BAB III
PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Bipartit Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga
mengutamakan bipartit sebagai penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti
yang disebutkan pada Pasal 136 :
(1) Penyelesaian perselisishan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
Kemudian didalam Pasal 151 ayat (2) dan (3) disebutkan :
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Dari Pasal 136 dan 151 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan sangat jelas dinyatakan mengutamakan bipartit dalam penyelesaian
perselisihan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial
menganut prinsip-prinsip dalam menyelesaikan perselisihan yaitu sebagai berikut 60: 1. Musyawarah untuk mufakat
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui musyawarah
untuk mufakat secara bipartit adalah wajib sebelum menempuh penyelesaian lebih
lanjut. Dan begitu pula dalam penyelesaian melalui mekanisme diluar pengadilan
adalah mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
2. Bebas memilih lembaga penyelesaian perselisihan
Para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka
hadapi berdasarkan kesepakatan bebas memilih penyelesaian melalui lembaga
arbitrase, konsiliasi ataupun mediasi untuk menyelesaikan perselisihan yang
mereka hadapi sebelum melakukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan
Industrial.
3. Cepat adil dan murah
60
Penyelesaian perselisihan melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial
menganut prinsip cepat, adil dan murah. Hal tersebut dapat dilihat dari segi waktu
penyelesaian yaitu : bipartit 30 hari, bila memilih salah satu dari lembaga arbitrase,
konsiliasi atau mediasi dimana melalui lembaga tersebut waktu penyelesaiannya
30 hari kerja. Apabila kedua belah pihak ataupun salah satu tidak dapat menerima
anjuran konsiliasi atau mediasi dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Hubungan Industrial. Waktu penyelesaian pada Pengadilan Hubungan Industrial
adalah 50 hari kerja dimana untuk perselisihan kepentingan dan antar serikat
pekerja/serikat buruh putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah final.
Sementara perselisihan hak dan PHK para pihak atau salah satu pihak dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung apabila tidak dapat menerima putusan
Pengadilan Hubungan Industrial. Mahkamah Agung mengambil keputusannya
paling lama 30 hari kerja. Disamping dari segi waktu, undang-undang memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk meminta putusan sela dan pemeriksaan acara
cepat agar pemeriksaan sengketa dipercepat. Prinsip adil tercermin dari
penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dan serta bila dilihat dari segi
putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung yang
diputus oleh Hakim majelis terdiri dari Hakim karir dan Hakim Ad-Hoc
diharapkan dapat mengambil keputusan mencerminkan rasa keadilan. Prinsip
murah, bahwa beracara di Pengadilan Hubungan Industrial pihak yang berperkara
tidak dikenakan biaya perkara hingga pada pelaksanaan eksekusi yang nilai
pengadilan tinggi serta pembatasan perselisihan hubungan industrial yang dapat
dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial membagi 4 jenis Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana
disebut pada Pasal 1 angka 1sampai angka 5 sebagai berikut :
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial juga mengutamakan penyelesaian bipartit yang berpedoman
kepada musyawarah dan mufakat antara pekerja/buruh dengan pengusaha
sebagaimana disebut pada Pasal 3 sebagai berikut :
2. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
3. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Penyelesaiaan perselisihan hubungan industrial menganut penyelesaian di luar
pengadilan dan melalui pengadilan. Undang-undang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial menganut penyelesaian di luar pengadilan dan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial. Adapun pengaturan tersebut dimaksudkan adalah
untuk mencegah terjadinya pelimpahan perselisihan kepada pengadilan. Oleh karena
penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengutamakan penyelesaian win-win
solution yaitu melalui musyawarah untuk mufakat. Dengan harapan timbulnya
perselisihan hubungan industrial tidak akan mengganggu proses produksi barang
maupun jasa di perusahaan.
1. Penyelesaian Diluar Pengadilan
Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Indutrial,
penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
Oleh karena apabila gugatan tidak dilampiri risalah tersebut, hakim wajib
mengembalikan gugatan kepada penggugat. Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar
pengadilan sifatnya adalah wajib.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dilakukan
a. Bipartit;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d Arbitrase.
a. Penyelesaian Melalui Mekanisme Bipartit
Penyelesaian melalui perundingan bipartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian melalui perundingan
bipartit adalah wajib, oleh karenanya apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, tanpa melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan akan mengembalikan berkasnya untuk dilengkapi.
Berbeda dengan Lembaga Kerjasama Bipartit sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dimana Lembaga
Kerjasama Bipartit adalah sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat pada
institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
Kerjasama bipartit adalah suatu bentuk kerjasama antara pengusaha dengan
pekerja/buruh yang telah dilembagakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 106
istilah Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Kerjasama bipartit ini tidak dapat
diartikan secara fisik tetapi lebih banyak dalam bidang konsepsi dan pemikiran serta
persamaan persepsi. Penyelesaian secara bipartit maupun LKS Bipartit memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaiakan persoalan yang timbul antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan
konsultasi yang juga bertujuan untuk mengantisipasi perbedaan pendapat antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Dengan kata lain bahwa LKS Bipartit sebagai
upaya preventif dalam mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial.
Keberadaan LKS Bipartirt sebagai upaya preventif terhadap timbulnya
perselisihan hubungan industrial akan mendukung jalannya bipartit. Artinya LKS
Bipartit maupun mekanisme bipartit sama-sama perlu dibudayakan. LKS Bipartit
sebagai pencegah dan bipartit sebagai mekanismenya. Pada saat terjadi perselisihan
hubungan industrial di suatu perusahaan maka kedua belah pihak (pengusaha dan
pekerja/buruh) dapat langsung menyelesaikannya dengan cara bipartit (mekanisme)
karena sudah terbentuk LKS Bipartit. Maka dengan demikian tujuan akhirnya dari
mekanisme bipartit dan LKS Bipartit adalah menciptakan hubungan industrial yang
harmonis di perusahaan.
Pada dasarnya pekerja/buruh dengan pengusaha memiliki tujuan yang sama
yaitu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Untuk mencapai tujuan ini
masalah bipartit perlu dilembagakan supaya kedua belah pihak memperoleh manfaat
Kerjasama (LKS) Bipartit ini maka mekanisme bipartit akan semakin mudah untuk
dijalankan.
Perundingan bipartit, diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan dan setiap perundingan harus dibuat risalah perundingan,
sekurang-kurangnya memuat61 :
(f) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Penyelesaian melalui perundingan sebagaimana dimaksud diatas, apabila
mencapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh para
pihak dimana sifatnya adalah mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan
oleh para pihak62.
Untuk keperluan pelaksanaannya, para pihak wajib didaftarkan pada
pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan perjanjian bersama dan Pengadilan Hubungan Industrial memberikan
“Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama” dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjan Bersama63. Melalui Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi64. b. Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator disini adalah
pegawai institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Mediator berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang harus memenuhi syarat sebagai berikut65 : (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(b) Warga Negara Indonesia;
(c) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
(d) Mengetahui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; (e) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak bercela;
(f) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata 1 (S1); dan (g) Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
64
Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
65
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi, mengutamakan penyelesaian
musyawarah untuk mufakat, dan apabila dalam perundingan tersebut dicapai
kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh Mediator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk
mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
Penyelesaian melalui mediasi, bila tidak tercapai kesepakatan proses
penyelesaiaan selanjutnya adalah66 :
(a) Mediator mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat atau saran yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
(b) Anjuran tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.
(c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran.
(d) Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak anjuran.
(e) Namun apabila para pihak menyetujui anjuran, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
Waktu penyelesaian pada mediator adalah dalam waktu selambat-lambatnya
30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan. Pada dasarnya penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui mediasi adalah wajib, dalam hal ketika
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para
pihak yang berselisih tidak memilih lembaga konsiliasi atau arbitrase untuk
menyelesaikan perselisihan yang dihadapi para pihak.
66
c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila telah terdaftar pada kantor
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Syarat
menjadi konsiliator adalah67 :
(a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Warga Negara Indonesia;
(c) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; (d) Pendidikan minimal lulusan strata satu (S1); (e) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; (f) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
(g) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
(h) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan (i) Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh menteri.
Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan kesepakatan para
pihak yang berselisih yang dibuat secara tertulis untuk diselesaikan oleh konsiliator.
67
Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari
daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial pada
dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam perundingan yang
mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator, untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai
kesepakatan, maka 68:
(a) Konsiliator menggunakan anjuran tertulis;
(b) Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak;
(c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima anjuran;
(d) Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya dianggap sebagai menolak anjuran;
(e) Terhadap anjuran konsiliator apabila para pihak menyetujui, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
(f) Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
d. Penyelesaian Melalui Arbitrase
\ Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
68
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbitrase yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final.
Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para
pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk
memberikan keputusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat
final.
Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter adalah 69: (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(b) Cakap melakukan tindakan hukum; (c) Warga Negara Indonesia;
(d) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; (e) Pendidikan minimal lulusan strata satu (S1); (f) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
(g) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase;
(h) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 tahun.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan tersebut dibuat dalam
bentuk Surat Perjanjian Arbitrase, rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak
69
mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Adapaun Surat
Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya memuat70 :
(a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; (b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan; (c) Jumlah arbiter yang disepakati;
(d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
(e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, tanda tangan para pihak yang berselisih.
Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa
arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Untuk penunjukan arbiter tunggal, para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari
kerja, tentang nama arbiter dimaksud. Namun apabila penunjukan beberapa arbiter
(majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk arbiter ketiga
sebagai Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk
selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditunjuk oleh para pihak.
Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud diatas dilakukan secara tertulis
dalam bentuk Perjanjian Penunjukan Arbiter dengan para pihak yang berselisih.
Perjanjian Penunjukan Arbiter sekurang-kurangnya memuat hal sebagai berikut 71:
(a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;
70
Pasal 32ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
71
(b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
(c) Biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
(d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
(e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
(f) Pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
(g) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
Para pihak yang berselisih ada kalanya tidak sepakat untuk menunjuk arbiter
tunggal maupun beberapa arbiter, maka atas permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh mentri.
Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter, harus memberitahukan secara
tertulis mengenai penerimaan penunjukannya kepada para pihak yang berselisih.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase, arbiter harus
mengupayakan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila
upaya perdamaian dicapai kesepakatan arbiter atau majelis arbiter wajib membuat
akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau
majelis arbiter.
Akta perdamaian dimaksud didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri dimana wilayah arbiter mengadakan perdamaian untuk
mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran, yang akan dapat digunakan sebagai dasar
permohonan eksekusi, apabila Akta Perdamaian yang telah dicapai tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Upaya mencapai perdamaian adakalanya tidak mencapai kesepakatan (gagal),
maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase yang dilakukan secara
tertutup, kecuali pihak yang berselisih menghendaki lain dimana setiap kegiatan
pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau
majelis arbiter.
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter,
apabila telah dianggap cukup, arbiter atau majelis arbiter mengambil putusan yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan,
keadilan, dan kepentingan umum. Adapun putusan arbitrase memuat 72:
(a) Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
(b) Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter; (c) Nama lengkap dan alamat para pihak;
(d) Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
(e) Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut dari para pihak yang berselisih;
(f) Pertimbangan yang menjadi dasar putusan; (g) Pokok Putusan;
(h) Tempat dan tanggal putusan; (i) Mulai berlakunya putusan; dan
(j) Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Putusan
tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan arbitrase yang tidak
72
dilaksanakan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan para pihak terhadap siapa putusan itu harus
dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. Pengadilan Negeri, dalam
waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja harus sudah menyelesaikan perintah
pelaksanaan eksekusi terhitung setelah permohonan didaftarkan pada Panitera
Pengadilan Negeri dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Putusan arbitrase, oleh salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja
sejak ditetapkan putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur sebagai
berikut73 :
(a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;
(b) Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menetukan yang disembunyikan oleh pihak lain;
(c) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
(d) Putusan melampaui kekuasaan arbitrase hubungan industrial; atau (e) Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung
sejak menerima permohonan, memutuskan permohonan pembatalan dan menetapkan
akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan dalam waktu
73
lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter
dan atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka
waktu penyelesaian 1(satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja.
Suatu perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
2. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja yang sekarang ada di ibukota propinsi. Pengajuan gugatan
dimaksud harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak
penggugat apabila gugatan penggugat tidak melampirkan risalah penyelesaian
melalui mediasi atau konsiliasi.
Penggugat dapat sewaktu waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan,
pencabutan gugatan akan dikabulkan pengadilan apabila disetujui tergugat.
Tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan
memutus 74:
a. tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
74
c. tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
Majelis hakim dalam mengambil putusannya mempertimbangkan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan yang dibacakan dalam sidang terbuka
untuk umum, dimana putusan pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha
Esa”;
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para
pihak yang berselisih;
c. Ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan, hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Aturan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan tentang sengketa;
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim, Hakim Ad hoc yang memutus, nama panitera,
serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.
Majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan dalam
waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. Putusan dimaksud
dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan dibacakan, panitera
pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan serta dalam waktu
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan
salinan putusan kepada para pihak. Apabila perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka pengadilan
wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan.
3. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mahkamah Agung
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila
tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung :
a. Bagi pihak yang hadir, sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis hakim;
b. Bagi pihak yang tidak hadir, sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui sub.
kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat, dan dalam
waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh sub kepaniteraan pengadilan
kepada ketua Mahkamah Agung.
Di dalam Pasal 115 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan hak
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
kasasi.
Sanksi administrasi diberlakukan kepada mediator dan panitera muda
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 yaitu sebagai berikut:
(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil.
(2). Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi adminstratif juga diberikan kepada konsiliator dan arbiter yaitu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 sampai dengan Pasal 121 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai
berikut :
(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimkasud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. (4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai
konsiliator dalam hal :75
(a) konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
(b) terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; (c) menyalahgunakan jabatan; dan atau
(d) membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
Pasal 119 :
(1) arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis (2) arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3) sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120 :
(1) arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal :
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut; b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
75
d. arbiter telah dijatuhi sanksi adminstratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
(2) sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121 :
(1) sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 dijatuhkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.
Sanksi pidana diberlakukan kepada :
a. barang siapa yang diminta keterangan oleh mediator, tidak memberikan keterangan
termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan;
b. barang siapa yang diminta keterangan oleh konsiliator, tidak memberikan
keterangan termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan;
c. barang siapa yang diminta keterangan oleh arbiter tidak memberikannya, termasuk
membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan;
d. konsiliator yang tidak manjaga kerahasiaan;
e. arbiter yang tidak merahasiakan semua keterangan yang diminta;
f. setiap orang yang tidak bersedia menjadi saksi atau saksi ahli untuk memenuhi
panggilan untuk memberikan kesaksian yang dipanggil majelis hakim;
g. barang siapa yang tidak bersedia memberikan keterangan temasuk membuka buku
Sanksi pidana tersebut diatur pada pasal yang berbunyi sebagai berikut 76:
(1) barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran
B. Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau dari Segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan Keadilan Hukum
Didalam sila ke 4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, telah menggambarkan bahwa
sebelum diambil suatu keputusan yang menyangkut kepentingan bersama maka
haruslah didahulukan musyawarah mufakat.
Dengan sila kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga
masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam
menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan
mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada
dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain.
Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu
diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk
76
mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas
bangsa Indonesia.
Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil
keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus
menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di
sini kepentingan bersamalah yang diutamakan diatas kepentingan pribadi dan
golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawbakan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.
Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada
wakil-wakil yang dipercayainya.77Secara institusional dalam bidang kehidupan berbangsa , Pancasila telah diwujudkan dengan kesediaan beberapa ratus suku menjadi satu
bangsa, bangsa Indonesia, dengan derajat yang sama bagi tiap-tiap suku. Persatuan
suku-suku menjadi satu bangsa itu dibuktikan dengan nyata dengan diterimanya
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di atas bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap
suku. Disamping itu dapat disebut juga pengakuan bendera merah putih sebagai
bendera kebangsaan serta lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
77
Di dalam bidang kehidupan bernegara telah pula melembaga unsur-unsur
Pancasila yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia
sebagai wadah Pancasila telah membentuk dan mengoperasikan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jabatan
presiden, wakil presiden dan menteri, Badan Pemeriksa Keuangan dan
lembaga-lembaga negara lainnya. Lagipula daerah Republik Indonesia telah dibagi-bagi
menjadi daerah propinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom, sedang puluhan ribu
desa telah dikukukan dengan pemerintahan yang diberi wewenang menyelenggarakan
pemerintahan langsung bagi masyarakat desa.
Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara
Indonesia, Pancasila telah dinyatakan kedudukannya oleh para pendiri negara ini
sebagaimana terlihat dalam UUD 1945 dalam penjelasan umum. Di sana ditegaskan,
bahwa Pancasila adalah cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar
negara, baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis.
Hukum ketenagakerjaan adalah salah satu hukum yang berlaku di Indonesia
yang mengatur masalah hubungan industrial. Dalam Pasal 102 Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan :
1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya serta
ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
3. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha mempunyai fungsi
menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan
berkeadilan.
Hubungan industrial (industrial relation) di Indonesia merupakan hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam proses produksi di perusahaan
pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan
pemerintah termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena
berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat
keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada
akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan
kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Peran pemerintah dalam hubungan indsutrial ini diwujudkan dengan
oleh para pihak, serta mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga dapat
berjalan secara efektif, serta membantu dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Dengan demikian, kepentingan pemerintah dalam hubungan industrial
adalah menjamin keberlangsungan proses produksi secara lebih luas.78
Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan
hubungan industrial berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasinya secara
demokratis, mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Pengusaha/organisasi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial
mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas
lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu hubungan industrial tidak hanya dilihat
dari konteks hubungan antara pekerja dan pengusaha semata, peraturan-peraturan
ketenagakerjaan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, ekonomi
dan politik karena di dalamnya mencakup pola konsep keadilan, kekuasaan, hak dan
tanggung jawab. Pada akhirnya tujuan hubungan industrial adalah untuk
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, tujuan ini
saling berkaitan dan terkait satu dengan yang lainnya yang berarti bahwa
pengurangan terhadap yang satu akan mempengaruhi yang lain. Tingkat produktivitas
78
perusahaan misalnya sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas pekerja,
produktivitas yang tinggi hanya dimungkinkan jika perusahaan tersebut
memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Peningkatan kesejahteraan pekerja
hanya layak jika produktivitas perusahan meningkat.
Semua pihak yang terlibat dalam proses produksi terutama pengusaha, perlu
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif melalui bipartit untuk mencapai
produktivitas yang diinginkan. Melalui bipartit dapat dibangun kemitraan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh sehingga tercipta damai di tempat kerja.
Hubungan kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha akan terganggu jika
salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain, sehingga
pemenuhan kebutuhan atau kepentingan salah satu pihak dirugikan. Untuk
mengarahkan dan mengembalikan hubungan kerja sama antara pekerja dan
pengusaha dalam kegiatan tersebut, hukum ketenagakerjaan sebagai pedoman dalam
hubungan industrial mempunyai kedudukan dan peranan yang penting. Melalui
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang aspiratif diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan konsep yang harus
dikembangkan dalam hubungan industrial, jika pihak pekerja/buruh dan pengusaha
menginginkan perusahaannya maju dan berkembang serta dapat bersaing dalam
tataran nasional dan internasional. Dengan demikian, hubungan kemitraan antara
perusahaan. Untuk itu masing-masing pihak harus konsisten melaksanakan
kewajibannya masing-masing.
Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasari adanya
kesepakatan kedua belah pihak tentu tidak selamanya harmonis adakalanya terjadi
perselisihan dan bahkan terjadi pemutusan hubungan kerja. Betapapun harmonisnya
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh tetap ada perselisihan, yang
perlu menjadi perhatian pengusaha dan pekerja/buruh adalah bahwa penyelesaian
perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih dengan
musyawarah mufakat (bipartit) yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian musyawarah mufakat (bipartit) ini tidak ada kalah menang tetapi
sama-sama menang.
Ditinjau dari beberapa perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang
pernah berlaku dan yang sedang berlaku di Indonesia tetap mendahulukan sistem
bipartit. Seperti yang pernah berlaku antara lain :
1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan : bila terjadi perselisihan
perburuhan, maka serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan
itu secara damai dengan jalan perundingan. Dalam memori penjelasan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
disebutkan : “perlu ditegaskan bahwa yang menjadi pokok pikiran dari Undang
-Undang ini ialah bahwa adalah tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus
dengan jalan perundingan yang langsung antara kedua belah pihak”. Bila
perundingan antara kedua belah pihak itu menghasilkan persetujuan-persetujuan
itu disusun menjadi suatu perjanjian perburuhan.
Dalam memori penjelasan Undang-Undang No 22 Tahun 1957 Tentang
Perselisihan Perburuhan sangat jelas memakai sistem bipartit dalam
meyelesaikan persoalan perselisihan hubungan industrial.
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta pada Pasal 2 menyatakan : “ bila setelah diadakan segala usaha
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus
merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi
buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak
menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh”. Dari pasal ini sangat jelas
menyatakan bahwa yang diutamakan dalam penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja adalah dengan cara musyawarah mufakat (bipartit).
Pada penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta di dalam pokok-pokok pikiran yang
diwujudkan dalam Undang-Undang ini dalam garis besarnya antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan
hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus
2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang
berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan daripada
penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah, maka dalam sistem
undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya
dan upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
Baik pada Pasal 2 maupun dalam pokok-pokok yang terkandung pada
Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta menginginkan penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara
bipartit yaitu musyawarah mufakat. Walaupun undang-undang tersebut tidak berlaku
lagi semenjak berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, akan tetapi undang-undang tersebut tetap
mengutamakan sitem bipartit.
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang ini dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial selalu
mengutamakan sistem bipartit. Dalam Pasal 136 yang berbunyi :
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
Pasal 151 yang berbunyi :
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buurh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buurh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Dari Pasal 136, Pasal 151 dan Pasal 152 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan sangatlah jelas bahwa penyelesaian perselisihan hubungan
industrial wajib dimulai melalui bipartit, apabila gagal bipartit baru kemudian
ditempuh melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial ini bipartit merupakan langkah pertama yang wajib
dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti pada :
a. Pasal 3
(a) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(b) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(c) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagimana dimaksud dalam ayat (3) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Setelah perundingan gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai
berikut :
b. Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(4) Dalam hal upaya para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Baik Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial semua undang-undang tersebut mengutamakan
musywarah untuk mufakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
C. Keberhasilan Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang
1. Data 3 (tiga) Tahun Terakhir yang Sudah Selesai dan Tidak Selesai Dalam Bipartit.
Dari hasil penelitian di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Tabel 4. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2012 s/d tahun 2014
Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014
Dari tabel diatas maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 jumlah kasus
yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang
adalah 84 kasus. Kasus yang selesai sebanyak 40 kasus dengan jenis sebagai berikut :
1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 28 kasus yang persentasenya 42,42%
2. Perselisihan hak sebanyak 10 kasus yang persentasenya 66,6%
3. Perselisihan kepentingan sebanyak 2 kasus yang persentasenya 66,66%
Jumlah kasus yang tidak selesai adalah 44 kasus.
Untuk tahun 2013 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah 108 kasus dan kasus yang selesai
sebanyak 55 kasus dengan jenis sebagai berikut :
1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 38 kasus yang persentasenya 46,91%
2. Perselisihan hak sebanyak 16 kasus yang persentasenya 64%
3. Perselisihan kepentingan sebanyak 1 kasus yang persentasenya 50%
Jumlah kasus yang tidak selesai pada tahun 2013 adalah 53 kasus. Kemudian untuk
tahun 2014 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan
PHK % Hak % Kepentingan % PHK Hak Kepentingan
1 2012 66 15 3 28 42,4 10 66,6 2 66.6 40 3 1
2 2013 81 25 2 38 46,9 16 64 1 50 43 9 1
3 2014 104 26 4 56 53,8 21 80,8 2 50 44 9 2
Selesai Anjuran
Keterangan Jenis Perselisihan
No Thn
Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah : 134 kasus dan yang selesai sebanyak
79 kasus dengan jenis sebagai berikut :
1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 56 kasus yang persentasenya 53,8%
2. Perselisihan hak sebanyak 21 kasus yang persentasenya 80,8%
3. Perselisihan kepentingan sebanyak 2 kasus yang persentasenya 50%
Jumlah kasus yang tidak selesai pada tahun 2014 adalah 55 kasus.
Dari data tahun 2012 yang tidak selesai secara bipartit adalah 44 kasus. Tahun
2013 sebanyak 53 kasus dan tahun 2014 sebanyak 55 kasus. Terhadap semua
kasus-kasus yang tidak selesai secara musyawarah ini , maka mediator mengeluarkan
anjuran kepada kedua belah pihak yaitu pekerja/buruh dan pengusaha sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut :79
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi maka :
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak:
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Negeri di wilayah
79
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak dapat menerima isi
anjuran dari mediator tersebut maka para pihak atau salah satu pihak dapat
melanjutkan ke pengadilan hubungan industrial sebagaimana disebut dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
sebagai berikut:80
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu phak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga)
orang yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad Hoc
yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi
pekerja/organisasi buruh serta dibantu oleh panitera muda dan panitera pengganti81. 2. Penyebab Kegagalan Bipartit
Walaupun pesan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial bahwa setiap persoalan perselisihan harus lebih
80
Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
81
dahulu diselesaikan melalui bipartit, tetapi penyelesaian melalui bipartit tidak semua
dapat selesai. Tidak selesainya perselisihan tersebut melalui bipartit dikarenakan
beberapa alasan sebagai berikut 82 : a. Pihak pekerja/buruh
Setelah pekerja/buruh dipecat oleh pengusaha maka pekerja/buruh tidak mau lagi
datang ke perusahaan untuk merundingkannya dengan pengusaha ataupun melapor
kepada serikat pekerja/serikat buruh yang ada pada perusahaan tersebut tetapi yang
dilakukan pekerja/buruh adalah melapor kepada Dinas Tenaga Kerja atau meminta
bantuan kepada pengacara. Ketika ditanya mengapa tidak dirundingkan dengan
pengusaha, maka pekerja/buruh menjawab pada saat diberhentikan pengusaha,
pekerja/buruh yang telah diberhentikan tersebut tidak diperbolehkan oleh
pengusaha untuk memasuki lokasi perusahaan dan diusir oleh satpam (security).
Ada pula Pekerja yang mengatakan telah benci melihat pengusaha dan biarlah
berjumpa di Dinas Tenaga Kerja saja.
b. Pihak pengusaha
Akibat kesalahan pekerja/buruh yang dilakukannya seperti pencurian,
penggelapan, penghasutan kepada teman sekerja, maka pengusaha merasa sangat
keberatan apabila pekerja/buruh tersebut masuk ke lokasi perusahaan karena akan
dicontoh oleh pekerja-pekerja lain. Pengusaha berpendapat bahwa lebih baik
bertemu dengan pekerja tersebut di kantor Dinas Tenaga Kerja.
82
c. Faktor Lain
Faktor lain dalam hal ini adalah adanya pihak lain yang ingin campur tangan agar
kasus tersebut berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini dapat terjadi
apabila perselisihan yang timbul maka pihak pekerja/buruh secara langsung
memberikan kuasa kepada orang lain dan orang lain tersebut tidak ingin kasus itu
selesai, kalau boleh sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial bahkan ke
Mahkamah Agung.
d. Kurangnya peran serikat pekerja/serikat buruh
Seharusnya bila sudah ada serikat pekerja/serikat buruh berdiri di perusahaan
maka sudah dapat membantu pekerja/buruh tersebut apabila terjadi perselisihan.
Pekerja/buruh tersebut dapat meminta bantuan serikat pekerja/serikat buruh untuk
mrngurus perselisihan atau membela pekerja/buruh. Kenyataannya banyak
pekerja/buruh tidak mau meminta bantuan kepada serikat pekerja/serikat buruh
dengan alasan bahwa serikat pekerja/serikat buruh tersebut telah main mata
dengan pengusaha padahal tuduhan tersebut tidak benar. Selain itu bahwa di
perusahaan tersebut belum ada terbentuk serikat pekerja/serikat buruh.
Keempat faktor ini yang menjadikan pengusaha enggan melakukan bipartit
dengan pekerja/buruh ditempat kerja atau di lingkungan perusahaan. Pemerintah
melalui Dinas Tenaga Kerja baik di kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi
bahkan pada tingkat Kementrian Tenaga Kerja selalu mengadakan penyuluhan
3. Persoalan Hukum yang dihadapi perusahaan dalam mengunakan mekanisme bipartit dalam penyelesaian perselisihan
Konsultasi bipartit sebenarnya tidak hanya untuk mencegah atau
mengantisipasi timbulnya masalah. Banyak aspek lain, termasuk upaya peningkatan
produktivitas dan partisipasi pekerja/buruh dalam perusahaan dapat dibicarakan
secara bipartit. Oleh karena itu fungsi konsultasi bipartit dapat mencakup berbagai hal
di perusahaan yang lebih luas.
Perlu dipahami bahwa adanya Lembaga Kerjasama Bipartit sama sekali tidak
mengganti fungsi serikat pekerja/serikat buruh di dalam perundingan. Lembaga
Kerjasama Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi bukan merupakan
forum musyawarah atau perundingan. Forum musyawarah atau perundingan
dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan sedangkan forum konsultasi/komunikasi
tidak dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan.
Dengan fungsi tersebut, maka di perusahaan dapat dibentuk Lembaga
Kerjasama Bipartit. Keanggotaannya meliputi wakil dari pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dan manajemen. Khusus wakil dari pekerja/buruh dapat
dilengkapi dengan pekerja/buruh yang mewakili satuan kerja tertentu di luar serikat
pekerja/serikat buruh. Hal ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan
masing-masing. Proses mekanisme kerja Lembaga Kerjasama Bipartit juga dapat bervariasi
dimana dari satu perusahaan ke lain perusahaan dapat berbeda. Tetapi satu prinsip
dengan optimal apabila didukung dan mendapatkan komitmen dari manajemen
puncak.
Masalah ketenagakerjaan adalah masalah hukum. Semakin maju suatu industri
di suatu negara maka masalah hubungan kerja menjadi masalah sosial dan hukum.
Hukum suatu bangsa senantiasa merupakan bagian dari suatu proses sosial yang lebih
besar, yang dijalankan oleh bangsa tersebut. Khusus membicarakan perkembangan
hukum, sama sekali tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan proses-proses yang
berlangung dalam masyarakat itu sendiri. Proses-proses seperti perubahan terjadi oleh
karena berbagai bidang atau segi kehidupan masyarakat tengah mengadakan
penyesuaian atau mencari bentuknya yang tepat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
yang baru, baik tuntutan fisik maupun idiil83.
Objek ilmu hukum tidak hanya norma hukum, tetapi juga perilaku manusia
yang ditentukan oleh norma hukum sebagai syarat atau konsekuensi, dengan kata
lain, perilaku yang terkandung dalam norma hukum. Hubungan antar manusia
merupakan objek ilmu hukum hanya dalam konteks hubungan hukum, yakni sebagai
hubungan yang diatur oleh norma-norma hukum84.
Tidak jauh berbeda dengan hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha
ada hubungan antara atasan dengan bawahan yang setiap harinya terjadi karena ada
pekerjaan kecuali hari libur dan diluar jam kerja. Hubungan antara pekerja/buruh
83
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1997), hlm. 137.
84