• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Islam Dalam Perilaku Budaya ‘Nating’ di Pagaralam

HASIL DAN PEMBAHASAN

T. Perspektif Islam Dalam Perilaku Budaya ‘Nating’ di Pagaralam

Hasil dari wawancara beberapa narasumber menerangkan alasan dan definisi umum apa itu nating serta bagaimana praktik nating yang berlaku pada masyarakat Pagaralam, berikut beberapa kutipan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis:

Menurut Bpk Defri98 menerangkan:

“Hampir semua masyarakat Pagaralam mengetahui dan melakuakan nating dengan tujuan yang beragam, namun umum nya nating berlangsung pada kerabat terdekat dengan tujuan saling tolong menolong, namun ada juga yang melakuakan nating ddengan alasan menyimpan uang dengan harapan akan mendapat manfaat dari hasil nating itu sendiri, missal nya mendapatkan sasih99

98 Defri, Lahat, 25 Februari 1974 Pelaku nating biasa

99 Sasih Merupakan istilah masyarakat Pagaralam untuk menyebutkan pembagian hasil yang dilakukan setelah masa panen berlangsung, sasih dapat berupa hasil panen baik itu padi, maupun kopi dan dapat juga berupa uang hasil penjualan hasil panen.

78 Selanjutnya keterangan bpk Ahmad Rivai lani100

“nating bertujuan untuk meolong keluaarga terdekat yang membutuhkan uang, namun ada juga untuk mencari pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya dengan dengan memberi pinjaman kepada yang menggadaikan sawahnya tentunya pemilik modal (murtahin) mendapatkan hasil dari setiap panen dari pemilik sawah dengan tidak mengurangi uang yang dipinjamkan, jadi sama seperti menabung, dan penerima uang juga dapat memanfaatkan uang tersebut untuk modal

usaha mereka”

Dari pihak rahin ataupun murtahin yang penulis wawancarai, semuanya memberi keterangan bahwa mereka menating kan sawah, kebun ataupun rumah mereka dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka dan secara khusus mereka tidak mengetahui apakah proses nating yang telah mereka lakukan telah sesuai denag prinsip-prinsip muamallah dalam Islam.

Berikut hasil wawancara yang penulis lakukan pada beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama di kota Pagaralam.

Menurut pendapat bpk Syahril Pudi101, berikut penuturannya:

“Nating sudah berlangsung begitu lama di Pagaralam, bahkan tidak hanya berlangsung di sini, daerah sekitar Pagaralam juga melakukan hal yang sama, seperti Lahat, dan Empat Lawang, untuk mengetahui nating dibolehkan atau tidak dapat kita lihat dari perjanjian awal atau akad ijab qabul nya, biasanya nating berlangsung dalam jangga waktu yang lama bahkan bisa jadi sampai bertahun-tahun, hal ini meurut saya yang harus penulis kaji lebih dalam karena menurut endapat saya ada unsur yang merugikan sepihak (untuk nating kuasa), untuk nating biasa mohon diperjelas bahwa niat awal pelaksanaan nating merupakan azas tolong- menolong bukan investasi, jadi semua keuntungan yang dihasilkan keuda belah pihak harus siap menaggungnya, baik itu untung atau rugi dari setiap kali hasil panen.

100 Ahmad Rivai Lani pelaku nating kuasa dan nating rumah

79 Menurut penuturan bpk Ahmad Nizom102 bahwa :

“Nating harus bebas dari unsur riba, dan harus bebas juga dari pinjaman

yang mengambil manfaat.”

Dan menurut Ust Amril mukminin al-hafidz menerang kan bahwa:

“Pada masa rosul sudah terjadi sistem gadai seperti ini, pada masa itu

disebut ar-rhan dimana Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya, jadi gadai sudah berlangsung sejak lama, dan sudah di contohkan oleh rosul, pertanyaan nya bagaimana dengan sistem gadai yang ada saat ini dan dikatkan dengan nating yang ada di Pagarlam, secara umum saya menyimpulkan bahwa nating kuasa itu dilarang karena banyak mengandung unsur riba disana, dimana pemegang gadai mengambil manfaat dari barang gadai dengan memanfaatkan sepenuhnya hasil dari barang gadai, berbeda dengan nating biasa yang masih mengandung unsur bagi hasil mudharobah didalamnya, jadi muammalah nating biasa ini masih dapat dilaksanakan di Pagaralam.”

Dari keterangan narasumber yang ada, dapat diindikasikan bahwa pelaksanaan nating pada masyarakat Pagaralam terindikasi terdapat unsur riba didalamnya namun ada juga proses nating ini sudah sesuai dengan hukum

syari’ah kerena sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dalam melakukan muammalah dan juga semua pihak merasakan manfaat dari akad tersebut, secara garis besar prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam melakukan aktifitas nating dirumuskan sebagai berikut :

a. Pada dasarnya segalah bentuk muammalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Quran dan sunnah Rasul

b. Muammalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan dan tanpa mengandung unsur riba

102 Perwakilan Kantor Departemen Agama kota Pagaralam sekaligus pengurus Majelis Ulama Indonesia kota Pagaralam

80 c. Muammalah dilakukan atas pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian maka segala hal yang dapat membawa mudharat harus dihilangkan.

d. Muammlah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Bentuk nating kuasa dengan memberikan jaminan berupa sawah, ladang ataupun rumah kepada murtahin atau penerima gadai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dan penerima gadai berhak memanfaatkan marhum atau jaminan sepenuhnya, dan pemanfaatan jaminan seperti inilah yang sangat rentan sekali dengan praktik riba, dengan dalil bahwa semua pinjaman yang menghasilkan

keuntungan atau manfaat adalah riba’, berikut adalah pendapat-pendapat menurut ulama ahli fiqih:

Pendapat ulama Syafi’iyah bahwa tidak ada hak bagi murtahin untuk mengambil manfaat dari benda yang digadaikan, karena sabda Rasulullah saw, dari Muhammad bin Ismail bin Abu Fudail mengabarkan kepada kami dari Ibnu

Abu Dzi’b dari ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al-Musayab bahwa Rasulullah saw bersabda, transaksi gadai tidak menutup pemilik barang dari barang yang digadaikannya, dialah yang menebusnya dan dia pulalah yang menaggung dendanya.

81 Adapun pendapat Ulama Malikiyah apabila seorang rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhum, atau murtahin mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan yang berasal dari akad jual beli atau serupa (akad yang didalam nya terdapat kompensasi atau ganti manfaat yang diterima murtahin), masa pemanfaatannya ditentukan atau diketahui (untuk menghindari dari ketidak jelasan yang dapat merusak muamalah), contoh: seorang murtahin mengambil manfaat secara cuma- cuma untuk dirinya atau manfaat itu dihitung sabagai hutang dengan catatan rahin segara melunasi sisa hutangnya.

Pengambilan manfaat oleh murtahin tidak diperbolehkan apabila dain (hutang) barasal dari akad al-qardh (hutang piutang), karena hal ini termasuk dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan manfaat tetap tidak diperbolehkan meskipun seorang rahin secara sukarela memberikan manfaat kepada murtahin (maksudnya tidak diisyaratkan oleh murtahin), karena hal ini termasuk dalam kategori hadiyah midyan (hadiah dari orang yang berhutang).

Kelompok Hanafiyah berpendapat seorang murtahin tidak berhak untuk memanfaatkan barang yang digadaikannya kecuali dengan izin rahin karena yang menjadi hak murtahin hanyalah menahan marhun, bukan memanfaatkannya, apabila murtahin mengambil manfaat dari marhun, kemudian rusak pada saat dipakai, maka murtahin berkewajiban mengganti seluruh nilai dari marhun karena posisi murtahin sama dengan orang yang merusak barang milik orang lain, namun ketika rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil

82 manfaat dari marhun, maka sebagian ulama hanafiah membolehkan secara mutlak, dan sebagian nya melarangnya secara mutlak, karena pemanfaatan itu merupakan riba ataupun di dalamnya terdapat sesuatu yang serupa dengan riba.

Pendapat ulama Hanbali berbeda dengan pendapat ulama yang lain, mereka berpendapat, dalam gadai selain hewan atau sesuatu yang menghasilkan yaitu sesuatu yang tidak membutuhkan pada pembiayaan seperti rumah dan barang lainnya, maka murtahin tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari marhun tanpa izin dari rahin, karena barang yang digadaikan manfaat serta pengembangannya menjadi milik rahin, sehingga selain rahin tidak berhak untuk mengambil pemanfaatan dari marhun karena hal itu termasukdalam kategori hutang (qard) yang menarik manfaat dan hal itu adalah diharamkan, hal ini berpegang pada hadist sebagai berikut:

“Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba (HR Al-Haris bin Abi Usamah)

Imam Ahmad berkata, saya tidak menyukai akad qard dengan agunan rumah, itu termasuk riba murni, maksud imam Ahmad adalah apabila sebuah rumah dijadikan agunan untuk akad qard (hutang), maka pada akhirnya murtahin mengambil manfaat dari rumah tersebut. Ungkapan imam Ahmad tentang topic ini yaitu agar seorang murtahin tidak boleh mengambil manfaat sesuatu pun dari akad rahn, kecuali apabila barang yang digadaikan berupa binatang kendaraan dan binatang yang diperah susunya, apabila barang yang digadaikan berpa binatang binatang kendaraan ataupun binatang yang diperah susunya, maka murtahin berhak menaiki dan memeras susunya sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.

83

“Susu binatang perah boleh diambil jika ia bagian dari borg dan diberi

nafkah (oleh murtahin), boleh menunggangi binatang yang diberi nafkah (oleh murtahin), jika binatang itu menjadi barang gadaian, orang yang menunggangi dan mengambil susunya wajib memberi makan atau nafkah” (HR. Bukhari dan Abu Daud)

Hampir sama dengan pendapat ulama Hanbali, Sayid Sabiq mengemukakan bahwa akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dari menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan barang tidak ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba103. Keadaan qiradh yang mengandung unsur riba ini, jika agunan bukan berbentuk binatang yang ditunggani atau binatang ternak yang bisa diambil susunya atau pun lahan yang menghasilkan sesuatu darinya. Cara yang demikian berpegang pada hadist:

“Semua Pinjaman yang menarik manfaat adalah riba104 (HR Al-Haris Bin Abi Usamah)

Jadi secara umum ke empat pendapat Imam mazhab tersebut mengisyaratkan bahwa apabila rahin mengizinkan murtahin untuk mengambil manfaat, sedangkan hutang kadai itu adalah qardh, maka hal itu tidak boleh karena yang demikian berarti qiradh yang menarik manfaa. Akan tetapi, apabila hutang tersebut bukan qiradh, pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadai tersebut sebatas pembagian nya hasil dari kesepakatan bersama antara rahin dan

103 Sayid sabiq, fiqih sunnah hal 153

104 Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul maram Min Adilat Al-Hakam, Terj Abdul Rosyad Siddiq; Terjemah Lengkap Bulughul Maram, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2007, hal 384

84 murtahin, Imam Malik Mensyaratkan kebolehannya apabila izin itu didalam akad dan masa dimanfaatkan dalam waktu tertentu.105

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional106 tentang rahn memutuskan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang jaminan hutang dalam bentuk rahn di bolehkan dengan ketentuan marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oelh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya, pemeliharaan dan perawatan marhun pada dasarnya merupakan kewajiban rahin, namun juga dapt dilakukan oleh murtahin, sementara biaya pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), hanya memberikan keterangan di dalam pasal 396 tentang pemanfaatan barang gadaian dengan menyebutkan bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa izin dari rahin.

Dengan demikian menururt pendapat para ulama mazhab jika dikaitkan dengan perilaku nating yang terjadi di Pagaralam yakni pinjaman uang yang dilakukan oleh rahin disertai dengan pemanfaatan dan pembagian hasil dari sawah maupun rumah kepada murtahin dalam jangga waktu tertentu maka hukum nya ada sistem nating yang dibolehkan (mubah) dan ada juga sistem nating yang

dilarang (haram), karena jika dilihat dari pendapat imam Syafi’i membolehkan

105 Mahmud Syathut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zaky Al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h 288

85 pemanfaatan barang jaminan gadai jika tidak diisyaratkan diawal akad, sedangkan praktik nating yang terjadi di Pagaralam semua persaratan terdapat di awal akad, termasuk penetapan jenis nating yang di lakukan dan jumlah pembagian dari hasil yang diperoleh dari pemanfaatan jaminan gadai (marhun), maka dapat disimpulkan menurut pendapat Imam Syafi’i bahwa semua jenis nating yang terjadi di Pagaralam merupakan muammalah yang dilarang (haram).

Sedangkan apabila dilihat dari pendapat imam Maliki bahwa boleh memanfaatkan barang jaminan gadai baik itu disyaratkan di awal atau tidak di isyaratkan tetapi dengan catatan hutang (dain) tersebut didapatkan dari akad jual beli ataupun akad ijarah dan sejenisnya. Akan tetapi apabila peranjian tersebut didapatkan dari akad hutang piutang (qard) maka hukumnya adalah haram. Karena setiap hutang piutang yang mengambil manfaat adalah haram, sedangkan praktik nating di Pagaralam semua akadnya merupakan akad hutang piutang dengan jaminan berupa sawah, kebun maupun rumah, maka menurut Imam Maliki praktik nating di Pagaralam termasuk kategori muammalah yang dilarang (haram).

Selanjutnya apabila dilihat dari pendapat Imam Hanafiah, mereka berpendapat murtahin tidak berhak memanfaatkan barang gadaian kecuali mendapatkan izin dari rahin, karena hak murtahin hanya menahan barang jaminan tersebut tidak dengan mengambil manfaatnya,

86 Menurut pendapat Imam Hambali bahwa selain untuk hewan yang dapat ditunggangi atau hewan yang menghasilkan susu, maupun sesuatu yang membutuhkan perawatan, pemeliharaan dan menghasilkan, yaitu sesuatu yang tidak membutuhkan perawatan seperti rumah dan barang lainnya, maka murtahin tidak boleh memanfaatkannya kecuali dengan seizing rahin , akan tetapi apabila hutang tersebut dari akad qard (hutang piutang) meskipun rahin telah mengizinkan tetap saja hal ini tidak boleh dimanfaatkan, karena ini adalah bentuk hutang piutang yang mendatangkan manfaat, pendapat imam Hambali inilah yang paling mendekati kondisi yang terjadi di Pagaralam, dimana dalam proses nating murtahin memperoleh manfaat dari barang yang diagadaikan tentunya dengan seizing rahin, ini terjadi pada proses nating biasa dan barang yang ditatingkan berupa sawah, ladang ataupun kebun mereka, untuk barang gadai yang berupa rumah hambali berpendapat tidak boleh mengambil manfaat dari barang tersebut.

Namun terjadi permasalahan mengenai akad yang ada di dalam akad gadai, karena dalam proses nating akad yang digunakan adalah akad hutang piutang sehingga menurut para imam tidak boleh mengambil manfaat dari akad qardh, sehingga untuk proses nating yang terjadi selama ini untuk pemanfaatan nya menurut para imam adalah jenis muamalah yang dilarang,

Terlepas dari itu semua tinjauan penulis tentang proses nating yang terjadi di Pagaralam mempunyai karakteristik yang berbeda dalam hal pembagian hasil ataupun pemanfaatannya, untuk nating biasanya misalnya, pengelolaan marhun (barang gadai) masih sepenuhnya dikelolah oleh rahin, namun setelah barang

87 gadai memperoleh hasil dari masa panen (sawah, kebun), rahin memberikan sebagaian hasilnya kepada murtahin sesuai dengan akad yang disepakati di awal, ketidak tahuan tentang akad inilah yang menyebabkan proses nating ini belum sesuai dengan syariat hukum Islam. Dan jika kondisi ini diharamkan maka akan menimbulkan mudharat dari pihak yang menerima gadai dan ini bertentangan dengan asas-asas dalam bermuamalah yaitu muamalah yang dilakukan atas pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat dalam hidup bermasyarakat, dan muamalah harus dilakukan dengan memelihara nilai-nilai keadilan. Hal ini juga sesuai dengan asas-asas akad yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 21 huruf (e) yang menerangkan bahwa akad dilakukan atas dasar saling menguntungkan para pihak, sehingga tercegah dari praktik yang merugikan salah satu pihak.

Mudharat yang harus dihilangkan dalam pemanfaatan sawah, kebun atau pun rumah yaitu ketika penerima gadai dilarang dalam memanfaatkan barang gadaian sawah yang menjadi barang gadaian, karena hal ini akan menyebabkan kerugian bertahun-tahun yang dialami oleh pihak penerima gadai (murtahin) hal ini bisa dikaitkan dengan teori inflasi mata uang Indonesia, dan juga pengharaman dalam pemanfaatan sawah tersebut akan mencidrai asas-asas keadilan karena ketika mengharamkan pemanfatan sawah oleh pihak penerima gadai sedangkan pihak yang menggadaikan (rahin) bisa menikati keuntungan dengan mendapatkan dana segar untuk kebutuhan ataupun mengembangkan usaha yang dimiliki oleh pihak penggadai sawah (rahin).

88 Sesuai dengan tinjauan penulis terhadap nating pada masyarakat Pagaralam dengan menggunakan pendekatan dari sudut pandang empat mazhab ditambah dengan pendapat ulama serta tokoh masyarakat yang ada di Pagaralam dan menggunakan pendekatan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), maka pemanfaatan barang gadai (marhun), yang dilakukan masyarakat kota Pagaralam menjelaskan bahwa :

a. Untuk pelaksanaan nating kuasa, baik itu sawah, kebun ataupun rumah, lebih mengindikasikan unsur riba didalamnya Karena proses nating yang terjadi di Pagaralam rahin menyerahkan sepenuhnya marhun kepada murtahin baik itu pengelolaan dan manfaat, maka meskipun secara legal barang gadai masih menjadi milik rahin akan tetapi rahin tidak menerima apapun dari hasil pemanfaatan harta gadai. b. Untuk pelaksanaan nating biasa yang terjadi di pagaralam baik itu nating sawah, kebun, ladang maupun rumah, dalam sisi akad memang masih terjadi unsur riba didalam nya karena akad yang digunakan adalah akad qiradh (hutang piutang), namun dalam prakteknya jenis muammalah ini yang paling mendekati unsur-unsur muammalah yang ideal dalam sudut pandang Islam dikarenakan :

1. Dalam proses nating sawah, kebun ataupun ladang misalnya, marhun (harta gadai), tetap menjadi milik rahin baik itu pengelolaan, dan pengambilan manfaatnya, namun karena sawah, kebun ataupun ladang tersebut sudah menjadi jaminan gadai, maka

89 dari awal perjanjian akad rahin dan murtahin sudah menetapkan pembagian hasil dari pemanfaatan sawah, kebun ataupun ladang tersebut.

2. Proses nating biasa ini dapat dikatagorikan sebagai akad mudharobah yang intinya rahin dapat terus mengelola marhun dan hasil dari pengelolaan tersebut dapat dibagi sesuai jenis pemanfaatannya, karena marhun sepenuhnya masih milik milik rahin namun murtahin memberikan sejumlah uang yang dapat digunakan untuk mengelola marhun maupun dapat digunakan untuk keperluan rahin lainnya.

3. Untuk hasil pemanfaatan dalam proses nating ini harus disepakati di awal dengan cara musyawarah dan dituangkan dalam keputusan resmi yang mengikat dengan inti isinya adalah, bahwa murtahin memberikan sejumlah uang kepada rahin dengan jaminan berupa sawah atau kebun dengan sistem akad mudharabah (bagi hasil) selama periode yang disepakati, dan masing-masing pihak berkewajiban untuk bersama-sama mengelola jaminan gadai tersebut dan hasil dari pengelolaan dibagi dengan hasil kesepakatan kedua belah pihak, baik itu rahin dan murtahin. Jadi kedua belah pihak siap untuk menanggung untung mauun rugi dari setiap hasil panen.

90 c. Untuk pemanfaatan barang gadai berupa rumah, ataupun harta yang tidak bergerak, proses nating yang terjadi dipagaralam baik itu nating biasa ataupun nating kuasa apabila mengambil manfaat dari muamallah ini maka muammalah ini dilarang ataupun belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena dalam nating kuasa penghuni rumah atau pemilik rumah menggadaikan rumahnya kepada pemilik modal dan tetap menghuni rumah tersebut namun pemilik rumah mash berhak membayar sewa sebagai pengganti uang sewa rumah karena pemilik modal tidak menghuni nya, berbeda dengan dengan nating kuasa yang apabila pemilik rumah mempunyai rumah lebih dari satu, sebagai jaminan gadai rahin menggadaikan satu unit rumah yang akan dihuni oleh pemilik modal, hal ini juga tidak bolehkan karena selama perjanjian ini berlangsung si pemilik modal berkuasa penuh utnuk menghuni sekaligus memanfaatkan apa yang ada pada rumah tersebut. Jadi dari beberapa poin diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam muammalah nating ini masih terdapat unsur-unsur riba didalam nya,meskipun ada proses yang sudah sesuai dengan hukum Islam.

91

BAB V