• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI KABUPATEN DELI SERDANG TESIS OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI KABUPATEN DELI SERDANG TESIS OLEH:"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DI KABUPATEN DELI SERDANG TESIS

OLEH:

RIKA JAMIN MARBUN 137005075/ HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DI KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RIKA JAMIN MARBUN 137005075 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESIS : LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSRIAL DI KABUPATEN DELI SERDANG

NAMA : RIKA JAMIN MARBUN

NIM : 137005075

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Ketua

Dr. Pendastaren Tarigan,S.H., M.S Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum.

Anggota Anggota

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESIS : LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSRIAL DI KABUPATEN DELI SERDANG

NAMA : RIKA JAMIN MARBUN

NIM : 137005075

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Ketua

Dr. Pendastaren Tarigan,S.H., M.S Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H Prof. Dr. Runtung, S.H.,

(5)

Telah Lulus Diuji Pada Tanggal 28 Nopember 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum Anggota : 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS

3. Dr. Agusmidah, SH. M.Hum 4. Dr. Jusmadi Sikumbang, SH. MS 5. Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penulisan ... 15

F. Kerangka Penelitian ... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Landasan Konsepsional ... 18

G. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 21

BAB II :KEBERADAAN LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DI INDONESIA A.Perkembangan LKS Bipartit di Indonesia Pasca Indonesia Merdeka Sampai Sekarang ... .23

B.Pembentukan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit yang dikembangkan oleh ILO ... 30

(7)

1. Kebijakan ILO Terkait Bipartit ... .30 2. Kebijakan ILO yang Telah

dan Belum Diratifikasi Indonesia ... .38 C. Penerapan LKS Bipartit di Perusahaan ... .44 D. Penerapan LKS Bipartit di Filipina ... .55

BAB III : PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

A.Bipartit Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ... .63 1. Penyelesaian di Luar Pengadilan ... .67 2. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan

Industrial ... .80 3. Penyelesaian Perselisihan Melalui

Mahkamah Agung ... .82

B. Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau Dari segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan

Keadilan Hukum ... .86 C. Keberhasilan Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit di Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang

1. Data 3 Tahun Terakhir yang Sudah Selesai dan Tidak Selesai dalam Bipartit ... .97

(8)

2. Penyebab Kegagalan Bipartit ... 100 3. Persoalan Hukum yang Dihadapi Perusahaan dalam

Menggunakan Mekanisme Bipartit dalam Penyelesaian Perselisihan ... 103 BAB IV : SANKSI DAN PELAKSANAAN SANKSI PASAL 190

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TERHADAP

PERUSAHAAN YANG TIDAK MEMBENTUK

LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT

A. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pasal 190 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ... 110 B. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Tentang Sanksi Administrasi ... 115 C. Data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten

Deli Serdang ... 118 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 121 B. Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Data LKS Bipartit di Disnakertrans Tahun 2014 10 2 Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial di

Disnakertrans Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

11

3 Perbandingan LKS Bipartit di Indonesia dan Filipina 62 4 Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial Pada Kantor

Dinas Tenaga Kerja Deli Serdang Tahun 2012 s/d Tahun 2014

98

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial Pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Deli Serdang Tahun 2012 s/d Tahun 2014

17

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

1 Ijin Penelitian dari PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

vi

2 Ijin Penelitian dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang

vi

3 Daftar Pertanyaan Kepada Informan vi

(12)

ABSTRAK

Pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah selalu berusaha untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis di perusahaan untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan kesejahteraan pekerja/buruh. Terciptanya hubungan industrial yang harmonis akan mengurangi timbulnya perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dengan membentuk forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan wakil-wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan yang di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada pasal 106 dikenal dengan Lembaga Kerjasama Bipartit.

Permasalahan yang akan dianalisis dalam tesis ini adalah bagaimana keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan di Kabupaten Deli Serdang, bagaimana peran dan fungsinya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan bagaimana sanksi dan pelaksanaan sanksi terhadap perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit .Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan jenis penelitian yuridis normatif.

Data dari Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2012 bahwa jumlah kasus perselisihan hubungan industrial adalah 84 kasus dan yang selesai secara bipartit sebanyak 47,61%. Tahun 2013 jumlah kasus perselisihan hubungan industrial sebanyak 108 kasus dan yang selesai secara bipartit sebanyak 50,92%. Tahun 2014 jumlah kasus perselisihan hubungan industrial adalah 134 kasus dan yang selesai secara bipartit sebanyak 58,9%.

Melihat banyaknya kasus-kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi seperti di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang, maka LKS Bipartit sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial. Keberadaan Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan akan mengurangi terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan apabila terjadi perselisihan hubungan indusrial akan dapat diselesaikan melalui bipartit. Pemerintah dalam hal ini menteri tenaga kerja diharapkan segera mengeluarkan peraturan pelaksana sanksi admninistratif sehingga Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat menindak pengusaha yang tidak membentuk LKS Bipartit.

Kata Kunci : Lembaga Kerjasama Bipartit dan Perselisihan Hubungan Industrial

(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan anugerahNyalah Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, oleh karenanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut Penulis sampaikan kepada para Dosen Pembiming yaitu Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS, dan Ibu Dr. Agusmidah, SH. M.Hum, atas segala bimbingan/arahan, koreksi dan perbaikan yang diberikan guna penyempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada para Dosen Penguji yaitu Bapak Dr. Jusmadi Sikumbang, SH. M.Hum dan Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum, yang walaupun dalam kapasitasnya sebagai Penguji telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga kepada Penulis.

Kemudian semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup yang ditujukan bagi kesempurnaan tesis ini.

(14)

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan dengan hormat kepada :

1. Prof. Subhilhar, Phd sebagai Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan sarana yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH. M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan dan bimbingan serta ilmu yang sangat bermanfaat bagi Penulis selama berada di bangku kuliah.

5. Rekan-rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya yang seangkatan dengan Penulis, yang telah banyak membantu Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Seluruh staf/pegawai di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

(15)

7. Bapak Mustamar SH.M.H. selaku Kepala Bidang Perselisihan Hubungan Industrial yang telah memberikan izin penelitian di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang dan juga yang telah memberikan dokumen dan data berkaitan dengan penulisan tesis ini serta juga untuk waktu yang diluangkan dalam wawancara dengan Penulis.

8. Bapak Purwanto yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian di Kantor PTPN III Medan dan Bapak Simon Lumban Tobing selaku Asisten Personalia Kebun PTP III Kebun Sei Putih yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini.

9. Tersayang dan Tercinta suami saya Christofer Lambok Tua Situmorang, ST yang senantiasa mendoakan, memotivasi dengan kesabaran dan pengertiannya yang selalu diberikan dalam mendampingi saya menyelesaikan tesis ini.

10. Orangtua yang sangat mendukung Penulis dan tidak pernah berhenti memotivasi Penulis dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu Ayahanda Dr. Jaminuddin Marbun, SH. M.Hum dan Ibunda Drg. Masni br. Ritonga dan juga Ibu mertua St. R. br. Sihombing yang telah mendorong penulis untuk segera menyelesaikan masa studi yang telah ditempuh serta segenap keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan doa dan motivasi bagi Penulis.

(16)

Penulis mendoakan semoga semua bantuan, kebaikan dan motivasi serta doa- doa yang telah diberikan untuk Penulis mendapat balasan dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan namun Penulis sangat berharap tesis ini kiranya dapat bermanfaat kepada seluruh pihak dan masyarakat khususnya di lingkungan pendidikan ilmu hukum.

Medan, 28 Nopember 2015

Penulis,

Rika Jamin Marbun, SH.

(17)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rika Jamin Marbun, SH Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Medan 2 Nopember 1987

Alamat :Jl. Bunga Rinte Gg. Raja No. 7 Medan.

HP : 081263271887

Email : rikajaminmarbun@yahoo.co.id Pendidikan Formal

1. SD Budi Murni 2 Medan (lulus tahun 1999)

2. SLTP Putri Cahaya Medan (lulus tahun 2002)

3. SMU Negeri 1 Medan (lulus tahun 2005)

4. S1 Hukum Universitas Sumatera Utara (lulus tahun 2009) 5. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (tahun 2013-2015)

Program Studi Magister Ilmu Hukum

(18)

ABSTRAK

Pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah selalu berusaha untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis di perusahaan untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan kesejahteraan pekerja/buruh. Terciptanya hubungan industrial yang harmonis akan mengurangi timbulnya perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dengan membentuk forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan wakil-wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan yang di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada pasal 106 dikenal dengan Lembaga Kerjasama Bipartit.

Permasalahan yang akan dianalisis dalam tesis ini adalah bagaimana keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan di Kabupaten Deli Serdang, bagaimana peran dan fungsinya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan bagaimana sanksi dan pelaksanaan sanksi terhadap perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit .Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan jenis penelitian yuridis normatif.

Data dari Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2012 bahwa jumlah kasus perselisihan hubungan industrial adalah 84 kasus dan yang selesai secara bipartit sebanyak 47,61%. Tahun 2013 jumlah kasus perselisihan hubungan industrial sebanyak 108 kasus dan yang selesai secara bipartit sebanyak 50,92%. Tahun 2014 jumlah kasus perselisihan hubungan industrial adalah 134 kasus dan yang selesai secara bipartit sebanyak 58,9%.

Melihat banyaknya kasus-kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi seperti di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang, maka LKS Bipartit sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial. Keberadaan Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan akan mengurangi terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan apabila terjadi perselisihan hubungan indusrial akan dapat diselesaikan melalui bipartit. Pemerintah dalam hal ini menteri tenaga kerja diharapkan segera mengeluarkan peraturan pelaksana sanksi admninistratif sehingga Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat menindak pengusaha yang tidak membentuk LKS Bipartit.

Kata Kunci : Lembaga Kerjasama Bipartit dan Perselisihan Hubungan Industrial

(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berbagai cara dilakukan untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha sehingga tercapai produktivitas yang tinggi dan semakin meningkatnya kesejahteraan pekerja/buruh. Pengertian ketenangan bekerja dan berusaha atau industrial peace adalah suatu kondisi yang dinamis didalam hubungan kerja di perusahaan dimana terdapat 3 unsur penting ialah :1

1. Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan.

2. Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal.

3. Mogok dan penutupan perusahaan (lock-out) tidak perlu digunakan untuk memaksakan kehendak, karena perselisihan yang terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik.

Peran untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha tidak hanya terletak pada pembinaan dan pengawasan dari pemerintah tetapi juga tidak kalah pentingnya peran dari pekerja/buruh dan pengusaha. Walaupun pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan mendapat perintah dari pengusaha dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsinya bukanlah berarti bahwa pekerja/buruh tidak dapat mengeluarkan pendapat atau aspirasi. Pekerja/buruh dapat mengeluarkan pendapat atau aspirasinya seperti membentuk organisasi atau serikat yang dikenal dengan

1 Suwarto, Hubungan Industrial dalam Praktek, ( Jakarta : Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia, 2003), hlm. 14.

(20)

serikat pekerja/serikat buruh. Akan tetapi organisasi atau serikat ini hanya untuk pekerja/buruh sedangkan pengusaha tidak ikut menjadi anggotanya.

Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan /atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut sangat jelas menerangkan bahwa dalam hubungan industrial ada 3 (tiga) unsur untuk memproses produksi barang dan jasa yaitu unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat dan secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut : hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha disebut hubungan kerja, hubungan antara pemerintah dengan pekerja/buruh disebut hubungan pembinaan dan perlindungan sedangkan hubungan antara pemerintah dengan pengusaha disebut dengan hubungan pembinaan dan pengawasan.

Berbicara tentang hubungan industrial adalah merupakan bagian dari pembangunan ketenagakerjaan untuk mewujudkan salah satu amanah dari Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bagaimana mewujudkan hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan industrial pada dasarnya adalah pola hubungan interaktif yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa dalam suatu hubungan kerja.

(21)

Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan peningkatan kesejahteraan namun pada saat tertentu kepentingan keduanya dapat berbeda terutama dalam hal pelaksanaan syarat-syarat kerja, yang terjadi karena terhambatnya komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

Terhambatnya komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha akan menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Dalam pelaksanaan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dikenal istilah bipartit sebagai lembaga dan bipartit sebagai sistem.

Sebagai lembaga, bipartit adalah institusi yang keanggotaannya terdiri dari unsur yang mewakili pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha untuk satu periode tertentu dalam satu perusahaan yang dikenal dengan LKS Bipartit sedangkan bipartit sebagai sistem adalah mekanisme pertemuan atau mempertemukan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di satu pihak dengan pengusaha di lain pihak dalam suatu perundingan sebagai upaya mencapai kesepakatan.2

Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagai forum komunikasi dan forum konsultasi tentunya akan membuat komunikasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh tidak akan terhambat. Di dalam Pasal 107 Undang-Undang No. 13

2 ILO, Perundingan Bersama dan Keterampilan Bernegosiasi; Buku Panduan untuk Serikat Pekerja, (Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2003), hlm. 51-52.

(22)

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ada mengatur hubungan antar unsur pemerintah, unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang dikenal dengan Lembaga Kerjasama Tripartit yang ada di tingkat Kabupaten/Kota, propinsi dan lembaga ini tidak ada di tingkat perusahaan.

Pasal 107 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit bertujuan untuk memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak yang terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Jika Lembaga Kerjasama Tripartit terdiri dari 3 (tiga) unsur yang melibatkan pemerintah maka ada lagi lembaga antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dikenal dengan Lembaga Kerjasama Bipartit atau LKS Bipartit.

Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hak-hak yang berkaitan dengan hubungan industrial di suatu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit bukanlah untuk menyelesaikan suatu masalah akan tetapi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang berkaitan dengan hubungan industrial disuatu perusahaan.

Dengan kata lain bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit ini bukanlah untuk

(23)

menyelesaikan masalah yang timbul di dalam hubungan kerja sehingga sering disebut bipartit sebagai lembaga dan bukan bipartit sebagai sistem penyelesaian perselisihan.

Pasal 102 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam melaksanakan hubungan industrial pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan.

Hubungan industrial sesuai dengan Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dilaksanakan melalui sarana :

a.Serikat Pekerja/Serikat Buruh;

b.Organisasi Pengusaha;

c.Lembaga Kerjasama Bipartit;

d.Lembaga Kerjasama Tripartit;

e.Peraturan Perusahaan;

f.Perjanjian Kerja Bersama;

g.Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan;

h.Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Menganalisis Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut diatas maka mulai butir a sampai g dapat dilihat bahwa pekerja/buruh telah ikut serta atau terlibat didalam menentukan arah dan kelangsungan hidup dari perusahaan, berarti sudah terjadi demokratisasi ditingkat perusahaan. Berdasarkan Pasal 103 tersebut juga menyatakan bahwa salah satu sarana

(24)

hubungan industrial dilaksanakan melalui Lembaga Kerjasama Bipartit yang hanya terdapat di tingkat perusahaan.

Lembaga Kerjasama Bipartit bertujuan mewujudkan ketenangan bekerja, disiplin kerja dan ketenangan usaha, peningkatan kesejahteraan pekerja dan perkembangan serta kelangsungan hidup perusahaan dan mengembangkan motivasi dan partisipasi pekerja sebagai mitra pengusaha di perusahaan dan juga berfungsi sebagai forum komunikasi dan musyawarah antara pekerja dan pengusaha pada tingkat perusahaan atau unit-unit kerja perusahaan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, disiplin kerja, ketenangan kerja, dan ketenangan usaha.3

Begitu pentingnya Lembaga Kerjasama Bipartit, maka didalam Pasal 106 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih tidak mempunyai Lembaga Kerjasama Bipartit maka berdasarkan Pasal 190 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dapat dikenakan sanksi administratif berupa :

a. Teguran;

b. Peringatan tertulis;

c. Pembatasan kegiatan usaha;

d. Pembekuan kegiatan usaha;

3Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial,(Jakarta:Sarana Bhakti Persada, 2004), hlm. 186.

(25)

e. Pembatalan persetujuan;

f. Pembatalan pendaftaran;

g. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;

h. Pencabutan izin.

Berpedoman kepada Pasal 106 dan Pasal 190 tersebut diatas maka adalah kewajiban pengusaha untuk membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan.

Lembaga Kerjasama Bipartit yang dibentuk harus berlandaskan kepada 2 (dua) asas kerja sama. Pertama adalah asas kekeluargaan dan gotong royong dan kedua asas musyawarah untuk mufakat, mekanisme dan hubungan kerja dengan lembaga-lembaga lainnya bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif dan tidak boleh mengambil alih hak serikat pekerja maupun hak pimpinan perusahaan, hasil- hasil konsultasi dan komunikasi yang dicapai hanya terbatas untuk konsumsi intern perusahaan dan merupakan saran, rekomendasi, memorandum bagi pimpinan perusahaan dan pekerja.4

Lembaga Kerjasama Bipartit bukan mengambil alih peran serikat pekerja/

serikat buruh yang ada di perusahaan akan tetapi saran yang disampaikan merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak pelaksanaan tidak mengikat. Materi yang akan dan dikomunikasikan meliputi berbagai segi kehidupan di perusahaan khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan hubungan industrial dalam rangka proses

4 Mohd. Syaufii Syamssuddin, ibid., hlm.187.

(26)

produksi, kerja sama bipartit ini tidak dapat diartikan sebagai kerja sama secara fisik, tetapi lebih banyak dalam bidang konsep pemikiran dan penyamaan persepsi.5

Penyamaan persepsi antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidaklah mudah dilakukan karena kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang berbeda walaupun bekerjasama dalam menghasilkan barang dan jasa. Secara yuridis buruh adalah memang bebas, prinsip negara kita adalah tidak seorang pun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba; perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang bertujuan kepada itu dilarang. Secara sosiologis buruh adalah tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain, maka dengan demikian buruh secara jasmaniah dan rohaniah tidak bebas.6

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ada mewajibkan pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh 50 orang untuk membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit7. Namun kenyataannya masih banyak perusahaan belum mau membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaannya, karena mereka menganggap kurang penting padahal sangat banyak gunanya sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pekerja dan pengusaha yang selama ini mungkin membeku yang akhirnya akan menimbulkan perselisihan hubungan industrial.

5 Suwarto, op.cit., hlm. 24.

6 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm. 8-9.

7 Pasal 106 angka 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

(27)

Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagai salah satu sarana dalam hubungan industrial dimaksudkan sebagai sarana komunikasi dalam membahas berbagai permasalahan hubungan industrial yang timbul di perusahaan, sehingga dapat dihindarkan berbagai perselisihan yang berakibat kurang harmonisnya hubungan antara pekerja dan pengusaha.8

Negara Indonesia mengamanatkan pembentukan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit di perusahaan dan negara-negara lain juga memiliki lembaga yang sama walaupun nama dan bentuknya berbeda. Pada hakikatnya lembaga tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menciptakan hubungan industrial yang bermanfaat bagi pekerja/buruh. Misalnya di Philipina yang dikenal dengan Labour Management Cooperation (LMC). Labour Management Cooperation atau Lembaga Kerjasama Pekerja Pengusaha ini melalui dukungan ILO sejak awal 1980 an telah berkembang di Philipina. Pada dasarnya lembaga ini ingin mengembangkan program- program bersama di tempat kerja tanpa mengurangi makna dan fungsi serikat pekerja/serikat buruh. Program-program yang dikembangkan di Philipina tersebut dapat dikaitkan dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan pekerja/buruh dan keluarga (income generating project) atau melalui program-program kesejahteraan lainnya. Dengan kata lain, LMC ingin mewujudkan tempat kerja yang nyaman dan aman bagi semua pihak.

8 Muzni Tambusai, Hubungan Industrial Era Baru, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2006), hlm. 41.

(28)

Berdasarkan data ketenagakerjaan yang diperoleh dari Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2014 adalah terdapat 669 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 46.224 orang, dan perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit adalah 15 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 5372 orang, tentang rincian data tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini :

Tabel 1. Data LKS Bipartit di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

No Sektor Jumlah Perusahaan

Jumlah Tenaga Kerja

Perangkat Hubungan Industrial

L P LKS Bipartit

1 2 3 10 12 15

2 1 25 1776 449

3 2 4 546 145

4 3 516 24900 11329

5 4 12 642 768

6 5 7 478 186

7 6 42 1972 286

8 7 20 891 582

9 8 19 236 346

10 9 15 142 244

11 0 9 144 100

Jumlah 669 31727 14431

Sumber : Disnakertrans, Kabupaten Deli Serdang , 2014

Berdasarkan tabel 1 ada 669 sejumlah perusahaan di Kabupaten Deli Serdang dan hanya 15 perusahaan yang memiliki LKS Bipartit.

Kemudian jumlah kasus perselisihan hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang dapat digambarkan melalui tabel dibawah ini :

(29)

Tabel 2. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial di Disnakertrans Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

No Bulan Jumlah Kasus

PHK Hak Kepentingan Penyelesaian Perundingan

Bersama

Anjuran

1 Januari 18 13 5 - 12 6

2 Februari 16 8 7 1 8 8

3 Maret 10 8 2 - 5 5

4 April 9 8 1 - 5 4

5 Mei 11 9 1 1 6 5

6 Juni 9 7 2 - 4 5

7 Juli 7 5 2 - 4 3

8 Agustus 7 4 2 1 4 3

9 September 16 14 2 - 11 5

10 Oktober 6 5 1 - 6 -

11 Nopember 16 15 1 - 6 10

12 Desember 9 8 - 1 8 1

Jumlah 134 104 26 4 79 55

Sumber : Disnaketrans, Kabupaten Deli Serdang, 2014

Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Kabupaten Deli Serdang menempati area seluas 2.497,72 Km2 yang berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka di sebelah utara, di sebelah selatan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Karo dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai. Administratif pemerintahan Kabupaten Deli Serdang terdiri dari 22 kecamatan dan 394 Desa/Kelurahan yang

(30)

terdiri dari 78 desa swakarya mula, 6 swakarya madya, 285 desa swasembada mula dan 25 desa swasembada madya yang seluruhnya telah definitif9.

Jumlah penduduk Deli Serdang berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 adalah 1.790.431 jiwa termasuk penduduk yang bertempat tinggal tidak tetap dan termasuk urutan kedua terbesar se Sumatera Utara setelah Kota Medan10.Tahun 2014 jumlah penduduk Deli Serdang sebesar 1.984.598 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 795 jiwa per Km2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 465.881 dan setiap rumah tangga dihuni oleh 4-5 jiwa11.

Kabupaten Deli Serdang adalah salah satu kabupaten yang banyak terdapat perusahaan dan perkebunan di Propinsi Sumatera Utara dengan jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 669 dan jumlah tenaga kerja 46.224 orang . Kondisi ini tentunya akan menimbulkan banyak perselisihan hubungan industrial. Data yang diperoleh dari kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Deli Serdang, bahwa jumlah perusahaan adalah sebanyak 669 dengan jumlah tenaga kerja 46.224 dengan jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi pada tahun 2014 adalah 134 kasus. Terdiri dari 104 kasus PHK, 26 perselisihan hak serta 4 perselisihan kepentingan. Kasus yang dapat diselesaikan dalam persetujuan bersama adalah sebanyak 79 kasus sedangkan kasus yang gagal mediator menerbitkan anjuran

9 Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, Deli Serdang dalam Angka 2015, Deli Serdang, 2015, hlm. 17.

10 Ibid., hlm. 35.

11 Ibid

(31)

terhadap 55 kasus yang akan diteruskan oleh para pihak ke pengadilan hubungan industrial.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menuangkan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul :“ Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam latar belakang, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan di Kabupaten Deli Serdang ?

2. Bagaimana peran dan fungsi Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?

3. Bagaimana sanksi dan pelaksanaan sanksi dalam Pasal 190 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan di

Kabupaten Deli Serdang.

(32)

2. Untuk mengetahui peran dan fungsi Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

3. Untuk mengetahui sanksi dan pelaksanaan sanksi dalam Pasal 190 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada akademisi dan bagi masyarakat umum khususnya dalam hukum ketenagakerjaan untuk menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha.

2. Secara Praktis

Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang Lembaga Kerjasama Bipartit di Perusahaan, yaitu:

a. Untuk pemerintah

Sebagai masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk menangani masalah-masalah hubungan industrial

(33)

b. Untuk pekerja/buruh

Memberikan sumbangan pemikiran kepada pekerja/buruh bagaimana cara menyampaikan aspirasi kepada pengusaha yang berhubungan dengan syarat- syarat kerja dan norma kerja dengan baik.

c. Untuk pengusaha

Memberikan sumbangan pemikiran kepada pengusaha bahwa menampung dan mendengar aspirasi pekerja/buruh dalam bentuk forum komunikasi dan konsultasi akan menciptakan hubungan industrial yang harmonis.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pemeriksaan dari judul tesis-tesis yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya, penelitian tentang “ Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang “ belum ada yang serupa baik dari judulnya maupun dari isinya, oleh karena itu judul penelitian ini masih asli dan tidak plagiat.

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Untuk mengetahui Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit perusahaan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka perlu menganalisis permasalahannya dengan menggunakan suatu teori. Menurut M. Solly Lubis bahwa teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau

(34)

permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis, hal mana dapat menjadi pegangan bagi penulis.12 Menurut Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar- dasar filsafatnya yang paling dalam.13

Terbentuknya Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan adalah hasil kesepakatan dari pekerja/buruh dengan pengusaha, maka kerangka teori yang dipergunakan dalam menganalisis terhadap Lembaga Kerjasama Bipartit adalah teori collective bargaining menurut Neil W. Chamberlain dan James W. Kuhn bahwa tujuan collective bargaining awalnya adalah hanya untuk proteksi (perlindungan) yang kemudian diperluas dengan satu tujuan yaitu partisipasi14.

Prinsip collective bargaining merupakan hak untuk berunding dan bermusyawarah melalui masing-masing wakil pekerja/buruh dan pengusaha. Istilah perundingan bersama digunakan untuk menggambarkan proses negosiasi antara pekerja/buruh dan pengusaha serta perwakilan mereka sehubungan dengan setiap isu yang terkait dengan syarat-syarat kerja atau hal lain yang merupakan kepentingan bersama pekerja/buruh15.

Kerjasama antara pekerja/buruh dengan pengusaha dapat tercipta apabila dipersyaratkan adanya suatu proses. Proses kerjasama tersebut harus memiliki muatan

12 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

13 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993),hlm. 2.

14 Neil W. Chamberlain, James W. Kuhn, Collective Bargaining, (USA : McGraw-Hill, 1965), hlm. 111.

15 Kesetaraan Gender Melalui Perundingan Bersama, (Jakarta : ILO/USA Declaration Project Indonesia, 2003), hlm. 5.

(35)

komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal-hal yang terkait dengan berbagai aspek dalam proses produksi barang dan jasa. Kerjasama di tempat kerja baik sebagai lembaga maupun sebagai sistem dapat menjembatani terwujudnya kemitraan sosial yang mampu menghasilkan komitmen bersama di dalam mengatasi persoalan yang timbul dalam suatu perusahaan.

Pondasi yang paling hakiki dalam kerjasama ini adalah komunikasi dan partisipasi. Kerjasama bipartit antara pekerja dan pengusaha adalah suatu forum dimana pekerja/buruh dan pengusaha satu sama lain dapat menyampaikan masalah atau persoalan bersama akan kebutuhan yang dirasa perlu. Kedua belah pihak juga dapat saling memberi informasi tentang masalah yang sedang dihadapi dan bertukar pendapat secara teratur yang dapat menghasilkan saling pengertian, konsensus dan penyelesaian masalah untuk kepentingan bersama16. Kerjasama bipartit dapat berfungsi sebagai bentuk partisipasi organisasi untuk menciptakan hubungan kerja yang sehat, produktif dan kompetitif.

Lembaga Kerjasama Bipartit dalam hubungan industrial adalah bagian dari hukum ketenagakerjaan dan merupakan salah satu sarana dalam hubungan industrial.

Jika dilihat dari fungsi dan tujuannya tidak terlepas dari tujuan hukum pada umumnya yaitu pertama, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, kedua menjaga hak-hak manusia, ketiga mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.17

16 Pedoman LKS Bipartit, (Jakarta : Direktorat Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan Industrial Ditjen PHIJSK, 2006), hlm.1.

17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm. 289.

(36)

Hubungan industrial sangat perlu dilakukan ditingkat perusahaan dan disinilah ditentukan berhasil atau tidaknya hubungan industrial. Secara umum faktor-faktor penyebab tidak berhasilnya pelaksanaan hubungan industrial adalah apabila komunikasi antar pekerja/buruh dengan pengusaha tidak lancar. Keberhasilan pembangunan ekonomi nasional juga ditentukan oleh maju mundurnya dunia usaha dimana hubungan industrial merupakan salah satu faktor penentu. Oleh karena itu perlu upaya agar hubungan industrial dilaksanakan dengan baik disetiap perusahaan.

Mengingat salah satu penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah karena tersumbatnya komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka perlu dan penting agar setiap perusahaan membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit.

2. Landasan Konsepsional

Landasan Konsepsional dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh dasar konseptual, bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain :

a. Lembaga kerjasama (LKS) bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.18

18 Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

(37)

b. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.19

c. Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan /atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.20

d. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.21

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

19 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

20 Pasal 1angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

21 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(38)

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.22 Penelitian normatif mencakup kepada penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistemik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.23 Selain itu penelitian normatif juga mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.24 Untuk mengkaji Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit yang merupakan salah satu sarana hubungan industrial dan bagian dari hukum ketenagakerjaan akan digunakan tipe penelitian deskriptif analitis. M. Solly Lubis mengatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situas-situasi atau kejadian.25 Sifat analitis adalah salah satu parameter dalam penelitian deskriptif, hal ini disebabkan penelitian akan lebih berfokus kepada Lembaga Kerjasama Bipartit berkaitan kepada peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

22Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 47.

23 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 1995), hlm. 14.

24Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum Pada Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah Akreditasi, (Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003), hlm. 1.

25 M. Solly Lubis, “Metodologi Penelitian”, Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi, 1982/1983 Medan PPS S3 Hukum, Depdikbud Ditjen Dikti, 2002.

(39)

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini dapat diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan lainnya.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari : buku-buku, makalah, jurnal ilmiah, dan pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian ini.

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum, majalah, surat kabar, internet, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka (Library research) di perpustakaan akademisi dan studi dokumen pada Dinas Tenaga Kerja dan juga bahan-bahan hukum tertulis yang relevan dengan objek penelitian serta akan dilakukan wawancara dengan pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang, perusahaan dan juga pekerja.

4. Analisis Data

Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul yaitu data primer (undang-undang) dan sekunder (buku-buku ilmiah), untuk dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan

(40)

dengan cara deduktif induktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Kemudian analisis data dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan dengan cara menghubungkan kerangka teori tersebut dengan permasalahan yang diteliti melalui suatu analisis yang tajam dan mendalam. Selanjutnya data yang dianalisis diungkapkan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat terjawab dengan baik

(41)

BAB II

KEBERADAAN LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Perkembangan LKS Bipartit di Indonesia Pasca Indonesia Merdeka Sampai Sekarang

Diawal pemerintahan Republik Indonesia, pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 19 Agustutus 1945 menetapkan jumlah kementerian sebanyak 12 kementerian, belum ada kementerian perburuhan . Tugas dan fungsi yang menangani masalah perburuhan diletakkan pada kementerian sosial. Demikian juga dalam pelaksanaan, dibentuknya kabinet presidensil Soekarna Hatta yang dilantik tanggal 5 September 1945 dari sebanyak 12 kementerian dan 4 menteri negara, kementerian perburuhan tetap belum dibentuk dan hanya merupakan bagian dari kementerian sosial yaitu bagian perburuhan.26

Dalam Maklumat Presiden Nomor 7 Tahun 1947 yang diumumkan pada tanggal 3 Juli 1947 tentang susunan kabinet ditetapkan S.K. Trimurti sebagai menteri perburuhan dan Mr. Wilopo sebagai menteri muda perburuhan. Namun demikian Menteri perbururuhan belum langsung dapat melaksanakan tugas dan fungsinya karena belum ditetapkan tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh kementerian perburuhan itu. Agar kementerian perburuhan yang baru, dapat segera melaksanakan tugasnya, maka pada tanggal 25 Juni 1947 dikeluarkanlah Penetapan Pemerintah

26 Sejarah Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, (Jakarta : Departemen Tenaga Kerja, 1993), hlm. 8.

(42)

Nomor 3 tentang Tugas Pokok yang harus dilaksanakan oleh kementerian perburuhan.

Berdasarkan Penetapan Pemerintah tersebut, tugas pokok kementerian perburuhan adalah menyelenggarakan urusan-urusan mengenai :

a. Perlindungan;

b. Jaminan sosial;

c. Perselisihan perburuhan;

d. Organisasi perburuhan;

e. Perwakilan perburuhan;

f. Kerja antara;

g. Pemberian pekerjaan dan sokongan pengangguran;

h. Kewajiban kerja dan pengerahan tenaga;

i. Pendidikan tenaga;

j. Transmigrasi dan

k. Urusan-urusan lainnya mengenai hubungan kerja dan penempatan tenaga.27

Sejak periode awal kemerdekaan, seluruh tenaga dan pikiran rakyat Indonesia dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan maka hubungan industrial diwarnai oleh orientasi politik sampai pada masa demokrasi terpimpin. Tidak berapa lama setelah lahir pemerintahan orde baru maka lahirlah Undang-Undang No.14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.

27 Ibid. hlm. 11-12.

(43)

Dalam Bab V undang-undang ini diatur tentang hubungan ketenagakerjaan yang terdiri dari 5 (lima) pasal yaitu:

a. Pasal 11 :

(a) Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja.

(b) Pembentukan perserikatan tenaga kerja dilakukan secara demokratis.

b. Pasal 12 : Perserikatan tenaga kerja berhak mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi kerja.

c. Pasal 13 : Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan.

d. Pasal 14 : Norma peraturan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan perburuhan diatur dengan peraturan perundangan.

e. Pasal 15 : pemerintah mengatur penyelenggaraan jaminan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya

Undang-undang ini tidak menggunakan istilah buruh tetapi menggunakan istilah tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pada saat itu sistem hubungan yang berlaku di Indonesia didasarkan pada paham liberalisme dan tidak dapat menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha. Berdasarkan kondisi pada saat itu, maka Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi bekerja sama dengan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia dan Frederick Ebert Stiftung menyelenggarakan seminar nasional tentang hubungan perburuhan Pancasila sebagai wahana menuju ketenangan kerja dan stabilitas sosial ekonomi untuk pembangunan nasional di Jakarta pada

(44)

tanggal 4-7 Desember 1974. Seminar ini diikuti oleh 137 peserta yang terdiri dari unsur-unsur pengusaha, buruh, pemerintah dan universitas/cendekiawan dari pusat dan daerah-daerah wilayah Indonesia. Pembahasan secara intensif dalam sidang pleno maupun sidang kelompok tersebut, mengambil keputusan antara lain :28

Bab II sarana-sarana daripada pelaksanaan hubungan perburuhan Pancasila a. Lembaga kerjasama tripartit dan bipartit;

b. Perjanjian perburuhan (collective labour agreement);

c. Lembaga peradilan perburuhan;

d. Peraturan perundangan perburuhan;

e. Pendidikan perburuhan;

f. Beberapa masalah khusus.

Hasil dari seminar pada tanggal 4-7 Desember 1974 membuahkan suatu konsensus nasional untuk mengembangkan suatu sistem hubungan perburuhan yang berdasarkan kepada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang disebut hubungan perburuhan Pancasila dan kemudian diganti menjadi hubungan industrial Pancasila (HIP) dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep 645/M/1985.

Hubungan industrial dalam prosesnya memerlukan terjalinnya komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal-hal yang terkait dengan berbagai aspek dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Keberadaannya memang sangat penting mengingat secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap sendi-sendi

28 H. Soetrisno, Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia, (Jakarta : Ikatan Perantara Hubungan Industrial Indonesia ( IPHII ), 2007), hlm. 27.

(45)

kehidupan, baik secara sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan psikologi bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu dikembangkan dalam hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan hubungan industrial yang sehat, produktif dan kompetitif. Dengan demikian, Lembaga Kerjasama Bipartit tersebut merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan hubungan industrial disamping sarana lain seperti peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.29

Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah disebutkan bahwa salah satu sarana hubungan industrial adalah Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dan kemudian di Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dipertegas lagi bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit.

Hubungan antara pekerja dan pengusaha yang tidak seimbang dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan yang dapat menimbulkan kerugian di

29 Pedoman LKS Bipartit, Op. Cit., hlm. 1.

(46)

pihak pekerja dan pengusaha. Perntentangan dan perselisihan hubungan individual antara pekerja dan pengusaha di perusahaan juga dapat terjadi karena masalah- masalah hak pekerja tidak dipenuhi pengusaha sehingga merugikan pekerja dan keluarganya. Agar pertentangan kolektif dan individual antara pekerja dan pengusaha tidak berkepanjangan, timbul gagasan untuk membentuk wadah yang dapat meredam dan menyelesaikan pertentangan tersebut yaitu dengan membentuk wadah atau lembaga kerjasama. Wadah kerjasama antara pekerja dengan pengusaha berfungsi sebagai sarana 30 :

a. Pelaksanaan demokrasi industrial dalam hubungan kerja.

b. Partisipasi pekerja dalam kebijaksanaan perusahaan.

c. Pendistribusian kekuasaan didalam perusahaan.

Sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka keluarlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Seiring dengan perkembangan kondisi ketenagakerjaan saat ini, maka menteri tenaga kerja dan transmigrasi Republik Indonesia menyempurnakannnya lagi dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dengan Nomor PER.32/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008.

30 Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja dan Pengusaha, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2007), hlm. 79.

(47)

Kerjasama yang efektif di tempat kerja dapat dicapai melalui pendekatan antara pekerja/buruh dengan manajemen/pengusaha, yaitu bipartit. Bipartit ini dipakai untuk konsep yang menunjukkan adanya kerjasama di tempat kerja yang secara operasional diwujudkan dalam bentuk lembaga kerjasama.

Dari jaman orde lama sampai dengan jaman orde baru, Lembaga Kerjasama Bipartit hanya sebagai anjuran artinya apabila tidak dilaksanakan oleh pengusaha tidak ada sanksi administratifnya. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terhadap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Bagi perusahaan yang tidak mematuhi Pasal 106 tersebut diberikan sanksi administratif pada Pasal 190 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berupa :

a. Teguran;

b. Peringatan tertulis;

c. Pembatasan kegiatan;

d. Pembekuan kegiatan usaha;

e. Pembatalan persetujuan;

f. Pembatalan pendaftaran;

g. Penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;

h. Pencabutan izin.

Data dari Kementerian Tenaga Kerja RI tahun 2014 bahwa jumlah perusahaan yang terdaftar di Kementerian Tenaga kerja adalah sebanyak 274.791

(48)

perusahaan dengan jumlah pekerja/buruhsebanyak 13.638.984 orang, sedangkan perusahaan yang memiliki LKS Bipartit adalah 16.168 perusahaan. Berdasarkan dari data tersebut sangatlah sedikit perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit, padahal LKS Bipartit itu sangat perlu sebagai salah satu sarana komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

B. Pembentukan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit yang Dikembangkan oleh International Labour Organisation (ILO)

1. Kebijakan ILO Terkait LKS Bipartit

Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organisation (ILO) berdiri pada akhir Perang Dunia I yaitu pada tanggal 11 April 1919 berdasarkan Bab XIII “Perjanjian Versailles” bersamaaan dengan berlangsungnya Konferensi Liga Bangsa-Bangsa (League of Nation). Dalam perkembangannya, yaitu pada waktu Perang Dunia II mendekati masa akhir di tahun 1946, ILO menjadi badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

ILO pada dasarnya dibentuk dengan tujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip

“keadilan sosial” bagi masyarakat di seluruh dunia khususnya kaum pekerja sebagaimana dinyatakan dalam Mukadimah Konstitusi ILO. Didalam Mukadimah tersebut juga terkandung isi dari Deklarasi Philadelphia yaitu :

a. Bahwa pekerja bukan barang dagangan;

b. Bahwa kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat mengandung makna untuk mencapai kemajuan;

(49)

c. Bahwa semua manusia tanpa memandang ras, kepercayaan dan jenis kelamin berhak mencapai kehidupan yang layak baik secara materil maupun spiritual dalam suasana kebebasan dan pengakuan akan harga diri masing-masing, ketentraman ekonomi, dan kesamaan dalam memperoleh kesempatan;

d. Bahwa memerangi kemiskinan memerlukan keberanian yang gigih bagi suatu bangsa melalui upaya internasional dimana wakil-wakil pekerja, pengusaha dan pemerintah memiliki status yang sama guna mengambil keputusan untuk meningkatkan kemakmuran/kesejahteraan; dan

e. Bahwa kemiskinan dimanapun berada, merupakan bahaya bagi kemakmuran/kesejahteraan.

Para pendiri ILO meyakini bahwa perdamaian abadi hanya mungkin tercipta bila didasarkan pada keadilan sosial. Menurut pandangan ILO, bilamana syarat-syarat kerja masih mencerminkan ketidakadilan, maka berbagai kegoncangan yang mengancam keserasian dan ketenteraman hidup akan terus terjadi. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan syarat-syarat dan norma kerja termasuk upaya mengatasi masalah pengangguran. Untuk melaksanakan gagasan tersebut, maka tugas utama ILO adalah merumuskan kebijaksanaan dan program internasional untuk menjamin terciptanya perlindungan hak-hak pekerja, memperluas lapangan pekerjaan, dan meningkatakan taraf hidup para pekerja dengan cara menyusun dan membuat standar ketenagakerjaan internasional (International Labour Standards) agar dapat dijadikan pedoman bagi negara anggota dalam membuat dan melaksanakan kebijakan

(50)

ketenagakerjaan, khusunya dalam membuat peraturan perundangan nasional di bidang ketenagakerjaan.31

ILO dalam melaksanakan kegiatannya melakukan konvensi dan rekomendasi yang memuat berbagai bentuk ketentuan mengenai ketenagakerjaan yang diharapkan secara utuh diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO sehingga menjadi hukum positif yang berlaku di negara yang bersangkutan. Konvensi ILO yang berkaitan dengan LKS Bipartit adalah konvensi ILO No. 98 tahun 1949 mengenai hak berorganisasi dan berunding bersama dan konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956. Selain itu adalah konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi dan konvensi ini juga telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden RI No. 83 tahun 1988. Adanya 2 konvensi ILO yang berkaitan dengan LKS Bipartit dan bagi setiap negara yang menjadi anggota ILO dan telah meratifikasi konvensi itu wajib melaporkan kepada Dirjen ILO sesuai ketentuan Pasal 22 konstitusi ILO tahun 1919.

ILO sejak pendiriannya, selalu berusaha untuk melaksanakan bentuk-bentuk kerjasama di tempat kerja melalui dialog sosial, yang ditetapkan untuk mencakupkan semua jenis negosiasi, konsultasi atau sekedar bertukar informasi antara, atau di antara para wakil pemerintah, pengusaha, dan pekerja tentang masalah-masalah kepentingan bersama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan sosial.

31 Menumbuhkembangkan Kesadaran Melaksanakan Konvensi ILO yang Telah Diratifikasi, (Biro Humas dan KLN Departemen Tenaga Kerja, 2000), hlm. 2.

Gambar

Tabel 1. Data LKS Bipartit di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014
Tabel 4. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial pada Kantor Dinas Tenaga  Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2012 s/d tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

menurut skala interval atau rasio dengan pengujian korelasi dari kedua data yang. mewakili setiap variabel yang

ekonomi yang langka dan kebutuhan ekonomi yang tidak terbatas  Masalah. pokok

The Based on results and discussion of this research, it can be concluded that the physical chemical environmental factors (temperature, salinity, and dissolved

75% 75% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 50% 55% 75% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 30% 55% 55% Hasil penggabungan 100% Dengan perpotongan 10% Tabel

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengkaji permasalahan pengelolaan arsip dinamis yang meliputi aspek penciptaan, penggunaan

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan tulis. 8 Ragam bahasa lisan adalah bahasa

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen di rumah kaca menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor I pemberian arang

Rehab Mushola Al Mubarok Dusun Cepit Desa Pagergunung Kecamatan Bulu (P) Dusun Cepit Desa Pagergunung 50.000.000,00 Pembangunan Mushola Al Ikhlas Banjaran RT 01/04 Walitelon Selatan