• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Klasik dan Neoklasik

Dalam dokumen Semangat Kapitalisme dalam Dunia Tarekat (Halaman 25-47)

kakan contoh yang terjadi pada masyarakat Belanda pada abad ke-16, kepemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis dalam keluarga Huguenots dan orang Katholik di Perancis pada abad ke -16 dan 17. Beberapa contoh yang ia temukan menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi menghancurkan tradisionalisme ekonomi lama. Berdasar-kan contoh ini, Weber berpendapat bahwa perubahan yang cepat dalam metode kegiatan ekonomi tidak akan terjadi tanpa dorongan dari moral dan agama. Sedangkan berdasarkan hasil kajian komparatif-nya di Jerman, Perancis dan Hungaria, ia menyimpulkan bahwa penganut agama Kristen Protestan Calvinis lebih berperan dalam perekono-mian daripada penganut Katholik dan Protestan Lautheran yang tetap setia menjalankan perekonomian tradisional mereka, yaitu pertanian dan kerajinan berskala kecil.

Weber juga meletakkan dasar argumentasinya pada konsep “seruan”, yaitu konsep tentang suatu kewajiban individu yang dibe-bankan oleh Tuhan. Weber memandang ajaran Calvinisme sebagai ajaran yang modern karena berhasil meniadakan kekuatan magis di dunia. Dengan menanggalkan semua cara-cara magis dalam memperoleh keselamatan dengan mengkategorikannya sebagai takhayul dan dosa. Selain itu, doktrin ‘seruan” pada sekte Calvinisme tersebut tidak menimbukan sikap fatalisme, tetapi memunculkan “kegelisahan keagamaan”, dan untuk mengeliminir kegelisahan tersebut manusia dituntut untuk menumbuhkan rasa percaya diri dengan ikut terlibat dalam aktifitas keduniaan secara intens. Dengan kata lain, konsep “seruan” atau “panggilan” merupakan keyakinan bahwa semua kekuasaan di atas dunia merupakan pemberian Tuhan dan kekuasaan tersebut merupakan tugas suci. Pemahaman atas konsep panggilan ini menja-dikan semua kegiatan yang profan dalam kehidupan sehari-hari menjadi bernilai keagamaan. Bagian terpenting dari konsep ini adalah bekerja sebagai tugas suci. Keharusan bekerja tersebut memunculkan etos kerja yang mendukung berkembangnya mentalitas kapitalis berupa sikap kehati-hatian, bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola usaha (Amilda, 2010)

Hasil studi Bellah (1992) yang dilakukan di Jepang telah mem-buktikan bahwa semangat kapitalisme tersebut tidak hanya dimo-nopoli oleh sekte Calvinist Protestan saja sebagaimana kesimpulan Weber. Temuan Bellah menyatakan bahwa masyarakat Jepang dengan

berpangkal pada tradisi agama Tokugawa, sekalipun diterpa oleh gelombang modernisasi masih tetap menyimpan kekuatan sebagai pendobrak semangat berekonomi masyarakat. Dalam studiya tentang

The Religion of Tokugawa (1992), Bellah membeberkan sistem religi

atau kepercayaan sangat mempengaruhi etos kerja masyarakat Jepang. Bellah berusaha menemukan faktor-faktor yang menunjang keber-hasilan Jepang menjadi masyarakat industri modern. Jepang meru-pakan satu-satunya bangsa non Barat yang mampu dengan cepat mentransformasikan dirinya menjadi negara industri, yaitu masya-rakat yang memiliki peranan ekonomi yang sangat penting dalam sistem sosialnya, dan peranan penting nilai-nilai ekonomi dalam sistem nilai budayanya.

Bellah mengembangkan teori Weber dalam kajian subsistem-subsistem fungsional dalam sistem social dengan mencoba melihat prestasi (quality) dan bawaan (aspiration) dengan sifat-sifat ekonomi yang disebut sebagai nilai ekonomis. Kemudian sistem motivasi atau budaya sebagai nilai-nilai budaya dan politik sebagai nilai-nilai politis, serta sistem integrative atau institusi sebagai nilai integratif dijadikan sebagai unsur yang universal dan partikular untuk melihat pola utama (performance, achievement, dan quality). Studi Bellah yang dipengaruhi oleh karya Max Weber mempertanyakan kemungkinan adanya faktor-faktor religious di masyarakat Jepang yang mirip dengan etika Pro-testan pada masyarakat Barat yang memicu keberhasilan ekonomi bangsa Jepang, dan setelah diteliti, masyarakat Jepang pramodern telah dibentuk oleh etika yang bersumber pada era sebelum Tokugawa. Etika ini berkembang sedemikian rupa pada masa Tokugawa, dan mempersiapkan masyarakat Jepang untuk mengalami kemajuan yang pesat pada masa Kaisar Meiji.

Sobary mencoba menjembatani tesis Weber tentang etika pro-testan di masyarakat muslim Indonesia. Dalam penelitiannya yang berjudul “Etika Islam: dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial” (2007) Sobary melihat adanya etos kerja dan gerakan wirausaha yang bangkit dari kesadaran keberagamaan. Penelitian ini mengkaji keadaan sosio-ekonomi-religius masyarakat Suralaya, sebuah perkampungan Betawi di perbatasan antara Jakarta dan Jawa Barat. Penelitian Sobary membuktikan bahwa tesis Weber tidak sepenuhnya bisa diterima “apa adanya”. Tesis Weber mengambil penelitiannya pada komunitas

pengusaha menengah ke atas yang mempunyai konstruksi pemikiran yang maju karena didukung basis pendidikan yang cukup. Pene-litian ini melengkapi kajian Clifford Geertz di Mojokuto, James T. Siegel di Aceh, dan Lance Castle di Jawa. Ketiga peneliti ini juga berasumsi bahwa spirit keagamaan (Islam) berpengaruh pada spirit berwirausaha (Ridwan, 2011).

Muslim Suralaya, dalam studi Sobary memiliki tafsir keagamaan yang berorientasi duniawi. Bagi mereka, agama Islam tidak melulu mengharuskan pemeluknya beribadah secara ritual dan simbolik belaka, tapi Islam juga mewajibkan pemeluknya untuk mengejar kesejahteraan ekonomi, justru untuk mengangkat agama Islam itu sendiri. Jadi, Muslim Suralaya memandang Islam seperti Calvinisme ala Weber yang memandang bahwa ibadah tak hanya sebatas ritus, namun dalam hal ekonomi juga terkandung nilai-nilai ibadah. Namun kadarnya memang tidak sekuat Calvinisme yang digambarkan Weber. Temuan Sobary juga menunjukkan bahwa penduduk Suralaya ber-nasib beda dengan di Barat, meskipun sama memiliki pemahaman mengenai peran agama sebagai etika perkembangan ekonomi. Kalau di Barat, etika Protestan mampu mengangkat mentalitas kapitalisme dalam banyak kalangan dan berkembang menjadi kapitalisme modern. Berbeda dengan penduduk Suralaya yang tetap kurang mengalami keberuntungan ekonomi secara maksimal karena diakibatkan oleh faktor struktural dan non sruktural. Mereka ternyata juga gagal ber-saing dengan korporasi dagang yang dibangun oleh masyarakat China. Terbukti, hingga sekarang kantong-kantong perdagangan besar di Indonesia banyak dikuasai oleh warga keturunan China.

Studi Geertz (1977) tentang etos kerja dan perilaku ekonomi kaum muslim reformis-puritan juga menemukan bahwa semangat pem-baharuan ekonomi (kewiraswastaan) di Jawa (Mojokerto) dimotori oleh pedagang-pedagang muslim yang taat dan keluarga bangsawan-bangsawan penguasa di Tabanan. Kelompok pembaharu menyadari dirinya bahwa semangat itu berkat keluhuran agama dan moral Islam yang dianut. Kemudian dalam salah satu riset di Mojokuto Pare Kediri, Geertz juga menemukan banyak pengusaha di kota kecil tersebut yang berafiliasi pada organisasi Islam modernis. Mereka adalah kaum santri yang sangat taat menjalankan ibadah. Di samping itu, dalam bekerja mereka memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, senantiasa

bekerja keras, hemat atau jauh dari perilaku konsumtif. Menurut Geertz, perilaku ekonomi ini dipengaruhi oleh pemahaman kalangan santri modernis ini terhadap ajaran Islam.

Geertz menilai bahwa kemajuan perekonomian di Mojokuto bukanlah semata-mata karena semangat “Etika Protestan” yang khas bagi warga daerah tersebut seperti kerja keras, sifat hemat, kebebasan dan tekat yang kuat, namun kemajuan di daerah itu juga dikarenakan kekuatan organisasinya. Temuan Geertz ini diper-kuat pula oleh hasil studi Nakamura yang menemukan bahwa agama Islam di Jawa dapat berpengaruh positif terhadap perilaku ekonomi masyarakat pemeluknya (Samdin 2007).

Studi yang serupa juga dilakukan oleh Murrel dan Arslan (dalam Samdin 2007), bahwa masyarakat China sebagaimana yang ditemukan Murrel agama dan institusi tradisional (lokal) mempunyai dampak yang sangat kuat terhadap kinerja perusahaan dan kinerja ekonomi secara umum. Sedangkan Arslan melihat pengaruh agama Islam di Turki dan agama Protestan di British terhadap kehidupan bisnis, yang menemukan bahwa faktor agama, baik Islam di Turki maupun Pro-testan di British mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan bisnis bagi warga di Negara tersebut.

Dari beberapa studi yang dilakukan di negara barat, China, Jepang dan Timur Tengah seperti yang telah diuraikan, menunjukkan betapa pentingnya peran agama baik Protestan, Islam, Tokugawa dan agama yang dianut di China terhadap semangat dan berkembangnya aktivitas ekonomi dan bisnis, dan tidak terkecuali pula di Indone-sia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam.

Dalam lingkungan yang lebih khusus lagi, Mu’tashim dan Mulkhan (1998) melakukan studi dalam praktek usaha di lingkungan pengikut tarekat Syadziliyah di Kudus Kulon. Dari studi ini ditemukan bahwa berkat tarekatlah mereka bisa berhasil dalam berusaha, karena ajaran tarekat seperti ajaran sabar, syukur dan tawakkal kepada Allah SWT, sehingga mereka dapat bekerja dengan baik, tidak ngoyo, tanpa rasa takut dan was-was dan selalu ingat untuk meminta pertolongan kepada Allah. Mereka percaya sepenuhnya bahwa nasib mereka berada di tangan Allah dan keberkahan guru (mursyid) telah menjadikan pengikut tarekat memiliki semangat bekerja keras dan sikap penuh percaya diri.

Sedangkan penelitian terhadap tarekat Shiddiqiyah, di antara-nya dilakukan oleh A’dam (2008), “Tarekat Shiddiqiyah di Indonesia: Studi

Tentang Ajaran Dan Penyebarannya”. Penelitian ini menekankan pada

aspek ajaran tarekat Shiddiqiyah secara umum khususnya yang berkaitan dengan ajaran spiritual dan perkembangannya di Indo-nesia. Namun, penelitian yang lebih dekat dengan pembahasan eko-nomi dilakukan oleh Sudirman (2006), The Tarekat Shiddiqiyah of Jombang:

A Study of a Sufi Order and Its Economic Activities. Penelitian terakhir

ini dilakukan dengan pendekatan antropologi dan sosiologi tentang motivasi kegiatan ekonomi tarekat Shiddiqiyah yang mereka wujud-kan dalam unit-unit usaha yang mereka kembangwujud-kan. Penelitian tersebut belum mengungkapkan pemaknaan mereka terkait dengan harta itu sendiri yang menjadi basic rasionalitas dalam usaha-usaha ekonomi yang mereka lakukan.

Rasionalitas: Pengertian dan Sejarah

Secara bahasa, istilah rasionalitas diambil dari bahasa Inggris “rationality”. Dalam Oxford English Dictionary (1989) disebutkan banyak arti “ration”, dan di antara maknanya adalah; dapat menggunakan kekuatan untuk berfikir, tidak bodoh dan ngawur, ungkapan jelas, dan mudah dipahami. Sedangkan istilah rationality merupakan kata bendanya, yang berarti; kualitas perbuatan berpikir, atau sesuatu yang dapat diterima oleh akal.

Rasionalitas merupakan masalah yang sama-sama dihadapi oleh ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Konsep dasar rasionalitas sendiri adalah sifat bawaan yang diperlihatkan individu-individu atau kelompok-kelompok individu dalam pemikiran, perbuatan atau institusi-institusi kehidupan sosial mereka (Kuper, 2000). Lebih jelasnya, sese-orang melakukan tindakan apabila apa yang dilakukannya itu dapat dideskripsikan sebagai sesuatu yang diniatkan, sehingga tindakan adalah konklusi praktis yang diambil dari niat dan keyakinan. Dalam hal ini, teori tindakan sosiologis sejak zaman Max Weber telah meng-gunakan dasar relasi yang tidak terpisahkan antara tindakan dan rasionalitas dalam menganalisis komponen dan tipe tindakan. Tin-dakan sosial selalu merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dan bagian dari proses pemahaman intersubjektif (Brunkhorst, 2008).

Dalam karyanya yang berjudul Nichomachean Ethic, Aristoteles memandang bahwa rasionalitas (alasan rasional) dari sebuah

tinda-kan berada di dalam kesimpulan yang diambil dari niat atau norma dan dari penilaian atas situasi, serta berdasarkan sarana yang tersedia untuk menghasilkan konsekwensi dari tindakan. Tindakan adalah rasional sepanjang ia mengikuti premis yang mendasari dan menjus-tifikasi pelaksanaannya. Karena itu, rasionalitas minimal harus ada di balik setiap tindakan, dalam setiap gerak tubuh yang termasuk dalam definisi ini. Aristoteles juga menekankan bahwa tindakan yang kelewatan sekalipun, seperti makan makanan manis secara berle-bihan, secara formal dapat memiliki justifikasi rasional (Davidson dan Wright dalam Brunkhorst, 2008 ).

Dalam perkembangan selanjutnya, munculnya aliran

rasiona-lisme telah mengokohkan konsep rasionalitas dalam ilmu-ilmu sosial

maupun filsafat. Salah satu tokoh kunci dalam rasionalisme Barat adalah Descartes. Descartes menyatakan bahwa semua gagasan tradisional yang berbasis kepada kepercayaan perlu diragukan, dan ia hanya menghargai gagasan-gagasan itu bila logikanya memang sesuai dengan pikiran yang bebas (enquiring mind). Bahkan, ia juga meng-anggap bahwa kekuatan-kekuatan rasional bawaan lahir jauh lebih penting daripada informasi inderawi.

Pada abad-abad ke-17 dan ke-18, program rasionalisme Descartes diimplementasikan oleh para pengikut madzhab empirisis Inggris (British Empiricist), yang salah satu tokoh utamanya adalah David Hume (1739 M). Hume menguatkan doktrin rasionalisme yang dipa-haminya sebagai desakan otoritas yang dimiliki oleh individu, tinda-kan kognitif yang tidak terikat, sebagai kebalitinda-kan dari otoritas yang bersumber dari ajaran-ajaran wahyu dan gereja. Berbeda dengan Hume, Immanuel Kant (1781 M) memiliki pandangan yang berbeda (Gellner, 2000).

Menurut Kant, secara substansial pemikiran manusia memiliki struktur yang rigid dan universal yang mendorong manusia untuk (antara lain) berpikir dalam pengertian sebab dan akibat. Dalam hal ini, manusia merasa berkewajiban untuk menghormati sejumlah etika atau norma tertentu, yang pada prinsipnya berkaitan dengan pelak-sanaan aturan-aturan dan keutuhan moral mereka. Dengan demi-kian, kewajiban-kewajiban logika bathiniyah yang oleh Descartes dipercaya sebagai pencetus gagasan-gagasan yang diwarisinya secara kultural dianggapnya betul-betul sah. Namun, kewajiban itu hanya

sah untuk makhluk-makhluk lain yang memiliki sejenis pemikiran manusia. Sehingga, kewajiban-kewajiban itu tidak bersumber pada benda-benda alam, karena ia berada dalam diri mereka sendiri. Kewajibaan-kewajiban itu bersumber dalam diri manusia.

Dua tokoh yang mewarisi pandangan Kant adalah Emile Durkheim dan Max Weber. Durkheim mengikuti Kant dalam kepeduliannya terhadap kewajiban-kewajiban konseptual manusia, serta dalam keteguhannya berpegang pada kewajiban konseptual sebagai sesuatu yang pokok dalam kehidupan manusia. Namun, meskipun Kant telah puas dalam menjelaskan struktur pemikiran manusia yang sangat universal, Durkheim justru berusaha mencari akar-akar ke-wajiban itu dalam kehidupan nyata berbagai komunitas yang ber-beda dan bahkan lebih dari itu, dalam upacara-upacara ritual, dan fungsi ritual adalah memberikan kepada manusia beberapa konsep bersama, dan memberikan konsep-konsep itu dengan otoritas me-maksa bagi semua anggota komunitas yang ada.

Jika bagi Durkheim semua manusia bersifat rasional, maka bagi Weber sejumlah manusia lebih rasional daripada yang lain. Dia men-catat bahwa jenis rasionalitas yang dianalisis oleh Kant (yaitu; per-buatan dan pemikiran yang secara teratur terikat dengan aturan) secara khusus merupakan ciri salah satu tradisi tertentu, yaitu tradisi yang menyebabkan munculnya masyarakat kapitalis dan industrialis modern. Memang, Weber tidak begitu eksplisit peduli dengan Kant diban-dingkan dengan Durkheim, namun demikian hubungan pemikiran keduanya jelas ada. Masalah bagi Weber bukan mengapa semua ma-nusia bersifat rasional, karena semua mama-nusia berpikir dalam bentuk dan terbatasi oleh konsep-konsep, namun mengapa sejumlah orang secara khusus bersifat rasional, terutama sangat menghormati aturan-aturan dan mampu menyeleksi sarana-sarana karena efektifitasnya, bukan karena kecocokannya dengan adat sehingga karenanya mereka cenderung menegakkan lembaga-lembaga kapitalis (Gellner, 2000). Para pemikir abad pencerahan menyatakan bahwa pikiran ma-nusia dan masyarakat mama-nusia sama rasionalnya dengan cara kerja alam dan sama-sama didukung oleh nalar ilmiah, walaupun perde-batan tentang kebenaran pandangan ini masih diperdebatkan sampai saat ini. Demikian juga perdebatan tentang definisi rasionalitas, setidaknya ada tiga pengertian berbeda mengenai pandangan “rasionalis”. (Hollis, 2008).

Pertama, pengertian ini mengandung pandangan luas bahwa alam

adalah sebuah sistem (dalam pengertian teratur) sebab akibat yang rasional, diatur oleh hukum yang dapat ditemukan oleh metode ilmiah (nalar). Dalam cara apapun hubungan kausalitas ini dipahami, hubungan itu menyingkirkan makna dan tujuan dari cara kerja alam dan membebaskan sains dari pemikiran bahwa alam ini adalah desain Tuhan. Pendapat ini juga mengabaikan soal kebetulan, tetapi ada sedikit ruang kompromi untuk teori probabilitas, yang mengijinkan sejumlah elemen terbatas yang tak bisa diprediksi. Dalam hal ini, positivisme sebagai istilah yang sering dipakai dalam ilmu sosial, berusaha meng-aplikasikan ilmu alam dalam pengembangan kerangka berfikirnya. Kedua, pengertian rasionalisme bagi filosof adalah identik dengan positivisme yang dimaknai sebagai positivisme logis, bukan bentuk empirisme yang kentara dan karenanya bertentangan dengan rasio-nalisme itu sendiri. Dalam pengertian ini, rasionalis melihat hukum sebab akibat sebagai kekuatan yang tersembunyi dan sebagai keha-rusan berdasarkan sistem Cartesian dan Newtonian abad ke-17. Nalar adalah kekuatan pikiran yang menembus selubung persepsi dan modelnya adalah matematika.

Ketiga, ada rasionalisme yang didasarkan pada asumsi bahwa perilaku

manusia adalah rasional. Contoh utamanya adalah di dalam ilmu mikroekonomi yang menyatakan bahwa agen (subyek) adalah rasional karena mereka selalu memperhitungkan cara paling efektif untuk memasukkan preferensi mereka. Mereka adalah pemaksimal utilitas seperti dalam teori keputusan konsumen dan pemaksimal keuntungan dalam teori keputusan produsen. Bertindak rasional berarti memak-simalkan fungsi objektif yang terbatas. Asumsi rasionalitas sering dianggap menyiratkan bahwa agen itu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi mereka mengejar tujuannya sendiri dengan cara maksimasi kepuasan dan keuntungan secara sistematis, dan karenanya terkadang tidak jelas apakah mereka mementingkan diri sendiri atau tidak.

Meskipun tampaknya tidak ada definisi yang baku dan disepa-kati tentang rasionalitas, namun berbagai asumsi dan kharakteristik telah dibuat, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk menjelaskan ciri-ciri yang mendefinisikan rasionalitas (Gellner, 2000), yaitu:

1. Suatu tendensi untuk bertindak hanya setelah melakukan pengem-bangan atau perhitungan, sebagai kebalikan dari tindakan karena dorongan pihak lain atau karena kepatuhannya kepada tiruan-tiruan yang tidak diperiksa/dipikirkan secara cermat.

2. Suatu tendensi untuk bertindak sesuai dengan rencana jangka panjang

3. Suatu pengendalian terhadap perbuatan melalui aturan-aturan yang bersifat abstrak dan umum.

4. Efisiensi instrumental: seleksi sarana-sarana secara umum dengan efektifitas dalam rangka meraih tujuan yang ditentukan secara jelas, sebagai kebalikan dari membiarkan untuk diseleksi oleh adat istiadat atau dorongan emosional.

5. Suatu kecenderungan untuk memilih berbagai tindakan dengan kriteria tunggal dan yang secara jelas ditentukan. Bukan dengan melakukan evaluasi terhadap hal-hal itu dengan berbagai kriteria yang membingungkan dan tidak jelas, atau dengan menerima kesemuanya karena pertimbangan kebiasaan yang semuanya dianggap baik.

6. Suatu kecenderungan untuk mensistematisasikan keyakinan-keyakinan dan/atau nilai-nilai dengan sistem koheren tunggal. 7. Suatu kecenderungan untuk menemukan pemenuhan manu-siawi dalam pelaksanaan atau pemuasan kemampuan-kemam-puan intelektual, bukan dengan emosi atau sensualitas.

Artinya, kekuatan dan keunggulan teori-teori ekonomi yang didasarkan pada rasionalitas telah menarik banyak perhatian ilmu sosial lain. Ada teori ekonomi demokrasi, hubungan internasional, relasi ras, teori pemberian, persahabatan dan perkawinan, yang semua-nya dianggap sebagai pertukaran antar penawar yang rasional. Teori-teori itu bersifat individualis dan juga secara ambisius berusaha menjelaskan kemunculan institusi di mana pertukaran itu terjadi. Misalnya, teori kontrak sosial yang dimodifikasi oleh Rawls, yang meng-analisis masyarakat sebagai norma rasional; adalah rasional bagi individu untuk menciptakan atau menerima keuntungan bersama.

Rasionalitas Ekonomi: Perspektif Klasik dan Neoklasik

Para ekonomi klasik belum membahas masalah rasionalitas ekonomi secara mendalam dalam kajiannya. Dalam teori rasionalitas ekonomi

klasik, mula-mula yang muncul adalah pandangan Smith dan Ricardo tentang rasionalitas produsen yang menyatakan bahwa individu menyukai keuntungan yang lebih banyak. Kemudian muncullah ekonomi klasik Inggris John Stuart Mill dan Cournot yang menya-takan secara implisit tentang rasionalitas permintaan yang dikaitkan dengan harga barang, walaupun pada masa selanjutnya dipertegas bahwa yang dimaksud dengan harga adalah harga semua barang (Arrow, 1986).

Sedangkan rasionalitas konsumen baru dikenalkan oleh para ekonomi neoklasik, seperti Stanley Jevons (1835-1882), Carl Menger (1840-1921) dan Leon Walras (1834-1910) dan selanjutnya diperdalam oleh H.H. Gossen sebagaimana yang kita kenal dalam hukum Gossen. Hipotesis rasionalitas konsumen bagi mereka adalah bagaimana seorang konsumen bisa mendapatkan kepuasan maksimal dalam batasan anggaran yang mereka miliki (Desay, 2008).

Dalam ekonomi neoklasik, rasionalitas juga menjadi topik yang kontroversial dan tidak ada definisi jelas, lugas, serta gamblang yang bisa diterima secara umum oleh semua pihak. Dalam literatur-literatur teori ekonomi mainstream yang menganut paham neoklasik, seorang pelaku ekonomi diasumsikan rasional berdasarkan hal-hal berikut (Davidson dalam Zainuddin, 2009):

1. Setiap orang tahu apa yang mereka mau dan inginkan, serta mampu mengambil suatu keputusan atas sesuatu hal, dari sesuatu yang paling diinginkan (most preferred) sampai dengan yang paling kurang diinginkan (less preferred). Serta setiap individu akan mampu bertindak dan mengambil keputusan secara konsisten. 2. Keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan tradisi, nilai-nilai, dan mempunyai alasan dan argumentasi yang jelas dan lugas. Menurut Oscar Lange, hal ini menunjukkan bahwa metodologi rasionalitas adalah ketika hal ini diambil berdasarkan cara berpikir dari setiap pelaku ekonomi itu sendiri.

3. Setiap keputusan yang diambil oleh individu ini harus menuju pada pengkuantifikasian keputusan akhir dalam unit moneter. Pengkuantifikasian ini akan membawa pada perhitungan dan bertendensi untuk memaksimalkan tujuan dari setiap aktivitas, di mana yang sesuatu hal yang lebih baik lebih disukai daripada yang kurang baik.

4. Dalam model produksi dari kapitalisme, rasionalitas berarti ke-puasan yang dapat dicapai dengan prinsip efisiensi dan tujuan dari ekonomi itu sendiri. Di sana tidak ada ruang bagi sentimen pribadi atau nilai-nilai tradisional yang tidak dapat dikuantitatifkan dalam unit moneter.

5. Perilaku seorang individu yang rasional dalam mencapai ke-puasan berdasarkan kepentingan sendiri (self-interest) akan me-nuntun pada pembuatan barang-barang sosial yang berguna bagi

Dalam dokumen Semangat Kapitalisme dalam Dunia Tarekat (Halaman 25-47)