalam Pasal 136 yang berbunyi :

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

(33)

Pasal 151 yang berbunyi :

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buurh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buurh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.

(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).

(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Dari Pasal 136, Pasal 151 dan Pasal 152 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan sangatlah jelas bahwa penyelesaian perselisihan hubungan

industrial wajib dimulai melalui bipartit, apabila gagal bipartit baru kemudian

ditempuh melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

(34)

Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial ini bipartit merupakan langkah pertama yang wajib

dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti pada :

a. Pasal 3

(a) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

(b) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

(c) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagimana dimaksud dalam ayat (3) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Setelah perundingan gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak

mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai

berikut :

b. Pasal 4

(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

(35)

(4) Dalam hal upaya para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Baik Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan, Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan

Kerja di Perusahaan Swasta, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial semua undang-undang tersebut mengutamakan

musywarah untuk mufakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

C. Keberhasilan Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang

1. Data 3 (tiga) Tahun Terakhir yang Sudah Selesai dan Tidak Selesai Dalam Bipartit.

Dari hasil penelitian di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

(36)

Tabel 4. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2012 s/d tahun 2014

Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

Dari tabel diatas maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 jumlah kasus

yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang

adalah 84 kasus. Kasus yang selesai sebanyak 40 kasus dengan jenis sebagai berikut :

1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 28 kasus yang persentasenya 42,42%

2. Perselisihan hak sebanyak 10 kasus yang persentasenya 66,6%

3. Perselisihan kepentingan sebanyak 2 kasus yang persentasenya 66,66%

Jumlah kasus yang tidak selesai adalah 44 kasus.

Untuk tahun 2013 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah 108 kasus dan kasus yang selesai

sebanyak 55 kasus dengan jenis sebagai berikut :

1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 38 kasus yang persentasenya 46,91%

2. Perselisihan hak sebanyak 16 kasus yang persentasenya 64%

3. Perselisihan kepentingan sebanyak 1 kasus yang persentasenya 50%

Jumlah kasus yang tidak selesai pada tahun 2013 adalah 53 kasus. Kemudian untuk

tahun 2014 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan

PHK % Hak % Kepentingan % PHK Hak Kepentingan

1 2012 66 15 3 28 42,4 10 66,6 2 66.6 40 3 1

2 2013 81 25 2 38 46,9 16 64 1 50 43 9 1

3 2014 104 26 4 56 53,8 21 80,8 2 50 44 9 2

Selesai Anjuran

Keterangan Jenis Perselisihan

No Thn

(37)

Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah : 134 kasus dan yang selesai sebanyak

79 kasus dengan jenis sebagai berikut :

1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 56 kasus yang persentasenya 53,8%

2. Perselisihan hak sebanyak 21 kasus yang persentasenya 80,8%

3. Perselisihan kepentingan sebanyak 2 kasus yang persentasenya 50%

Jumlah kasus yang tidak selesai pada tahun 2014 adalah 55 kasus.

Dari data tahun 2012 yang tidak selesai secara bipartit adalah 44 kasus. Tahun

2013 sebanyak 53 kasus dan tahun 2014 sebanyak 55 kasus. Terhadap semua

kasus-kasus yang tidak selesai secara musyawarah ini , maka mediator mengeluarkan

anjuran kepada kedua belah pihak yaitu pekerja/buruh dan pengusaha sebagaimana

disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut :79

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi maka :

a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak:

c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;

d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;

e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Negeri di wilayah

79

(38)

hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak dapat menerima isi

anjuran dari mediator tersebut maka para pihak atau salah satu pihak dapat

melanjutkan ke pengadilan hubungan industrial sebagaimana disebut dalam

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

sebagai berikut:80

(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu phak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan

hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga)

orang yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad Hoc

yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi

pekerja/organisasi buruh serta dibantu oleh panitera muda dan panitera pengganti81. 2. Penyebab Kegagalan Bipartit

Walaupun pesan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial bahwa setiap persoalan perselisihan harus lebih

80

Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

81

(39)

dahulu diselesaikan melalui bipartit, tetapi penyelesaian melalui bipartit tidak semua

dapat selesai. Tidak selesainya perselisihan tersebut melalui bipartit dikarenakan

beberapa alasan sebagai berikut 82 : a. Pihak pekerja/buruh

Setelah pekerja/buruh dipecat oleh pengusaha maka pekerja/buruh tidak mau lagi

datang ke perusahaan untuk merundingkannya dengan pengusaha ataupun melapor

kepada serikat pekerja/serikat buruh yang ada pada perusahaan tersebut tetapi yang

dilakukan pekerja/buruh adalah melapor kepada Dinas Tenaga Kerja atau meminta

bantuan kepada pengacara. Ketika ditanya mengapa tidak dirundingkan dengan

pengusaha, maka pekerja/buruh menjawab pada saat diberhentikan pengusaha,

pekerja/buruh yang telah diberhentikan tersebut tidak diperbolehkan oleh

pengusaha untuk memasuki lokasi perusahaan dan diusir oleh satpam (security).

Ada pula Pekerja yang mengatakan telah benci melihat pengusaha dan biarlah

berjumpa di Dinas Tenaga Kerja saja.

b. Pihak pengusaha

Akibat kesalahan pekerja/buruh yang dilakukannya seperti pencurian,

penggelapan, penghasutan kepada teman sekerja, maka pengusaha merasa sangat

keberatan apabila pekerja/buruh tersebut masuk ke lokasi perusahaan karena akan

dicontoh oleh pekerja-pekerja lain. Pengusaha berpendapat bahwa lebih baik

bertemu dengan pekerja tersebut di kantor Dinas Tenaga Kerja.

82

(40)

c. Faktor Lain

Faktor lain dalam hal ini adalah adanya pihak lain yang ingin campur tangan agar

kasus tersebut berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini dapat terjadi

apabila perselisihan yang timbul maka pihak pekerja/buruh secara langsung

memberikan kuasa kepada orang lain dan orang lain tersebut tidak ingin kasus itu

selesai, kalau boleh sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial bahkan ke

Mahkamah Agung.

d. Kurangnya peran serikat pekerja/serikat buruh

Seharusnya bila sudah ada serikat pekerja/serikat buruh berdiri di perusahaan

maka sudah dapat membantu pekerja/buruh tersebut apabila terjadi perselisihan.

Pekerja/buruh tersebut dapat meminta bantuan serikat pekerja/serikat buruh untuk

mrngurus perselisihan atau membela pekerja/buruh. Kenyataannya banyak

pekerja/buruh tidak mau meminta bantuan kepada serikat pekerja/serikat buruh

dengan alasan bahwa serikat pekerja/serikat buruh tersebut telah main mata

dengan pengusaha padahal tuduhan tersebut tidak benar. Selain itu bahwa di

perusahaan tersebut belum ada terbentuk serikat pekerja/serikat buruh.

Keempat faktor ini yang menjadikan pengusaha enggan melakukan bipartit

dengan pekerja/buruh ditempat kerja atau di lingkungan perusahaan. Pemerintah

melalui Dinas Tenaga Kerja baik di kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi

bahkan pada tingkat Kementrian Tenaga Kerja selalu mengadakan penyuluhan

(41)

3. Persoalan Hukum yang dihadapi perusahaan dalam mengunakan mekanisme bipartit dalam penyelesaian perselisihan

Konsultasi bipartit sebenarnya tidak hanya untuk mencegah atau

mengantisipasi timbulnya masalah. Banyak aspek lain, termasuk upaya peningkatan

produktivitas dan partisipasi pekerja/buruh dalam perusahaan dapat dibicarakan

secara bipartit. Oleh karena itu fungsi konsultasi bipartit dapat mencakup berbagai hal

di perusahaan yang lebih luas.

Perlu dipahami bahwa adanya Lembaga Kerjasama Bipartit sama sekali tidak

mengganti fungsi serikat pekerja/serikat buruh di dalam perundingan. Lembaga

Kerjasama Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi bukan merupakan

forum musyawarah atau perundingan. Forum musyawarah atau perundingan

dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan sedangkan forum konsultasi/komunikasi

tidak dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan.

Dengan fungsi tersebut, maka di perusahaan dapat dibentuk Lembaga

Kerjasama Bipartit. Keanggotaannya meliputi wakil dari pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh dan manajemen. Khusus wakil dari pekerja/buruh dapat

dilengkapi dengan pekerja/buruh yang mewakili satuan kerja tertentu di luar serikat

pekerja/serikat buruh. Hal ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan

masing-masing. Proses mekanisme kerja Lembaga Kerjasama Bipartit juga dapat bervariasi

dimana dari satu perusahaan ke lain perusahaan dapat berbeda. Tetapi satu prinsip

(42)

dengan optimal apabila didukung dan mendapatkan komitmen dari manajemen

puncak.

Masalah ketenagakerjaan adalah masalah hukum. Semakin maju suatu industri

di suatu negara maka masalah hubungan kerja menjadi masalah sosial dan hukum.

Hukum suatu bangsa senantiasa merupakan bagian dari suatu proses sosial yang lebih

besar, yang dijalankan oleh bangsa tersebut. Khusus membicarakan perkembangan

hukum, sama sekali tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan proses-proses yang

berlangung dalam masyarakat itu sendiri. Proses-proses seperti perubahan terjadi oleh

karena berbagai bidang atau segi kehidupan masyarakat tengah mengadakan

penyesuaian atau mencari bentuknya yang tepat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan

yang baru, baik tuntutan fisik maupun idiil83.

Objek ilmu hukum tidak hanya norma hukum, tetapi juga perilaku manusia

yang ditentukan oleh norma hukum sebagai syarat atau konsekuensi, dengan kata

lain, perilaku yang terkandung dalam norma hukum. Hubungan antar manusia

merupakan objek ilmu hukum hanya dalam konteks hubungan hukum, yakni sebagai

hubungan yang diatur oleh norma-norma hukum84.

Tidak jauh berbeda dengan hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha

ada hubungan antara atasan dengan bawahan yang setiap harinya terjadi karena ada

pekerjaan kecuali hari libur dan diluar jam kerja. Hubungan antara pekerja/buruh

83

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1997), hlm. 137.

84

Gambar

Tabel 4. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2012 s/d tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.. Dengan demikian UU No.2 tahun 2004 mengenal 4 jenis

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL P PEKERJA/ BURUH SP/SB PENGUSAHA / ASOSIASI PENGUSAHA 30 HARI KERJA.. 5 perundingan, akan dicapai penyelesaian yang paling menguntungkan

Data dari Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2012 bahwa jumlah kasus perselisihan hubungan industrial adalah 84 kasus

(2) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa antara Perusahaan

industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja /buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan

(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan

Pengertian arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lain hanya dalam satu perusahan,