• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep mahar dalam conter legal draf kompilasi hukum islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep mahar dalam conter legal draf kompilasi hukum islam"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

(C LD KHI) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Hi)

Oleh :

AZWAR ANAS NIM : 105044201444

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

¯2Ù{´



­G¡‹+݉ƒo

¯2lµƒo

Syukur alhamdulilah atas ridha, rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif

Hidayatullah, Jakarta.

Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita,

Nabi Muhammad SAW, suri tauladan yang telah meletakkan dasar Syariah Islam

dalam kehidupan demi kemaslahatan seluruh umat manusia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebanyak-banyaknya atas segala bantuan, dorongan dan bimbingan yang ditujukan

kepada penulis sehingga selesai skripsi ini.

Untuk itu, patut kiranya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. H. M.Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Kamarusdiana, S.Ag., MH,

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA., pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu, tenaga, pengarahan, dan bimbingan selama penyusunan

skripsi

4. Segenap Dosen Prodi Ahwal Syakhshiyyah, khususnya pada konsentrasi

(3)

v

5. Segenap jajaran karyawan akademik Fakultas dan Universitas berikut jajaran

karyawan Perpustakaan Fakultas dan Universitas.

6. Orangtua tercinta: Ayahanda Nasrun Rohim dan Ibunda Nurlela yang selalu

melimpakan perhatian, kasih sayang, serta doa dan cinta yang tak terhingga,

yang selalu memotivasi penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat setia dan Kawan-kawan seperjuangan AKI Angkatan 2005

yang telah banyak membantu dan memotivasi Penulis.

8. Serta pihak- pihak lain yang memberikan bantuan yang tidak mungkin

disebutkan satu- persatu.

Akhirnya, Penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih terlampau jauh

dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis

terima dengan besar hati.

Harapan penulis semoga karya yang sederhana ini dapat memberikan

manfaat yang besar bagi para pihak. Seiring dengan itu semoga aoral kebaikan

yang telah membantu, memperoleh balasan dari Allah swt, Amiin.

Billahit taufiq wal hidayah

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Jakarta, 01 April 2010

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan seperangkat aturan yang diwahyukan kepada Nabi

Muhammad SAW. Dalam aturan yang diterima oleh Nabi Muhammad ada

pula peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan hubungan

dengan Allah. Islam sangat memperhatikan kedudukan sesama manusia, baik

laki-laki maupun perempuan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan hukum

Islam mengenai ikatan kekeluargaan adalah pernikahan.

Pernikahan sebagai bagian dalam al-ahwal asy-syakhshiyyah

merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena

pada saat mereka sampai tahap kedewasaan akan muncul perjalanan ikatan

lawan jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah mawaddah dan rahmah.

Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidzan untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 1

Dengan adanya dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, karena itu

suatu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan

tercapainya apa yang menjadi tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya keluarga

sakinah, mawaddah, dan rahmah, namun seringkali terjadinya sesuatu tidak

diinginkan terutama perempuan, maka Islam sangat memperhatikan

kedudukan seorang perempuan dengan memberikan haknya, di antaranya

1 Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Peradilan Agama, 1992), pasal 2

(5)

adalah hak menerima mahar. Mahar hanya diberikan calon suami kepada calon

istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat

dengannya. Orang lain tidak boleh menjamahnya apalagi mengunakannya

meskipun suaminya sendiri, kecuali dengan kerelaan istri.2

Karena mahar adalah hak istri yang diterima dari suami, pihak suami

memberikannya dengan sukarela tanpa mengharap imbalan, sebagai

pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan

keluarganya.3 Mahar merupakan simbol untuk menghormati dan

membahagiakan pihak istri, karena menjadi sesuatu keharusan suami untuk

memberikan mahar kepada istrinya dari sebuah ikatan perkawinan istri

mempunyai hak-hak dari suaminya dari sifat materiil dan moril. Karena mahar

merupakan syarat sah nikah yang wajib diberikan suami. Nabi Muhammad

SAW menyuruh kepada suami agar berupaya semaksimal mungkin untuk

mencari harta yang dia punya dalam bentuk apapun agar dapat dijadikan

mahar bagi istrinya walaupun hanya cincin dari besi namun perlu diingat,

Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada kaum wanita agar

mempermudah maharnya, karena meringankan mahar itu hukumnya adalah

sunnah.

Indonesia sendiri telah mengatur tentang mahar bagi seseorang yang

hendak melakukan perkawinan, sebagaimana telah diatur pada pasal 30

Kompilasi Hukum Islam tentang mahar yang menyatakan bahwa “calon

2

Abdurahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 85

3 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan

(6)

3

mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang

jumlah, bentuk dan jenisnya disepakatin oleh kedua belah pihak”.4 Penentuan

syaratnya mahar ditentukan dalam pasal 31 sampai pasal 38 Kompilasi Hukum

Islam.

Hal ini sejalan dengan prinsip yang ada dalam hukum Islam mengenai

mahar yaitu Islam sangat memperhatikan kedudukan perempuan dengan

memberikan haknya, di antaranya hak menerima mahar. Mahar hanya

diberikan calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau

siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh

menjamaknya apalagi mengunakannya meskipun suaminnya sendiri, kecuali

dengan kerelaan istri.5 Dewasa ini, ada sebuah isu menarik mengenai rencana

formulasikan materi muatan Kompilasi Hukum Islam dengan pendekatan

kesetaraan gender yang dikontruksikan dalam bentuk Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), antara lain.

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, menurut penulis cukup

menarik untuk diangkat menjadi bahan utama skripsi terlebih lagi penulis

memfokuskanya pada konsep mahar. Konsep mahar pada pasal 16 (CLD KHI)

yang menyatakan “bahwa calon suami dan isteri harus memberikan mahar

kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat”.6 Penulis

menganggap bahwa permasalahan di atas cukup menarik untuk dikaji dan

4 Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, pasal 30 5

Abdurahman Ghozali, Fiqih Munakat, h. 85

6

(7)

diteliti karena beberapa alasan: pertama, penulis setelah melakukan studi

review beryakinan bahwa kasus yang akan diteliti sangatlah berbeda dengan

penelitian yang telah di lakukan. Kedua untuk mengetahui latar belakang dan

konsep mahar dalam CLD KHI. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa

permasalahan yang akan diteliti layak untuk dilakukan. Penulis bermaksud

mengangkat permasalahan tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul :

Konsep Mahar Dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam

(CLD KHI)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai mahar sangatlah luas, oleh karena itu, untuk

memperjelas penulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya pada

persoalan mahar dalam Kompilasi Hukum Islam dan (CLD KHI).

2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang, penulis dapat merumuskan bahwa

seharusnya mahar diberikan laki-laki kepada perempuan. Seperti yang

tertulis dalam pasal 30 Kompilasi Hukum Islam (KHI).7 Akan tetapi, pada

kenyataannya yang terjadi dalam (CLD KHI) perempuan boleh

memberikan mahar kepada laki-laki. Hal inilah yang menyebabkan penulis

tertarik untuk membahasnya. Adapun rumusan masalah dapat dirinci dalam

beberapa pertanyaan penelitian tersebut:

7

(8)

5

a. Apa latar belakang pembentukan konsep mahar dalam CLD KHI?

b. Bagaimana konsep mahar dalam Counter Legal Draft ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui latar belakang pembentukan Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui konsep mahar dalam Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam.

2. Manfaat penelitian

a. Memberikan garis tegas perbedaan Kompilasi Hukum Islam dan

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam terutama dalam konsep

mahar

b. Memperkaya khazanah keilmuan yang terutama dalam menyediakan

bahan tentang penelitian mahar.

D. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan 1. Metode dan Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

hukum normatif, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan

mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan

dalam penulisan skripsi ini diaplikasikan model pendekatan kualitatif,

yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.8

8

(9)

2. Sumber Data

Untuk memenuhi data seperti yang disinggung di atas, maka

diperlukan sumber primer dan skunder.

Sumber primer sebagai pokok dalam studi analisis ini adalah

Counter Legal Draft Kompilasi Hukun Islam CLD KHI. Terutama

mengenai masalah mahar

Sedangkan sumber sekunder sebagai sumber pendukung adalah

dengan jalan studi kepustakaan dengan meneliti beberapa dokumen yang

berhubungan dengan judul yang penulis ajukan yang terdiri dari Al

Quran, Hadits, kitab-kitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Peraturan lainnya yang dapat

mendukung skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai

dengan variabel yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah library research.

4. Pedoman Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku "Pedoman

Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2007".

E. Review Kepustakaan

Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan

(10)

7

karena itu, untuk menjaga keorisinilan penelitian ini, penulis telah melakukan

review kepustakaan terlebih dahulu. Sejauh ini pengamatan penulis belum ada

skripsi yang membahas tentang Counter Legal Draft KHI terkait dengan

konsep mahar, walaupun sebelumnya CLD KHI secara global sempat dibahas

oleh Tohirin mengenai CLD KHI. Tetapi yang dilakukan oleh penulis adalah

mengkhususkan pembahasan hanya pada lingkup mahar dalam CLD KHI saja.

Ada beberapa skripsi yang menarik untuk dikaji ulang mengenai CLD KHI di

dalamnya terdapat mahar.

Pengaruh feminisme liberal terhadap Counter Legal Draft Kompilasi

Hukum Islam (CLD KHI)” yang ditulis oleh Tohirin (102044125024) Prodi

Ahwal Syakhsiyyah tahun 2002 sebanyak 141 halaman, skripsi ini berisi

tentang pengertian gender, konsep kesetaraan gender, pengertian feminisme,

sejarah feminisme dan aliran-aliran feminisme, seks dan pengaruhnya gerakan

feminisme terhadap keluarga barat.

Urgensi mahar dan problematikanya dalam perkawinan Islam” yang

ditulis oleh Wahyu Supriadi Prodi Peradilan Islam tahun 2005. Skripsi ini

berisi tentang pandangan Islam tentang mahar dan konsep mahar dalam Islam

serta kedudukan mahar dalam perkawinan.

Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih

menekankan kepada CLD KHI

”Perspektif mahar dalam hukum Islam dan hukum adat bugis” yang

ditulis Ahmad Syahri Prodi SAS. Skripsi ini hanya membahas tentang mahar

(11)

mahar serta tujuan pembagian mahar dan skripsi ini juga membahas maka

menurut hukum adat bugis dan sebab tentang dasar hukum mahar dalam

hukum adat bugis dan sebab-sebab maharnya makanya dalam perkawinan

hukum adat bugis.

Perbedaan skripsi ini lebih menekankan kepada mahar dalam hukum

islam dan adat bugis sedangkan kajian penulis tentang perspektif mahar dalam

CLD KHI

”Konsep mahar menurut empat imam madzhab” yang ditulis oleh Eva

Fatimah Prodi PMH tahun 2004 sebanyak 68 halaman. Skripsi ini hanya

membahas tentang mahar menurut imam mazhab yaitu mahar menurut Imam

Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Dan

skripsi ini juga membahas tentang syarat-syarat diwajibkannya mahar,

macam-macam dan hikmahnya pemberian mahar.

Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih

menekankan pada kajian mahar menurut empat mazhab sedangkan

pembahasan adalah mengenai mahar menurut CLD KHI

Konsep mahar menurut enakmen undang-undang keluarga Islam

pahang malaysia dan kompilasi hukum Islam di Indonesia dalam pandangan

hukum Islam” yang ditulis oleh Nurul Sa’adah Binti Samsuri (106043103737)

Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih 2008. Skripsi ini membahas tentang

mahar menurut enakmen UU keluarga Islam pahang dan membahas mahar

(12)

9

perbandingan mengenai mahar menurut enakmen UU keluarga Islam pahang

dan Kompilasi Hukum Islam.

Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih

menekankan pada kajian mahar menurut enakamen sedangkan pembahasan

skripsi penulis fokus terhadap konsep mahar dalam CLD KHI

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya ke dalam lima bab, yaitu:

BAB PERTAMA

Berisi tentang pendahuluan yang memuat latar belakangpembahasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,

review kepustakaan, dan sistematika penulisan.

BAB KEDUA

Berisi kajian teoretis tentang mahar yang meliputi pengertian mahar, dasar

hukum mahar, syarat mahar, bentuk dan kadar mahar, dan macam-macam

mahar.

BAB KETIGA

Berisi tentang deskripsi umum (CLD KHI) yang memuat latarbelakang

pembentukan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, faktor-faktor

lahirnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, sistematika dan

pendekatan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, deskripsi mahar

dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam

(13)

Berisi tentang analisa konsepsi mahar dalam Counter Legal Draft Kompilasi

Hukum Islam (suatu analisa kritis, analisa penulis).

BAB KELIMA

Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran serta akan dilengkapi

(14)

BAB II

KAJIAN TEORETIS TENTANG MAHAR

A. Pengertian Mahar

Secara etimologis, kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan

termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni mahran

ا

ًﺮ

ْﻬ

atau kata

kerja, yakni fi’il dari mahara-yamharu-mahran ,

ا

ًﺮ

ْﻬ

-

ْﻬ

-

lalu

dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni

ْﻬ

ا

, sedangkan pemakaian

katanya disebut (mahar perempuan )

.

أة

ْﺮ

ْا

ة

ْﻬ

Artinya ( membayar mahar )

ﺎَﻬَﻟ

ًﺮْﻬَﻣ

ا atau (memberinya mahar ).1

ا

ًﺮ

ْﻬ

ه

ﺎ ْ أ

dan kini sudah

diindonesiakan dengan kata yang sama yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan emas, maka mahar diidentikkan dengan maskawin.

Di dalam bahasa syarak istilah mahar biasa disebut:2

,

ْ

ْا

و

ْ

ا

و

قا

ا

وْا

ْﺟ

و

ْا

و

ْا

ْﺮ

,

و

ْا

ءﺎ

yang kesemuanya mempunyai satu pengertian

yaitu pemberian yang penuh kerelaan.3

Sedangkan menurut terminologis mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya4, atau

suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik

1

Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid 2, h. 889

2

Beni Ahmad Saebani, “Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No.1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya),” (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 93

3

Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 97

4

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 105

(15)

dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan

sebagainya).5

Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah–olah perempuan yang

hendak dinikahi telah dibeli seperti barang, pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan

yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan. Sayyid Sabiq mengatakan

bahwa salah satu usaha Islam ialah mesti memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak memegang urusannya.6 Sebab pada

zaman jahiliyah, hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat

Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak

perempuan lainnya sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak waris menerima wasiat.

5

M Abdul Mujjeb et.al, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 84. lihat juga Zakiah Daradjat et.al, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: dana bhakti wakaf, 1995), h. 83. pula H. Abdurahman, KompilasiHukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insane Pers, 1991), cet.ke-2, h.113

6

(16)

13

B. Dasar Hukum Mahar

Dasar hukum mahar telah digariskan al-Qur’an dan Hadis. Dalil dalam ayat al-Qur’an adalah firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat : 4

ْﻃ

ْنﺈ

،ًﺔ ْ

ﻬ ﺎ ﺪﺻ

ءﺎﺴ ا

اْﻮ اءو

ْﻮ ﻜ

ﺎًﺴْ

ْ

ءْ ﺷ

ْ

ْ ﻜ

ﺎًﺌْﺮ

ﺎًﺌْ ه

)

ءﺎﺴ ا

:

4

(

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)

yang sedap lagi baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa ayat: 4)

Adapun dalil hadis yang dijadikan dasar hukum mahar, di antaranya yaitu :

a. Hadis yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi dalam suatu kisah panjang dalam bentuk hadis muttafaq ‘alaih:

(17)

Artinya: “Dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi RA, dia berkata, “Suatu ketika seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW, seraya berkata, ‘wahai Rasuullah! Aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu, Lalu beliau memandang perempuan itu dengan penuh

perhatian, kemudian menundukan kepalanya. Setelah perempuan itu

mengerti bahwa beliau tidak ingin menikahnya, maka ia duduk kemudian salah seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah! Jika engkau tidak ingin menikahi perempuan itu. Maka nikahkanlah dia dengan saya, ‘Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu sebagai maskawin ? laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, saya tidak punya, wahai Rasulallah !” Rasulullah SAW berkata, “Pergilah kepada keluargamu lalu carilah apakah ada sesuatu yang bisa kamu jadikan sebagai maskawin” laki-laki itu kemudian pergi dan kembali lagi, dia berkata, “Demi Allah, aku tidak menemukan sesuatu untuk mas kawin “Rasulullah SAW berkata, carilah meskipun hanya berupa cincin besi “Laki-laki itu pergi lagi, lalu kembali seraya berkata, “Demi Allah ya Rasulullah ! saya tidk menemukan sesuatupun walaupun sebuah cincin besi tetapi saya hanya memiliki kain sarung ini (kata sahal: dia tidak memiliki

7Muhammad Nashiruddin Al- Albani, Mukhtashar Sahih Muslim,cet.ke-1, (Jakarta: Pustaka

(18)

15

selendang), separunya bisa aku berikan kepada wanita itu sebagai mas kawin. “Rasulullah SAW bertanya, “bagaimana kamu bisa menggunakan kain sarungmu itu ? jika kamu memakainya maka perempuan tiu tidak bisa memakainya, dan jik dia memakainya maka kamu tidak bisa memakainya, “Laki-laki itu duduk. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya. Ketika dia datang, maka rasulullah SAW bertanya, “apa yang kamu hafal dari qur’an ini ?, “dia menjawab, aku hafal surat ini dan dia menghitung-hitungnya. Lalu Rasulullah SAW berkata, “dapatkah kamu menghafalnya di luar kepala ? dia berkata, ya “kemudian Rasulullah SAW berkata “pergilah, sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan apa yang kamu hafal dari al-qur’an. (HR Muslim)”.

b.Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi:

لﺎ

سﺎ

ْا

و

:

ﷲا

لْﻮ ر

لﺎ

ﺔ ﻃﺎ

جوﺰ

:

لﺎ

،ﺎًﺌْﺷ

ﺎﻬ ْ ا

لﺎ

ءْ ﺷ

ىﺪْ

:

ْا

ﻚ ْرد

ْﺄ

)

ﺻو

ﻰ ﺎﺴ ا

دواد

ﻮ أ

اور

آﺎ ا

(

8

AArtinya:“Dari Ibnu Abbas R.A beliau berkata; tatkala mengawini Fatimah R.A, maka rasul bersabda kepadanya: berilah Fatimah itu sesuatu,. Ali menjawab: saya tidak mempunyai sesuatu, beliau bertanya: mana baju besi Hutamiyyahmu?” (HR. Abu Daud dan Nasa’I dan dinilai shahih oleh Al-Hakim)”.

b. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi:

ﺮْﺧ

و

ْ

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﷲا

لْﻮ ر

لﺎ

لﺎ

ْ

ﷲا

ﺿر

سﺎ

ْا

ْ و

اًرْﻮﻬ

ﻬ ﺧْرأو

ﺎًهْﻮﺟو

ﻬ ﺴْ أ

ءﺎﺴ ا

)

اور

ﻬ ا

(

Artinya: “Dari ibnu Abbas r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW,

Sebaik- baiknya wanita (istri adalah yang tercantik wajahnya dan

termurah maharnya” . (HR. Baihaqi).9

8

Muhammad Ibnu Ismail As-San’ani, Subul as-Salam, (Beirut: Dar al—Fikr. t.th), Juz 3, h. 221

9

(19)

C. Syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:10

a. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.

b. Harta/bendanya berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, Akan tetapi

walaupun mahar itu sedikit namun mempunyai nilai maka mahar tersebut tetap sah.

c. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya, tidak sah mahar dengan

khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. d. Barangnya bukan ghasab, ghasab artinya mengambil barang milik orang

lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak, memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

e. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya.

f. Dapat diserahkan pada waktu akad atau waktu yang dijanjikan, dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya pada waktu diperlukan, barang

yang tidak dapat diserahkan tidak dapat dijadikan mahar, misalkan burung yang terbang di udara.

10

(20)

17

D. Bentuk dan Kadar Mahar

Pada umumnya mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga lainnya, namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam

al-Qur’an dan demikian pula dalam hadis Nabi saw.11

Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan al-Qur’an

sebagai mahar sebagaimana terdapat dalam hadis dari Sahal bin Sa’adi dalam bentuk muttafaq ‘alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:

لﺎ

ذﺎ

ا

ْا

ْﺮ

نﺁ

لﺎ

رْﻮ

ة

آ

و

ا

ةرْﻮ

آ

ﺬا

،

د

ه

.

لﺎ

ْﺮ

ؤ

ه

ْ

ْﻬ

ْ

لﺎ

ْ

،

لﺎ

:

اْذ

ه

ْ

ْﺪ

ْﻜ

ْا

ْﺮ

نﺁ

.

12

Artinya: “Nabi berkata:”apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur’an?”ia menjawab: “ya. Surat ini, sambil menghitungnya?”. Nabi berkata: “kamu hafal surat-surat itu di luar kepala? “ dia menjawab: “ya”.nabi berkata: “pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan al-Qur’an”.

Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu

itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekan Sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Hal ini terdapat dalam

hadis dari Anas ra. yang muttfaq ‘alaih ucapan Anas:

ﻚ ﺎ

أ

بﺎ

ا

ﺷو

ﺎﺛ

دﺎ

ﺎ ﺛﺪ

ﺎ ﺛﺪ

:

و

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﷲا

لﻮ ر

نأ

ﺔ ﺻ

أ

ﺎﻬ اﺪﺻ

ﺎﻬ

ﺟو

13 11

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h.100

12Muhammad Nashiruddin Al- Albani, Mukhtashar Sahih Muslim,cet.ke-1, (Jakarta: Pustaka

(21)

Artinya: “Qutaibah bin Said dari Hamad dari Sabiq dan Syu’eb Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah memerdekakan Sofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya)”.

Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Imam Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari

kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat

dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya

mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat

emas dan perak.14

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada

lagi yang mengatakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini, kata Ibnu Rusyd, ada dua hal, yaitu:15

1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti maupun banyak, seperti halnya

13Maktabah Syamila, Al-Bukhari: Shahih Bukhari, (Mesir, Al-Misykat), h. 1956, Maktabah

Syamila, Al-Muslim: Shahih Muslim, Mesir, Al-Misykat), h.146

14

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz 2, h. 386

15

(22)

19

dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada

ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya. Maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya

larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah.

2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti

pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuanya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi saw, ”carilah walaupun

hanya cincin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai

batasan terendahnya. Karena jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.16 Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang batas

minimalnya. Syafi’i. Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar.

E. Macam-macam Mahar

Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mitsil (sepadan ).

a. Mahar musamma

Mahar musamma yaitu mahar sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya

16

(23)

pada waktu akad nikah.17 Ulama fikih sepakat bahwa dalam

pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila: 1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT

berfirman:

ْ

هاﺪْ إ

ْ ْ اءو

جْوز

نﺎﻜ

جْوز

لاﺪْ ْ ا

ْدرأ

ْنإو

اوﺬﺧْﺄ

اًرﺎ

ﺎًْ

ﺎً ْﺛإو

ﺎًﺎ ْﻬ

ْوﺬﺧْﺄ أ

ﺎًﺌْﺷ

ْ

)

ءﺎﺴ ا

:

20

(

Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”.

2) Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan

sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata istrinya janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampuran, hanya

wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT:

اْﻮﺿﺮْ

ْوأ

هْﻮﺴ

ْ

ءﺎﺴ ا

ْ ﻃ

ْنإ

ْ ﻜْ

حﺎ ﺟ

ًﺔﻀْﺮ

ﺎً

فْوﺮْ ْﺎ

ﺎً ﺎ

رﺪ

ﺮ ْ ْا

رﺪ

ْﻮ ْا

هْﻮ و

ْ ﺴْ ْا

)

ةﺮ ا

:

236

(

Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan

17

(24)

21

suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.

b. Mahar Mitsil (sepadan )

Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat

status sosial, kecantikan sebagainya.18 Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi

pernikahahn, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi dan anak perempuan bibi). Apabila ukuran tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajatnya

dengan dia.

Mahar mitsil juga dalam keadaan sebagai berikut:

1) Apabila tidak terjadi mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

2) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak sah disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah SWT:

18

(25)

ْ

ًﺔﻀْﺮ

ْ ْﺿﺮ

ْﺪ و

هْﻮﺴ

ْنأ

ْ

ْ

هْﻮ ْ ﻃ

ْنإو

ﺮ ﺎ

بﺮْأ

اْﻮ ْ

ْنأو

حﺎﻜ ا

ةﺪْ

ىﺬ ا

اْﻮ ْ

ْوأ

نْﻮ ْ

ْنأ

إ

ْ ْﺿ

ﺮْ

نْﻮ ْ

ﷲا

نإ

ْ ﻜ ْ

ْﻀ ْا

اﻮﺴْ

و

ىﻮْ

)

ةﺮ ا

:

237

(

Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah

(26)

BAB III

DESKRIPSI UMUM COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD KHI)

A. Latar Belakang dan Sejarah Penyusunan CLD KHI

Latar belakang digagasnya CLD KHI bermula dari fenomena

semakin maraknya tuntutan formalisasi syariat Islam secara kaffah di negeri ini.1 Tuntunan ini menurut CLD KHI, selain tidak sejalan dengan sistem

hukum nasional, juga akan membuat diskriminasi terhadap warga negara non-muslim. formalisasi syariat Islam di negeri ini sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Kompilasi Hukum Islam adalah representasi dari syariat Islam

yang meskipun eksistensinya baru berupa Inpres, namun terlihat sangat efektif dan menjadi rujukan Pengadilan Agama di setiap level.

KHI sendiri adalah sebuah produk hukum yang tidak netral. KHI sebagaimana hukum-hukum lainnya tentu saja dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu. Ia tidak bisa terlepas dari ranah sosiologis yang

melatarbelakanginya. Ia tidak bebas kuasa. KHI adalah produk kekuasaan pada satu waktu dengan berbagai situasi, Kondisi, bahkan pretensi yang

mengitarinya.2 Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak maju mengharuskan peninjuan ulang atas

1 Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum

Indonesia”, artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari http//www.docstoc.com/.../COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-(CLD-KHI)

2 Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum

Indonesia”, artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari http//www.docstoc.com/.../COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-(CLD-KHI)

(27)

rumusan KHI. Untuk itu, Tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen

Agama RI pimpinan Siti Musdah Mulia, berinisiatif untuk mengkaji draft KHI lama yang menurut mereka sangat problematis. Pada arus ini, kelahiran CLD KHI menjadi suatu keniscayaan dalam lanskap hukum dan dinamika sosial.

Adapun kajian mengenai KHI ini melewat beberapa tahap: (a) studi kepustakaan dengan mengumpulkan seluruh hasil penelitian terdahulu

mengenai KHI, baik dalam bentuk tesis, disertasi dan laporan ilmiah lainnya;3 (b) melakukan survei lapangan di lima wilayah yang dikenal gigih memperjuangkan formalisasi syariat Islam, yakni Aceh, Sumatera Barat,

Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat; (c) melakukan kajian perbandingan dengan hukum keluarga Islam yang dipakai di beberapa

Negara Islam, seperti Tunisia, Irak, Syiria, Yordan, dan Mesir; (d) melakukan kajian kritis terhadap literatur fikih klasik menyangkut masalah perkawinan, waris, dan wakaf; (e) merumuskan kesimpulan penelitian dalam bahasa

hukum dengan mengambil format Counter Legal Draft. Pilihan format itu dimaksudkan agar hasil penelitian ini segera menarik perhatian publik; (f)

melakukan lima lokakarya untuk verifikasi (uji sahih) terhadap draft awal, khususnya menyangkut argumentasi teologis, hukum, sosiologis dan politis terhadap draft awal tersebut. Hal ini dilakukan beberapa kali dengan

mengundang sejumlah pakar agama, hukum, sosiologis, politik, dan pakar

3 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

(28)

25

gender; (g) melakukan revisi draft berdasarkan input dan masukan dari

beberapa lokakarya; (h) melaunching Counter Legal Draft kepada publik untuk diketahui secara luas dengan maksud memberikan bekal dan pencerahan kepada publik agar mereka dapat mendorong dan mengkritisi

perubahan KHI; dan (i) merevisi kembali hal-hal yang sulit diterima publik, antaranya soal perjanjian perkawinan.4

B. Faktor-faktor Pendorong Lahirnya CLD

Setidaknya ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI dan akhirnya melahirkan rumusan CLD. Pertama, tahun 2001

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengumumkan suatu kebijakan nasional guna penghapusan kekerasan

terhadap perempuan yang terkenal dengan Zero Tolerance Policy dalam bentuk RAN PKTP (Rencana Aksi Nasional Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Kebijakan Zero Tolerance Policy Ini intinya

menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak mentolerir segala bentuk kekerasan, sekecil apapun. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi

Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan sekaligus merespon Deklarasi PBB tentang

Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 20 Desember 1994. Salah satu poin penting dalam RAN-PKTP tersebut adalah penghapusan kekerasan

4 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

(29)

terhadap perempuan dalam aspek sosio-kultural atau sosial budaya melalui

upaya revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI).5 Mengapa.

KHI? Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang diidentifikasi sebagai akar terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan atau dipandang

menyumbang bagi timbulnya perilaku kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu

institusi yang diharapkan melakukan perubahan itu adalah Departemen Agama. Sebagai respon terhadap komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan dan mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan

sebagaimana termaktub dalam RAN PKTP tersebut Tim Pokja PUG Departemen Agama mengambil prakarsa melakukan kajian kritis terhadap

KHI.6

Kedua, sejumlah penelitian baik dalam bentuk tesis maupun disertasi

ataupun dalam bentuk kajian ilmiah lainnya menyimpulkan bahwa KHI

dalam dirinya mengandung sejumlah persoalan, di antaranya sejumlah pasal yang ada berseberangan dengan produk-produk hukum nasional, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Perempuan, UU Tentang Hak-hak Anak (2000); UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya

perlindungan dan penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan

5 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 147

6Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

(30)

27

Amandemen UUD 1945.7 Demikian juga KHI berseberangan dengan UU

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat tanpa membedakan laki dan perempuan dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan KDRT.8 Adapun di tingkat internasional, telah disepakati sejumlah instrument penegakan dan perlindungan HAM yang sangat tegas

mendorong penguatan terhadap hak asasi perempuan, seperti Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian di tingkat regional, negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi

Konferensi Islam) merumuskan Deklarasi Kairo (1990). Konvensi Hak Anak (1990) yang diratifikasi melalui Kepres Tahun 2000 mengenai Hak Anak

yang isinya menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun; dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (1999). Keseluruhan konvensi tersebut menekankan pentingnya penghapusan diskriminasi atas dasar ras. Kebangsaan, gender,

status anak, dan agama.9

Ketiga, Direktorat Peradilan Agama tahun 2003 (sebelum hijrah ke

Mahkamah Agung) mengusulkan RUU Terapan Bidang Perkawinan untuk

menggantikan posisi hukum perkawinan dalam KHI. Selain mengusulkan

7 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 14

8 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 148

9 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

(31)

perubahan status hukumnya, yaitu dari sekedar Inpres menjadi

undang-undang, juga mengusulkan penambahan pasal-pasal baru mengenai sanksi bagi setiap pelanggaran, misalnya pelanggaran dalam hal pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya di institusi

yang berwenang akan dikenai sanksi dalam bentuk hukum penjara dan denda. Pasalnya, data yang tercatat di DEPAG, menunjukkan sekitar 48%

perkawinan yang berlangsung di masyarakat tidak tercatatkan (unregistered). Hal ini sangat memprihatinkan, sebab tiadanya pencatatan jelas merugikan hak-hak istri dan anak.10

Keempat, adanya tuntunan formalisasi syariat Islam di beberapa

daerah, seperti Sumatera Barat, Sulawesi, Cianjur, Madura. Upaya

formalisasi syariat Islam tersebut terkesan belum memiliki konsep yang jelas mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Untuk menjawab konsep kebutuhan tersebut salah satu alternatif adalah menawarkan penggunaan KHI

baru yang lebih memperhatikan nilai-nilai Islam yang esensial, seperti keadilan, kemaslahatan, kesetaraan dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai dan kearifan budaya lokal.11

Kelima, membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family

law) di berbagai negeri Muslim, seperti Tunisia, Yordan, Syria, Irak, dan

10 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 148

11 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

(32)

29

Mesir. Negeri-negeri Muslim tersebut telah berulang kali memperbarui

hukum keluarga mereka.12

Keenam, berdasarkan hasil survei di empat wilayah; Sumatera Barat

dan Nusa Tenggara Barat ditemukan kenyataan bahwa mayoritas responden

yang terdiri atas hakim agama, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan KHI. Alasan yang dikemukakan dalam mendukung

pernyataan tersebut antara lain: (1) KHI sudah 19 tahun diberlakukan dan belum pernah dilakukan evaluasi kritis terhadapnya, (2) KHI perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti serta mengikat dan dapat dipakai sebagai

kodifikasi hukum, dan (3) Materi-materi hukum yang terdapat dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praktis

masyarakat Indonesia yang semakin kompleks.13 C. Sistematika dan Pendekatan CLD KHI

Sistematika dirumuskannya CLD KHI adalah untuk mencapai

cita-cita luhur, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan demokratis. CLD KHI dicanangkan sebagai rumusan baru syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter genuine kebudayaan

Indonesia, sebagai alternatif dari tuntunan formalisasi syariat Islam yang

kaffah pada satu sisi dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam

12 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 149

13

(33)

state Indonesia pada sisi yang lain.14 Realitas keindonesiaan yang pluralistik

mengharuskan satu alas pijak dan mata baca yang tepat dalam CLD KHI. Dasar atau pendekatan dirumuskannya CLD KHI adalah gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.15 Keempat pendekatan inilah yang

menjadi pisau bedah lahirnya CLD KHI.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan keempat pendekatan ini

sangat urgen untuk diketahui, mengingat sebuah pendekatan dan cara pandang juga tidak lahir dari ruang hampa yang bebas nilai. Dengan mengetahui keempat pendekatan ini berarti telah mengetahui pula pisau

bedah yang menjadi indung semanah lahirnya CLD KHI. Hal ini akan menjadi titik terang untuk mengetahui apa sesungguhannya CLD KHI dan

dari “orang tua” macam apa ia dilahirkan. Pada akhirnya, saat CLD KHI akan diterapkan (baca; dikawinkan) dengan realitas sosiologis keindonesiaan, khususnya masyarakat muslim, pertanyaan yang harus dijawab adalah,

“sekufukah” CLD KHI dengan masyarakat Islam Indonesia. Untuk lebih jelasnya, masing-masing pendekatan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pendekatan gender. konsep mengenai kesetaraan gender di

sana-sini ada perbedaan. Paling tidak ada empat macam cara pandang mengenai kesetaraan gender. Pertama, kesetaraan lot atau keseteraan

kuantitatif (50/50). Kedua, kesetaraan dalam kesempatan (equality of

14

Tim Pembaruan KHI. Pembaruan Hukum Islam, h. 10

15

(34)

31

opportunity). Ketiga, kesetaraan dalam kesempatan dilengkapi dengan

kesetaraan dalam hal pemenuhan alat untuk mengaksesnya (

means-regerding-equality). Keempat, kesetaraan dalam kesempatan, pemilikan alat,

dan pengutamaan bagi yang lemah (affirmative action)16. Kelima, kesetaraan

personal (person-regarding equality).17 Keenam, kesetaraan personal dan prinsip keterpasangan. Keenam macam konsep kesetaraan ini sebenarnya

dapat dikelompokkan menjadi dua: kesetaraan kuantitas dan kesetaraaan kualitas berorientasi pada terciptanya masyarakat egaliter tanpa struktur, dimana di dalamnya terjadi penyebaran fungsinya dan kedudukan yang sama

antara laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaaan baik diranah publik maupun domestik. Cita-cita ini berasal dari asumsi bahwa laki-laki dan

perempuan adalah makhluk yang sama dalam hal, aspirasi, keinginan, dan kebutuhannya. Perbedaan-perbedaan bawaan (biologis) sama sekali tidak mempengaruhi sikap, tindakan apalagi pembagian sektor kerja antara

laki-laki dan perempuan, kesetaraan yang termasuk ke dalam tipe ini adalah: kesetaraan kesempatan (equality of opportunity), kesetaraan pemilikan alat (means regarding equality), dan kesetaraan dengan (affirmative action ).

Ada sedikit perbedaan antara kesetaraan kesempatan dan dua kesetaraan yang disebut terakhir (baca: kesetaraan pemilikan alat/means

16

Istilah affirmative action tentu tidak memadai untuk mewadahi konsep yang terakhir ini. Penyebutan istilah ini hanya untuk memudahkan saja. Sebenarnya, kedua konsep terakhir,

means regarding-equality dan affirmative action, merupakan sarana pelengkap dari konsep pertama, equality of opportunity. Affirmative bisa berupa pemberian pelayanan yang lebih, penurunan standar, dan sebagainya untuk membuat perempuan dapat menduduki garis hierarki yang sama dengan laki-laki

17

(35)

regarding equality dan kesetaraan dengan pengutamaan (affermative action).

Kedua kesetaraan ini sebenarnya mengakui perbedaan-perbedaan yang unik antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja tetap tidak mengakui bahwa semua itu berimplikasi pada fungsi-fungsi sosial.

Ketiga konsep kesetaraan ini sama-sama menuding faktor budaya yang menyebabkan laki-laki dan perempuan terspesifikasi ke dalam wilayah

kerja dan stereotip tertentu. Senada dengan Pernyataan Plato dalam Republiknya- sebagaimana dikutip Murtadha Muthahhari- bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama, dilatih dengan hal yang sama.

Hanya saja ia bersyukur telah diciptakan sebagai lelaki, karena dibalik itu ia juga mengakui bahwa menurutnya perempuan punya bekal potensi yang lebih

rendah dibanding laki-laki.18 Yang pasti, semua konsep kesetaraan ini mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu kesamaan lot antara laki-laki dan perempuan terutama dalam dunia kerja. Kesetaraan kualitas berorientasi pada

terciptanya keseimbangan (balancing) peran (bukan percapaian kuota 50/50) antara laki-laki dan perempuan. Pengakuan atas perbedaan-perbedaan spesifik baik dalm penciptaan biologis, karakter psikis, aspirasi, kemauan,

dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan menjadi landasan utama dalam kesetaraan ini. Baik laki-laki maupun perempuan jelas merupakan dua jenis

sosok makhluk yang berbeda baik dari segi fisik maupun karakter psikis yang termasuk ke dalam kesetaraan jenis ini adalah “kesetaraan personal” dan

18

(36)

33

“kesetaraan personal dengan prinsip keterpasangan”. Penghargaan atas

keunikan laki-laki dan perempuan sangat ditekankan dalam konsep ini.19 Namun, sekali lagi, ada sedikit perbedaan antara yang pertama (baca: kesetaraan personal) dan yang terakhir (baca: kesetaraan personal dengan

prinsip keterpasangan). Melihat asal mulanya, konsep yang pertama sebenarnya tidak secara spesifik membicarakan perbedaan yang unik serta

dampaknya terhadap peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, kesetaraan tersebut mengakui keunikan individu tanpa adanya polarisasi yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Prinsip yang dipakai

dalam teori pertama adalah prinsip hak asasi dan kebebasan individu. Sedangkan kesetaraan yang kedua menggariskan adanya perbedaan yang

spesifik dalam hal tugas pokok terciptanya laki-laki dan perempuan baik secara biologis, psikologis, maupun dalam peran sosial prinsip satu sama lain saling membutuhkan dan saling lengkap-melengkapi (simbiosis mutualisme).

Selain itu, kesetaraan yang kedua mengacu pada prinsip komunalisme, yaitu pengutamaan kesatuan masyarakat di mana setiap individu baik laki-laki maupun perempuan mempunyai fungsi dan tempat masing-masing serta

punya kewajiban untuk bersama-sama menjaga harmoni integralitasi masyarakat tersebut (kesatuan dalam keragaman). Kesetaraan terakhir inilah

yang menjadi prinsip Islam.

Kedua, prinsip kesetaraan gender (al-‘musawah al-jinsiyyah). Gender merupakan entitas yang berbeda. Jika gender secara umum digunakan untuk

(37)

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya.

Artinya, gender bukan kategori biologis yang berkaitan dengan hitungan kromosom, pola genetik, struktur genital, melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya.20

Jelas, menurut pertanyaan ini, gender semata-mata konstruksi sosial. Inilah kesetaraan kuantitas/kesetaraan lot.

Ketiga, penegakan HAM (Iqamat al-Huquq al-Insaniyyah). Hak asasi

manusia dimaksudkan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia karena terbitkan kepadanya. Hak asasi mengungkapkan segi-segi kemanusiaan yang

perlu dilindungi dan dijamin dalam rangka memartabatkan dan menghormati eksistensi manusia secara utuh. Oleh karena itu, manusia dengan martabatnya

merupakan ciptaan Allah SWT, maka dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia dimiliki manusia karena diberikan oleh Allah SWT sendiri. Dengan demikian, hak asasi manusia secara otomatis akan dimiliki oleh setiap insan

di bumi ini.21

HAM yang dimaksud disini dapat dirunut akarnya dari Eropa, yaitu sejak lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris, Magna Charta

antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada

hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta

20

Tim Pembaruan KHI, Pembaruan Hukum Islam, h. 14

21

(38)

35

pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak

kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum.22

Sejak itu mulai dipraktikan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen. Jadi,

sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat

undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai simbol

belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnnya Bill of Rights di Inggris pada tahun

1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya bahwa manusia sama dimuka hukum (equality before the law).23 Adapun mengenai hal ini memperkuat dorongan timbulnya Negara hukum dan demokrasi, Bill of rights

melahirkan asas persamaan.

Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseeau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), motesquieu dengan Trias

Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dab Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak

dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya. Pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi

22Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel

diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http://humanrights.go.id/spt_sejarah.asp.

23Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel

(39)

melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakan tidak boleh ada

penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya

orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan

terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French

Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin

tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.24

Semua hak-hak ini, setelah Perang Dunia II, (sesudah Hitler

memusnahkan berjuta-juta manusia), dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Right yang dideklarasikan oleh

PBB pada tahun 1948.25 Dengan mengacu pada sejarah ini, maka tidak dapat dinafikan bahwa HAM Barat tak terlepas dari peradaban Barat secara umum

beserta epistimologi yang mendasarinya.26

24Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel

diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http://humanrights.go.id/spt_sejarah.asp.

25Roby widjaja “The Internasional and National History of Human Right” , artikel

diakses pada tanggal 27 Januari 2010, dari http://humanrights.go.id/spt_sejarah.asp.

26

(40)

37

Peradaban Barat adalah sekumpulan konsep (mafahim) tentang

kehidupan menurut ideologi Barat, yaitu kapitalisme. Peradaban ini telah mencengkeram dunia kira-kira sejak abad ke-18 hingga abad ke-21 saat ini, Taqiyuddin an-Nabhani (1953) dalam Nizham al-Islam menjelaskan, menurut

ada 3 (tiga ) ciri-ciri pokok peradaban Barat, yaitu: (1) berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan); (2) berstandar manfaat

(utilitarianisme/pragmatisme) dalam mengukur segala perbuatan manusia; dan (3) bersifat hedonis (mementingkan kenikmatan fisik) dalam memahami makna kebahagiaan.

Prinsip CLD KHI berikutnya adalah demokrasi, mengenai prinsip ini, CLD KHI menyebutkan:

“Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara mendasar bisa dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Artinya, pada dataran prinsipil tersebut antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan. Sejumlah konsep ajaran Islam yang dipandang sejalan dengan prinsip demokrasi adalah; pertama,

al-musawah (egalitarianism). Bahwa manusia memilki derajat dan posisi yang

setara di hadapan Allah. Kedua, al hurriyah ( kemer-dekaan). Ketiga,

al-ukhuwwah (persaudaraan). Keempat, al-‘adalah (keadilan) yang berintikan

pada pemenuhan hak asasi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat-negara. Kelima, al-syura (musyawarah). Bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Kiranya mekanisme penyusunan

(41)

sebuah Kompilasi Hukum Islam harus bersendikan kelima pokok ajaran tersebut”.27

Concern utama dari prinsip ini dalam KHI tidak lain adalah hak asasi

manusia (HAM). Apa yang terkandung dalam demokrasi sebenarnya adalah penghargaan atas nilai-nilai HAM. Hanya saja, demokrasi membicarakannya terkait dengan sebuah sistem pemerintahan. Secara simplistis dapat dikatakan

bahwa demokrasi adalah penghargaan pemerintah atas hak-hak dan kebebasan warganya. Demokrasi sering dikenal dengan prinsip: dari rakyat,

oleh rakyat, dan untuk rakyat atau kedaulatan di tangan rakyat. Pada mulanya, prinsip ini sangat tepat ketika melihat konteks munculnya demokrasi dengan latar belakang pemerintahan tiran sebagai penyebabnya.

Namun demikian, pada perjalanannya demokrasi seringkali dijadikan alat justifikasi atas kebebasan dan HAM. HAM dalam terminologi Barat

sebagaimana dijelaskan di atas dengan materialis-antroposentrisnya.28

Menurut Ali Yafie yang menolak adanya 7 konstruksi CLD KHI, yaitu:

1. Mengadaptasikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi. 2. Melalui dekonstruksi ajaran.

3. KHI Indonesia yang pluralis dan demokratis.

27

Tim Pembaruan KHI, Pembaruan Hukum Islam, h. 15

28

(42)

39

4. KHI dalam kerangka Hukum Nasional dan Hukum Internasional.29 5. Mengacu kepada prinsip dasar ajaran Islam yaitu pluralisme.

6. Problem metodologis (ushul fikih) membongkar kerangka bangunan (dekonstruksi) paradigma ushul fikih lama dan menciptakan ushul fikih alternatif.

7. Merekonstruksikan Hukum Islam (fikih) dewasa ini tidak cukup sekedar melakukan tafsiran ulang, akan tetapi harus melalui proses dekontruksi (pembongkaran).

Tujuh konstruksi masalah tersebut mengundang kita semua mencermatinya karena itulah kerangka pembaruan yang ditawarkan oleh naskah CLD-KHI. Wujud pembaruan tersebut dicermati dalam Prof. Huzaemah yang oleh beliau ditegaskan bahwa pembaruan yang demikian tidak mengikuti cara-cara dan kaidah-kaidah dalam penetapan hukum Islam dan berindikasi memenangkan prinsip-prinsip yang datang dari dunia Barat dan luar Islam.30

Titik tolak yang diinginkan naskah CLD KHI ialah mengadaptasikan (menyesuaikan) syariat Islam dengan kehidupan demokrasi yang tentunya berintikan liberalisme. Langkah-langkah demokrasi kehidupan selalu sejalan dengan liberalisasi kehidupan. Perlu kita ketahui globalisasi mengibarkan berada di belakang ekspansi demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan gender di bawah payung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam

29

Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), h. 70

30 Huzaemah Tahido Yanggo, Membendung Liberalisme, (Jakarta: Penerbit Republika,

(43)

kehidupan keluarga moderen yang liberal memang didorong kepada liberalisasi dan demokratisasi kehidupan keluarga dan hubungan laki-laki perempuan pada umumnya.

D. Deskripsi Mahar

Atas kerangka berfikir yang disebutkan diatas, tim CLD-KHI menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits dengan pendekatan kemaslahatan, kearifan lokal, maqashid al-syari’ah, dan akal publik. Ini

tercermin dari kaidah ushul fikih yang digunakan dalam merumuskan ketentuan hukum Islam. Meskipun demikian, tim CLD-KHI tetap menggali

hukum Islam dari khazanah intelektualisme klasik Islam (kitab kuning) dari berbagai madzhab fikih. Dengan demikian, semua ketentuan hukum Islam dalam CLD-KHI digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang

otoritatif, al-Qur’an dan al-Sunnah, serta khazanah intelektual klasik Islam (kitab kuning) melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan tradisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan pengalaman peradaban

masyarakat Muslim dan Barat di negara lain. 31

Perbedaan prinsipil antara nalar CLD-KHI dengan KHI-Inpres terletak

pada perspektif dan pendekatan yang digunakan serta lanskap yuridis pembentukan hukum yang dijadikan pijakan. Tim CLD-KHI secara terang-terangan menyebutkan bahwa perspektif yang digunakan dalam merumuskan

hukum keluarga Islam adalah keadilan gender, pluralisme, hak asasi manusia,

31Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum

Indonesia”,artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari

(44)

41

dan demokrasi.18 Menurutnya, “Pendekatan ini selain akan mengantarkan

Syari’at Islam menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, juga akan kompatibel dengan kehidupan demokrasi modern.”

Hasil penalaran tersebut kemudian “dibumikan” ke dalam lanskap ke

Indonesiaan, terutama konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini terkait dengan prinsip legislasi bahwa ketentuan hukum yang datang

kemudian tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum sebelumnya. Sebelum CLD-KHI dibuat, MPR telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.32 20 Substansi terpenting dari amandemen adalah menempatkan

demokrasi, kesetaraan, dan hak asasi manusia dalam posisi yang sangat strategis. Sejumlah UU penting juga telah ditetapkan, seperti UU Nomor 7

Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW (Convention on the Elimination of

All Forms of Discrimination Against Women, Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Perempuan), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tentang 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tentang 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCR (International

Covenant on Civil and Political Rights, Perjanjian Internasional mengenai Hak

Sipil dan Politik), UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR

(International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Perjanjian

Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Dalam kerangka

32Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum

Indonesia”,artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari

(45)

perundang-undangan inilah, rancangan hukum Islam versi CLD-KHI

diredaksikan dalam bentuk pasal dan ayat.33

Dalam CLD KHI, mahar diatur dalam Pasal 16 menawarkan: (1) Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya

sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. ;(2) jumlah, bentuk, dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai kemampuan pemberi.34

Pasal 18 “Mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan”.

Islam menjadikan mahar sebagai simbol penghormatan terhadap perempuan yang diangkat martabatnya sederajat dengan laki-laki. Akan tetapi, di masyarakat mahar mengalami distorsi makna, lebih banyak dimaknai

sebagai harga tubuh perempuan (price of the body) atau pembayaran harga vagina. Karenanya, jika seorang laki-laki telah memberikan mahar, dia lalu

mengklaim berhak memiliki tubuh perempuan tersebut dan berhak menyetubuhinya kapan saja sesuai keinginannya. Pemaknaan seperti itu bukan tanpa dasar, melainkan mengacu kepada pandangan fikih klasik. Buktinya,

definisi nikah dalam fikih klasik selalu diartikan dengan “akd li at-tamlik” (akad yang membolehkan kepemilikan atas tubuh perempuan). Untuk lebih

jelasnya lihat pengertian nikah di awal tulisan ini. Selain itu, persoalan mahar

33Marzuki Wahid, “Counter Legal Draft KHI Dalam Perspektif Politik Hukum

Indonesia”,artikel diakses pada tanggal 27 Januari 2010 dari

http//www.docstoc.com/.../COUNTER-LEGAL-DRAFT-KOMPILASI-HUKUM-ISLAM-(CLD-KHI)

34 Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

(46)

43

selalu dikaitkan dengan dukhul (bersenggama), misalnya jika kedua mempelai

bercerai sebelum dukhul maka suami hanya berhak memberikan setengah dari mahar yang telah ditetapkannya, dan sebaliknya jika telah dukhul suami wajib melunasi seluruhnya.35

Meskipun istilah mahar ini sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an, namun ditemukan beberapa kata yang menunjuk kepada pengertian mahar,

yakni ujrah (Q.S. An-Nisa’ , 25), shadaq (Q.S. An-Nisa’, 4), dan faridhah (Q.S.Al-Baqarah, 236-237). Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa mahar merupakan pemberian dari seorang suami kepada istrinya ketika akad

nikah berlangsung sebagai lambang kecintaan dan kasih sayang , juga simbol tanggung jawab serta ketulusan hati untuk melaksanakan amanah perkawinan

sesuai aturan agama. Lalu bagaimana pemberian mahar yang dipraktekkan Rasul? Sejumlah hadits menukilkan sebagai berikut:

ﺎ ﺛﺪ

رﺎ

ﺎ ﺛﺪ

ﺪ و

ﺮ ا

ىﺪﻬ

و

ﺮ ﺟ

اﻮ ﺎ

ﺎ ﺛﺪ

ﺔ ﺷ

ﺻﺎ

ﷲا

لﺎ

ﷲا

ﺔ ر

أ

نأ

ةأﺮ إ

ةراﺰ

ﺟوﺰ

لﺎ

لﻮ ر

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﷲا

و

ﺿرأ

ﻚﺴ

ﺎ و

؟

،

لﺎ

زﺎﺟﺄ

.

36

اور

ىﺬ ﺮ ا

35Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan

Perempuan Indonesia, Dalam Buku Sulistyowati Irianto (Ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, h. 159

36

(47)

Artinya:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep mahar berupa jasa, menurut Imam Syafi’i, membolehkan mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan sah dijadikan

Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟ i, jika suami pertama datang dan istrinya sudah menikah, maka nikahnya batal dan istri tetap menjadi hak suami yang

Mahar adalah suatu yang diberikan kepada seorang wanita berupa harta atau yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad, mahar merupakan hak-hak istri yang harus

Mazhab Malik berpendapat dalam mencukupi nafkah keluarga itu merupakan kewajiban ketiga dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada

Jika suami belum membayar apapun kepada wanita yanita yang ia nikahi, lalu ia mencaraiakannya sebelum melakukan pencampuran, maka ia harus.. membayar separuh mahar

Mahar merupakan pemberian dari calon mempelai pria kepada mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, sebagai bentuk kesungguhan

Tidak hanya mahar, namun dalam adat istiadat suku Banjar terdapat juga yang dikenal jujuran yaitu suatu pemberian yang diberikan oleh calon suami kepada pihak calon isteri yang akan

Dari hasil temuan yang peneliti lakukan di lapangan bahwa impelementasi pasal 32 kompilasi hukum Islam dalam praktek pemberian mahar terhadap calon mempelai wanita di Desa Lantung,