• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau dari Segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan Keadilan Hukum

PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

B. Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau dari Segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan Keadilan Hukum

Didalam sila ke 4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, telah menggambarkan bahwa sebelum diambil suatu keputusan yang menyangkut kepentingan bersama maka haruslah didahulukan musyawarah mufakat.

Dengan sila kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.

Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain.

Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk

76 Pasal 122 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.

Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di sini kepentingan bersamalah yang diutamakan diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawbakan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.

Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayainya.77Secara institusional dalam bidang kehidupan berbangsa , Pancasila telah diwujudkan dengan kesediaan beberapa ratus suku menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia, dengan derajat yang sama bagi tiap-tiap suku. Persatuan suku-suku menjadi satu bangsa itu dibuktikan dengan nyata dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di atas bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap suku. Disamping itu dapat disebut juga pengakuan bendera merah putih sebagai bendera kebangsaan serta lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

77 Darji Darmodiharjo, C.S.T. Kansil dan Kasmiran Wuryo, Menjadi Warga Negara Pancasila, (Jakarta : P.N. Balai Pustaka, 1979), hlm. 29-30.

Di dalam bidang kehidupan bernegara telah pula melembaga unsur-unsur Pancasila yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia sebagai wadah Pancasila telah membentuk dan mengoperasikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jabatan presiden, wakil presiden dan menteri, Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga-lembaga negara lainnya. Lagipula daerah Republik Indonesia telah dibagi-bagi menjadi daerah propinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom, sedang puluhan ribu desa telah dikukukan dengan pemerintahan yang diberi wewenang menyelenggarakan pemerintahan langsung bagi masyarakat desa.

Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila telah dinyatakan kedudukannya oleh para pendiri negara ini sebagaimana terlihat dalam UUD 1945 dalam penjelasan umum. Di sana ditegaskan, bahwa Pancasila adalah cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis.

Hukum ketenagakerjaan adalah salah satu hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur masalah hubungan industrial. Dalam Pasal 102 Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan :

1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

3. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Hubungan industrial (industrial relation) di Indonesia merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

Peran pemerintah dalam hubungan indsutrial ini diwujudkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, peraturan perundang-undangan yang harus ditaati

oleh para pihak, serta mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga dapat berjalan secara efektif, serta membantu dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan demikian, kepentingan pemerintah dalam hubungan industrial adalah menjamin keberlangsungan proses produksi secara lebih luas.78

Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan hubungan industrial berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasinya secara demokratis, mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Pengusaha/organisasi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu hubungan industrial tidak hanya dilihat dari konteks hubungan antara pekerja dan pengusaha semata, peraturan-peraturan ketenagakerjaan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, ekonomi dan politik karena di dalamnya mencakup pola konsep keadilan, kekuasaan, hak dan tanggung jawab. Pada akhirnya tujuan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, tujuan ini saling berkaitan dan terkait satu dengan yang lainnya yang berarti bahwa pengurangan terhadap yang satu akan mempengaruhi yang lain. Tingkat produktivitas

78 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 18.

perusahaan misalnya sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas pekerja, produktivitas yang tinggi hanya dimungkinkan jika perusahaan tersebut memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Peningkatan kesejahteraan pekerja hanya layak jika produktivitas perusahan meningkat.

Semua pihak yang terlibat dalam proses produksi terutama pengusaha, perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif melalui bipartit untuk mencapai produktivitas yang diinginkan. Melalui bipartit dapat dibangun kemitraan antara pengusaha dengan pekerja/buruh sehingga tercipta damai di tempat kerja.

Hubungan kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha akan terganggu jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain, sehingga pemenuhan kebutuhan atau kepentingan salah satu pihak dirugikan. Untuk mengarahkan dan mengembalikan hubungan kerja sama antara pekerja dan pengusaha dalam kegiatan tersebut, hukum ketenagakerjaan sebagai pedoman dalam hubungan industrial mempunyai kedudukan dan peranan yang penting. Melalui perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang aspiratif diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.

Kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan konsep yang harus dikembangkan dalam hubungan industrial, jika pihak pekerja/buruh dan pengusaha menginginkan perusahaannya maju dan berkembang serta dapat bersaing dalam tataran nasional dan internasional. Dengan demikian, hubungan kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemajuan

perusahaan. Untuk itu masing-masing pihak harus konsisten melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasari adanya kesepakatan kedua belah pihak tentu tidak selamanya harmonis adakalanya terjadi perselisihan dan bahkan terjadi pemutusan hubungan kerja. Betapapun harmonisnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh tetap ada perselisihan, yang perlu menjadi perhatian pengusaha dan pekerja/buruh adalah bahwa penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih dengan musyawarah mufakat (bipartit) yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Penyelesaian musyawarah mufakat (bipartit) ini tidak ada kalah menang tetapi sama-sama menang.

Ditinjau dari beberapa perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang pernah berlaku dan yang sedang berlaku di Indonesia tetap mendahulukan sistem bipartit. Seperti yang pernah berlaku antara lain :

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan : bila terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan itu secara damai dengan jalan perundingan. Dalam memori penjelasan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan : “perlu ditegaskan bahwa yang menjadi pokok pikiran dari Undang-Undang ini ialah bahwa adalah tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus sendiri menyelesaikan kesukaran-kesukaran mereka dalam lapangan perburuhan

dengan jalan perundingan yang langsung antara kedua belah pihak”. Bila perundingan antara kedua belah pihak itu menghasilkan persetujuan-persetujuan itu disusun menjadi suatu perjanjian perburuhan.

Dalam memori penjelasan Undang-Undang No 22 Tahun 1957 Tentang Perselisihan Perburuhan sangat jelas memakai sistem bipartit dalam meyelesaikan persoalan perselisihan hubungan industrial.

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta pada Pasal 2 menyatakan : “ bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh”. Dari pasal ini sangat jelas menyatakan bahwa yang diutamakan dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah dengan cara musyawarah mufakat (bipartit).

Pada penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta di dalam pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-Undang ini dalam garis besarnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya bahkan dalam beberapa hal dilarang.

2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah, maka dalam sistem undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya dan upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.

Baik pada Pasal 2 maupun dalam pokok-pokok yang terkandung pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta menginginkan penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara bipartit yaitu musyawarah mufakat. Walaupun undang-undang tersebut tidak berlaku lagi semenjak berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, akan tetapi undang-undang tersebut tetap mengutamakan sitem bipartit.

3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang ini dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial selalu mengutamakan sistem bipartit. Dalam Pasal 136 yang berbunyi :

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 151 yang berbunyi :

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buurh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buurh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.

(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).

(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Dari Pasal 136, Pasal 151 dan Pasal 152 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sangatlah jelas bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dimulai melalui bipartit, apabila gagal bipartit baru kemudian ditempuh melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini bipartit merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti pada : a. Pasal 3

(a) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

(b) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

(c) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagimana dimaksud dalam ayat (3) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Setelah perundingan gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut :

b. Pasal 4

(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsilisasi atau melalui arbitrase.

(4) Dalam hal upaya para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Baik Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial semua undang-undang tersebut mengutamakan musywarah untuk mufakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

C. Keberhasilan Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit di Dinas Tenaga