• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP MAHAR PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM (STUDI KRITIS TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT KHI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP MAHAR PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM (STUDI KRITIS TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT KHI)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP MAHAR PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM (STUDI KRITIS TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT

KHI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mendapat Gelar Sarjana Hukum (SH)

Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah)

Oleh:

DIANA INDAH LESTARI NIM. 1116.002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM ( AL-AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH) FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

TAHUN 2020 M/ 1441 H

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam disampaikan agar tercurah buat Nabi Muhammad SAW. Penulisan sripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Ibuk Dr. Ridha Ahida, M. Hum beserta Bapak-bapak Wakil Rektor, Bapak Dr. Asyari, M.Si, Bapak Dr. Novi Hendri, M.Ag, dan Bapak Dr. Miswardi, M.Hum, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis selama menjalani pendidikan di IAIN Bukittinggi.

2. Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag, beserta Bapak-bapak Wakil Dekan, Bapak Dr.

Noviardi, M.Ag, Bapak Dr. Busyro, M.Ag, dan Bapak Fajrul Wadi, S.Ag, M.Hum, serta Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam (AL-Ahwal Al-Syakhshiyyah), Bapak Dahyul Daipon, M.Ag, yang telah memfasilitasi penulis dalam menjalani pendidikan dan bimbingan skripsi ini.

3. Pembimbing Skripsi penulis, Bapak Dr. Arsal M.Ag, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini, serta orang tua penulis, Bapak Herman dan Ibu Yulisma, dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral.

4. Pimpinan beserta staf perpustakaan yang telah mengijinkan penulis untuk mengakses buku-buku dan referensi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(3)

ii

5. Seluruh pihak yang telah membantu, baik moril maupun materil, seperti teman-teman kuliah yang seperjuangan, dan siapa saja yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.

Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah).

Bukittinggi, 3 Juli 2020 Penulis

DIANA INDAH LESTARI NIM . 1116. 002

(4)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

ABSTRAK ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Penjelasan Judul ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 11

G. Metodologi Penelitian ... 13

H. Sistematika Penulisan Skripsi ... 15

BAB II KONSEP MAHAR A. Pengertian Mahar ... 16

B. Dasar Hukum di Syariatkan Mahar ... 18

C. Macam-macam Mahar dan bentuk mahar ... 22

D. Hikmah di Syariatkan Mahar ... 31

BAB III KAJIAN GENDER DAN KONSEP CLD-KHI A. Gender 1. Pengertian dan Sejarah Pembentuk Gender ... 34

(5)

iv

2. Gender menurut fiqih ... 40 3. Tujuan dibangkitkannya pengarusutamaan gender ... 42 B. Konsep CLD-KHI

1. Latar belakang pembentukan counter legal draft- KHI (CLD KHI Faktor- faktor lahirnya counter legal draft KHI ... 43 2. Rumusan mahar dalam counter legal draft KHI ... 47 BAB IV ANALISIS KRITIS TENTANG KONSEP MAHAR MENURUT CLD-

KHI

A. Analisis terhadap konsep mahar menurut CLD-KHI ... 51 B. Analisis terhadap penerapan konsep mahar menurut CLD-KHI

dalam perkawinan di Indonesia ... 70 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 82

DAFTAR KEPUSTAKAAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(6)

v ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: Konsep Mahar Pernikahan Dalam Hukum Islam (Studi Kritis Terhadap Konsep Mahar Dalam CLD-KHI). Skripsi ini ditulis oleh Diana Indah Lestari (NIM: 1116002) Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-syakhshiyah) Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi tahun 2020. Maksud judul di atas adalah untuk mengetahui bagaimana konsep mahar dalam CLD-KHI.

Motivasi penulis untuk meneliti masalah ini adalah bahwa mahar dalam fiqh klasik merupakan sesuatu yang wajib diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Hal ini disebabkan mahar itu wujud dari bentuk tanggung jawab dan kesiapan suami untuk mencari nafkah untuk isterinya nanti. Konsep ini kemudian terdapat perubahan dengan lahirnya rumusan baru dari Tim Pengarusutamaan Gender CLD-KHI, dalam konsep tersebut disebutkan bahwa calon suami dan istreri sama-sama berkewajiban untuk memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan adat kebiasaan. Ini dirumuskan oleh Tim CLD-KHI untuk kesetaraan laki-lak dan perempuan dalam hidup berumah tangga. Konsep ini lahir untuk mewujudkan inspirasi kaum wanita yang menuntut kesetaraan. Kehadiran konsep ini memunculkan pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat terutama jika dihubungkan dengan dinamika kehidupan sosial yang tentu saja tidak sama dengan ketika turun wahyu. Permasalahannya adalah apakah konsep mahar dapat bergeser terutama dalam pembaharuan hukum keluarga di Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sumber data yang diperoleh berupa sumber primer dan sekunder, berupa buku-buku fiqh munakahat dan kitab-kitab fiqh yang berhubungan dengan mahar. Data yang terkumpul akan di analisis dengan menggunakan metode berfikir Induktif, deduktif dan komparatif.

Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut; Pertama, Konsep mahar pernikahan menurut perumus CLD-KHI tidak saja menjadi kewajiban calon suami kepada calon isterinya, akan tetapi juga dapat menjadi kewajiban calon isteri kepada calon suaminya. Konsep ini dibangun dengan perimbangan prinsip keadilan, kesetaraan gender, demokrasi dan HAM, tanpa mempertimbangkan aspek bayani dan ta’lilinya mahar itu. Kedua, berdasarkan analisis bayani dan ta’lili mahar itu punya korelasi dengan keseriusan calon suami dan lebih dari itu wujud rasa tanggung jawab seorang laki-laki terhadap perempuan, terutama dalam hal nafkah. Dalam konteks pembaharuan hukum keluarga di Indonesia konsep mahar yang diusung oleh Tim CLD-KHI masih perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan untuk diterapkan, meskipun pola hidup dan adat istiadat di Indonesia berbeda dengan yang terjadi pada masa turun wahyu, seharusnya adat tersebut disesuaikan dengan semangat nas Al-qur’an dan sunnah.

(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.Allah SWT menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina.1

Di dalam ajaran Islam, untuk melahirkan keturunan yang baik itu maka harus diawali dengan sebuah akad pernikahan. Pernikahan dalam literatur fiqih disebut dengan dua kata, yaitu Nikah dan zawaj yang artinya pasangan atau jodoh.

Secara arti kata Nikah berarti bergabung (berhubungan). Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan melakukan istimta’, melakukan watak, mempergauli nya, mencium, memeluk dan lain-lain dengan lafal nikah, tazwij atau yang sama maknanya.

Al-Qur’an menggolongkan perkawinan sebagai perjanjian yang kuat atau miitsaqan gholidhansebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 21 :



1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003), hal. 85

(8)

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”2

Sesuai dengan penjelasan ayat di atas, manusia dianjurkan untuk melakukan sebuah ikatan perkawinan yang sesuai dengan Sunnah Rasul SAW, karena perkawinan merupakan salah satu sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat dan dengan melakukan perkawinan akan membuat jiwa seseorang merasa tenang dan tentram, di samping itu juga bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Islam juga mengatur tujuan pernikahan lebih dari itu dengan meletakkan hak-hak dan kewajiban bagi mereka. hak-hak dan kewajiban dalam defenisi diatas dimaksudkan ketetapan syari’at Islam yang tidak tunduk kepada persyaratan dua orang manusia yang sedang melaksanakan akad. Oleh karena itu, akad zawaj hendaknya berada di bawah aturan agama, agar terasa pengaruh kesuciannya sehingga mereka tunduk dan mematuhinya dengan hati lapang dan ridha.3

Dalam rangka melaksanakan ikatan perkawinan, masing-masing pihak baik suami maupun isteri memikul kewajiban yang menjadi hak pasangannya.

Sesuai dengan Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :



Artinya:.”...dan bagi Para wanita (isteri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”

2 Abd. Shomad, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 261

3 Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Amzah, 2011), hal. 37

(9)

Sesuai dengan ayat di atas, bahwa para perempuan memiliki hak yang menjadi kewajiban bagi para lelaki, begitu juga sebaliknya. ‘Urf juga membenarkan dan mengukuhkan adanya hak dan kewajiban bagi pasangan suami isteri. Salah satunya adalah mahar. Mahar merupakan kewajiban dalam setiap akad pernikahan, tidak penting apakah diberikan pada saat akad nikah atau setelah akad nikah.4

Mahar dalam bahasa Arab berasal dari kata al-mahrberarti sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isterinya ketika melangsungkan akad pernikahan.

sedangkan secara istilah, kata al-mahr adalah pemberian yang berhak diterima oleh seorang perempuan karena telah dinikahi atau disetubuhi.

Dalam Islam perempuan diberikan hak untuk mendapatkan mahar dari suaminya, dan tidak seorang punbisa mengambil maharnya kecuali atas izin dan kerelaan hatinya. Hal ini telah ditegaskan oleh Al-qur’an dan sunnah Nabi, baik melalui perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits yang artinya “ seorang perempuan memohon kepada Nabi SAW. agar berkenan menikahinya. Akan tetapi, beliau menolaknya, lalu menikahkannya dengan seorang sahabat yang hadir pada saat itu. Beliau kemudian berkata kepada sahabat tersebut “ pinanglah dia, meskipun dengan sebuah cincin dari besi”. (HR Al-Bukhari dan Muslim)5

Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada isterinya. Dasar

4 Safra, Fiqh Munakahat jilid 1, ( Bukittinggi : Press IAIN Bukittinggi), hal. 135

5 ‘Abdul Qhadir Mansur, Fiqh Wanita, (Tanggerang : ZAMAN, 2012), hal. 239-240

(10)

wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam Al-qur’an dan dalam hadits Nabi. Dalil Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 4 :



Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Walaupun mahar itu disepakati kedudukannya sebagai syarat sah perkawinan, namun sebagian ulama diantaranya ulama Zhahiriyah menyatakan tidak mestinya mahar tersebut disebutkan dan diserahkan ketika akad nikah itu berlangsung. Namun dalam masa ikatan perkawinan mahar itu harus diserahkan.6

Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, menjalankan semua urusan berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an dan sunnah dan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun demikian Indonesia telah mengalami beberapa kali pembaharuan hukum keluarga, di mulai dari dibentuknya rumusan RUU perkawinan, lahirnya UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, lahirnya Kompilasi Hukum Islam, dan lahirnya CLD- KHI.

Konsep mahar bagi seseorang yang hendak melakukan perkawinan, telah diatur dalam pasal 30 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang mahar yang menyatakan bahwa “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”.7

6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 85-87

7 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Pasal 30, (Bandung : Citra Umbara, 2011), hal. 237

(11)

Prinsip ini sejalan dengan hukum Islam. Islam sangat memperhatikan kedudukan perempuan dengan memberikan haknya, salah satunya adalah mahar.

Mahar hanya diberikan calon suami kepada calon isteri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamaknya apalagi menggunakannya meskipun suaminya sendiri, kecuali dengan kerelaan isteri. Mengenai hal ini, ada suatu bahasan menarik mengenai materi muatan Kompilasi Hukum Islam dengan pendekatan kesetaraan gender yang dikontruksikan dalam bentuk counter legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), salah satu bahasannya mengenai mahar. Mahar dalam CLD KHI dijelaskan dalam pasal 16 yang menyatakan “bahwa calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat”.8

Gender secara umum artinya perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria diberikan kelebihan oleh Allah SWT baik dari segi fisik maupun mental, sehingga pantas kaum pria disebut pemimpin bagi kaum wanita. Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing. Dengan demikian, pria dan wanita sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing.

Gender merupakan suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional

8 Marzuki Wahid, “Counter Legal Draff KHI Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia”, Artikel diakses tanggal 10 Desember 2019 dari http//docstoc. com/../ Counter Legal Draff- Kompilasi Hukum Islam

(12)

antara pria dengan wanita yang berkembang dalam masyarakat. Mengenai gender ini Tim CLD-KHI membentuk suatu pemikiran baru mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

CLD-KHI dalam sejarah politik hukum Indonesia merupakan tonggak pembaharuan hukum keluarga Islam pertama kali yang ditandai dengan pengundangan hukum perkawinan, UU No. 1 tahun 1974 pada paruh awal rezim Orde Baru. Tahun 2003, Departemen Agama RI mengajukan Rancangan UU Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai respon atas RUU HTPA, pada 4 Oktober 2004, kelompok kerja pengurus utama Gender Depag, RI (POKJA PUG Depag) meluncurkan Naskah Rumusan Hukum Islam yang disebut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang merupakan naskah tandingan atas KHI.9 Naskah ini menurut Team penyusunan CLD-KHI menawarkan sejumlah pemikiran pembaharuan hukum keluarga Islam yang disusun dengan RUU Hukum Perkawinan Islam (Pasal 116), RUU Hukum Kewarisan (Pasal 42), RUU Hukum Perwakafan Islam (Pasal 20). Dari 178 pasal, ada 23 point pembaharuan hukum Islam yang ditawarkan, di antaranya mengenai perkawinan bukan ibadah tetapi akad sosial kemanusiaan, pencatatan perkawinan oleh pemerintah adalah rukun perkawinan, perempuan bisa menikahkan diri sendiri dan bisa menjadi wali nikah, mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon isteri, poligami dilarang,

9 Mufidah, Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, ( Malang: UIN Maulana Press, 2010), hal. 86

(13)

perkawinan antar agama dibolehkan, isteri memiliki hak talak dan rujuk, serta hak dan kewajiban ]suami istri setara.10

Kerangka berfikir tim CLD-KHI dalam menafsirkan ayat-ayat Al- Qur’an dan Al-hadits menggunakan pendekatan kemaslahatan, kearifan local, maqashid syari’ah. Ini tercermin dari kaidah ushul fiqh yang digunakan dalam merumuskan ketentuan hukum Islam. Meskipun demikian tim CLD-KHI tetap menggali hukum Islam dari khazanah intelektualisme klasik Islam dari berbagai mazhab fiqh. Mengenai CLD-KHI, timbul kontroversi di tengah masyarakat, dimana masyarakat berfikiran pembaharuan hukum Islam yang dirumuskan dalam bentuk CLD-KHI merusak keyakinan umat Islam, karena apa yang dirumuskan itu bertentangan dengan Al-qur’an dan hadits dan sumber-sumber hukum Islam yang lain. Perumus merumuskan Al-qur’an berdasarkan logika atau ra’yu semata tanpa didasari ilmu keislaman seperti memahami ilmu bahasa Arab, asbabunnuzul ayat dan ilmu-ilmu lain dalam Al-qur’an.11

Counter Legal Draft adalah rumusan hukum Islam model baru disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang mana dalam Al-qur’an dan sunnah sangat menghormati hak-hak asasi manusia, mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan terutama di Indonesia.12

Dari uraian di atas, penulis menganggap bahwa permasalahan di atas cukup menarik untuk dikaji dan dibahas secara khusus penerapannya dalam hukum perkawinan di Indonesia, yang tertuang dalam sebuah karya ilmiah yang

10 Mufidah, Ibid

11 Asriati, Pembaharuan Hukum Islam dalam Terapan dan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hal. 23-39

12 Siti Musdah Mulia, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia), hal. 144

(14)

berbentuk skripsi dengan judul: “Konsep Mahar Pernikahan Dalam HukumIslam (Studi Kritis Terhadap Counter Legal Draft KHI)”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana pengarusutamaan gender dalam konsep mahar pada CLD-KHI ? 2. Bagaimana kemungkinan penerapan konsep mahar dalam CLD-KHI pada

hukum perkawinan di Indonesia?

C. Tujuan dan kegunaan Penelitian

Dari rumusan masalah ini maka tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengarusutamaan gender dalam konsep mahar padaCLD- KHI.

b. Untuk menggambarkan kemungkinan penerapan konsep mahar dalam CLD- KHI pada hukum perkawinan di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Sedangkan yang menjadi kegunaan pembahasan ini adalah:

a. Sebagai tambahan ilmu bagi penulis dalam memahami tentang konsep mahar dalam Islam

b. Untuk menjadi ilmu bagi masyarakat mengenai konsep mahar dalam Islam

(15)

c. Untuk menjadi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SH) di Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

D. Penjelasan Judul

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan kekeliruan bagi pembaca, serta untuk mempermudah memahami maksud dari judul penelitian ini, maka penulis akan memberikan penjelasan terhadap kata- kata ataupun istilah yang penting.

Konsep : Pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran.

Konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, atau buah pemikiran untuk menemukan atau menghasilkan (sesuatu yang tadinya belum ada atau diketahui), atau kesimpulan (sesudah mempertimbangkan, menyelidiki).13

Mahar : Pemberian wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, berupa uang atau barang yang diucapkan ketika dilangsungkan “Akad nikah” atau disebut juga maskawin. Tetapi didasarkan pada kemampuan pihak suami dooan kerelaan pihak istri.

13 Ensiklopedi Dunia Islam, ( Bandung : Mizan, 2001), hal. 1856

(16)

Dalam ijab kabul, mahar disebutkan tunai, bila disebutkan utang, maka pihak suami wajib membayarnya sebagaimana utang kepada orang lain.14

Pernikahan : Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.15

Islam : Kata Islam berasal dari akar arab s-l-m, yang artinya tunduk atau damai. Orang muslim adalah orang yang menyerah kepada kehendak atau hukum Allah, dan akibatnya kaum muslim yakin serta redha dengan dirinya dan Allah. Memeluk Islam berarti menjadi bagian dari umat beriman diseluruh dunia.

Studi Kritis : Kata studi dalam kamus bahasa Indonesia berarti penelitian ilmiah, kajian dan talaahan. Jadi dapat dipahami bahwa studi sama dengan sebuah penelitian.16

Kata kritis berarti berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Jadi studi kritis adalah suatu kajian dimana kita berusaha meneliti dan menjelaskan suatu kekeliruan yang terjadi di kehidupan sosial masyarakat.17

14 Ensiklopedi Indonesia, ( Jakarta : Midas Surya Grafindo), hal . 2089

15 Abdur Rahman Ghozali, Op.Cit, hal. 8

16 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 1530

17 Ensiklopedi Indonesia, Ibid, hal. 3025

(17)

CLD KHI : Adalah suatu gagasan baru yang dibuat secara sistematis yang isinya merupakan pembaharuan hukum dari Kompilasi Hukum Islam yang sudah diundang-undangkan oleh Pemerintah. CLD-KHI juga dikaji dari perspektif politik hukum di Indonesia sebagai suatu bahan untuk menghapus terjadinya kekerasan terhadap perempuan.18

E. Tinjauan Pustaka

Penulis telah melakukan tinjauan kepustakaan mengenai konsep mahar dalam Islam, namun penulis tidak menemukan hasil penelitian sebelumnya mengenai hal ini, hanya saja penulis menemukan tentang Studi Komperatif Terhadap Pendapat Imam Empat Mazhab Tentang Mahar, oleh Susi Asmira, Bp: 1111.026, Jurusan Al-Ahwal As-Syakshiyyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa: Imam Mazhab berbeda- beda dalam mengemukakan defenisi mahar, akan tetapi maksud dan tujuannya adalah sama yakni, mahar adalah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan karena adanya akad pernikahan atau persetubuhan (watha’), baik berupa harta maupun manfaat, sedangkan bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak.

Bahasan mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Mengutangkan Mahar (Studi kasus di Baringin Kecamatan Palembayan), oleh Rozi Srirahayu

18 Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Jawa Barat: Marja, 2014), Cet.

I, hal. 201

(18)

Wendira, Bp: 1111.028, Jurusan Al-Ahwal As-Syakshiyyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa: penyebab masyarakat mengutangkan mahar disebabkan oleh 3 faktor, yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap mahar, ting;/ginya permintaan dari pihak perempuan, dan pengaruh lingkungan. Adapun persepsi masyarakat Baringin terhadap utang mahar adalah mahar itu hanya berupa pemberian laki-laki terhadap perempuan dan mereka tidak mengetahui mahar itu merupakan syarat dalam pernikahan.

Penulis juga menemukan bahasan mengenai Kewarisan anak zina dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI), oleh Muhammad Yusuf, Bp: 1111.024, Jurusan Al-Ahwal As-Syakshiyyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap anak yang lahir dari perbuatan yang tidak dihalalkan dalam agama Islam dan hubungan di luar perkawinan yang tidak sah, hanya memiliki nasab dengan ibunya saja. Namun dalam CLD-KHI, berdasarkan asas pluralisme, nasionalisme dan kesetaraan gender, dari pasal-pasal yang akan dicetuskan membuat banyak kalangan yang menolaknya begitu juga dengan penulisnya sendiri yang tidak setuju CLD-KHI menjadi hukum di Indonesia.

Dari tinjaun pustaka yang penulis lakukan, penulis hanya menemukan dua pembahasan mengenai mahar dan satu pembahasan mengenai CLD-KHI, dan penulis tidak menemukan pembahasan yang serupa dengan apa yang penulis bahas.

(19)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian library research (penelitian pustaka ). Penelitian pustaka adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Jadi dalam hal ini yang penulis lakukan adalah dengan mengumpulkan buku- buku yang berkenaan dengan penelitian ini, kemudian mencatat dan mengolahnya berdasarkan pada data- data kepustakaan yang berkaitan pada pokok persoalan yang dibahas.

2. Sumber Data

Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka penulis mengklasifikasikan sumber data menjadi dua sumber data yaitu :

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang diteliti. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku Fiqh seperti: buku fiqh munakahat, kitab KHI Pasal 30 dan buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, yang berkaitan dengan persoalan yang akan dibahas oleh penulis.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang mendukung atau sebagai data tambahan bagi data primer. Sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah

(20)

buku- buku yang di dalamnya, berkaitan dengan konsep mahar dalam Islam, diantaranya :

a. Abd. Shomad, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum

Indonesia

b. ‘Abdul Qhadir Mansur, Buku Pintar Fiqh Wanita 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research ) yaitu dengan cara mengunjungi perpustakaan IAIN Bukittinggi. Teknik pengumpulan data dari buku tersebut ialah dengan cara membaca dan mempelajari buku- buku yang ada hubungannya dengan permasalahan yang penulis bahas dalam proposal ini. Setelah itu bahan- bahan yang terkumpul diklarifikasikan berdasarkan pokok- pokok pembahasan.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Untuk memperoleh data- data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode pengumpulan data hanya melalui dokumen tertulis berupa buku- buku umum maupun khusus, media cetak, media informasi dan data- data lain yang relavan dengan penelitian ini.

Dalam menganalisis data, peneliti memakai content analisis, yaitu suatu usaha mengumpulkan dan menyusun data dengan memusatkan pada dokumen karya tulis, kemudian diadakan analisis dan menafsirkan data tersebut. Analisis yang dimaksud adalah menyusun data- data yang diperoleh

(21)

secara keseluruhan, kemudian disimpulkan untuk ditarik menjadi sebuah temuan yang berupa wacana baru.

G.Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya ke dalam lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang memuat latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penelitian, tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teoritis, meliputi: pengertian mahar, dalil pensyariatan mahar, macam-macam mahar, hikmah disyariatkan nya mahar.

Bab III Kajian Gender dan Konsep CLD-KHI, yang memuat pengertian dan sejarah pembentukan gender, gender menurut fikih, tujuan dibangkitkannya pengarusutamaan gender, latar belakang pembentukan counter legal draft KHI, faktor-faktor lahirnya counter legal draft KHI, rumusan mahar dalam counter legal draft KHI.

Bab IV Analisis kritis konsep mahar menurut counter legal draft KHI yang memuat tentang: analisis terhadap konsep mahar menurut CLD-KHI, analisis terhadap penerapan konsep mahar menurut CLD-KHI dalam perkawinan di Indonesia.

Bab V Penutup, kesimpulan dan saran.

(22)

16 BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG MAHAR A. Pengertian Mahar

Secara umum pengertian mahar dapat ditinjau dari dua aspek yaitu secara etimologi dan terminologi.

a. Secara Bahasa (etimoligi)

Secara bahasa mahar adalah mufrad (tunggal) dari jamaknya yaitu muhuurun (رﻮﮭﻣ) atau disebut juga dengan al-sidaaqu (قاﺪﺼﻟا) yang berarti maskawin. Mahar memiliki istilah lain, diantaranya:19 , ٌﺮْﺟَأَو , ٌﺔَﻠْﺤِﻧ َو , ٌﺔَﻗْﺪِﺻ ْوَأ ٌقاَﺪِﺻ

ٌﻖِﺋ َﻶَﻋَو , ٌﺮْﻘَﻋ َو , ٌءﺎَﺒِﺣَو , ٌﺔَﻀْﯾِﺮَﻓَو. Beberapa nama tersebut menunjukkan pemberian khusus dari suami kepada isteri.

b. Secara Istilah (terminologi)

Menurut pendapat ulama, mahar dapat diartikan sebagai berikut:

1. Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefenisikan, bahwa mahar adalah:20

ِء ْطَﻮْﻟا ِوَأ ِحﺎَﻜﱢﻨﻟا ِﺪْﻘَﻌِﺑ ُةَأْﺮَﻤْﻟا ُﮫﱡﻘِﺤَﺘْﺴَﺗ ﺎَﻣ

“ Sesuatu yang menjadi hak atas isteri dengan sebab terjadinya akad nikah atau wata’”

2. Mazhab Syafi’i (sebagiannya) mendefenisikan mahar

. اًﺮْﮭَﻗ ِﻊْﻀِﺑ ُﺖْﯾِﻮْﻔَﺗ ْوَأ ِءﺎَطَو ْوَأ ِحﺎَﻜِﻨِﺑ َﺐِﺟُو ﺎَﻣ

19 Imam Abi Zakariya, Al-Majmua’ Jilid 18: ( Jedah, Saudi Arabia: Darul Fikri), hal. 3

20 Syekh Muhammad Amin (Hasyiyah Ibn ‘Abidin), Raddul Mukhtar ‘Ala Ad Durrul Mukhtar, ( Beirut: Dar ‘alam al-Kutub), hal. 230

(23)

“Sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan akibat akad nikah atau senggama dengan sesungguhnya.”21

3. Menurut Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal al-Syakhshiyah mahar diartikan sebagai berikut:22

ْوَا ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ِجاَوَﺰﻟا ِﺪْﻘَﻋ ِﺐَﺒَﺴِﺑ ِةَأْﺮَﻤْﻠِﻟ ِﻞُﺟﱠﺮﻟا َﻰﻠَﻋ ُﺐِﺠَﯾ ْيِﺬﱠﻟا ُلﺎَﻤْﻟَا : ﺎًﻋْﺮَﺷ ُﺮْﮭَﻤْﻟَا ﺎَﮭَﻟ ِﮫِﺌَطَو ِﺐَﺒَﺴِﺑ

"Mahar menurut syara’ adalah harta yang diwajibkan atas seorang laki- laki untuk seorang perempuan, karena akad pernikahan atau karena wata’.”

4. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh As-Sunnah menjelaskan bahwa mahar adalah:23

ﺎَﮭِﺟْوَز ﻰَﻠَﻋ ِﺔَﺟْوﱠﺰِﻠﻟ ُﺔَﺒِﺟاَﻮْﻟا ُقْﻮُﻘُﺤﻟا

Hak-hak isteri yang wajib ditunaikan oleh suaminya”

Quraish Shihab memperjelas makna saduqat. Maskawin dinamai dengan saduqat diperkuat oleh lanjutan ayat, yakni nihlah. Kata ini berarti pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan . Ia juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati suami, yang diberikannya tanpa mengharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntutan agama dan pandangan hidupnya.24

21 Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, Penerjemah : Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011 ), hal. 251

22 Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, (Kairo. Mesir: Dar al-Fikr, 1957), hal.

215

23 Sayyid Sabiq, Fikih As-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar al- Fikr, 2006), hal. 532

24 M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume, 2, 416.

(24)

Dalam konteks fikih Indonesia juga telah dirumuskan konsep mahar, tepatnya dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 30 dinyatakan: “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.25

Berdasarkan pengertian di atas, dalam hal ini penulis memahami bahwa mahar adalah pemberian wajib bagi suami dengan penuh kerelaan sebagai simbol penghormatan kepada isteri dikarenakan adanya ikatan pernikahan, dengan adanya mahar ini menunjukkan keseriusan dan kesungguhan suami untuk membina rumah tangga dengan isterinya.

B. Dasar Hukum Mahar

Mahar sebagai sebuah kewajiban dalam perkawinan Islam, maka kedudukannya tentu memiliki landasan hukum yang menjadi dasar yang kuat sebagai pegangan calon suami dari pihak yang memiliki kewajiban membayarkan mahar kepada calon isteri. Mengenai mahar Allah telah jelaskan dalam:

a. Al-qur’an

Dalam Al-qur’an banyak menjelaskan tentang mahar, meskipun tidak secara langsung menyebutkan kata mahar, seperti kata تﺎﻗﺪﺻ dan ﺮﺟأ.

Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S An-Nisa’ ayat 4:P25F26

25 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Focus Media, 2005), hal. 6

26 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan Al-Jumanatul ‘Ali, (Bandung, CV.

J-ART, 2005), hal. 77

(25)































Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Dalam kitab tafsir Al- Maraghi dijelaskan bahwa ayat di atas membicarakan tentang mahar yang diberikan suami, dan merupakan hak isteri, tidak boleh bagi suami untuk mengambilnya. Suami juga tidak boleh memintanya dengan alasan mengancam si isteri dan membuat isteri ketakutan dan terpaksa memberikannya.27

Dalam surat An-Nisa’ di atas dijelaskan bahwa lafal shaduqatun(تﺎﻗﺪﺻ) berasal dari kata قﺪﺻ yang berarti kejujuran, ketulusan, persahabatan dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh dan bukan untuk menunjukkan status sosial seseorang. Lafal shaduqatun(تﺎﻗﺪﺻ) ini menunjukkan bahwa hubungan antara suami isteri didasarkan atas kejujuran dan ketulusan. Dengan demikian mahar yang diberikan oleh suami kepada isteri adalah hasil dari ketulusan dan cinta.

Karena alasan itulah mahar disebutkan dengan Shaduqatun.P27F28 Dalam surat An-Nisa’ ayat 24 juga dijelaskan bahwa29

27 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz IV, (Mesir: Darul Kutub ‘Ilmiah, 1974), hal. 153.

28 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. ke-1, hal.

415

29 Departeman Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan, Op.Cit, hal. 81

(26)













































Artinya: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Sedangkan lafal رﻮﺟأ dalam surat An-Nisa’ ayat 24 adalah bentuk jama’

dari kata ﺮﺟأ yang dipakai untuk makna mahar. Kata ajrun secara literal berarti upah, imbalan. Dari kata inilah agaknya muncul pandangan miring dan keliru yang menganggap bahwa pemberian mahar suami kepada isteri merupan imbalan dari hubungan seks.30

b. Hadis

ْﺪَﻗ ﻰﱢﻧِا , ِ ﱠﷲ َلْﻮُﺳَر ﻞَﯾ : ْﺖَﻟﺎَﻗَو ٌةَأَﺮْﻣا ُﮫْﺘَﺋ ﺎَﺟ َﻢَﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰَﻠَﺻ ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا ﱠنَا ٍﺪْﻌَﺳ ِﻦْﺑ ِﻞْﮭَﺳ ْﻦَﻋ َﻚَﻟ ْﻦُﻜَﯾ ْﻢَﻟ ْنِا ﺎَﮭْﯿِﻨْﺟﱠوَز , ِﱠﷲ َلْﻮُﺳَر ﺎَﯾ : َلﺎَﻘَﻓ ٌﻞُﺟَر َلﺎَﻘَﻓ .ﻶْﯾِﻮَط ﺎًﻣﺎَﯿِﻗ ْﺖَﻣﺎَﻘَﻓ , َﻚَﻟ ﻰِﺴْﻔَﻧ ُﺖْﺒَھَو ﺎَﻣ : َلﺎَﻘَﻓ ؟ُهﺎﱠﯾِا ﺎَﮭُﻗِﺪْﺼُﺗ ٍءْﻲَﺷ ْﻦِﻣ َكَﺪْﻨِﻋ ْﻞَھ : َﻢَﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰَﻠَﺻ ِ ﱠﷲ ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻘَﻓ . ٌﺔَﺟﺎَﺣ ﺎَﮭْﯿِﻓ , َﻚَﻟ َراَزِا ﻵ َﺖْﺴَﻠَﺟ َكَراَزِا ﺎَﮭَﺘْﯿَﻄْﻋَا ْنِا , َﻢَﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰَﻠَﺻ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا َلﺎَﻘَﻓ .اَﺬَھ ْيِراَزِا ﱠﻵِا ْيِﺪْﻨِﻋ ِنّاْﺮُﻘْﻟا ﺾﻨِﻣ َﻚَﻌَﻣ ْﻞَھ : َﻢَﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰَﻠَﺻ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا ُﮫَﻟ َلﺎَﻘَﻓ .ﺎًﺌْﯿَﺷ ُﺪِﺟَاﺎَﻣ : َلﺎَﻘَﻓ .ﺎًﺋ ْﻲَﺷ ْﺲِﻤَﺘْﻟ ﺎَﻓ : َﻢَﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰَﻠَﺻ ﱡﻲِﺒَﻨﻟا ُﮫَﻟ َلﺎَﻘَﻓ .ﺎَﮭْﯿﱠﻤَﺴُﯾ ٍرَﻮُﺴِﻟ اَﺬَﻛ ُةَرْﻮُﺳ َو اَﺬَﻛ ُةَرْﻮُﺳ . ْﻢَﻌَﻧ : َلﺎَﻗ ؟ٌئءﻲَﺷ ﻢﻠﺴﻣ و ىرﺎﺨﺒﻟا و ﺪﻤﺣأ . ِنّاْﺮُﻘْﻟﺎَﻨِﻣ َﻚَﻌَﻣ ﺎَﻤِﺑ ﺎَﮭَﻜُﺘْﺟﱠوَز ْﺪَﻗ

Artinya: “Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”, Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat kepadanya”.

Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya?”. Ia menjawab,

“saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda,

“Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu

30 Safra, Fiqh Munakahat jilid 1, ( Bukittinggi : Press IAIN Bukittinggi), hal. 137-138

(27)

berkata “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain “. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-qur’an?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al- qur’an itu”. (H.R Ahmad, Bukhari dan Muslim).31

Dalam kitab Subulus Salam dijelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan bahwa memberikan mahar kepada wanita yang dinikahi itu merupakan kewajiban.

Dimana ukuran dan jenisnya tidak dijelaskan dalam Al-qur’an. Hadis di atas juga menjelaskan bahwa mahar boleh berupa apapun asalkan bermanfaat dan tidak menyalahi aturan hukum Islam.32

Menurut pendapat penulis mengenai hadis di atas menjelaskan bahwa seorang suami diwajibkan memberikan mahar kepada calon isterinya. Dimana ukuran dan bentuknya tidak dijelaskan dalam Al-qur’an. Suami boleh memberikan mahar berupa sesuatu yang bermanfaat bagi isteri, sebagai mana disebutkan dalam hadis meskipun “sebuah cincin dari besi”.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga menjelaskan mengenai mahar

اَﺪَﺻ ﺎَﮭَﻘْﺘِﻋ َﻞَﺟَو َﺔﱠﯿِﻔَﺻ َﻖَﺘْﻋَا ُﮫﱠﻧَا َﻢَﻠَﺳ َو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُ ﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ ُﮫْﻨَﻋ ُ ﱠﷲ َﻲِﺿَر ٍﺲَﻧَا ْﻦَﻋ ( ﮫﯿﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ) .ﺎَﮭَﻗ

31 Bukhari, Shahih Bukhari, JUZ V, (Beirut: Dar Al-Kutub Al- ‘Alamiyah), hal. 464

32 Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam (Syarah Bulughul Maram) Jilid 2, Penerjemah : Ali Nur Medan, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah, 2013), hal. 791

(28)

Artinya: "Dari Anas ra. dari Nabi SAW., bahwasanya beliau telah memerdekakan Syafiyah, dan beliau jadikan kemerdekaannya itu sebagai maskawin.”

(HR. Bukhari dan Muslim)P32F33

Menurut pendapat penulis mengenai hadis di atas, bahwa mahar itu tidak harus berupa barang, tapi bisa berupa apa yang bermanfaat bagi isteri, diantaranya mahar dapat berupa memerdekakan budak atau dengan hafalan ayat Al-qur’an.

C. Syarat –syarat Mahar

Mahar yang diberikan calon suami kepada calon isteri adalah sesuatu yang berharga dan dapat digunakan oleh isteri, namun dalam memberikan mahar calon suami harus memenuhi syarat-syarat dari mahar, diantaranya:

a. Mahar merupakan barang yang bisa dimiliki dan dijual, seperti emas dan barang lainnya, tidak boleh mahar berupa khamar dan barang lainnya yang dilarang dalam Islam

b. Mahar harus sesuatu yang diketahui sifat dan jumlahnya.

c. Mahar tersebut terbebas dari tipuan. Maksudnya mahar tidak boleh berupa binatang yang tersesat atau tidak diketahui keberadaannya.34

d. Ada manfaatnya.

e. Sanggup menyerahkannya: mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas orang dan tidak sanggup menyerahkannya.35

Menurut pendapat penulis, bahwa mahar yang diberikan suami kepada calon isteri berupa sesuatu yang telah dijelaskan dalam hadis Nabi, yaitu bahwa

33 Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 2014), hal. 441

34 Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, Penerjemah : Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011 ), hal. 259

35 Moh. Rifa’i, Op.Cit, hal. 442

(29)

mahar harus sesuatu yang baik atau yang dibolehkan sesuai dengan syari’at Islam, baik berupa barang maupun berupa jasa.

D. Macam-macam Mahar

Mengenai kewajiban mahar, para fuqaha’ telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu pemberian mahar biasa dilakukan pada waktu akad perkawinan. Mahar yang dimaksudkan terdiri dari beberapa macam, yaitu:36

1. Mahar Musamma

Mahar musamma yaitu mahar yang disebutkan dalam akad nikah, baik bentuk maupun jumlahnya. Mahar musamma ada dua macam, yaitu: (1) mahar musamma muajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon isterinya. (2) mahar musamma ghair muajjal, yaitu mahar yang pemberiannya ditangguhkan.

Dalam hal demikian, pembayaran mahar musamma diwajibkan hukumnya apabila telah terjadi dukhul, apabila salah seorang suami atau isteri meninggal dunia sebagaimana telah disepakati oleh para ulama apabila telah terjadi khalwat, suami wajib membayar mahar.

Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:

a. Telah bercampur (bersenggama)

36 Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 276

(30)

Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 20





































Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”

Dalam ayat ini terdapat dalil dilarangnya suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada isterinya, karena perceraian yang dilakukan oleh suami bukan disebabkan karena isterinya melakukan fahisyah yang nyata (perbuatan keji).37

b. Salah satu dari suami isteri meninggal.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan isteri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti si isteri dikira perawan ternyata janda, hamil dari bekas suami lama, atau istrinya ternyata mahram sendiri. Akan tetapi jika si isteri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya. Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 237:

37 M. Quraish Shihab, Ibid, hal. 463

(31)









































































Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”

Dalam kitab tafsir Ibn Katsir ayat di atas menjelaskan bahwa ketika pelaksanaan akad nikah mahar disebutkan oleh suami kepada isterinya, setelah itu suami menceraikan isterinya sebelum dicampuri, maka suami tersebut berkewajiban memberikan setengah dari mahar yang telah disebutkan. Pemberian setengah dari mahar ini merupakan suatu kesepakatan para ulama dan tidak terdapat lagi perbedaan diantara mereka.38

Ayat ini menunjukkan bahwa jika tidak ditentukan mahar, maka tidak diwajibkan memberi setengah bagian dari mahar. Jika suami tidak menentukan mahar untuk isterinya sampai dia menyetubuhinya, isteri berhak mendapatkan mahar mitsil.39

38 ‘Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, (Kairo: Mu- assasah Daar al- Hilaal Kairo, 1994), hal. 613

39 Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit, hal. 247

(32)

Dalam kitab Fathul Qarib juga dijelaskan:40

ُﺮْﮭَﻤﻟا ُﻒْﺼِﻧ ﺎَﮭِﺑ ِلْﻮُﺧﱡﺪﻟا َﻞْﺒَﻗ ِق َﻼﱠﻄﻟﺎِﺑ ُﻂُﻘْﺴَﯾَو

“Gugurnya pernikahan sebab talak sebelum berhubungan, maka isteri mendapatkan separoh dari maharnya”

Adapun bila perceraian terjadi sebelum hubungan kelamin dan sebelumnya jumlah mahar tidak dijelaskan dalam akad nikah, maka tidak ada kewajiban untuk memberikan mahar. Sebagai imbalannya Allah mewajibkan apa yang bernama mut’ah, yaitu pemberian tertentu yang nilainya diserahkan kepada kemampuan suami.41 Hal ini dijelaskan secara langsung oleh Allah SWT, dalam Q.S Al-Baqarah ayat 236:





















































Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

40 Syekh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib, (Surabaya: Kharisma, 2000), hal. 236

41 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal 90

(33)

Dalam kitab tafisr Al-Mishbah ayat di atas menjelaskan bahwa mahar merupakan sesuatu yang diwajibkan atas suami yang harus diberikan kepada isteri, tetapi mahar ini hendaknya diberikan dengan tulus.

Ayat di atas menggambarkan bahwa jika akad nikah sudah dilaksanakan tetapi belum ditentukan maharnya, lalu suami menceraikan perempuan tersebut maka perbuatan itu tidak dipandang dosa. Dengan demikian dapat dipahami bahwa mahar tidak termasuk rukun ataupun syarat dalam perkawinan. Jika mahar adalah rukun atau syarat dalam akad, tentu suami tidak boleh menceraikan isterinya selama mahar belum diberikan.42

b. Mahar Mitsil

Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan bentuk dan jenisnya dalam akad. Ukuran mahar ini disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan ayah, dan seterusnya.

Menurut ulama Syafi’iyah yang dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah dengan melihat beberapa wanita dari keluarga ashabahnya untuk mencari persamaan ukuran mahar. Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu sifat dengannya dan yang paling dekat dengannya.43

42 Shafra, Op. Cit, hal. 140

43 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak), (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 186

(34)

Pertimbangan persamaan antara dua wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan dalam usia, kecerdasan, kecantikan, kekayaan, perawan dan janda, karena mahar akan berbeda sebab perbedaan sifat tersebut44. Penulis Syarah At-Tahrir telah meringkas kondisi wajib mahar mitsil dalam perkataannya:

wajib mahar mitsil pada lima tempat, yaitu dalam nikah, bersenggama, khulu’, meralat dari persaksian dan persusuan.

Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsil itu dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, dan negeri tempat tinggalnya.

Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan:

1. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.

2. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.

3. Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami isteri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.45

44 Ibid, hal. 187

45 Ibid, hal. 188

(35)

Menurut pendapat penulis mengenai mahar musamma, bahwa seorang suami yang telah menikahi calon isterinya, wajib memberikan mahar sesuai dengan yang disebutkan dalam akad nikah. Dimana setelah dilihat akad nikah tersebut sah, maha isteri berhak untuk mendapatkan maharnya. Apabila setelah dilangsungkan akad nikah, namun ternyata akad nikahnya tidak sah, maka bagi isteri ia mendapatkan mahar mitsil, yaitu, mahar yang disesuaikan dengan mahar-mahar yang diberikan pada perempuan yang sama dengannya.

E. Bentuk dan Jumlah Mahar

Pada dasarnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.

Mahar dalam bentuk jasa dijelaskan dalam Al-qur’an dan hadis Nabi.46 Besar dan kecilnya jumlah mahar, jenis dan bentuknya hendaklah berpedoman pada kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan oleh syari’at Islam.

Dalam Al-qur’an Allah jelaskan seseorang yang mengembala kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam surat Al-Qashash ayat 27:





































Artinya:”Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa

46 Depag RI, Op. Cit. hal. 39

(36)

kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu ".

Adapun mengenai jenis mahar sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiqadalah sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat dijadikan pengganti (ditukar).

Artinya jenis mahar tersebut dapat ditukar dengan benda atau barang lain yang berbeda manfaatnya. Mengenai bentuk ataupun jenis mahar, sebenarnya tidak ada ketentuan minimalnya atau maksimalnya, yang terpenting segala sesuatu yang bernilai dan bermanfaat yang dapat dijadikan mahar. Selain itu mahar juga bisa berupa perhiasan berupa cincin, gelang, kalung emas dan sejenisnya. Dapat pula berupa makanan seperti kurma, gabah atau buah-buahan, yang terpenting diterima oleh pihak perempuan yang akan dinikahinya.47

Mahar juga dapat berupa mengajarkan bacaan Al-qur’an, seperti dijelaskan dalam hadis riwayat Sahl bin Sa’ad, yang berisikan bahwa Nabi mengawinkan seorang laki-laki dengan mahar kemampuan membaca A-qur’an yang dia miliki.

Nabi bersabda:

ِنّاْﺮُﻘْﻟا َﻦِﻣ َﻚَﻌَﻣ ﺎَﻤِﺑ ﺎَﻤُﻜُﺘْﺟ ﱠوَز ْﺪَﻗ

“Aku telah nikahkan kamu dengan hafalan Al-qur’an yang kamu miliki”48

Tak ada pembatasan mengenai jumlah mahar ditetapkan dalam Al-Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 24 “Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”.49 Fuqaha’ juga sepakat

47 Beni Ahmad Saebani, Op. Cit. hal. 273

48 Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit. hal. 238

49 A. Rahman. I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), (Jakarta:

PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 218

(37)

bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi sebaiknya tidaklah berlebihan, khususnya di era sekarang. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi

ﱠﻦُھُﺮَﺴْﯾَأ ِق اَﺪﱠﺼﻟا ُﺮْﯿَﺧ

"Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”

Hikmah dari pencegahan menetapkan tingginya mahar adalah jelas, yaitu supaya tidak memberatkan calon suami untuk menikahi calon isterinya, dan supaya tidak timbul kerusakan moral dan sosial akibat tingginya mahar.50

Oleh karena itu, sunnahnya menurut syara’ tidak berlebih-lebihan dalam mahar, karena hal itu akan mendatangkan orang berpaling dari nikah yang diikuti kerusakan secara umum. Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak.51 Meskipun dalam Al- Qur’an dan Ulama sepakat tidak ada batasan mengenai jumlah mahar, namun Islam sangat menganjurkan perempuan agar tidak meminta mahar yang terlalu berlebihan atau memberatkan laki-laki. Diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya pernikahan yang paling banyak berkahnya adalah yang paling sedikit biayanya” (H.R Ahmad).52

Pada saat ini, di Indonesia pemberian mahar biasanya dilaksanakan dengan memberikan sebuah Al-qur’an atau seperangkat alat shalat, dan sebagian lainnya

50 Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit. hal 235

51 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Op. Cit. hal. 181

52 ‘Abdul Qadir Mansur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2012), hal. 241

(38)

ada yang diiringi dengan sebuah perhiasan seperti cincin untuk isteri.53 Dalam hal ini Ibnu Rusyd mereduksikan mahar hanya kepada benda saja, ketika ia mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat diukur dan ini jelas merujuk kepada suatu benda.54

Jadi menurut pendapat penulis, meskipun bentuk dan jenis mahar telah dijelaskan dalam Al-qur’an dan hadis, namun pemberian mahar haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi isteri, dan dengan mahar itu dapat membawa isteri untuk selalu taat kepada Allah.

F. Hikmah Disyari’atkan Mahar

1. Menunjukkan kemuliaan kaum perempuan.

2. Untuk menampakkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya sehingga pemberian itu sebagai nihlah dari padanya, yakni sebagai hadiah, dan hibah bukan sebagai pembayaran harga sang perempuan.

3. Sebagai lambang kesungguhan. Pemberian ini menunjukkan bahwa laki- laki bersungguh-sungguh untuk membina rumah tangga dengannya.

4. Bahwa Islam meletakkan tanggung jawab keluarga di tangan laki-laki (suami) karena dalam kemampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi (perasaan) lebih besar dibanding kaum perempuan.55

53 Fuad Rahman, Nalar Kesetaraan Mahar dalam Pespektif Syari’at Islam, At-turas Jurnal Studi KeIslaman, Volume IV, Number 1, Januari – Juni 2017,

54 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Shopi, 2003), hal. 74

55 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1995), hal. 478

(39)

Dalam Islam, mahar disyari’atkan Allah untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu Allah mewajibkan kepada laki-laki karena laki-laki lebih mampu berusaha. Kewajiban memberikan mahar merupakan penyebab agar suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada isteri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut menjadi jaminan bagi wanita ketika ditalak.56

Dari hikmah mahar di atas penulis berkesimpulan bahwa hikmah mahar adalah untuk menganggak derajat kaum perempuan dimana sebelum Islam datang kaum perempuan diremehkan bahkan diperlakukan seperti binatang.

56 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Op. Cit. hal. 178

(40)

34 BAB III

KONSEP GENDER DAN KONSEP CLD-KHI A. Konsep Gender dan Isu-isunya

Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda, dimana perbedaan ini berasal dari pemberian Allah. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan berawal dari pemahaman antara perbedaan alami yang diberi Allah seperti perbedaan jenis kelamin dan perbedaan yang tidak alami dimana apa yang di perbuat laki-laki perempuan pun juga bisa melaksanakannya atau sebaliknya.57

Sebagai Konstruksi sosial, ketika gender dipahami sebagai istilah konseptual yang lebih dahulu dipopulerkan di kalangan masyarakat Barat, banyak menuai kritik dan menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat muslim.

Ditinjau dari aspek historis, jauh sebelum kesetaraan gender menjadi perbincangan di tingkat Internasional, Islam telah mempunyai konsep dan implementasi kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Konsep gender yang dimaksud sebenarnya menyangkut pada peran, fungsi, relasi antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah kehidupan domestik ataupun publik.58

Menurut pendapat penulis, sebenarnya konsep gender ini sangatlah baik, asalkan penerapannya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan tata nilai sosial kehidupan yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya konsep gender ini,

57 Elly M. Setiawan dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.

872

58 Mufidah, Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, (Malang: UIN-Malik Press, 2010), hal. 2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Latuheru (2005), bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran dan

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apakah penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS dapat memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan

citra perusahaan) yaitu membangun citra yang baik dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial yang menarik bagi masyarakat setempat; mendukung kegiatan komunikasi dalam

Kultivasi mikroalga dalam kondisi yang sesuai dengan jenisnya dilakukan agar dapat menghasilkan biomassa yang melimpah.Menurut Bold and Wynne (1985), perkembangbiakan

Penambahan jenis bahan pakan sumber protein pada ransum tepung daun singkong dan hidrolisat tepung bulu ayam, berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit berpengaruh nyata

Tetapi jika dokter dan perawat diperhadapkan dengan pasien ga- wat darurat yang dalam kondisi tidak sadar dan tidak ada keluarga yang mendampingi maka kita dapat melakukan

Fasilitas Hot Cell dinincang untuk penanganan sumber terbuka dengan menggunakan fasilitas robot (manipulator) dan mempunyai penahan (shielding) dengan bahaya minimal. Di

Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda). Konsumen akan cenderung menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain dari produk sebelum ia