• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI UMUM COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD KHI)

B. Perspektif Sosiologis

Analisis sosial menempatkan hukum sebagai bagian dari fakta sosial. Dalam konteks ini, mahar berfungsi sebagai satu instrumen hukum yang sentral dalam pernikahan Islam dan mendapat banyak sorotan ilmiah. Namun demikian, kajian yang ada tentang mahar selama ini terlalu terfokus pada dimensi normatif-vitasnya. Mahar sebagai satu bagian dari ”simbol” dalam kehidupan sosial sebetulnya-nya memainkan fungsi dan peranan yang sangat penting terutama dalam kaitan-nya dengan refleksi sosial-kultural, bahkan juga ekonomi. Perbedaan transliterasi istilah mahar (bahasa Arab) ke dalam bahasa lokal seperti “dower” dan “dowry” (Inggris), jujuran (Banjar), dan maskawin (jawa) mengisyaratkan diversifikasi pemaknaannya. Dalam kajian sosial, mahar baik secara ontologis maupun simbolis erat kaitannya dengan realitas

10

Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Fi Nihayah Al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Juz 2, h. 386

sosial, terutama dalam konteks stratifikasi sosial. Menurut Henry J. Korson. Dalam “Jurnal Perkawinan dan Keluarga” bentuk judulnya ”Peranan Indikator Dower Sebagai Perubahan Sosial di Pakistan”, Pada masyarakat tertentu mahar menjadi indeks kelas sosial atau eksistensi “nobilitas” seseorang.11

Mahar dan kontekstualitasnya dalam kajian antropologi-sosiologi bukan satu tema bahasan yang baru, mengingat institusi mahar bersifat lintas ruang dan waktu. Sudah cukup banyak penelitian digarap di bidang kajian ini, bahkan tidak hanya pada komunitas muslim, tetapi juga pada komunitas lain, baik masyarakat yang sudah atau yang tergolong relatif masih “terbelakang”. Dalam kaitan ini, isu mahar terutama dalam konteks sosiologis cukup kompleks karena sangat terkait dengan banyak hal. Menurut Hamadullah “Abd Al-‘Ati secara komprehensif merangkum persoalan mahar dengan baik dalam bukunya “Struktur Keluarga dalam Islam”.12 Menurut beliau, upaya untuk memahami realitas tradisi mahar pada komunitas tertentu harus mempertimbangkan konteks sosial dan kulturalnya terutama ideologi kelas, nilai-nilai keagamaan, sistem kekerabatan dan persepsi sosial tentang anak. Dengan kata lain, Sebagai fakta dan fenomena sosial mengacu pada paradigma

durkheimian- maka keberadaan mahar di satu masyarakat sangat ditentukan

faktor-faktor diskursif yang melingkupinya, terutama stratifikasi sosial.

11

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6 (Acreedited Journal No. 55/DIKTI/Kep/2005)

12

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 2

55

Berbagai teori sosiologis telah dibangun untuk menjelaskan isu sosial-kultural mahar. Berbeda dengan pandangan Islam yang lebih menekankan aspek moralitas, teori ekonomi memandang mahar sejenis kompensasi yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan; dalam artian ganti-kerugian keluarga untuk biaya membesarkan anak gadisnya. Menurut Al-‘Ati, teori ini dalam banyak hal ada titik kelemahannya dan tidak mampu menerangkan kompleksitas semangat dan praktek mahar dalam ajaran Islam.

Menurut Hamadullah “Abd al-‘Ati, Ada dua alasan mendasar untuk menfalsifikasi, paling tidak meragukan validitas asumsi ekonomi di atas.13

Pertama, berbeda dengan apa yang mentradisi di era pra Islam, mahar dalam

ajaran Islam secara khusus, diskursif dan ekslusif, merupakan aset dan hak pribadi calon mempelai perempuan. Dia dapat bertindak apa saja terhadap mahar tersebut sejauh dilakukan atas dasar prinsip Islam. Kedua, Islam mengizinkan mahar dengan limit nilai yang sangat minimal, seharga seutas cincin besi murahan. Jika mahar dipahami secara ekonomis seperti keyakinan Reuben Levy, dalam bukunya “Struktur Sosial Islam”.14 maka pemberian saidina Ali seutas cincin besi kepada Fatimah tentunya tidak mempunyai makna dan signifikansi ekonomis sama sekali. Dengan kali lain, mahar menurut Filosofis al-Qur’an tidak sebatas aspek ekonomi, tetapi ia secara

13

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 3

14

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 3

instrumental dijadikan simbol ketulusan cinta dan kasih-sayang mengikat hubungan dua insan dalam akad pernikahan.

Namun demikian, aspek ekonomi dari mahar tidak seluruhnya dilarang dalam Islam. Mengacu pada surat An-Nisa ayat 20, perempuan dapat meminta mahar sesuai dengan daftar keinginannya. Di sejumlah komunitas Islam seperti arab dan beberapa komunitas muslim lainnya di Indonesia, terutama yang masih kuat menjaga “gengsi” dan status sosial keluarga, mahar ditakar berdasarkan luapan kebanggaan untuk mempertunjukan posisi (status) sosial seseorang dalam bingkai stratifikasi sosial. Akibatnya, mahar dapat sangat mahal bahkan nominalnya nyaris tidak terjangkau “orang-kebanyakan”.

Perkembangan trend baru dalam hal nominal mahar tidak a ya! Lagi mengundang pro-kontra; simpati dan alergi dari banyak kalangan. Tetapi inilah fakta mahar di banyak komunitas muslim seperti suku bugis, sasak, banjar dan sejumlah komunitas muslim yang mendiami daerah Lampung.

Mahar mempunyai fungsi praktis yang beragam dalam masyarakat. Menurut Abu Zahrah menerangkan bahwa selain secara etis-filosofis menjadi tanda keseriusan dan ketulusan ikatan pernikahan, mahar dalam makna pemberian- berfungsi sebagai; bentuk bantuan material suami kepada calon istrinya guna persiapan untuk menempuh kehidupan berumah-tangga. Di sisi lain, mahar dapat juga dijadikan sebagai instrumen untuk mengontrol kekuasaan (kesewenangan) suami untuk menceraikan istrinya, dimana sang suami harus membayar keseluruhan sisa mahar yang belum dia lunasi. Bahkan

57

menurut As-Samaluthi, mahar sering digunakan sebagai “pencipta” berbagai jalur dan bentuk hubungan sosial.15 Artinya, melalui media mahar, jaringan hubungan sosial dapat terbangun secara luas dan juga difungsikan sebagai ikatan khusus untuk mempererat tali “perbesanan”.

Jumhur Fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan calon suami kepada calon istrinya. Namun demikian, waktu penyerahan serta jenis dan jumlahnya merupakan hasil kesepakatan bersama antara calon suami dan istri serta mempertimbangkan eksistensi keluarga istri.16 Satu norma kunci dalam konteks ini bahwa mahar harus disesuaikan dengan kondisi pihak keluarga istri.

Hal ini penting mengingat jumlah mahar yang terlalu kecil dapat menyinggung perasaan mereka. Pada masyarakat tertentu seperti pada suku Sasak Nusa Tenggara Barat, mahar dan maskawin dibedakan makna dan signifikansi sosial ekonomisnya. Menurut Henry J. Korson.Dalam tradisi dan budaya Pakistan, kedua istilah tersebut jelas dibedakan.17 Dalam bahasa Inggris, mahar diterjemahkan dengan istilah “dower” dan maskawin disebut

15

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 3

16

Tetapi dalam tradisi Bajapuik Pariaman Sumatera Barat, pihak perempuan membayar sejumlah uang (sejenis mahar, dowry) kepada calon suaminya dengan jumlah yang disesuaikan dengan status sosial yang disandangnya. Semakin tinggi status sosial calon suami, semakin besar jumlah materi pembayaran tersebut). Welhendri Azwar, Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 5

17

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 4

dengan “dowry”.18 Menurut Esposito, dower sesuatu yang harus diberikan suami kepada istrinya, sedangkan dowry sebagai kewajiban keluarga istri terhadap persiapan pernikahan anak gadisnya yang biasanya dibebankan kepada (keluarga) calon suami seperti yang lumrah terjadi di suku sasak dan bugis.

Secara doktrinal, dowry, walaupun tidak dapat dilacak akar ajarannya dalam hukum Islam, secara mapan sudah menjadi satu tradisi (pranata sosial) yang begitu melembaga di komunitas muslim. Di komunitas sasak, dower biasanya (kecuali untuk kelas bangsawan) jumlahnya relatif kecil, tetapi jumlah dowry juga dapat berlipat ganda, jauh melebihi jumlah dower. Dalam kerangka pemikirin Fiqh, mahar harus disebut jenis dan jumlahnya, sedangkan

dowry tidak wajib diberikan dan dikatakan pada saat akad nikah. Dowry dapat

dalam bentuk property seperti pakaian, uang, perhiasan yang oleh keluarga pengantin perempuan harus disediakan.

Menurut Esposito, dalam Women in Muslim Family Law. Secara teoritis, dowry dimiliki oleh pengantin perempuan, namun dalam prakteknya,

dowry sering diserahkan kembali kepada suami guna persiapan hidup

berumah-tangga terutama dalam kasus pernikahan melalui lembaga perjodohan.19 Pada masyarakat muslim India dan bajapuik Pariaman Sumatera

18

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 4

19

Noryamin Aini, Mahar Dalam Konteks Sosial-Budaya Muslim, (Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai), KHAZANAH: MajalahIlmiah Keagamaan dan Kemasyarakat, Vol . 1/No. 6, h. 4

59

Barat, dowry disiapkan dan diberikan keluarga mempelai perempuan, dan jumlahnya dapat sangat memberatkan (excessive dowry). Tradisi excessive

dowry sampai sekarang masih umum dipraktekkan di anak benua Asia Selatan.

Reformasi hukum di India dan Pakistan menurut pelacakan Esposito belum menyentuh tradisi ini secara subtansial, tetapi baru sebatas meluruskan pasal-pasal khusus yang menegaskan bahwa mahar dan dowry merupakan pemilikan istri.

Di sisi lain, trend mahar secara empiris mengalami pergeseran, seperti dari uang atau benda yang bernilai praktis ke sesuatu yang bernuansakan simbol keagamaan dan penampilan. Dulu dalam masyarakat Jawa seperti yang dituturkan Hildred Greertz, orangtua sering mengunakan mahar dan momentum pernikahan anak sebagai kesempatan untuk unjuk status sosial kepada khalayak ramai. Untuk tujuan revalidasi status sosial tadi, orangtua sering merayakan pernikahan anak gadisnya secara meriah. Biaya untuk perayaan tersebut tidak jarang dibebankan kepada calon mempelai lelaki dalam bentuk maskawin. Seiring dengan trend romantisisme dan

re-spiritualisasi pernikahan sebagai institusi yang cenderung disakralkan, maka

tradisi mahar mengalami perubahan; mahar tidak lagi dipersepsikan secara material, tetapi lebih dipahami dan ditempatkan pada posisi simbolik penampilan dan kesucian serta ketulusan hubungan laki-laki perempuan yang akan menikah. Karenanya, benda-benda (terutama cincin, kalung, permata, dan jenis perhiasan lainnya) yang dapat menyimbolisasikan gengsi penampilan dan ketulusan tersebut akan cenderung dijadikan alternatif mahar. Sementara itu,

alat shalat dan Al-Qur’an lebih dipahami sebagai simbol-simbol keagamaan yang diharapkan dapat melanggengkan pernikahan.

Dari gambaran teoretis di atas terlihat bahwa institusi mahar tidak sebatas aspek hukum per se, tetapi erat kaitannya dengan variabel-variabel sosial-kultural terutama yang menyangkut status sosial. Status merupakan indeks tentang keberadaan tingkat sosial seseorang. Dalam kajian sosiologis, indikator status sosial yang terpenting adalah pekerjaan, pendidikan dan penghasilan. Konsep status sosial yang akan diterapkan dalam studi ini hanya mencakup pekerjaan dan pendidikan, karena data tentang penghasilan tidak tersedia dalam buku besar data base pernikahan di Kecamatan Amunisi Tengah, HSU, Kalimantan Selatan.

Pada masyarakat tertentu seperti masyarakat Jawa dan juga Banjar, mahar dan perilaku pernikahan erat kaitannya dengan status marital seseorang. Sudah menjadi opini publik bahwa predikat janda adalah sebuah “aib sosial”, stigma kecuali bagi sejumlah komunitas Sunda yang mendiami sebagian wilayah Indramayu, Jawa Barat. Dalam konteks status marital ini, mahar untuk janda relatif kecil, dan pernikahan mereka umumnya dilakukan pada malam hari dengan persiapan walimah dan selamatan (aruh, bhs. Banjar) yang umumnya sangat sederhana. Oleh sebab itu, besaran mahar akan sangat ditentukan oleh status marital calon pengantin. Di sisi lain ada kecendurangan bahwa mahar di kalangan kaum terpelajar bergeser ke dalam bentuk perangkat alat ibadah seperti alat shalat dan kitab suci al-Qur’an, dan simbol-simbol keagamaan lainnya. Satu hal lain yang juga lumrah ditemukan adalah bahwa

61

mahar selain berupa uang juga tidak jarang berbentuk perhiasan emas. Masyarakat betawi dan sunda dalam tradisinya sangat mempertahankan kebiasaan perhiasaan sebagai mahar.20

C. Konsep Mahar dalam CLD KHI

Ketika ada tawaran pemikiran Islam yang berbeda dengan pemahaman umum masyarakat yang sudah mapan selalu menuai kontroversi: ada yang mendukung, ada yang menolak,21 dan ada juga yang mendukung dengan revisi. Contohnya adalah tawaran pembaruan hukum keluarga Islam dari CLD KHI pada tahun 2004. Sejak diskusi peluncuran naskah CLD KHI pada 4 Oktober 2004 di Jakarta, kontroversi mulai terjadi. Di mana letak ketidaktepatan salah satu pasal yang membahas tentang mahar yang digunakan CLD KHI dalam mengkritisi KHI.

Cara pandang CLD KHI ini sungguh berlebihan. Pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya, dianggap oleh sementara pemikir moderen sebagai suatu cara untuk menunjukkan kedigdayaan laki-laki (suami) dihadapan perempuan (istri). Malah dikatakan bahwa dengan mahar ini terdapat anggapan di alam bawah sadar suami bahwa ia telah membeli (alat kelamin, vagina) istrinya, sehingga dengan itu suami dapat memperlakukan istrinya semaunya. Untuk itu mereka menawarkan konsep bahwa mahar itu

20

Noryamin Aini, Mahar dan Status Sosial di Masyarakat Muslim Kalideres, Jakarta, Laporan Penelitian, (Jakarta: Pusat Penelitian, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999).

21 Ma rzuki Wa hid , “C o unte r Le g a l Dra ft KHI Da la m Pe rsp e ktif Po litik Hukum Ind o ne sia” artikel diakses pada tanggal 13 Maret 2010 dari http://docstoc.com/COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-(CLD-KHI)

tidak selalu harus dari calon suami kepada calon istri, tetapi bisa juga sebaliknya, dari calon istri kepada calon suami.

Pendapat ini seakan akan membawa kita semua kembali ke zaman dahulu kala sebelum Islam datang, dimana perempuan merupakan hak milik laki-laki, apakah itu ayah, saudara laki-laki, atau suaminya.22 Zaman dimana mahar dan nafkah dianggap sebagai harga jual dan harga beli. Zaman itu telah lama berlalu dan ditinggalkan. Islam datang mengangkat derajat kaum perempuan. Islam telah menghapuskan adat kebiasan jahiliyah dalam hal mahar. Mahar dalam Islam bukanlah harga jual dan beli, tetapi sebagai simbol, pertanda, untuk menunjukkan kesungguhan hati seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Dan hal ini juga sekaligus mempertegas bahwa dalam urusan cinta, alam telah memberikan peran yang tidak sama kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dipihak yang aktif dan mengejar, sedangkan perempuan dipihak yang pasif dengan segala daya tariknya. Mahar yang diberikan ini menjadi hak penuh perempuan, bukan walinya. Ini menunjukkan bahwa sistem mahar dalam Islam memberikan pengakuan terhadap hak memiliki harta bagi perempuan dan kemerdekaan dalam bidang ekonomi. Dalam Islam, mahar adalah suatu pemberian atau hadiah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya disebabkan akad di awal pernikahan. Allah berfirman: “Dan berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu

nikahi – sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS.An-Nisa’ 4: 4). Ayat

22 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia

Perspektif Teologi” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri

http://komnasperempuan.or.id/ perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd

63

ini setidaknya menetapkan empat hal pokok yang sangat mendasar menyangkut mahar ini, yaitu: Pertama, perintah yang ditujukan kepada suami untuk memberikan mahar kepada istrinya, yang terdapat dalam ayat di atas adalah perintah wajib, karena kata “aatuu” adalah fi’il amar, dan hukum asal dari amar ini adalah untuk wajib. Karena itu, mahar wajib diberikan oleh suami kepada istri yang telah dinikahinya. Ini telah merupakan ijma kaum muslimin. Namun demikian, mahar tidaklah termasuk rukun, ataupun syarat perkawinan.23 tetapi, merupakan salah satu dampak dari terjadinya perkawinan. Kedua, mahar disebut sebagai shaduqaat, bentuk jamak dari

shaduqah yang terambil dari akar kata shadaq, yang berarti “kebenaran”.

Dengan demikian mahar adalah tanda atau bukti dari cinta kasih, keikhlasan dan kesungguhan hati sang suami untuk menikah dan menanggung kehidupan rumah-tangga. Jadi dapat dikatakan bahwa mahar itu adalah tanda kesungguhan dan keikhlasan jiwa sang suami untuk menikahi istrinya. Artinya, mahar bukanlah dimaksudkan untuk pembelian atau ganti rugi, seperti yang dipahami oleh orang yang tidak setuju dengan konsep mahar dalam Islam yang diwajibkan kepada laki-laki dan menjadi hak perempuan Ketiga, pemakaian kata hunna pada shaduqaatihinna dalam ayat ini menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak milik penuh istri, bukan hak ayah, ibu atau walinya yang lain, sebagai ganti rugi membesarkan anak perempuannya. Di samping itu mahar bukan pula merupakan upah atas pekerjaan perempuan

23 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia

Perspektif Teologi” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri

http://komnasperempuan.or.id/ perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd

melayani suami, mengurus rumah-tangga dan memelihara anak. Hal ini juga dikuatkan oleh ujung ayat yang menyatakan: ”Kemudian jika mereka

menyerahkan kepadamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka

makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

akibatnya”. (QS. An-Nisa’4:4). Dengan ini juga dapat dipahami bahwa mahar

itu diberikan pihak laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon istri) dan bukan sebaliknya Keempat, kata nihlatan, berarti: dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan. Artinya bahwa mahar itu tidak mengandung maksud lain, kecuali pemberian atau hadiah yang diberikan secara sukarela.

Di samping itu, kata nihlatan juga dipakai dengan arti agama dan pandangan hidup. Dengan ini dapat dipahami bahwa suami memberikan mahar ini karena kepatuhannya kepada agama yang menjadi tuntunan hidupnya. Dan oleh agama Islam, mahar ditetapkan sebagai salah satu kewajiban suami kepada istrinya.24

Di sisi lain, ketentuan mahar adalah merupakan salah satu bentuk pengakuan Islam terhadap hak ekonomi, hak memiliki, hak menguasai dan mengurus harta kepada perempuan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Islam tiada yang berhak terhadap harta seorang perempuan kecuali dirinya sendiri, tidak suaminya, ayahnya, saudaranya, atau siapapun juga. Hak ini telah diberikan oleh Islam sejak 14 abad yang silam, sementara orang Eropa baru memberikan kebebasan ekonomi kepada perempuan satu abad yang lalu,

24 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teologi” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri

http://komnasperempuan.or.id/ perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd

65

setelah muncul dan derasnya tuntutan emansipasi oleh gerakan feminisme.25 Kecuali ayat di atas ada sejumlah ayat dalam Al Qur’an yang menegaskan bahwa mahar adalah milik penuh perempuan dan bukan milik siapapun selain dirinya, misalnya, QS. An-Nisa’ (4):20, 21 dan 34. Hal ini mempertegas persamaan laki-laki dan perempuan dalam pemilikan dan pengaturan hak milik. Selain itu, ketentuan mahar ini diatur untuk menghilangkan sifat mendominasi dan sifat memiliki oleh laki-laki terhadap perempuan, dan sebaliknya menumbuhkan rasa kasih sayang, saling menghargai, kebersamaan dan kesederajatan. Mahar diberikan karena dorongan perasaan kebaikan, kelemah-lembutan dan kasih sayang dari laki-laki kepada perempuan yang dijadikannya istri, yang dengan itu perempuan menjadi tersanjung, sehingga akan timbul rasa sayang dan penghargaan. Karena itu nilai moral dari mahar jauh lebih tinggi dari nilai materinya.

Karena itulah kiranya Rasulullah SAW menyatakan bahwa:

Sesungguhnya perkawinan yang besar berkahnya adalah yang paling murah

maharnya”. Pada riwayat lain dikemukakan: “Perempuan yang baik ialah

yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik

akhlaknya. Sedangkan perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya”. Dan karena ini pulalah, maka mahar itu tidak harus selalu berbentuk uang atau barang, dan kalaupun barang

25 Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia Perspektif Teologi” Artike l d ia kse s ta ng g a l 13 Ma re t 2010 d a ri

http://komnasperempuan.or.id/ perjalanan-perumusan-kebijakan-hukum_keluarga_perspektif teologis_isnawati-rais_ muhamadiyah-aisyiyah.pd

tidak ditentukan besaran atau jumlahnya, hanya tergantung kepada kemampuan suami.

Dari semua penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa, tidak ada yang perlu diragukan lagi oleh umat Islam tentang pembebanan mahar kepada laki-laki dan bukan kepada perempuan. Karena dilihat dari sisi dalil sebagai landasan hukum dan hikmah yang terkandung dari pembebanan itu, maka memang aturan itu seharusnya demikian. Itulah aturan yang cocok dengan hukum alam dan fitrah manusia. Dengan demikian aturan yang terdapat dalam UU Perkawinan dan Kompilasi sudah sejalan dengan nash dan ajaran Islam.26

Untuk lebih jelasnya lagi, ada baiknya dibahas secara jelas mengenai maskawin tentang CLD KHI dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti lain dari maskawin yaitu mahar. Maskawin adalah (1) “pemberian pihak pengantin laki-laki (misal emas, barang, kitab suci) kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah, dapat diberikan secara kontan ataupun secara hutang”.

Tujuan pemberian barang serupa mahar menurut hukum Adat yang dijamin pasal 16 CLD KHI, apabila dihubungkan dengan prinsip-prinsip perkawinan yang dianut CLD KHI yang tidak melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang non-Islam, berarti pemberian benda-benda haram menurut ajaran Islam tetapi dinilai mengandung makna magis, kosmis dan

26

Isnawati Rais, ”Perjalanan Perumusan Kebijakan Hukum Keluarga di Indonesia

Dokumen terkait