• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pasal 190 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

SANKSI DAN PELAKSANAAN SANKSI PASAL 190 UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP

A. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pasal 190 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Setiap undang-undang ataupun peraturan apabila tidak ada sanksinya dan tidak ada pengawasan dari pemerintah, maka undang-undang atau peraturan itu tidak akan berjalan. Hukum ditaati orang karena hukum itu bersifat memaksa, dalam hal ini dapat ditinjau dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum seperti 88:

a. Menurut P. Borst hukum ialah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau damai dan keadilan.

b. Menurut Van Kan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat.

c. Disamping unsur verlof, belofte, dan disposisi menurut Paul Scholten ―Recht is

bevel‖. Bevel adalah perintah yang berarti bahwa hukum mempunyai sifat memaksa.

Sifat hukum ketenagakerjaan adalah merupakan perintah atau larangan dengan menggunakan kata-kata “harus”, “wajib”, dan “tidak boleh” atau “dilarang”.

88

Sanksi terhadap pelanggaran atas peraturan biasanya ialah tidak sahnya atau batalnya tindakan yang melanggar itu. Bahkan sering kali juga tindakan melanggar itu diancam pula dengan pidana kurungan atau denda.

Hukum ketenagakerjaan yang dibuat Belanda di Indonesia pada waktu Indonesia dijajah Belanda telah mengenal sanksi yang dikenal dengan poenale sanksi. Untuk menjamin perusahaan mendapatkan buruh yang tetap melakukan pekerjaannya, maka dalam Algemene Politie Strafreglement ditambahkan ketentuan (stbl 1872 No. 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tiada dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaannya dapat dipidana dengan denda antara Rp.16 dan Rp. 25 atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari. Baik diluar maupun dalam Stafen General di Nederland atauran poenale sanksi

itu yang memberi kedudukan unggul diluar batas kepada pengusaha dan membuka pintu untuk penyalahgunaan, mendapat kecaman cukup pedas, sehingga pada tahun 1879 dicabut kembali89.

Setelah Indonesia merdeka dengan keluarnya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 No. 12 yang berlaku di seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Persyaratan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 No. 12 yaitu pada Pasal 8 disebutkan bahwa majikan dan pegawai yang mengawasi tidak memenuhi kewajibannya dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah dan jika pelanggaran ini terjadi di dalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan hukuman yang tidak dapat

89

berubah lagi karena pelanggaran yang sama, maka dijatuhi hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.

Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja dalam Pasal 17 juga disebutkan bahwa peraturan perundangan tersebut dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) dan tindak pidana tersebut adalah pelanggaran. Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan dilakukan dengan pengawasan karena peraturan perundang-undangan tersebut adalah bagian dari perlindungan hak asasi manusia bagi pekerja/buruh. Perundang-undangan untuk melindungi buruh hanya akan mempunyai arti bila pelaksanaannya diawasi oleh suatu ahli, yang harus mengunjungi tempat kerja pada waktu-waktu tertentu untuk dapat menjalankan tiga tugas yang pokok yaitu 90:

a. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuan- ketentuan dalam perundang-undangan dilaksanakan dan jika tidak demikian halnya mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaannya itu;

b. Membantu baik buruh maupun pimpinan perusahaan dengan jalan memberi penjelasan-penjelasan teknis dan nasihat yang mereka perlukan agar mereka

90

menyelami apakah yang dimintakan oleh peraturan dan bagaimanakah melaksanakannya;

c. Menyelidiki keadaan perburuhan dan mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk penyusunan perundang-undangan perburuhan dan penetapan kebijaksanaan pemerintah.

Badan pengawasan ini pengawasan kesehatan kerja dan pengawasan keamanan kerja pertama-tama bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan mengenai perlindungan bagi buruh seperti waktu kerja, waktu istirahat, pekerjaan orang muda, dan wanita serta kesehatan dan keamanan kerja. Pengawasan ini sendiri bukanlah alat perlindungan melainkan lebih merupakan cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perlindungan.

Pengawasan pada permulaan perkembangannya di bidang industri sebagian besar ditujukan kepada pabrik dimana pertama-tama dirasakan perlunya peraturan perlindungan. Penggunaan cara-cara produksi dengan mesin di pabrik yang mempekerjakan sejumlah buruh termasuk banyak wanita dan anak jelas memerlukan aturan-aturan untuk melindungi buruh terhadap akibat buruk dari kerja lembur dan bahaya khusus terhadap kesehatan dan keselamatan yang timbul dari pekerjaan di pabrik

Pengawasan bagi pengusaha akan memberi jalan untuk mendapatkan penjelasan dari pihak pengawas (pemerintah) mengenai kewajiban pengusaha menurut undang-undang ketenagakerjaan. Pelaksanaan peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan di perusahaan oleh pengawas dari pemerintah dapat

mengakibatkan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh semakin harmonis.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengenal 2 (dua) jenis sanksi yaitu sanksi pidana dan sanksi administratif. Sanksi pidana diatur mulai dari Pasal 183 s/d Pasal 189 sedangkan sanksi administratif diatur di dalam Pasal 190 yang berbunyi sebagai berikut 91:

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal ayat (1) dan ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. teguran;

b. peringatan tertulis;

c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran;

g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin.

(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh menteri.

Pasal 190 tersebut dikenakan terhadap pelanggaran 12 (dua belas) pasal Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Khusus terhadap Pasal 106 yang disebut dalam ayat (1) dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Namun demikian belum ada pelaksanaan sanksi

91

administratif tersebut bagi perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit sampai sekarang92

B. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia